Bab 22 : Sosok dari Masa Lalu

20 7 14
                                    

Pantai Labuhan Dewi

Srikandi berdiri menghadap deburan ombak yang memecah batu karang. Ia dapat melihat sang mentari tenggelam menuju belahan bumi lain di ujung garis laut yang terbentang horizontal. Surai biru gadis itu turut terbawa desahan lembut angin yang datang dari arah laut. Sorot matanya luruh beserta nuansa jingga yang perlahan larut menjadi biru gelap.

Selendang yang Zain kalungkan turut bergerak terembus angin. Garin berjalan mendekat dari belakang. Raut wajah pemuda itu tampak penuh dengan perasaan gundah.

"Kau yakin dengan keputusanmu?" tanyanya seakan ingin memastikan lebih jelas.

Srikandi menoleh, tak ada lengkungan di bibirnya yang merona. "Kau ingin tahu apa yang kulihat ketika bertapa kemarin?"

Garin berdiri mensejajarkan diri dengan Srikandi. "Aku sangat senang jika kau ingin menceritakannya."

Gadis bermanik biru itu menghirup napas dalam-dalam, menutup matanya beberapa saat, lantas mengembuskan udara dalam rongga dadanya melalui mulut perlahan. "Gar, apa kau percaya kalau beberapa manusia di masa lalu, kembali menjalani kehidupan di masa sekarang dalam wujud sosok lain?"

Pemuda bertubuh tegap itu tak langsung menjawab. Ia memasukan tangannya ke dalam saku celana. "Kurasa tidak mustahil hal itu bisa terjadi. Kenapa kau menanyakan hal itu?"

"Aku melihat kehidupan masa lalu seseorang, Garin. Garis kehidupannya penuh dengan berbagai macam petualangan. Ia hidup penuh perjuangan dan beragam kisah bahagia. Kehidupannya yang semula dingin seperti Antartika berubah setelah bertemu seorang pria. Ia seperti mendapat pelita di tengah kegelapan malam. Pria itu membuatnya melakukan pengorbanan besar. Namun, ia berhasil menyelamatkan banyak orang." Srikandi mengambil napas sebelum lanjut bercerita.

"Apa dia membenci pria itu?" tanya Garin.

"Tidak, justru sebaliknya. Dia sangat mencintai pria itu lebih dari dirinya sendiri. Dia sangat berterimakasih sebab dengan mengorbankan jiwanya demi membantu pria itu, ia dikenal menjadi sosok legendaris." Ujung kaki Srikandi menendang kerikil hingga benda itu terpental menghampiri ombak.

"Bukankah karena pria itu hidupnya mengalami banyak kesulitan?" Garin merasa heran.

Kini Srikandi tersenyum tipis menatap lawan bicaranya. "Mereka bahagia, Garin. Hanya saja semesta menguji mereka dengan berbagai macam hal. Mereka hidup bukan demi kebahagiaan sendiri. Ada tanggungjawab besar yang membuat mereka harus banyak berkorban bagi banyak orang."

"Menurutku mereka hebat, tetapi menyedihkan pada saat bersamaan," imbuh Srikandi sebelum berbalik hendak meninggalkan tepi pantai.

Aroma asin lautan terhidu lembut, sesekali menusuk sebab tersapu angin. Srikandi mengarahkan tungkainya menjauhi pesisir. Ia berjalan menuju arah pulang. Garin membisu di belakang gadis bersurai biru itu. Ia masih ingin banyak bertanya mengenai kesepakatan yang Srikandi buat dengan Zain. Namun, niatnya urung. Ia merasa segan bertanya saat melihat suasana hati Srikandi tampak seperti air sungai yang baru saja terkena hujan, keruh.

"Aku sudah bulat dengan keputusanku, Garin." Gadis bermanik biru laut itu malah menjawab tanpa sempat ditanya.

"Kenapa kau berani bertindak sejauh ini?" Garin tak habis pikir akan keputusan Srikandi.

"Kau akan tahu jawabannya nanti. Ada beberapa hal yang tampak salah, tetapi sebenernya adalah kebenaran. Dan ada beberapa hal yang tampak benar, tetapi sesungguhnya adalah kesalahan." Srikandi melanjutkan tungkainya merambati jalan setapak malam itu.

"Tapi, haruskah dengan cara menempatkan Zain disisimu?" Garin merasa cemas.

***
K

ota Pangestu, Sunyoto

Zain dan Srikandi bersembunyi di balik semak-semak. Mereka mengikuti seseorang yang belakangan ini keluar masuk kedai bir dan berjudi. Orang itu merupakan pendatang baru yang tak diketahui identitasnya.

"Orang yang kau cari adalah dia." Zain berbisik dengan tubuh merunduk.

Srikandi menatap lekat sosok dalam balutan penutup wajah dan jubah hitam. Sosok itu duduk menghadap jendela dengan lampu kedai berwarna jingga. Srikandi menoleh ke arah Zain. "Hei, dengar! Kau berhutang banyak jawaban untukku."

Zain tersenyum simpul. Tampak wajah tampannya yang meneduhkan menggelitik batin Srikandi.

Sial! Jangan tersenyum! Orang tampan curang kalau tersenyum. Srikandi menggerutu dalam hati.

"Itu poin yang belum waktunya kau gunakan. Saat ini kita harus mengawasinya sebaik mungkin," jawab Zain.

"Aku sama sekali tak mengerti jalan pikiranmu." Srikandi menggelengkan kepala. "Kalau dia orang yang kucari selama ini. Lantas, kenapa kau berkata terlibat dalam pembunuhan keluargaku?"

"Saat kejadian itu menimpa keluargamu. Aku berada tak jauh dari sana. Seandainya aku bisa merasakan ancaman yang menghampiri keluargamu, mungkin aku bisa menyelamatkan mereka. Malam itu aku tengah bertugas menyelidiki orang yang memegang pedang marga Katingga. Aku kehilangan jejaknya di sekitar kediaman keluargamu." Zain tampak memendam penyesalan.

"Aku yakin pembunuh dan pemegang pedang itu adalah orang yang sama. Dia pasti menggunakan pedangnya untuk menutupi aura tubuh di sekitarnya, sehingga sulit dideteksi oleh para prajurit Manunggal," lanjutnya.

"Aku menyelidiki pelakunya sampai sebelum ditugaskan untuk membantumu melawan Sarpasapta. Aku pun sampai di Labuhan Dewi untuk mengejar orang itu ketika jejaknya hampir terbongkar di Cidewa Hideung," pungkas Zain.

"Jadi, kau datang ke sini untuk mengejar pelakunya? Lalu, permata itu?" Kening Srikandi menggurat.

Zain hanya menoleh sesaat, lalu kembali menatap orang yang tengah mereka buntuti. Srikandi menyenggol bahu Zain hingga ia tersungkur ke tanah.

"Hei!" omelnya dengan suara berbisik.

"Rahasia. Akan kujawab jika permohonanku bertambah menjadi dua," kekeh Zain.

"Aku akan menantangmu bertarung setelah semua masalah ini selesai. Aku sungguh-sungguh! Awas saja, kau!" ancam Srikandi. Matanya melotot tajam.

Zain tersenyum geli.
Kau pasti lega karena bukan aku pelakunya. Karena jika aku pelakunya kau tak akan mampu membunuhku, Srikandi.

Sia-sia saja aku mencurigainya selama ini. Kalau tahu akhirnya akan seperti ini, lebih baik aku bertanya langsung sejak awal.
Srikandi menyesali pilihannya. Ia terdiam beberapa saat.

"Lalu, apa maksudmu dengan mengetahui sesuatu tentang sang Dewi Air ?" cecar Srikandi kebingungan.

"Ada hal yang harus kau ketahui lebih dalam. Tapi, sekarang belum saatnya." Zain bangkit dan kembali mengintai targetnya dengan waspada.

Secara kebetulan target yang mereka buntuti keluar dari kedai. Ia tampak mabuk dan jalan tertatih-tatih. Srikandi buru-buru berdiri hendak menyergap sosok tersebut. Namun, Zain menarik cepat tangan kiri gadis itu.

"Belum saatnya," bisik Zain. "Malam ini kita hanya perlu mengikutinya sampai tempat ia bersembunyi."

"Sial!" umpat Srikandi.

Namun, saat mereka melihat jejak target itu. Sosok yang diintai raib entah kemana. Srikandi buru-buru berdiri sebab panik.

"Kemana perginya orang itu?" ujarnya.

"Kau mencariku?"

Begitu menoleh ke belakang. Sosok yang mereka intai sudah berdiri dan bersiap menghunuskan pedang. Sosok itu membuka penutup wajahnya dan tersenyum skeptis menatap Srikandi.

"Kau!" pekik Srikandi terkejut.

"Lama tak berjumpa, Srikandi." Sosok itu menatap tajam.

Kisah Negeri Manunggal Spin-off : Sang Pemanggil Badai  Where stories live. Discover now