○ Manusia bisa berubah

796 118 140
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.

"Bagi sebagian anak akan menganggap orang tua adalah tempat pengaduan yang paling terbaik dalam hidup, tapi bagaimana yang setengahnya?"

•🤍•

Mata mereka, raut kebencian itu terarah padaku.

"Memang lebih baik jika aku sendirian"

"Abang, alen salah ya?" Bisik Valentino di sebelah Joshua yang masih berbaring dengan palingan kepalanya pada sisi lain.

"Abang gak phapa kok, ithu bundha udah mangghil" jawab Joshua dengan nada rendah.

Valentino terdiam dengan bibir yang tak lagi mengeluarkan sepatakatapun, membalik tubuhnya dan berjalan menjauh dari Joshua dengan wajahnya yang perlahan memerah. Valentino berjalan dengan tapak kaki beratnya, menghampiri sang bunda yang sibuk membersihkan ruang tamu. Dengan merenggangkan kedua tangannya sembari turunnya hujan deras dari mata Valentino tanpa aba - aba.

"Bunda..." rengeknya memeluk lutut sang bunda dari belakang.

"Eh, alen? Kamu kenapa nangis?" Tanya bunda yang melepaskan pelukan pada lututnya dan menatap Valentino penuh kasih. Mengusap kedua belah pipi yang terasa licin itu karena air mata.

"Bunda...alen minta maaf, pasti abang marah ya sama alen gara - gara tadi pagi alen yang menang lomba larinya?" Sambungnya sembari mengepalkan kedua tangannya di depan bunda.

Mata bunda perlahan mensayup, memberikan usapan halus di kedua belah pipi Valentino dan memeluknya dengan hangat.

"Udah, alen anak baik bunda jangan nangis lagi ya? Mungkin abang cuman capek aja, kan baru selesai sekolah" ujar bunda yang menenangkan perasaan Valentino.

Untuk beberapa saat Valentino terdiam dengan masih mengeluarkan desahan tangisnya di pundak bunda. Membiarkan air matanya kembali menetes di pundak bunda hingga perasaannya membaik.

Bunda menggandeng tangan kecil Valentino untuk mengintip kamar Joshua dan melihatnya telah menegakkan badan di atas tempat tidur. Mata Valentino yang membulat besar segera berlari ke arah Joshua sembari memeluknya dari samping, merengek dengan terus mengucapkan maaf hingga Joshua ikut kebingungan.

"Maaf...abanggg...alen yang salah, besok abang boleh menang lomba larinya kok...hiks" Valentino tak melepaskan pelukan itu dan menenggelamkan wajahnya di pinggang Joshua tanpa mengucapkan sepata kata pun.

"A-adhek kenapa nanghis? Alen engghak salah apa - apa khok sama abang" jawab Joshua yang membalas rangkulan itu di pundak Valentino.

"T-terus kenapa tadi abang keliatan marah?" Tanya Valentino yang memukul pinggang Joshua.

"Abang chuman gak ada temen di rumah kalo alen sekholah, siapah yang main sama abang?" Mata Joshua kembali berkaca kaca untuk sekilas lalu kembali menetralkannya.

"Yaudah, nanti main sama alen aja biar abang enggak kesepian" jawab Valentino yang mengusap kedua matanya yang masih berair lalu kembali pada genggaman bunda untuk pergi ke kamar mandi.

"Kan bener kata bunda, kalo abang gak ada apa - apa. Habis ini alen mandi, makan, jangan lupa ngerjakin pr-nya. Biar enggak dimarahin sama bu guru" ujar bunda yang dibalas dengan anggukan Valentino.

"Tapi abang?"

"Nanti selesai alen belajar, alen bisa main sama abang. Itu liat, abang masih lanjut belajar biar besar nanti bisa jadi anak yang pinter" jelas bunda yang membiarkan Valentino mengintip dari cela kecil kamar Joshua.

•🤍•

Semua terasa baik baik saja di umur mereka yang masih dalam pertumbuhan, hingga perlahan suasana rumah mulai berubah. Pertengkaran suami istri adalah hal yang biasa terjadi dalam sebuah keluarga, namun mereka tak akan mengerti bahwa mata seorang anak adalah sebuah kamera vidio yang akan tersimpan permanen dan dapat diputar sesuai keinginan mereka. Dari situlah semua anak polos tak bersalah akan belajar untuk meniru setiap lontaran kalimat, raut wajah ataupun cara bicara yang baru bagi mereka.

Abang - Lee HaechanWhere stories live. Discover now