Bab 2 : Melarikan Diri

29 9 5
                                    

KCAK, Sunyoto

Suara gemuruh lajur kereta terdengar begitu jelas. Srikandi memandang ke luar jendela dengan raut penuh kegundahan. Ia menopang dagu, duduk pada kursi yang hanya terisi olehnya saja. Penumpang lain melirik sembari berbisik-bisik memperhatikan. Tentu saja sebab rupanya yang jelita disertai penampilan surai biru mencolok, membuat mereka terheran. Bila ia ikut kontes kecantikan, pastilah akan menjadi pemenang. Pun bisa mengalahkan kecantikan selir-selir raja.

Tampak seorang perempuan dengan gelungan rambut dan seragam rapi menghampiri. Ia hendak memeriksa tiket para penumpang. Langkah perempuan itu pun terhenti di sebelah tempat duduk Srikandi. Srikandi tak acuh membiarkan si wanita berdiri memasang senyum ramah sembari setengah membungkuk.

"Nuwun sewu...." Belum sempat menyelesaikan ucapan, Srikandi menoleh lalu merongoh saku tas selempang hitam yang disimpan di atas meja. Ia pun menyerahkan tiket sembari memasang senyum dingin.

"Mbak, saking kadipaten pundi?" Senyum ramah terukir dari wajah si perempuan berkulit sawo matang.

Srikandi menoleh, bibirnya mengulum sembari tersenyum tipis."Maaf, Mbak saya tidak paham bahasa Kadipaten Sunyoto." Ia duduk menghadap si perempuan.

"Oh, begitu rupanya. Selamat datang di Kadipaten Sunyoto. Semoga perjalanannya menyenangkan. Nona sangat cantik sekali," puji perempuan itu.

Srikandi tersenyum simpul. "Terima kasih."

Perempuan itu pun berlalu menghampiri penumpang lain. Si gadis bersurai biru kembali memandang ke luar jendela. Kalau saja ia menemukan lelaki yang dicintainya, mungkin orangtuanya tak akan bersikeras menjodohkan dengan Aditya. Namun, ia sendiri pun bingung karena selama ini Aditya satu-satunya lawan jenis yang ia kenal. Kesal mengingat hal itu, dia menggebrak meja dengan kencang. Sampai orang-orang yang sedari tadi mencuri pandang seketika terdiam dan memalingkan wajah.

"Cantik, tapi galak," bisik seorang pemuda dari kejauhan.

Srikandi menghela napas panjang, ia memijit kening dengan kepala tertunduk. Ia habis mengepak koper serta barang-barang pribadinya di tengah malam. Ia pun mematikan gawai agar keberadaannya tak diketahui.

"Usiaku baru 17 tahun, apa tidak terlalu cepat mereka memintaku bertunangan? Aku ingin menikah dengan orang yang benar-benar kucintai dan juga mencintaiku dengan tulus," gumamnya menyandarkan bahu.

***

Kediaman Raden Dwi Atmojo, Kota Pangestu, Sunyoto

Koper berukuran besar ia gusur menaiki tangga sebuah rumah joglo mewah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Koper berukuran besar ia gusur menaiki tangga sebuah rumah joglo mewah. Srikandi berdecak kagum menikmati keindahan arsitektur khas Sunyoto, Cidewa Hideung tidak seantik ini pikirnya. Warna kayu jati yang mengkilap membawa kesan mistis melekat. Semua keunikan itu semakin membuat Srikandi takjub, apalagi saat memasuki rumah. Senjata tradisional dan benda antik seperti guci-guci langka tertata apik di dalam. Perempuan bersanggul dengan kemben batik menghampiri. Membawa koper yang digusur Srikandi, lalu pamit masuk ke bagian lain rumah. Perempuan lain berpakaian serupa menyuguhkan air minum dan cemilan khas daerah Sunyoto.

Kisah Negeri Manunggal Spin-off : Sang Pemanggil Badai  Where stories live. Discover now