Angkasa 27: Terlelap Bersama Bahagianya

96 28 7
                                    

Sahmura perlahan membuka kelopak matanya. Hidungnya masih terlihat merah dengan mata yang basah.

Sejak tadi, perempuan berlian itu terus khusyuk berdo'a dengan mata yang terpejam. Bersungguh-sungguh meminta pertolongan pada yang Maha kuasa sampai-sampai, ia tidak mempedulikan sekitarnya. Hingga sampailah ia pada satu waktu, tiba juga pada saatnya.

Saatnya Sahmura mendapat tepukan pelan di bahunya.

Gadis itu menoleh, melihat nenek yang matanya memerah basah dengan mamanya Anin di belakang perempuan paruh baya itu sedang mengusapi punggung nenek, seolah berusaha memberikannya kekuatan.

Sahmura melirik pada sisi lain, melihat sosok Anin yang sudah menangis deras di pelukan kakaknya.

Sang perempuan Berlian itu meneguk ludahnya, kini kembali menatap nenek, meminta penjelasan dengan sorot mata penuh harap. Tetapi nenek tidak mengeluarkan sepatah katapun, ia segera memeluk Sahmura.

Sebuah pelukan yang memberi jawaban atas tanya Sahmura.

"Abang udah pulang."

Sahmura diam. Tatapannya lurus juga kosong. Matanya dengan cepat memanas, membendung air matanya. Dadanya kembali terasa nyeri. Perempuan itu perlahan menggeleng.

Sahmura tidak mau kehilangan abang.

Nenek pun juga tak banyak bicara, hanya terus memeluk Sahmura. Membiarkan perempuan itu menangis dalam pelukannya.

Mama kemudian menoleh, menatap pada Jey seraya mengangguk pelan. Menyuruh putra sulungnya untuk membawa nenek serta Anin terlebih dahulu melihat Angkasa.

Jey melangkah, menghampiri nenek, diam sejenak untuk membiarkan wanita paruh baya itu menguatkan diri sebelum akhirnya pergi bertiga bersama Anin, meninggalkan mama yang menemani Sahmura.

Anin mencengkram ujung bajunya tak sanggup menghadapinya, perempuan itu berdiri tak jauh di belakang Jey yang kini melangkah memegangi nenek yang juga melangkah menghampiri Angkasa dengan tubuh yang bergetar.

Tangan nenek yang sudah berkeriput menangkup pipi Angkasa, mengusap lembut pada luka lebam di wajahnya.

"Angkasa anak baik, yang tenang di sana ya nak," ucap nenek dengan suara bergetarnya. Perempuan itu meneguk ludahnya, tidak percaya jika cucunya telah pergi mendahuluinya. "Jagoan nenek udah bahagia di sana ya? Di surga, sama ayah bunda."

Nenek menghela napas berat, kini mencium kening cucu laki-lakinya itu. "Nenek sayang Angkasa," ucapnya sebelum segera bergeser memberi ruang untuk Anin melihat Angkasa.

Anin menggigit bibir bawahnya, perlahan berjalan mendekati Angkasa. Tangannya yang lembut bergerak menggenggam tangan Angkasa dengan yang sebelahnya lagi ia usapkan dengan amat lembut ibu jarinya pada luka di tulang pipi Angkasa.

"Siapa yang bikin kamu kayak gini?" tanyanya setelah meneliti setiap luka pada wajah Angkasa. "Nanti Anin omelin Kas, nanti Anin jambak rambutnya nyampe rontok."

Anin menggertakan giginya, kini benar-benar tak kuasa menahan tangisannya.

"Kalo sakit..." ucapannya terpotong oleh rasa sesaknya. "Jangan ditahan Kas, cengkram aja tangan Anin gapapa... Anin gapapa kena cakaran Angkasa asal Angkasa luapin rasa sakitnya Kas, jangan diem aja kayak gini."

Anin menguatkan genggamannya, seolah memancing Angkasa untuk mencengkram tangannya. Seolah menyuruh pria itu untuk meluapkan rasa sakitnya, tetapi yang dipancing tak kunjung jua terpancing.

Tangannya dingin, tak merespon dan tidak akan pernah merespon sedikitpun.

"Atau gini deh Kas, Anin bakal lakuin apapun maunya Angkasa asal Angkasa luapin rasa sakitnya ya kas? Jangan diem aja." Napas Anin memberat, kini semakin terasa sesak. Ia menunduk dalam dengan air mata yang terus mengalir deras.

Raja Muda AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang