Bagian 9

115 10 3
                                    

Jatuh cinta itu indah tapi kadang membingungkan, kamu bisa memilih pada siapa hatimu ingin dijatuhkan, tapi kadang tak bisa memilih pada siapa akhir tempat berlabuhnya.

Jatuh cinta itu sederhana, sesederhana melihatmu tersenyum lalu mengajakku berbicara.

Jatuh cinta itu menyenangkan, karena terkadang hanya dengan sedikit mengingat wajahmu saja sudah dapat membuatmu tersenyum senang.

"La, gimana?"

"Ya, ayo aja kalo lo mau."

"Amerika?"

"Iya."

Lapangan basket komplek perumahan sedang tak berpenghuni, hanya ada Kala dan Dhika di sana. Keduanya sedang membicarakan tentang rencana liburan mereka di semester kali ini. Rencananya memang mendadak, karena tiba-tiba saja Kala ingin menghampiri ayahnya.

"Izin nenek dulu, La, kalo mau berangkat," Dhika mengingatkan.

"Pasti, lah."

"Tapi lo yakin, La?"

Kala mengangguk yakin, ia hanya ingin meminta penjelasan pada ayahnya. Tak peduli jika nanti mendapat jawaban yang tak mengenakkan, yang penting dirinya sudah berusaha mencari tahu.

Lagipula sebenarnya Kala tak masalah jika nama marganya dihapus, toh yang namanya sudah terikat hubungan darah tidak akan bisa terputus sampai kapan pun. Namun ia hanya sedih, ia merasa terbuang.

"BTW, La, gimana tawaran jadi vokalis yang waktu itu lo ceritain?"

"Gue terima. Gue juga ceritain banyak hal tentang diri gue yang sebenarnya, biar dia bisa pertimbangin lagi. Ternyata dia malah fine-fine aja."

"Lo jangan sampe suka sama dia ah, La." Dhika memasang wajah cemburunya.

Kala mendorong bahu lelaki itu, "Nape lo cemburu?"

"Ah, udah pokoknya ga boleh."

***

Malam sudah cukup larut, entah mengapa tiba-tiba Kala rindu Reynald. Sudah lama sekali mereka tidak berjumpa, sudah lama juga Kala tak mendapatkan kasih sayang atau bahkan senyuman hangat dari sang ayah.

Kala rindu, Kala ingin kembali hidup di masa kecilnya yang menyenangkan. Kala ingin ibunya hidup seperti dulu, Kala ingin ayahnya yang hangat seperti dulu.

Tak terasa, setetes cairang bening turun dari mata Kala. Gadis itu tak kuasa lagi menahan semuanya. Dadanya begitu sesak, ia benar-benar merasa sendirian.

Tuhan, jika boleh Kala ingin sekali menolak takdir, Kala ingin hidup bahagia selamanya walau ia tahu hidup tanpa masalah adalah mustahil. Tapi setidaknya, Kala tidak ingin hidup sendirian, Kala takut.

"A-ayah?"

"Ini beneran ayah? Ayah samperin Kala?"

Kala berjalan menghampiri ayahnya.

Bruk!

Kala jatuh, gadis itu hanya berhalusinasi.

"Hiks... Ayah, Kala rindu ayah," rengek gadis itu. Gadis yang rapuh karena berkali-kali ditinggalkan. Gadis yang memilih untuk tetap hidup walau berkali-kali mencoba untuk pergi.

KalaWhere stories live. Discover now