Bab 19 : Mencari Jejak Masa Lalu

14 7 9
                                    

Dermaga Labuhan Dewi

Aroma ikan segar tercium menepi di pelabuhan, menyeruak menggugah perut kucing biru yang tengah lapar. Srikandi berjalan menyusuri jalan batu tepi dermaga. Ia menatap kapal-kapal nelayan yang sibuk mengeluarkan peti ikan. Para penduduk yang menunggu tangkapan laut itu, memenuhi pinggir dermaga kayu yang basah oleh empasan ombak.

Angin menerbangkan anak rambut biru gadis itu. Menyibak aura indah yang terpancar dari wajahnya yang memukau. Bibir merah muda yang terkembang turut menghiasi keelokan rupanya. Bak bunga mawar biru yang baru saja merekah terbuai tetes rintik hujan di pagi hari. Tersentuh cahaya bagaskara yang hangat. Begitulah keindahan yang terhias dari gadis bernama Srikandi.

Saat tengah berjalan, ia tak sengaja mendengar orang-orang berkasak-kusuk membahas sesuatu. Srikandi mendekat ke arah kerumunan anak-anak remaja yang tengah duduk dengan raut wajah serius. Mereka terdiri atas anak usia 12 sampai 15 tahun. Melihat kedatangan gadis bersurai biru yang mereka anggap pahlawan, sontak anak-anak itu berhambur menghampiri.

"Utusan Sura Selatan!" sapa mereka.

"Jangan panggil aku begitu!" cegah Srikandi canggung. "Panggil saja aku Srikandi," imbuhnya.

Anak-anak itu terkekeh geli melihat respon Srikandi yang salah tingkah. "Kami baru melihatmu lagi setelah sekian lama," tegur seorang anak laki-laki cungkring berambut ikal dengan balutan kaos oblong dan celana yang terlihat kebesaran.

"Aku ada sedikit urusan," jawab Srikandi beralasan.

"Apa kau tahu berita yang belakangan hangat di Pelabuhan?" Asya berdiri di sebelah Srikandi memasang wajah serius.

"Tidak. Ada berita apa memangnya?" selidik Srikandi penasaran.

"Ini soal pedang marga Katingga yang dinyatakan hilang. Ada rumor bahwa pedang yang hilang itu kini ada di tangan seorang Satria Manunggal dari Cidewa Hideung," jelas Asya. "Bukankah ini sangat aneh? Harusnya dia mengembalikan pedang itu pada marga Katingga, kan?"

Srikandi terdiam sejenak. Ia tidak mengetahui sama sekali mengenai seluk beluk marga Katingga, apalagi mengenai pedang legendaris yang tengah mereka bicarakan.

"Mungkinkah ia seorang pengkhianat keraton? Kenapa pihak keamanan tidak menangkap pelakunya?" Srikandi terheran.

"Satria Manunggal itu menghilang. Kini keberadaannya tidak diketahui," ujar anak yang lain.

"Ini bisa jadi masalah besar," gumam Srikandi.

"Kalau ia berkeliaran bebas dan menggunakan pedang marga Katingga seenaknya, itu bisa membahayakan banyak orang," ucap Asya cemas.

"Harusnya Keraton Utama sudah menyebarkan brosur pencairan buronan, kan?" selidik Srikandi.

"Ini masih rumor. Kalau benar terjadi pasti rakyat agar geger. Jika, pihak Keraton Utama menyembunyikan berita ini. Artinya mereka tidak ingin dianggap pemerintah yang lalai menjaga benda bersejarah." Si bocah keriting menimpali.

"Tapi, meskipun benda legendaris, marga Katingga yang bertanggungjawab menyimpannya. Bukankah artinya mereka yang lalai dan bukan salah pemerintah?" Asya balik bertanya.

"Heh! Meski marga Katingga yang berwenang menyimpannya. Keraton Utama memiliki andil untuk menjaga keberadaan pedang itu juga. Pedang itu kan warisan berharga bagi negeri Manunggal. Pihak Keraton Utama tak bisa semena-mena lepas tanggungjawab begitu saja. Bagaimana kau ini?" cecar si Keriting.

"Huh, aku 'kan cuma bertanya," ketus Asya yang merasa tersinggung.

Srikandi terkekeh melihat tingkah mereka. "Sebaiknya kalian berhati-hati, kalau rumor itu benar. Bahaya berkeliaran di luar tanpa pengawasan. Kalian harus pulang ke rumah sebelum senja dan jangan bepergian jauh tanpa dampingan orang dewasa. Paham?"

Mereka mengangguk serempak. "Baik!"

Gerombolan anak-anak itu lantas berhambur menuju rumah mereka masing-masing  ketimbang bergosip tanpa henti. Srikandi melambaikan tangan menatap kepergian mereka yang dihiasi keceriaan.

"Aku harus mencari tahu mengenai rumor tadi. Siapa Satria Manunggal yang berasal dari Cidewa Hideung itu? Aku juga harus menyediliki Zain. Bagaimana kalau kita manfaatkan rumor itu untuk mendekati Zain dan mencari tahu?" tanya Srikandi pada Bulbul.

Namun, ketika menoleh ia tidak mendapati si kucing biru di dekatnya.

"Loh? Bulbul! Bulbul!" Srikandi mengedarkan pandangan mencari keberadaan sang pengawal berwujud makhluk hitam. "Kemana perginya kucing itu?"

"Kau mencari hewan peliharaanmu?" tegur seseorang.

"Dia bu... kan...." Ucapan Srikandi terpotong tatkala ia melihat Zain tepat berada di belakangnya. "Eh, kenapa kau bisa berada di sini? Sejak kapan?" Ia terkejut menatap pemuda itu sudah berdiri tersenyum di belakangnya.

"Sejak kau celingukan mencari makhluk biru itu," jawabnya simpul. Ia lalu menunjuk ke arah dermaga.

Sontak bola netra Srikandi membulat melihat si kucing biru tengah asyik menyantap ikan segar dari para nelayan. "Bulbul!" pekiknya.

***
K

ediaman Srikandi, Desa Adipura

Garin melipat tangan menatap tajam Zain yang duduk berhadapan dengannya. Sementara, raut wajah lawan bicaranya terkesan santai tanpa ekspresi. Srikandi duduk di kursi tengah menatap dua orang di depannya bergantian.

Zain memang mencari Srikandi dan secara kebetulan ia berhasil bertemu gadis itu di Labuhan Dewi. Sementara, saat perjalanan menuju kabin, mereka berpapasan dengan Garin yang memiliki tujuan sama.

Gelas yang berada di atas meja bergetar sebab lutut Garin tak henti bergerak. Tungkai pemuda berambut hijau itu bergerak seirama dengan telapak kakinya yang mengantuk-antuk ke ubin kayu. Zain membuang pandang enggan peduli melihat pemuda di hadapannya.

Srikandi yang kesal akan sikap aneh Garin menepuk permukaan meja hingga benda itu terselimut es. Gelas pun menjadi diam karena menyantu beku dengan meja. Asap dingin mengepul dari benda itu. Garin bergegas berdiam diri, khawatir dirinya ikut dibekukan Srikandi.

"Nah, udara siang ini sejuk rasanya sekarang, " celoteh Srikandi tersenyum skeptis menatap Garin.

Garin menelan ludah lantas pura-pura tak ingin peduli.

Zain terkekeh menatap air yang disuguhkan sang tuan rumah kini berubah menjadi es batu. Ia tak menghiraukan jamuan di atas meja yang berselimut salju. Pemuda itu langsung tertuju pada gadis bersurai biru yang duduk di antara kursinya dan Garin.

"Aku sudah melapor pada Keraton Utama. Upah yang kau amanatkan untuk warga Karangchetek pun sudah kuberikan," ucapnya memecah kecanggungan.

"Lalu, untuk apa kau datang menemuiku?" Srikandi menjawab agak ketus untuk menutupi niat terselubungnya menyelidiki Zain.

Pemuda berbusana ala timur tengah itu lantas mengeluarkan sebuah benda dari sakunya. Benda itu terbungkus sebuah kain usang bernoda tanah. "Aku bertemu seseorang yang meminta untuk memberikan benda ini padamu."

Srikandi menerima pemberian Zain lantas membukanya. Isi bungkusan kain itu adalah patahan permata berwarna biru. Tampak seperti liontin yang telah tercerai berai. Bulir air matanya seketika terjun tanpa peringatan.

"Eh, kenapa aku menangis?" ucapnya terkejut.

Tiba-tiba penglihatannya berputar. Menampakkan pemandangan buram yang perlahan kontras. Ia berdiri di antara mayat manusia dan makhluk hitam yang bergelimang dan aroma besi bercampur darah. Langit mendung seolah turut mendukung suasana kala itu. Rintik hujan bahkan mulai membasahi tubuh Srikandi yang berlumuran darah. Ia melihat sesosok pria yang berusaha bangkit susah payah. Pria itu terhuyung dengan wajah penuh luka dan kesedihan. Dananjaya menatapnya dengan linangan air mata seolah kala itu ialah detik terakhir pertemuan mereka. Lalu, suara benda retak terdengar dan semua yang ada dihadapannya berubah menjadi putih seketika.

Kisah Negeri Manunggal Spin-off : Sang Pemanggil Badai  Where stories live. Discover now