[ 13. ]

16.5K 3.1K 1.3K
                                    

Hai,
hujan enggak daerah kalian?

.

aku datang di Selasa sore karena Rabu-Kamis ada acara ... jadi, besok jangan mencari-cari yha

.

2.200 kata untuk Bab ini
selamat membaca
dan
jangan lupa
Bahagia

🍯

[ 13. ]

"Mana si kecilnya?" tanya Tsabitah seiring langkahnya mendekat ke mobil.

Esa mengambil alih tas bawaan gadis itu dan membuka pintu mobil lebih lebar, menunjukkan Lyre yang melambaikan tangan sembari memangku balita yang pulas.

"Baru banget dia pulas, hahaha ... Bit, duduk belakang dulu ya sama Mas Esa, takutnya Ravel kebangun kalau langsung dipindah carseat," ungkap Lyre, mengendik ke kursi khusus yang terpasang di sebelah.

Tsabitah mengangguk. "Aku emang duduknya belakang aja sama Mas Esa, Mbak Re tengah sama Ravel," katanya lantas beralih mengulurkan tangan pada sosok orang tua yang semringah. "Pagi, Papa Luki, Mama Yaya ..."

"Pagi, Bita udah cek suhu?" tanya Soraya sembari menyambut uluran tangan dan Tsabitah menciumnya.

"Udah dong ... 36,8 pagi ini." Tsabitah ganti menyalami Lukito dan mencium punggung tangannya. "Papa tekanan darahnya berapa hayo? Bikinin jus timun lagi nih kalau sampai 150."

Lukito Kanantya terkekeh. "Enggak, tadi Mama yang ukur cuma 118."

"Papa pernah sampai 150?" tanya Lyre saat Tsabitah beralih mundur untuk duduk di kursi belakang.

"Dua kali, kalau seminar di luar kota gitu suka kesempatan tahu, Mbak, jajan tengkleng atau gultik koyor." Tsabitah bersemangat mengadu. "Pulang-pulang nanti pusing, kesemutan, badan ngilu, ada aja pokoknya."

"Omelin, Bit," dukung Soraya yang menyempatkan keluar dari mobil untuk memeluk dan bertukar cium pipi dengan Inge.

"Paling parah tahun lalu sih, waktu sama Ayah touring ke Solo ... nekat Sate Kambing Buntel itu, tiga piring buat berdua, pulangnya klenger sampai minta dijemput Pak Samadi."

"Papa, ya ampun," sebut Lyre, tidak menyangka. Esa yang kembali masuk mobil juga geleng-geleng kepala.

"Bita lho, padahal Papa udah enggak begitu lagi ..." kilah Lukito sembari menatap sahabatnya yang mendekat.

Theo Ruslantama tertawa, mengulurkan tangan untuk bersalaman akrab. "Emang gitu kalau sama anak perempuan, Luk ... diungkit-ungkit aja terus."

"Soalnya kalau istri yang ngungkit, pada enggak peduli." Inge Razi segera menyampaikan pembelaan. "Kalau anak perempuan yang gitu, baru pada ingat."

Soraya tertawa. "Betul, Papa kapok jajan kikil mercon juga habis diomelin Bita."

"Kikil mercon?" tanya Lyre dan geleng kepala tatkala menoleh ke arah Tsabitah. "Itu bukannya pedes banget."

"Emang, dulu 'kan buka warung tenda gitu seberang parkiran rumah sakit, diam-diam sering jajan itu ... pas sahur hari pertama tumbang, awalnya keringat dingin, pucat, trus muntah-muntah. Habis infus delapan botol coba, opname dua hari."

Tsabitah tersenyum di tengah aduannya karena Esa melepas jaket dan menutupkan ke pangkuan. Bahan gaun musim panas yang Tsabitah kenakan memang terlihat tipis dan ringan.

"Papa udah enggak gitu lagi, kok," kata Lukito sewaktu menyadari tatapan tajam putrinya.

Theo tertawa. "Iya, Re, jangan ikutan galak kayak Bita ... kasihan Papamu."

REPUTATIONWhere stories live. Discover now