01. Hal Yang Tertinggal

142 18 0
                                    

Siang menjelang sore kala itu, semburat cahaya jingga mulai menyapa kota Bandung. Atap bumi diatas sana begitu bersih dari benda langit, teduh, tenang, kosong dan terasa sangat.. hampa.

Situasi tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi seorang gadis yang sedari tadi hanya melamun di depan jendela sebuah kamar.

Batari Nalendra Putri. Gadis bersurai hitam bergelombang itu menyandarkan kepalanya ke kusen jendela. Kedua matanya yang bengkak dan basah terlihat kusam saat memandang keluar sana.

Batari muak melihat banyaknya orang berpakaian serba hitam itu terus mondar mandir, silih berganti masuk-keluar di rumah kakeknya. Dan ia juga muak, kenapa harus dirinya yang berada pada posisi ini.

"Riri kangen sama Ayah.." Gumamnya begitu lirih. Tak lama kemudian deraian airmata kembali membasahi kedua pipi tembamnya.

Hingga akhirnya tangis Batari pecah untuk kesekian kalianya. Ia memukul dadanya berulang-ulang, berusaha mengenyahkan sesak yang tiba-tiba muncul dan rasanya sakit menusuk sampai menembus punggungnya.

Jika boleh jujur, ternyata kehilangan orang terkasih begitu terasa menyakitkan bagi Batari. Separah apapun luka pada tubuh masih bisa terlihat dan diobati. Tapi jika rasa sakitnya tak terlihat begini, bagaimana cara ia mengobatinya? Sial.

"Harusnya Ayah ikut sama Riri!! Ayah engga boleh tinggal disana! Ayah harus pulang! Ayah!!"

Brak!

Pintu kamar terbanting cukup kasar setelah Batari berteriak histeris. Kemudian muncul seorang pria paruh baya berkumis yang langsung menghampiri dan mendekap sayang tubuh mungil Batari.

"Abah, suruh Ayah pulang.. Ayah engga boleh ninggalin Riri kayak gini.. Suruh pulang Bah.."

Batari terus terisak hebat dalam pelukan sang kakek, Cipto. Kedua matanya semakin menyipit dan bengkak. Tidak bisa, Batari belum bisa menerima situasi ini. Situasi kalau sang ayah sudah pergi dan tak akan kembali menyapa dengan senyuman hangatnya.

Cipto terus mengusap punggung cucunya sayang. Ia mengecup berkali-kali puncak kepala Batari, sebelum menangkup wajah gadis tersebut untuk menatapnya.

"Ri, dengerin Abah. Takdir itu udah ada yang ngatur, termasuk kematian. Ini semua bukan salah Riri atau salah siapapun. Ini udah kehendak-Nya"

Mendengar itu, tangisan Batari perlahan mereda. "T-tapi, Riri belum ngerti sama semua ini Bah"

Cipto tersenyum. Ya, ia sangat mengerti bagaimana keadaan cucunya sekarang. Tertekan, takut, khawatir, dan masih banyak lagi rasa gundah yang bergumul dalam dadanya setelah ditinggal ayahnya wafat.

Cipto tahu bagaimana perasaan cucunya, karena dulu ia juga pernah berada dalam posisi Batari begini. Bahkan anak sulungnyapun, Retania dan menantunya, Nataprawira pernah mengalami hal ini.

Entahlah, Cipto harus menganggap hal ini sebuah anugerah atau kutukan. Ia juga tak mengerti. Yang harus ia lakukan adalah saling menguatkan dan mengingatkan satu sama lain, tentang keistimewaan yang kemungkinan masih akan berlanjut pada keturunan selanjutnya.

"Sini, Abah kasih tau" Cipto bangkit dan menuntun lembut cucunya keluar dari kamar.

Ketika melewati ruang keluarga, Batari hanya bungkam. Ia terdiam ketika melihat sang ibu masih tak sadarkan diri dalam pangkuan kakaknya, Lokamandala. Semua terlihat terpukul atas kepergian ayahnya, Nataprawira.

Setelah melewati ruang tamu, Batari menghentikan langkahnya ketika Cipto membawanya ke sebuah ruangan kecil yang berada di paling belakang rumah ini.

Cklek.

BANDOENG DIKALA MALAM [ON GOING]Where stories live. Discover now