Angkasa 11: Kebahagiaan Terbesar Angkasa

120 30 7
                                    

'Pagi yang suram.' Begitu bunyi dari batin Angkasa.

Benar, pagi yang suram. Hujan besar semalam mulai mengecil pada pagi harinya, di luar sana langit mendung. Suram, juga hati Angkasa.

Laki-laki itu tidak berniat untuk pergi sekolah, masih di dalam kamar Sahmura. Memeluk gadis kecil itu yang tidak dibalas pelukannya, tangan Sahmura berada di depan dadanya, mencengkram kaos kuning Angkasa pada bagian dadanya.

Keduanya sudah terbangun, tetapi masih sama-sama enggan beranjak dari tempat tidur. Sama-sama diam dengan mata basah yang sedikit membengkak juga dengan hidung yang merah. Mereka sama-sama terdiam lelah setelah tangisan yang keduanya keluarkan pada malam tadi.

"Abang...."

Angkasa tersadar dari lamunannya usai mendengar panggilan pelan dari Sahmura. Laki-laki itu mengusapi kepala Sahmura, lalu menyahuti, "iya?"

"Sahmura pengen ngerasain detak jantungnya abang, boleh?" Begitu bunyi dari permintaan Sahmura pagi itu.

Walau tidak mengerti apa maksud dari keinginan Sahmura, Angkasa mengangguk mengabulkan permintaan gadis kecilnya. Ia beranjak mengambil satu bantal dan menumpuknya agar lebih tinggi dan nyaman untuk memeluk Sahmura, selepas itu ia menarik lembut Sahmura, menyuruh gadis itu untuk tengkurap diatas tubuhnya dengan telinga menempel pada dada bidang laki-laki itu.

Sahmura menghela napas berat, memandang rintikan hujan di luar sana melalui kaca jendela. Hatinya terasa dingin juga sesak.

"Abang," panggil Sahmura lagi, kini suaranya terdengar sedikit bergetar.

Angkasa mengernyitkan dahinya, tidak tahan mendengar suara itu. "Iya?" sahutnya.

"Sahmura boleh kangen sama ayah kan?" tanyanya. "Sahmura emang nggak pernah tau ayah, tapi Sahmura boleh kangen ayah kan? Izinin Sahmura buat kangen sama ayah ya bang? Sahmura minta izin."

Angkasa memejamkan matanya merasa sesak mendengar itu, dengan susah ia meneguk ludahnya.

Sahmura memang tidak pernah mengetahui bagaimana sosok ayahnya. Sang ayah pergi terlebih dahulu saat Sahmura masih dalam kandungan bunda yang saat itu sudah menginjak usia tujuh bulan.

Tetapi memang perkataan Angkasa pada masa lalu itu, memberi amat banyak luka juga pengaruh bagi Sahmura. Membuat Sahmura merasa asing dengan orang tuanya sendiri.

Angkasa jahat. Angkasa bodoh. Angkasa pendosa yang besar.

"Sahmura boleh banget kangen ayah, Sahmura jangan minta izin sama abang kalo kangen ayah," balas Angkasa setelah helaan napas yang cukup panjang.

"Sahmura kangen ayah," ucap Sahmura masih dengan suara bergetarnya.

'Sahmura kangen ayah, Sahmura juga kangen bunda. Abang, bolehkan Sahmura kangen bunda juga?' Ingin rasanya Sahmura juga turut menanyakan hal itu, tetapi bagaimana bisa pula? Bagaimana bisa ia seberani itu untuk meminta izin pada Angkasa? Meminta izin kepada Angkasa untuk rindu juga pada bunda? Sahmura tidak bisa melakukannya.

"Sahmura kangen ayah...." Pada akhirnya, Sahmura hanya berani mengucapkan kalimat itu. Lagi dan lagi, Sahmura tidak pernah berani untuk merindukan bunda.

Angkasa mengeratkan pelukannya. Merengkuh Sahmura yang rapuh. "Sahmura mau ketemu ayah?" tawar Angkasa.

Sahmura samar mengernyit, bingung mendengarnya.

Bertemu ayah? Bagaimana? Setahu Sahmura, mayat ayah tidak pernah ditemukan karena kecelakaan pesawat yang terjatuh kelaut. Apa maksud dari pertanyaan Angkasa?

Tetapi, belum sempat Sahmura memberikan pertanyaan, Angkasa sudah kembali mengeluarkan suaranya.

"Nanti kita bareng-bareng temuin ayah sama bunda ya? Sahmuranya sembuh dulu."

Raja Muda AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang