BAGIAN 22

812 69 52
                                    

÷÷÷

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

÷÷÷

Robin masih menggendong Zahin di jalanan yang lumayan sempit. Sesekali ia meringis ataupun menahan sakit saat kakinya menginjak kerikil-kerikil kecil. Sepatunya memang masih di pakai Zahin, Robin juga tak ada niatan untuk mengambilnya.

Robin melihat sekeliling. Kanan jalan berisi sungai yang sudah menghitam dan di sisi lain terdapat sampah yang menggunung. Robin heran ternyata di Ibu Kota masih ada yang seperti ini.

Mungkin karena dia terbiasa hidup di sebuah komplek perumahan mewah jadi kaget saat melihat ada perumahan kumuh dipinggiran kota.

Banyak sekali sampah, mungkin karena tak ada petugas kebersihan. Bagaimana bisa ada jika untuk makan saja harus mikir seribu kali.

Ada satu hal yang menyenangkan di tempat ini, penghuninya. Mereka tidak individual, tidak mementingkan diri sendiri. Hidup berdampingan, hidup saling membutuhkan bukan menjatuhkan. Hal yang jarang ia lihat jika berada di lingkungan rumahnya.

Di tempat Robin tak ada yang bertegur sapa, bertemu jika butuh, melakukan pertemuan jika ada yang ingin dipamerkan.

Robin menghela nafas, entah mana yang lebih baik.

Beralih kepada gadis digendongnya yang sedang meringkuk di dada Robin. Terlihat nyaman tanpa beban, soalnya yang bawa beban Robin.

"Lo nggak tidur kan?" selidik Robin, ia was-was jika Zahin tertidur lagi. Dia nggak tau jalan, Robin butuh Zahin sebagai penunjuk arah.

"Kalo tidur, gue cempulin ke empang!" ancam Robin.

"Nggak," jawab Zahin pelan.

"Terus kenapa dari tadi diem? lo diem gue was-was."

Zahin memperlihatkan wajahnya pada Robin, matanya terlihat sendu. "Ibu nggak papa?"

Robin tersenyum meyakinkan. "Nggak papa kok, tadi Ben bawa Bunah ke rumah sakit," jelas Robin sebisa mungkin membuat Zahin tenang.

"Huft... Ben emang baik." Zahin bersyukur bisa memiliki teman seperti Ben.

"Puji ae terus si bentrok, gue yang nolongin lo mah dianggap remahan rengginang," cerca Robin sekenanya.

Sejujurnya Robin tak tau apa itu rengginang, bentuknya bagaimana, rasanya seperti apa—ia tak mengerti. Tapi Rivan sering sekali bilang rengginang dalam wadah wafer. Katanya penipuan.

"Tuan muda juga baik kok," ralat Zahin setelah melihat Robin yang tidak memandangnya lagi. Matanya lurus menghadap jalan.

Robin memang tetap menatap ke depan namun ia tersenyum kecil, bahkan terkesan senyum malu-malu mbek.

"Tapi lebih baik Ben," celetuk Zahin sepelan mungkin, sayangnya Robin masih mendengarnya.

Senyum malu-malunya telah menghilang, justru wajah mengeras yang terlihat.

Zahin to RobinWhere stories live. Discover now