Bagian 7

117 13 0
                                    

Beberapa perasaan memang lebih baik disimpan, ditata, dan dikubur dalam-dalam. Karena beberapa perasaan terkadang naif, sebenarnya kita tidak perlu banyak meminta untuk dicintai kembali.

Terkadang kita memang begitu ingin dicintai, tapi kita tak punya alasan untuk itu. Terkadang juga, kita malah jadi yang terlupakan. Karena ternyata, perasaan itu tempatnya lupa dan luka.

Kita sama-sama punya alasan untuk saling mendekap, maka jangan sampai kita saling melepas. Cukup, cukupkan hati sampai jadi saling merindu, jangan sampai saling membenci.

Gadis itu mengerjapkan matanya, ia menatap sekeliling dengan tatapan kosong.

"Dhik?" panggil Kala dengan suara parau.

Lelaki yang sedang fokus pada ponsel dalam genggamannya itu seketika menoleh pada Kala. "La, lo udah sadar?"

Dhika menghampiri sahabatnya dengan senyum tulus. Biarlah, nanti saja Dhika memarahi Kala-nya, kini Dhika ingin Kala pulih terlebih dahulu.

Kala memeluk Dhika, lelaki itu pun turut membalas pelukannya. Nyaman, itulah yang Kala rasakan. Hanya pelukan Dhika-lah yang dapat ia rasakan, tidak ada yang lain.

"Kok gue masih hidup, sih?" tanya gadis itu spontan seraya melepaskan pelukannya.

"Ya, baguslah. Tapi, kalo lo mati, gue juga bakal ikut mati buat nyusul lo, biar di sana gue bisa jagain lo."

"Mana bisa begitu, kalau udah mati kita pisah, Dhik, walaupun kita matinya barengan," jelas Kala geram.

"Ah, udah, deh. Lo sekali lagi ngomongin mati gue bunuh beneran lo!" sarkas Dhika yang sudah mulai kesal. Baru saja tadi ia mengurungkan niatnya untuk memarahi Kala, ternyata malah gadis itu yang tingkahnya meminta untuk dimarahi.

Kala memasang wajah menantang, "Ya udah cepet bunuh gue, Dhik, gue ikhlas."

"Up to you, capek ngomong sama orang yang nggak punya semangat hidup."

Keduanya terdiam, tak ada yang membuka suara bahkan setelah beberapa menit berlalu. Mereka bergelut dengan pikirannya masing-masing. Dhika berjalan ke arah jendela lalu membukanya sedikit agar dapat menghirup udara segar. Dhika agak kesal, namun di sisi lain ia juga merasa bersyukur karena akhirnya Kala baik-baik saja. Dhika tidak tahu apakah yang akan dirinya lakukan kalau saja keadaan berbalik dan Kala kenapa-kenapa, membayangkannya saja sudah membuat Dhika ingin menangis.

Sementara Kala, gadis itu memainkan ponselnya, memeriksa pesan yang masuk, siapa tahu ada yang menanyakan kabarnya. Namun nihil, hal tersebut hanyalah angan, tidak pernah ada yang peduli pada Kala selain Dhika. Kalau soal neneknya, beliau pasti peduli. Namun, Rienne tidak pernah bermain ponsel dan tidak pernah menghubungi Kala lewat telepon, kalau sedang ada perlu atau sekedar merindu, Rienne akan langsung menghampiri Kala ke rumahnya.

Seorang suster membuka pintu, beliau membawakan satu porsi makanan untuk Kala makan. Makanan yang paling Kala benci, makanan rumah sakit. Bukan, bukan karena rasanya yang hambar, tapi karena ia punya kenangan tersendiri tentang makanan rumah sakit. Sudahlah, Kala sedang tak ingin mengenang, biarlah semua tersimpan.

"Dimakan ya, Dek," ujar sister muda tersebut dengan senyum ramahnya.

Kala mengangguk, "Iya, Sus. Terima kasih, ya."

Kala menatap makanan di hadapannya tanpa minat. Ia tiba-tiba berpikir untuk meminta Dhika memesankan makanan untuknya dari luar.

"Dhik."

KalaWhere stories live. Discover now