Bagian 2

294 14 0
                                    

Dalam hidup, mungkin beberapa orang diciptakan untuk merasakan pahitnya kehidupan terlebih dahulu. Supaya lebih paham, bahwa sejatinya hidup bukan hanya tentang senang, bukan juga tentang sedih selamanya. Namun, hidup adalah perjalanan yang penuh lika-liku.

Dalam hidup, mungkin keberuntungan tidak selalu datang. Tapi Tuhan punya caranya sendiri untuk menunjukkan bahwa setiap insan yang Ia ciptakan berhak untuk selalu tersenyum.

Dalam hidup, mungkin semesta tidak hanya memberikan hal-hal yang membuatmu senang. Bukan, bukan karena kamu tidak berhak. Tapi karena semesta ingin kamu belajar lebih banyak.

Satu hal yang dapat membuatmu lebih tenang adalah mengingat Tuhanmu. Ia tidak pernah pergi walau kamu kerap kali abai. Hei, kamu tidak sendiri!

Kala Alesha Hamilton, gadis dua puluh tahun yang biasa mengenalkan dirinya sebagai Kala Alesha tanpa nama belakang pemberian sang ayah. Gadis malang itu seorang mahasiswa semester lima pada salah satu universitas swasta di Jakarta.

Hidupnya tak berjalan mulus seperti anak-anak pada umumnya. Ditinggal ibunya saat usia sepuluh tahun, dibenci ayahnya karena tertuduh sebagai pembunuh, mengidap penyakit mental yang sudah lumayan serius, tidak punya teman selain Dhika. Lalu yang paling menyakitkan, ternyata Kala adalah penyandang nama Hamilton yang dulu ia kira adalah nama biasa. Namun ternyata, ah sudahlah. Keberadaannya saat ini pun sudah tak dianggap, lantas masih pantaskah dirinya menyandang nama Hamilton?

Mungkin cerita hidup Kala terasa terlalu drama untuk sebuah kenyataan. Tapi inilah takdir yang diberikan Tuhan kepadanya, Kala tak bisa memilih, bukan? Jikalau takdir bisa memilih, maka siapa pun akan memilih takdir yang baik-baik saja untuk hidupnya.

"Res, gue boleh gabung ke kelompok lo?"

Resa, seorang mahasiswi hukum yang kebetulan satu kelas dengan Kala itu menatapnya dengan jengah, "Sorry, nggak bisa."

"Please, Res. Gue nggak tahu lagi harus gabung ke kelompok siapa, semuanya nolak gue," ujar Kala memelas.

"Kalo semuanya aja nolak lo, gimana gue?"

"Lo seharusnya sadar kali, La, lo itu nggak diinginkan di sini karena lo itu pembunuh. Semua orang juga takut kali sama lo," sambung Resa dengan sinis.

"Gue bukan pembunuh," ucapnya dengan penuh penekanan. Dadanya sesak karena lagi-lagi harus dicap sebagai pembunuh. Sedangkan Resa, gadis itu hanya menatap Kala sinis seraya bangkit dari duduknya lalu meninggalkan Kala yang emosinya sudah di ubun-ubun.

Entah dari mana berita itu menyebar, padahal kejadian kelam itu sudah terjadi sangat lama dan Kala yakin ia bukanlah pelakunya. Kala dapat melihat jelas siapa pelakunya saat itu, tapi tak ada satu orang pun yang percaya dengan dirinya.

Yang membuat Kala heran adalah, mengapa semua orang bisa tahu kejadian itu sementara Kala tidak pernah menceritakan hal tersebut pada siapa pun. Saat ia masuk SMP, SMA, bahkan sampai kuliah selalu saja ada seseorang yang entah siapa menyebarkan berita tersebut. Jika bisa, Kala ingin sekali membunuh orang itu karena sudah membuatnya tak punya teman.

Gadis itu pasrah, ia meminta izin kepada dosennya untuk pergi ke toilet. Sudahlah, Kala sudah tidak punya cukup mood untuk melanjutkan kelas hari ini. Terserah, ia tak peduli dengan nilainya.

KalaWhere stories live. Discover now