Bagian 11

104 6 0
                                    

Hidup memang tak selalu berjalan seperti apa yang kita inginkan. Bukan, bukan karena Tuhan tak adil. Namun karena Tuhan ingin kita lebih banyak bersyukur.

Setiap hari adalah perjalanan. Lantas bisakah kau terus berjalan tanpa mengenal berhenti?

Tidak, tidak apa untuk berhenti sejenak atau sekadar menghela napas panjang. Kamu manusia dan kamu berhak untuk lelah.

Cukup, ya? Ayo minum dulu. Ceritakan apapun, aku akan di sini, diam dan mendengarkan.

"Ayah, ini Kala." Gadis itu merengek dengan wajah memelas. Dirinya sudah memperkirakan kejadian seperti ini akan terjadi, dan benar saja. Hatinya terasa dipatahkan begitu saja, ia merasa ada sesuatu yang remuk tak terkira. Entahlah, Kala tidak ingin menangis di sini.

Reynald menghampiri rekannya lalu membisikkan sesuatu. Keduanya pun pergi meninggalkan Kala dan Dhika. Gadis itu menatap ayahnya tanpa berpaling sedikit pun, berharap lelaki paruh baya itu kembali menatapnya. Namun nihil, tidak sama sekali.

Tidak apa-apa, demi apapun tidak apa-apa. Tapi setidaknya hargai usaha Kala yang sudah jauh-jauh datang dari Indonesia. Haruskah Kala marah?

Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Reynald, lelaki itu benar-benar meninggalkan Kala. Dhika menghampiri gadis itu lalu mengelus punggungnya.

"You okay?"

Kala hanya mengangguk sebagai respon.

"How about Hot Jalapeno?"  Dhika mengalihkan dengan mengajak Kala memakan sesuatu. Karena lelaki itu yakin Kala akan luluh dengan makanan.

"Ah, lo selalu bisa, deh. Ayo!" Kala akhirnya tersenyum, ya walaupun itu hanya untuk menghargai usaha Dhika.

Keduanya mengambil tempat di dekat kaca yang langsung terhubung dengan jalanan agar mereka dapat lebih relaks.

Kala menyantap makanannya dengan lahap. Jujur, ini adalah pertama kalinya Kala memakan hot jalapeno  setelah beberapa tahun tak menginjakkan kaki di tanah kelahiran ayahnya. Mungkin dua atau tiga tahun lamanya? Entah, Kala lupa.

Tidak jauh berbeda dari Kala, Dhika pun begitu. Ia juga memesan beberapa makanan yang sudah lama tak ia jumpai di restoran Indonesia. Hitunglah ini sebagai obat pereda rindu yang akhirnya tersampaikan.

Keduanya menikmati momen lahap mereka tanpa sadar kalau tak ada satu pun yang membuka percakapan. Rasanya terlalu sayang untuk tidak dinikmati momennya.

Drrrttt... Drrttt...

Ponsel Kala bergetar beberapa kali menandakan telepon masuk. Kala mengernyitkan dahinya saat membaca nama seseorang yang menelponnya.

Reynald?

"Kala?"

"A-ayah?"

"Kamu di mana?"

"Aku lagi makan di resto seberang mansion ayah. Kenapa?"

Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana. "Balik lagi ke sini, ya?"

"Tadi ayah kenapa pura-pura nggak kenal sama Kala?"

"Ayah tunggu di mansion. Jangan lupa."

Setelah itu panggilan berakhir. Dhika menatap Kala dengan raut wajah penuh tanyanya, Kala hanya mengendikkan bahu.

KalaWhere stories live. Discover now