Bab 7 : Berkabung

27 5 10
                                    

KCAK, Sunyoto-Cidewa Hideung

Srikandi duduk bersandar pada bantalan kursi kereta api, netra biru gadis itu menoleh ke luar menatap pemandangan yang sama sekali tak membuat perasaannya lebih baik. Ia menopang dagu, garis bibirnya melengkung ke bawah sedikit mengerucut.

"Nih!" Garin menyodorkan sebotol air mineral lantas duduk di sebelah gadis bersurai biru itu.

"Kalau tidak mau aku di sini, aku turun di stasiun selanjutnya saja," ujarnya melirik sembari meneguk air.

Srikandi mengatur raut wajahnya yang sudah pasti kusut bagaikan pakaian belum di setrika. "Kan sudah kubilang, aku mau pergi sendiri," sungutnya masih marah.

"Ya, aku tahu."

"Lalu, kenapa kau ada di sini?" cecar Srikandi kesal.

"Kau yakin pergi tanpa ditemani? Aku sudah berbaik hati begini meluangkan waktu untukmu. Tapi, kalau memang tidak mau yasudah." Garin acuh.

"Ya ampun, terima kasih sudah mau menemaniku wahai pendekar baik hati," ucap Srikandi mengejek.

"Kujamin kau tak akan menyesal membawaku." Pemuda berkaos merah dan celana jeans itu tersenyum tipis.

Mereka terdiam beberapa saat, sebelum Garin kembali menelisik rasa penasarannya.

"Kandi," ucapnya. "Apa kau tak ingat kejadian kemarin saat di bawah pohon Kencana?"

Srikandi menautkan kerutan keningnya diiringi pupil melebar, mendelik menatap Garin. "Kau mau bilang aku membuat kerikil es berterbangan lagi?"

"Apa kau tak sadar sudah melakukan itu?" selidik Garin.

"Ck! Darimana pula aku bisa membuat benda seperti itu, bela diri saja tidak bisa, bagaimana mungkin aku memiliki kekuatan mengenda ...." Ucapan gadis itu terhenti seketika dengan raut wajah berubah drastis menjadi panik.

Tunggu! Bukannya aku bisa bernapas dalam air? Artinya apa yang Garin katakan bisa saja terjadi, kan? Tapi, bagaimana bisa aku melakukannya tanpa sadar!

Srikandi menoleh cepat pada Garin. "Apa kau melihat caraku melakukannya?"

"Tentu saja, kau bahkan sampai membunuh seekor burung Pipit malang."

"A-apa? Aku membunuh seekor burung? Ta-tapi aku tak sengaja. Bagaimana ini?" Srikandi merasa bersalah.

"Burung itu sudah kukubur dengan layak, tenang saja." Garin menepuk pundak Srikandi, menenangkan gadis itu.

Jemari lentik sang gadis bersurai biru menepis tangan Garin kasar. "Siapa yang mengizinkanmu menyentuhku?" bentaknya.

"Aih, kemarin kau diam saja tuh. Jangan emosian begitu, wajahmu jadi tampak seperti kanin. Seperti ini, nih!" Garin membuat wajah konyol dengan menarik kedua ujung matanya menggunakan jari, sehingga tampak sipit bagaikan mata kanin.

Srikandi kembali memukul pemuda di sebelahnya. "Tidak lucu!"

"Hei, kau ini tidak sopan dasar bocah tengil! Aku itu lebih tua dua tahun darimu." Garin mengusap bekas pukulan Srikandi yang lumayan sakit.

Gadis bermanik biru gelap itu membuang wajah masam.

***

Kemarin Malam, Kediaman Raden Dwi Atmojo

"Saya menghadap Raden." Garin memberi salam pada sang majikan yang tengah duduk di kursi ruang tengah rumah berarsitektur joglo.

"Kau pengawal pribadi yang sudah kupercaya, Garin. Aku tak meragukan kemampuan bertarungmu yang setara dengan SM tingkat Cendrawasih. Untuk itu aku mengutusmu untuk menjadi pengawal keponakanku." Raden Dwi Atmojo mengisap tembakaunya sebelum melanjutkan percakapan.

"Saya berhutang budi pada Raden. Apa pun perintah Raden akan saya penuhi." Garin menunduk pertanda memberi hormat.

"Kawal dia sampai kembali kemari. Bagaimana pun caranya. Laporkan apa pun yang terjadi tanpa terkecuali. Aku tahu kau sudah melihat kemampuannya," ucap Raden Dwi Atmojo.

Garin mendongak. "Dia bisa mengendalikan unsur air, Raden."

"Belum, Srikandi harus bisa memahami apa yang dia miliki dan mengontrolnya dengan benar."

"Lalu, bagaimana cara saya mengawalnya bila dia tidak ingin ditemani, Raden?" Garin ragu.

Raden Dwi Atmojo terkekeh. "Kau itu banyak membuat perempuan bertekuk lutut. Masa membujuk satu orang gadis saja tidak bisa? Srikandi gadis yang lembut. Perangainya kasar karena hal yang belum kau pahami. Kelak kau akan mengerti kenapa gadis itu bersikap demikian."

Garin menahan senyum malu lantas kembali tertunduk, memikirkan cara untuk bisa mengikuti gadis pemarah itu pulang ke kampung halamannya.

***

Masa Sekarang, KCAK Menuju Cidewa Hideung

Garin berhasil mengikuti Srikandi tanpa izin. Ia tiba-tiba saja duduk di sebelah gadis itu saat kereta hendak berangkat. Maka pantaslah wajah Srikandi semrawut. Sepanjang jalan mereka tak banyak mengobrol. Hanya saling melirik lalu acuh kembali.

Pemuda berambut cokelat itu ingin memastikan cara Srikandi mengeluarkan kekuatan. Namun, ia ragu untuk mengujinya. Sejauh yang ia amati. Melihat kejadian kemarin, gadis itu mampu mengendalikan unsur air ketika tengah marah.

"Apa kau sudah lama menjadi pengawal Raden Dwi Atmojo?" Tiba-tiba saja Srikandi melontarkan pertanyaan, walau wajahnya tak menoleh dan fokus melihat keluar jendela.

"Aku mengikuti beliau dari kecil. Orangtuaku terlilit hutang dan hampir dipenjara oleh PM karena terlibat dengan lintah darat. Beruntung Raden Dwi Atmojo menolong keluargaku. Sebagai gantinya aku harus mengabdikan hidup di sisi beliau," tutur Garin datar.

Srikandi menoleh. "Apa kau menyesal?"

"Tidak. Aku malah bersyukur. Aku mendapat kehidupan yang cukup, bisa belajar bela diri, serta menghidupi orangtuaku. Walau kami jarang bertemu." Garin tersenyum kecut.

"Apa kau menyayangi orang tuamu?" tanya Srikandi. Warna wajahnya berubah menjadi kelabu.

"Hmm ... kurasa aku memiliki keluarga yang sederhana. Banyak cerita pahit, tapi aku menerima keadaan ini." Garin bersandar pada bantalan kursi.

"Dulu, aku sangat membenci sikap orangtuaku. Mereka selalu mengatur sesuka hati, tanpa mempedulikan pendapatku. Hal itu berlanjut hingga sekarang. Kukira kehilangan keluarga seperti mereka bisa membuatku lega. Tak kusangka, rasa cinta dalam hati ini lebih besar dibanding rasa kecewa yang kuterima." Bulir bening mengalir dari sudut mata gadis bersurai biru itu.

Garin menggeser botol mineral yang tadi ia beri ke depan Srikandi. Gadis yang duduk di sampingnya tak merespon, hanya terdiam memendam sesal.

***

Rumah Aditya, Cidewa Hideung

Pemuda tampan bertubuh kekar dan tinggi duduk di kursi taman yang dikelilingi tanaman hias mahal. Ia mengenakan kaos putih dan celana chinos selutut. Raut wajahnya tampak melamun dan termenung memandang kosong ke depan.

Sejak kepergian Srikandi tanpa sepengetahuannya. Ia menjadi kalang kabut. Ia mengerahkan semua koneksi yang dimiliki untuk mencari keberadaan Srikandi. Namun, usahanya tak menuai hasil. Raden Dwi Atmojo lebih rapat melindungi keberadaan gadis itu hingga tak berhasil ditemukan.

"Aditya! Tunanganmu sudah ditemukan!" Pemuda jangkung dalam balutan seragam PM berlari ke arahnya dari gerbang halaman.

Seketika pemuda yang dipanggil berdiri dan tersenyum semringah. "Dimana kau menemukannya?"

"Dia baru saja turun dari Kereta di Stasiun Kota Kembang," lapor pemuda berseragam PM itu.

"Akhirnya aku menemukanmu, Srikandi! Aku akan segera menyusulnya sekarang," ujar Aditya penuh semangat.

"Tapi ... dia datang bersama seorang pemuda."

"Mungkin itu kerabat jauhnya, mereka pasti datang kemari untuk melihat makam keluarga Srikandi." Aditya tampak berpikir tanpa banyak curiga.

Tumben bocah gendeng ini enggak cemburu buta, batin si PM.

"Kalau bukan kerabatnya tinggal kuhabisi saja, kan?" Aditya terkekeh kecil.

Kisah Negeri Manunggal Spin-off : Sang Pemanggil Badai  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang