19. Bukan Teka-Teki

52 11 0
                                    

Bandung, 09 September 20##.

Malam ini di dalam kafe milik orangtuanya, yang dilakukan Batari hanyalah terdiam di depan sebuah lukisan. Padahal Retania menyuruhnya untuk membantu beres-beres di depan, namun sekarang anak bungsunya itu hanya terdiam dengan apron hitam yang masih melekat pada tubuh mungilnya.

Setelah kejadian kemarin, Batari masih dibuat bingung dengan situasi yang dihadapinya saat ini. Sosok menyeramkan berkebaya itu muncul kembali dengan tampilan manis dan mengagumkan. Dan paras tersebut sama persis dengan wajah seseorang yang ada dalam lukisan. Ya, Batari sedang memandangi wajah sosok itu.

Perlahan tangannya meraih wajah sosok pada lukisan di depannya. "Kalau mukanya secantik ini, kenapa harus muncul dengan tampilan buruk rupa?"

Tak lama kemudian Retania yang tak sengaja lewat, berhenti melihat anaknya terdiam begitu. "Dek, lagi ngapain disini?"

Batari terkesiap lalu menggeleng sembari tersenyum. "Cantik" Tunjuknya pada lukisan tersebut.

Niat untuk mengisi ulang kotak tisu, Retania malah ikut memandangi lukisan indah tersebut. "Iya, emang cantik. Kalau dia masih ada mungkin umurnya engga jauh sama Om Ari"

"Kalau masih ada?" Ulang Batari bingung. "Bukannya lukisan ini dibuat taun 1918? Berarti kalaupun hidup sampe sekarang, umurnya udah seratus lebih Ma. Mana ada seumuran Om Ari"

Retania terdiam sesaat lalu berdeham pelan. Ia tersenyum sambil mengelus pipi anaknya sayang. "Mama cuma becanda atuh, meni serius gitu" Kekehnya lalu pergi begitu saja.

Batari menghela nafasnya cukup panjang. Ia yakin ada yang disembunyikan oleh ibunya. Tapi sudahlah, ia tak terlalu penasaran juga. Setelahnya Batari segera kembali ke depan dan melepas apron, lalu disimpannya dibalik meja kasir.

Treng.

Batari menoleh ketika lonceng berdenting nyaring, itu tandanya ada yang masuk ke dalam kafe. Tapi siapa? Apa orang itu tidak membaca papan di depan pintu? Kan sudah tutup. Meskipun begitu, Batari berusaha bersikap profesional lalu menghampiri.

"Maaf kak, tapi kafe kami ud-" Senyum Batari luntur ketika melihat siapa yang datang.

"Hallo" Sapa orang itu sedikit kaku.

Orang itu memiliki rambut coklat yang sedikit pirang, kedua bola matanya hijau terang, kulitnya seputih susu, dan juga mengenakan sepatu sport merah. Bukankah dia..

"Kamu.."

Pemuda tampan itu tersenyum. "Ya, its me. You remember me? At library?"

Dengan tampang bingung, Batari mengangguk pelan. "Ya. What you doing here? Our cafe is closed"

"Ya, i know but i have something for you" Ucap Pemuda itu ramah.

"For me?" Ulang Batari semakin bingung.

"Ya, umm.. bisa kita duduk?"

Lah? Bisa bahasa indonesia juga ternyata. Ya, walaupun terbata-bata. Batari mengangguk lalu mengajak pemuda itu duduk. Setelah duduk berhadapan, tanpa banyak bicara pemuda tersebut mengeluarkan sebuah map transparan berisikan surat dan diberikanlah pada Batari.

"For me?"

Pemuda itu mengangguk. "Open"

Setelah mendapat izin, Batari akhirnya membuka map tersebut. Isinya ada beberapa lembar kertas dan yang paling menarik perhatiannya adalah ada dua foto bangunan yang sangat ia kenali. Yang satu rumahnya Hansen dan yang satu lagi rumah Belinda.

Belum sempat Batari membuka isi surat, pemuda bermanik hijau terang itu menunjukkan selembar kertas yang sudah dilaminasi. Tambah bingunglah Batari setelah mengetahui kalau itu adalah surat tanah.

BANDOENG DIKALA MALAM [ON GOING]Where stories live. Discover now