Bagian 6

125 9 0
                                    

Kamu bukan kurang beruntung, tapi kurang bersyukur. Kamu memang tidak mendapatkan semua yang kamu inginkan, tapi Tuhanmu akan memberikan semua yang kamu butuhkan.

Hidup itu mudah, pikiran saja yang memperumit. Hidup itu dijalani jangan dipikirkan, karena yang dipikirkan tidak akan pernah ada habisnya.

Jangan pernah berhenti berjalan walau hari ini kamu lelah, jangan berhenti berharap walau hari ini kamu hilang arah. Tetap berjalan walau tertatih, karena proses adalah sebuah langkah untuk menuju tujuan.

Hari ini hanya hari yang buruk, lalu esok kamu akan kembali tersenyum. Masa lalumu memang kelam, tapi masa depanmu bisa jadi berwarna.

Kunci hidup bahagia : hadapi, jalani, syukuri.

"Hello, Kala?"

"Are you here?"

Kala yang baru saja selesai mandi pagi mengangkat telepon dari sepupunya yang tinggal di Amerika seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"What's up, Roy?"

"Em, i want to tell you about something yang mungkin bakal bikin kamu shock. I'm so sorry, but aku harus kasih tahu kamu sekarang sebelum kamu tahu dari orang lain," jelas Roy dari seberang sana dengan aksen Amerika yang kental.

Perasaan Kala tidak enak, padahal hari ini ia sudah berniat untuk bersantai sambil marathon film. Mendengar suara Roy membuat perasaannya campur aduk, berita buruk apalagi yang harus ia dengar?

"Em," ucap lelaki itu terjeda.

"Come on, kamu mau ngomong apa? It's okay, aku akan dengerin."

"Your daddy..."

"What's wrong with my daddy?" Kala menaikkan kedua alisnya.

"Ta-tadi aku dengar kalau Om Reynald mau hapus nama marga di belakang nama kamu. Aku dengar saat dia sedang berbincang dengan seseorang yang sangat asing dipandanganku, dan mereka berbicara pakai bahasa Prancis, tapi aku mengerti sedikit-sedikit."

Deg

"Are you sure?"

Roy mengangguk-angguk yakin walaupun Kala tak dapat melihatnya di seberang sana. "Trust me, Kala, aku nggak mungkin bohong sama kamu."

Tut... Tut...

Sambungan diputuskan sepihak oleh Kala. Roy benar-benar khawatir, lelaki itu tahu betul kalau Kala adalah seorang pengidap penyakit mental self injury. Dhika tidak pernah tahu kalau Kala pernah pergi ke psikolog saat itu, karena Kala pergi ke psikolog saat sedang bersama Roy di Amerika.

Awalnya gejala yang dialami Kala lumayan berat, ia sering sekali berpikiran untuk mengakhiri hidup dan pernah hampir melakukan bunuh diri. Namun untuk tiga tahun ke belakang kondisi mental Kala lumayan mengalami perubahan walaupun masih naik turun, tapi entah kenapa sekarang malah bertambah parah. Roy khawatir Kala akan mengulangi hal gila yang pernah gadis itu lakukan sepuluh tahun lalu. Roy tidak mungkin menghampiri Kala ke Indonesia saat ini juga, ia mempunyai banyak perkerjaan yang harus ia selesaikan dengan cepat.

Tiba-tiba pikiran Roy mengarah pada Dhika. Yap, hanya Dhika-lah satu-satunya lelaki yang ia percaya untuk menjaga Kala. Lebih tepatnya, hanya satu lelaki yang Roy kenal sebagai sahabat Kala, karena Kala benar-benar tidak memiliki siapa pun selain Dhika dan neneknya di Indonesia.

"Hey, how are you? Long time no see you, bro!" sapa Dhika dari seberang telepon. Mereka memang sudah lama sekali tidak bertemu, sekitar lima tahun lalu, dan terkahir mereka berkabar lewat telepon adalah satu tahun lalu saat Kala ulang tahun.

"Sorry, Dhik, aku nggak bisa basa-basi dulu. Sekarang kamu cepat pergi ke rumah Kala, tenangkan dia, dan jaga dia supaya nggak melakukan hal yang membahayakan dirinya. Aku mohon, Dhik, cepat," mohon lelaki itu.

Dhika terdiam sejenak, ia agak bingung dengan permintaan Roy yang tanpa penjelasan. "What's wrong?"

Roy pun menjelaskan dengan detail kejadian yang dini hari ini ia dengar. Tidak, Roy tidak menguping, ia sedang mengambil berkas di ruangan Reynald dan mendengar ayah dari sepupunya itu berbicara serius dengan orang asing menggunakan bahasa Prancis. Ia bisa dan sangat mahir menggunakan bahasa Prancis, namun ia sengaja  merahasiakan kemampuan berbahasa Prancis-nya agar ia dapat melakukan misi apapun tanpa diketahui orang lain.

Dhika memutuskan sambungan telepon. Tanpa lama, Dhika langsung berlari menghampiri Kala. Kebetulan, rumah mereka hanya berjarak dua rumah jadi Dhika tidak perlu memakan banyak waktu untuk menghampiri Kala.

"KALA!"

Lelaki itu langsung membuka pintu rumah Kala yang tidak terkunci lalu bergegas ke lantai atas. Ia sudah tidak peduli dengan penampilannya yang kini hanya memaki celana boxer se-paha.

"KALA SADAR, DENGER GUE, KALA!" Napas lelaki itu memburu, ia benar-benar panik ketika melihat secara langsung kejadian yang sama seperti yang ia lihat sepuluh tahun lalu.

Prang

"Kala, lo diem di situ!" perintah Dhika sembari menunjuk Kala dengan telunjuknya. Lelaki itu menajamkan tatapan matanya, berharap Kala sadar bahwa ia sedang melakukan hal gila.

Dhika langsung saja membereskan pecahan kaca yang berserakan di lantai, lalu membuang benda itu jauh-jauh dari jangkauan Kala.

Dari ekor mata, Dhika bisa melihat gadis itu akan meminum sesuatu dari botol yang kini sudah ia genggam. Baru saja berbalik pandangan, ia sudah melihat Kala kejang-kejang.

"KALAAAAA!"

"LA, BANGUN, LA!" Dhika menepuk-nepuk wajah Kala dengan brutal. Siapa pun, bantu Dhika untuk tenang, ia benar-benar kalut dan tidak tahu harus melakukan apa.

Lelaki itu mengusap wajahnya gusar. Di saat seperti ini tidak seharusnya ia berteriak meminta tolong karena tak ada satu pun orang selain mereka. Dhika mengangkat tubuh lunglai Kala menuruni tangga lalu membawa gadis itu ke garasi rumahnya.

"Ah, shit!" umpat lelaki itu saat tak menemukan kunci mobil di tempat biasanya. Kenapa juga harus hilang di saat yang tidak tepat.

Setelah tiga menit berkutat dengan kunci mobil yang hilang akhirnya lelaki itu dapat dengan segera membawa Kala ke rumah sakit.

Dhika mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, ia takut terjadi sesuatu pada Kala, apalagi dirinya tidak tahu apa yang gadis itu minum sampai membuatnya kejang dan tak sadarkan diri.

"Sus, cepat, Sus. Darurat."

"Iya, segera diurus administrasinya, ya."

Dhika langsung mengurus ke bagian administrasi, lalu setelah selesai lelaki itu menghampiri ruangan Kala. Pikirannya tidak bisa tenang, ia akan menyesal seumur hidup kalau sampai terjadi sesuatu pada sahabatnya itu.

"Dengan keluarganya Kala?" tanya seorang dokter paruh baya yang usianya kisaran setengah abad itu.

"Iya, Dok. Bagaimana keadaan sahabat saya?"

"Pasien mencoba meminum racun yang membuat usus dan paru-parunya membengkak. Kalau saja terlambat ditangani, saya tidak bisa menjamin pasien masih bisa bernapas sampai saat ini."

Dhika memijit pelipisnya, akhirnya lelaki itu dapat bernapas lega. "Jadi saya sudah boleh bertemu sahabat saya kan, Dok?"

"Iya, silakan."

"Terima kasih banyak, Dok."

Membuka pintu, lagi-lagi Dhika harus melihat pemandangan miris. Kali ini pemandangannya adalah seorang perempuan dengan tubuh mungilnya sedang menggunakan alat bantu pernapasan serta selang dari mulutnya.

Dhika mengelus surai hitam panjang milik sahabatnya, "Hidup lo terlalu berat, La."

"Cepat sadar, ya, cantiknya Dhika."

13/8/21


KalaWhere stories live. Discover now