Bab 26 : Sisi Lain

11 5 4
                                    

Sebelumnya, Kediaman Srikandi

Gesekan ranting dan dedaunan pohon mengisi rongga telinga. Kesunyian di antara dua gadis yang kini tergeletak tak berdaya semakin senyap. Sayup suara detak jantung keduanya saling bersahutan diiringi napas lemah yang semakin pelan. Asya menitikkan air mata merasa hidupnya akan berakhir detik itu. Hingga akhirnya ia menutup mata pasrah.

Srikandi sebelumnya merasakan sentuhan hangat menjalar mengalir dari nadi hingga menyebar ke seluruh tubuh. Terasa sengatan kecil dan bergetar yang menyelimuti tangan kanan gadis bersurai biru itu. Ia mengerjapkan netra. Beranjak duduk bertumpu pada tangan kanannya yang kini telah pulih sedia kala. Ia terhenyak menyadari hal itu. Namun, keterkejutannya beralih menatap tubuh Asya yang tergeletak di lantai.

Bergegas ia memeluk Asya lantas memindahkan gadis remaja itu di atas ranjangnya. Ia kebingungan sebab ingatannya terakhir kali menyaksikan pertarungan Aditya dan Garin. Aditya menyerang tiba-tiba hingga ia kalah telak sebab keadaan tubuh yang lemah.

"Bagaimana bisa kau ada di sini, Asya?" Srikandi membenahkan posisi Asya agar sandaran kepalanya lebih tinggi dari tubuhnya.

Baru saja Srikandi hendak menyentuh kening gadis itu, Asya tiba-tiba melotot dan duduk seolah tak terjadi apa pun. "Kau baik-baik saja?" cecar Srikandi cemas.

Asya yang tampak linglung mengamati sekitar. Ia lantas menatap Srikandi dengan raut sinis.

"Kau harus kembali ke Labuhan Dewi, Asya. Ada yang harus kuselesaikan," tutur Srikandi sembari mengusap punggung Asya pelan.

"Tidak, aku ingin kembali ke rumah." ucap Asya tanpa ekspresi.

"Maksudmu? Rumah yang mana? Sudah, kau sedang tidak sehat, badanmu demam. " Srikandi menatap heran bocah kecil itu.

"Di mana kakakku?" Asya menatap Srikandi dengan mata berkaca-kaca.

"Kakak? Siapa kakak yang kau maksud? Nanti kita bicara dengan Zain, mungkin dia...." Angin berhembus kencang membuat jendela yang tertutup menjadi terbuka kasar dan mengeluarkan suara yang cukup nyaring.

Srikandi menatap ke sumber suara, jantungnya berdegup kencang. Perasaan gadis itu tidak tenang. Ia harus cepat, tidak ada waktu lagi. "Asya, dengar. Kembalilah ke Labuhan Dewi, aku benar-benar harus pergi. Nanti kita bicara lagi."

Srikandi segera meninggalkan bocah kecil yang sedang menatap dingin kepergian gadis bersurai biru itu. Suara angin membuat Asya menoleh menatap pintu yang tadinya ditutup Srikandi kembali terbuka, kaki kecilnya melangkah cepat melihat sosok hitam melesat mengikuti langkah Srikandi. Ia mengejar langkah Srikandi tanpa berpikir panjang.

***

Kembali ke Masa Kini, Hutan Gunung Nyai

Asya tergeletak terkapar di tanah. Matanya terbuka sembari meneteskan air mata. Mulut gadis itu gemetar dengan darah yang mengalir di sudut bibir. Aditya berlari kabur setelah melukai Asya. Zain bergegas berlari mengejar Aditya, sementara Srikandi menggapai tubuh Asya dengan perasaan bersalah.

"Seharusnya aku mengantarmu pulang lebih dulu," isaknya memeluk tubuh Asya yang semakin dingin.

Darah segar mengotori busana yang Srikandi kenakan. Garin berusaha berdiri dengan susah payah. Ia kehabisan kata-kata.

Tak lama kemudian Bulbul datang dalam wujud singa biru. Rambut singa biru dan tubuhnya penuh dengan noda darah.

"Gawat, Srikandi! Labuhan Dewi di serang Tengkorak Hitam! Aku tak bisa menghadapi mereka seorang diri," ucapnya yang terdengar sebagai auman oleh Garin, sebab hanya Srikandi yang mampu berkomunikasi dengan makhluk hitam itu.

"Bajak laut itu tiba-tiba datang setelah sekian lama menghilang? Sial! Aku lengah!" Amarah Srikandi membuncah, ia merasa sangat tidak berguna.

"A-apa yang terjadi, Kandi?" Garin yang penasaran berangsur menghampiri gadis bersurai biru itu.

"Tengkorak Hitam menyerang pesisir Labuhan Dewi, warga nelayan di sana dalam bahaya! Aku harus pergi ke sana!" Srikandi mengendong tubuh Asya ke punggungnya.

"Kau naiklah ke punggung Bulbul, Garin! Dia tidak mungkin membawa kita bertiga," ucap Srikandi. "Bawa dia ke kediaman Raden Dwi Atmojo, Bulbul. Berhati-hatilah!" pungkasnya.

Garin yang dalam kondisi lemah segera naik ke punggung Bulbul. "Jaga diri baik-baik, Srikandi!" pesan Garin sebelum ia dibawa Bulbul berlari secepat kilat.

***

Rowo Ayu, Sunyoto

Ia berlari menyusuri lebatnya hutan dengan keadaan bersimbah darah. Selendang putih bertuliskan aksara kuno melingkar di leher si gadis berbusana putih. Benda itu anehnya tak memiliki noda darah sedikitpun. Selendangnya ikut tersibak angin. Netra bermanik biru gelap berderai menahan linangan air mata. Tangannya tampak menonjolkan urat berwarna hijau, ia menggendong erat sosok gadis lebih muda empat tahun darinya yang tengah terluka parah. Ia berlari tanpa alas kaki, tak peduli menginjak kerikil dan ranting kering yang membuat kaki jenjangnya terluka. Sesekali ia menoleh ke belakang disertai napas memburu. Dadanya bergemuruh melirik sosok gadis yang terkulai itu mulai bernapas lemah.

"Kumohon bertahanlah! Aku tak akan memaafkanmu, jika kau tak bisa bertahan! Camkan itu!"

Tak berapa lama, suara gerakan dahan pohon di sekitar terdengar semakin kencang. Terlihat sesosok bayangan melesat melompat dari dahan satu ke dahan lain. Gadis bersurai biru itu mengeratkan gigi sembari memasang wajah geram. Netranya memerah menahan amarah. Terasa energi gelap seseorang yang berusaha mendekat dengan cepat. Dia berlari lebih kencang. Namun, sosok berjubah hitam tiba-tiba berdiri sekitar sepuluh meter menghadang jalan. Gadis bermanik biru itu berhenti seketika.

"Mau pergi kemana kau, Srikandi?" Lelaki bertudung hitam itu tersenyum dingin setelah berhasil mengejar Srikandi.

Si gadis berselendang putih membulatkan mata. "Kau! Kenapa kau bisa mengejarku kemari? Apa yang terjadi pada Zain?"

"Oh, sepertinya dia sedang sibuk sekarang. Kini tak akan ada yang bisa mengganggu kebersamaan kita," ucap Aditya dengan tawa licik.

"Sialan! Jika terjadi sesuatu padanya. Akan kubunuh kau!" Srikandi berteriak hingga tenggorokannya serak.

"Tak kusangka kau mudah berpindah hati, Srikandi. Padahal aku sudah berusaha memberikan yang terbaik untukmu. Inikah balasanmu?" Aditya berjalan mendekat.

"Hahaha! Lucu sekali! Lucu mendengar kalimat seorang pecandu alkohol, tukang selingkuh, dan pembunuh keji sepertimu!Digunakan untuk apa gelar SM yang melekat padamu? Pengecut! Cuih!" Srikandi melotot sembari membuang ludah.

Merasa diremehkan, Aditya mengeluarkan pedang yang sedari tadi menjadi aksesoris di pinggangnya. Dengan marah dia menghunuskan pedang ke arah Srikandi.

"Akan kupenggal kepalamu untuk diserahkan pada Tumenggung Merah! Aku tak butuh cintamu yang dusta itu! Kini aku bisa memiliki banyak kekuasaan berkat mereka! Habislah, kau!" gertaknya dipenuhi amarah.

Srikandi meletakkan gadis yang ia bawa di sebelah pohon mahoni besar. Ia melingkarkan selendang yang dikenakannya pada gadis itu.

"Dengar! Jangan pernah lepaskan selendang ini apapun yang terjadi! Kau harus bertahan, mengerti? Ini perintah, bukan permohonan," ucapnya pada gadis yang kesadarannya telah hampir habis. Ia berdiri tegap, lantas berjalan menuju lelaki berjubah hitam itu.

Srikandi menatap Aditya dengan seringai. "Hei!" seru Srikandi. "Kau yang mendustaiku dengan dalih cinta, Aditya! Dan Pedang kotor itu tak akan mampu menyentuhku." Sebilah trisula es pun muncul di tangan kanannya.


Kisah Negeri Manunggal Spin-off : Sang Pemanggil Badai  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang