BAGIAN 39

270 23 18
                                    

÷÷÷

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

÷÷÷

Robin menghampiri kamar Mamanya dengan perasaan lega setelah mendengarkan suara kekasihnya. Senyumnya terbit begitu saja jika mengingat gadis polos itu.

"Ma ... "

Tangannya terhenti membuka kenop pintu sebab ia mendengarkan perbincangan Mamanya dengan seseorang.

Bibirnya sedikit naik ke atas, sepertinya telinganya harus dibersihkan. Keliatan sekali jika Mamanya tak memanggilnya, tau gitu ia malanjutakan obrolannya dengan Zahin.

Belum juga berbalik badan, kakinya terhenti dengan sendirinya saat perbincangan mereka menyebut namanya.

"Lo serius nerima hubungan Robin sama cewek itu? Seriously? Like not you."

Dia mendengar perbincangan mereka, namun ia ingin lebih memastikan jika yang di dengarnya adalah salah. Robin tak mau salah paham karena tidak mendangar secara keseluruhan.

"Ck, kalaupun gue mati juga nggak akan nerima cewek itu. Sekali nggak ya nggak."

Matanya meredup, ulu hatinya terasa nyeri. Sebegitu benci kah Hazel dengan Zahin. Ia bahkan tak tau bagaimana sifat, kelakuan, dan perasaan Zahin. Mamanya hanya menilai orang dari kekayaan yang dipunya.

"Terus lo bohongin anak lo sendiri?"

"Eum... Yep, tapi ini untuk kebaikannya. Demi kebahagiannya."

Matanya memanas secara tiba-tiba, amarah, kecewa terkelubung menjadi satu. Dadanya sesak sesaat mendengarkan kata demi kata yang terlontar di bibir Mamanya.

Kebaikannya, jika benar untuk kebaikannya kenapa detik ini juga ia merasa sakit, saat ini Robin sedang tidak baik-baik saja.

Jika memang untuk kebahagiannya, kenapa ia tak bahagia. Justru kecewa yang didapatanya, sebenarnya ini untuk kebahagiannya atau kebahagiannya Mamanya.

Ada rasa dimana ia merasa bodoh mempercayai Hazel, padahal dia sering di tipu dengan hal yang hampir serupa namun tetap saja Robin percaya. Apakah salah mempercayai seorang ibu?

Punggung tangannya secara bergantian bergerak menghapus jejak air di wajahnya. Berbarengan dengan langkah kaki yang bergerak cepat walaupun tak tau akan tempat tujuannya. Ia hanya ingin menjauh dari Hazel, ibu kandungnya.

Dari yang tadinya berjalan, hingga akhirnya berlari. Sekelebat detik ia teringat Zahin, detik itu pula ia tau tujuannya terus bergerak.

Robin bergegas mengutak-atik ponselnya. Padahal biasanya ia mudah menggunakan benda elektronik ini, tapi entah kenapa sekarang untuk mencari nomor Zahin saja seperti mencari nomor yang tidak dinamai.

"Za... hin a-ku ma-u pu-lang," katanya dengan ponsel ditelinga, dengan suara tersendat-sendat layaknya orang yang habis berlari.

"Hah? suara kamu nggak jelas? kamu bilang pulang? beneran pu-lang? pulang ke sini?" tanya balik gadis itu.

Zahin to RobinWhere stories live. Discover now