Bab 17 : Kehilangan Tangan Kanan

17 8 6
                                    

Desau angin menerbangkan rambut milik Bulbul yang lebat. Ia berdiri gagah dalam wujud singa biru menghadap pesisir pantai.
Srikandi duduk di atas punggung singa biru itu.

"Kau yakin akan pergi begitu saja?" Garin bertanya memastikan.

"Aku sudah menyelesaikan tugas dari Putri Nilam Sari. Ia mengirimkan pesan, agar aku kembali ke rumah terlebih dulu saat ini," balas Srikandi.

"Apa kau tidak ingin bertemu dengan Rianti?" Garin kembali bertanya seolah ia tidak ingin kehilangan jejak Srikandi untuk kedua kalinya.

Gadis bersurai biru itu menghidu udara lekat-lekat, lantas membuangnya kasar. "Bertemu denganku hanya akan membangkitkan traumanya, Garin. Apa kau tak ingat apa yang sudah terjadi sebelum ini? Kurasa ia perlu waktu untuk mengembalikan kondisinya yang kacau. Aku tak ingin memperburuk keadaan."

Garin terdiam tak mampu menjawab ucapan Srikandi.

"Kau tahu di mana tempat untuk mencariku. Aku tak akan pergi ke tempat jauh sementara ini. Sepertinya." Bibir kemerahan Srikandi yang menawan memamerkan senyum tipis.

Langkah berat terdengar mendekat ke arah mereka. Keduanya lantas menoleh bersamaan mendapati Zain menghampiri. Pemuda berbusana khas Timur Tengah itu memasang wajah dingin.

"Aku akan ikut melepas kepergianmu," ucapnya singkat.

"Lalu, kau dan pasukanmu?" tanya Srikandi.

"Kami harus melaporkan kejadian ini pada Keraton Utama. Jadi aku dan yang lain harus pergi ke Kadipaten Pancer terlebih dahulu. Di mana aku harus menemuimu setelah mendapat hadiah dari Keraton Utama?" Zain memastikan.

Srikandi tersenyum. "Tak usah, berikan saja hadiah itu pada warga persisir Karangchetek. Mereka lebih membutuhkannya ketimbang aku."

"Kau yakin? Hadiahnya bisa senilai jutaan argo. Makhluk yang kau bunuh adalah sosok legendaris yang menghilang ratusan tahun silam." Zain berusaha menyakinkan.

"Itu permintaan sang Sura Selatan. Katakan saja pada pihak Keraton Utama, utusan Sura Selatan telah menyelesaikan tanggungjawabnya. Aku pergi dulu." Srikandi memeluk Bulbul dengan tangan kirinya. Tangan kanan gadis itu terbalut perban dalam posisi lurus tak dapat digerakkan.

Srikandi lantas berlalu menunggangi Bulbul menembus angin pesisir pantai. Meninggalkan jejak kaki singa biru itu yang tercetak di pasir putih. Ombak mengais jejaknya hingga tak tersisa bayangan kepergian Srikandi di sana.

***
D

esa Adipura, Labuhan Dewi

Aroma hutan menguar menusuk hidung. Dingin angin malam dan suara sahutan serangga malam menggema dari penjuru arah. Pepohonan besar nan rimbun berjejer seperti pasak yang kokoh. Sesekali dedaunan bergoyang terembus angin malam.

Srikandi berhenti tepat di depan rumah kabinnya yang gelap gulita. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali menginjakkan kaki di kediamannya. Gadis bermanik biru laut itu turun dari punggung Bulbul. Singa biru gagah itu pun berubah wujud menjadi kucing biru bersirip, bertengger pada bahu Srikandi.

"Akhirnya kita pulang ke rumah," lirih Srikandi. Bibir meronanya melengkung sedikit ke atas merasa lega bisa mengistirahatkan diri setelah banyak kejadian terjadi.

Lampu-lampu temaram ia nyalakan begitu memasuki rumah. Debu menyambut kepulangannya. Ia hanya ingin merebahkan diri di kasur setelah perjalanan panjang. Ketika baru saja mendaratkan pantat di atas ranjang, suara gemuruh perut membuatnya terhenti.

"Aku lupa kapan terakhir kali makan," kekehnya menatap Bulbul canggung.

"Aku juga lapar," tandas Bulbul yang memperlihatkan perut gembulnya.

Srikandi tertawa kecil. "Kita tidak punya stok makanan. Kurasa makanan di lemari pendingin sudah tak layak. Berapa lama kita pergi dari rumah?" terkanya bertanya-tanya sendiri.

"Kau diam saja di rumah. Hidupkan saja tungku, aku akan mencari ayam hutan ke luar." Bulbul lantas melompat ke luar jendela yang kala itu sengaja Srikandi buka.

Srikandi memandangi tangan kanannya yang mati rasa. Ia terngiang ucapan tabib yang mengobati di Karangchetek. "Tangan kananmu sudah tak berfungsi, Nak. Ia tak akan bisa kau gunakan lagi selamanya."


***
A

lam Bawah Sadar Srikandi

Tungkai Srikandi berjalan di atas genangan air hitam dan keruh. Ia menelusuri lorong gelap dengan cahaya di ujung jalan. Entah sudah berapa lama ia berjalan, tetapi cahaya itu tak kunjung sampai ia tuju. Tetes demi tetes air sesekali membasahi wajah dan bahunya.

"Ini bukan mimpi yang biasa kualami," lirihnya tatkala menyadari tak bisa mengendalikan tubuhnya sama sekali. Ia bagai tersihir untuk menapaki jalan gelap lorong itu.

Langkah Srikandi terhenti ketika sesosok gadis kecil bergaun putih dengan hiasan pita merah berdiri di depannya. Gadis kecil itu berdiri membelakangi lantas berlari sembari mengeluarkan tawa yang getir. Entah kenapa bulir air mata menetes dari sudut netra Srikandi. Berlanjut hingga bulir itu pun menjadi deras disertai wajah sendu menahan rasa sakit. Tungkai gadis itu mengayuh cepat mengejar si gadis kecil. Hingga, sinar silau membutakan penglihatan Srikandi.

"Teteh!" Suara tak asing menggema di telinga Srikandi.

Ia membuka netra cepat memastikan si pemilik suara ialah orang yang dikenalnya.

Sentuhan lembut tangan mungil menggenggam jemarinya. Sosok gadis kecil itu berdiri di depannya dengan seulas senyum sejuk dan manis. Bulir mata kian deras membasahi pipi Srikandi yang kemerahan. Tungkai gadis itu melemas, hingga ia pun jatuh terduduk memeluk sosok di depannya.

"Gayatri, adikku!" tangisnya pilu.

"Te-teteh, ja-jangan nangis." Gadis kecil bergaun putih berkata menahan tangis.

"Apa aku sudah mati? Aku senang bisa bertemu denganmu," isak Srikandi memeluk erat Gayatri.

Gayatri mendorong tubuh sang kakak pelan. "Tidak, kau tidak boleh mati secepat itu. Tugasmu baru saja akan dimulai, Teh."

"Aku tak sanggup memendam semuanya sendiri. Kau, satu-satunya orang yang mencintaiku dengan tulus, Gayatri. Bagaimana bisa aku kehilangan adikku secepat ini." Srikandi luruh dalam duka.

"Teteh, ini sudah kehendak-Nya. Meski aku tidak mau memiliki akhir hidup seperti ini, tetapi Dia yang telah menentukannya. Kamu jangan bersedih, aku senang di sini. Aku bisa makan makanan apa pun tanpa dilarang. Aku bisa bermain sepuasnya tanpa kenal waktu. Dan aku tinggal di tempat indah yang tak bisa kutemukan di Manunggal." Senyum polos tersunging di wajah lugu Gayatri.

Srikandi memasang senyum getir sembari mengusap air matanya. "Lalu, dimana Ayah dan Ibu?"

Gayatri terdiam beberapa saat. "Mereka berada di tempat yang berbeda denganku. Namun, mereka pasti baik-baik saja."

"Syukurlah," gumam Srikandi lega.

"Teteh, ada pesan yang harus aku sampaikan. Kau harus menemukan pembunuh keluarga kita. Orang itu memiliki petunjuk untukmu menyelesaikan tugas selanjutnya," jelas Gayatri yang terdengar terburu-buru.

"Aku pasti akan menemukannya! Keparat itu tak akan kulepas begitu saja!" geram Srikandi.

"Teh, ingat jangan terliputi dendam. Dia memang layak dihukum, tetapi jangan sampai hatimu kotor karenanya." Gayatri mengusap sisa bulir air mata di pipi Srikandi. "Ia memakai penutup wajah seperti sorban."

Deg!

Seketika Srikandi terbayang seseorang. "Katakan bagaimana ciri-ciri orang itu!"

Kisah Negeri Manunggal Spin-off : Sang Pemanggil Badai  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang