DADDY HOT ✔

By DaddyRayyan

501K 52.3K 24.7K

Di depan saya, ada seorang pria yang bisa membuat lelaki straight sekalipun jatuh cinta. Saya panggil dia Dad... More

Pendahuluan (+Video trailer, rekaman suara)
1. Tamu Tiada Dua
2. Papa Bebop
3. Rayyan Merindu
4. Ketahuan Homo, Dibenci Daddy Hot
5. Threesome
6. Dibonceng; Harus Pegang di Mana?
7. Semeja dengan Daddy Hot
8. Dinner dengan Daddy Hot
9. Video Call dengan Daddy Hot
10. Ternyata Daddy Hot ....
11. Lika-Liku Sirkuit Hatimu
12. Cowok Kucing
13. Rindu Hanya Untuk Lelaki Kuat
14. Butler Cafe
15. Cowok Payung
16. Selebrasi
17. Dinding Pertahanan
18. Sekamar dengan Daddy Hot
19. Pulang
20. Speechless
21. No More Umbrella Boy
22. Rayyan Nareswara
23. Penyerahan
24. Sayonara, Mas Ganjen
25. Keluarga
26. Bumi dan Atmosfernya
27. Arthatama
28. Kebetulan Tak Pernah Ada
29. Pre-honeymoon
30. Rapuh
31. Rumah
32. Ombak Pertahanan
33. Ombak Perlawanan
34. Rahasia
35. Siasat
36. Ular (part 1)
36. Ular (part 2)
37. Laila
38. Sleeping Beauty
39. Nenek Sihir
40. Sang Pangeran (part 1)
40. Sang Pangeran (part 2)
41. Happily Ever After
42. Di Balik Kisah Dongeng (part 1)
42. Di Balik Kisah Dongeng (part 2)
43. Healing (part 1)
43. Healing (part 3)
43. Healing (part 4)
44. Membuka
45. Freedom
46. Balapan Malam (part 1)
46. Balapan Malam (part 2)
46. Balapan Malam (part 3)
47. Jurang
48. Neverending Track, Neverending Nightmare
49. Finis
50. Sirkuit Tanpa Akhir
Extra Chapter: Shouki POV (part 1/3)
Extra Chapter: Shouki POV (part 2/3)
Extra Chapter: Shouki POV (part 3/3)
Extra Chapters: FAMILY (Part 1: Melela, Menikah, Mandalika)
Extra Chapters: FAMILY (Part 2: Rumah) THE END
DADDY HOT Extra Chapters
Open PO Novel DADDY HOT
PO novel ditutup hari ini!
Restock novel DADDY HOT di Shopee

43. Healing (part 2)

4.9K 699 425
By DaddyRayyan

Selamat menikmati update-an DADDY HOT berikutnya! Ini adalah part 2 dari chapter "Healing". Pemulihan trauma Rayyan ini enggak sebentar, tapi jika berhasil melewati hujan badai ini, mentari cerah bersinar. Bagi yang ngikutin akun IG-ku dan Shou, pasti udah lihat spoiler masa depan mereka, dong? Hehe.

Part ini panjangnya di atas 8000 kata, lho. Muasin, enggak? Semoga puas, ya. Makan dulu sebelum baca cerita ini biar ada tenaga.

Di mana pun kalian berada, stay safe & healthy, ya.

Di chapter ini ada dua buah rekaman suara Pak Shouki di tengah dan di akhir cerita. Wajib dengar jika ingin membaca cerita ini dengan lebih menjiwai.



Rayyan Nareswara duduk di sisinya. Tenang seolah tak bernapas.

Mereka berada di ruang tunggu klinik psikiatri. Klinik yang berada di salah satu kawasan ruko di Jakarta Pusat. Bukan rumah sakit, sesuai permintaan Rayyan. Bukan yang bercat putih atau hijau seperti cat rumah sakit, sesuai permintaan Rayyan juga.

Rayyan duduk tertunduk, seperti tak ingin melihat apa yang ada di depannya. Shouki mendapati ujung jemari lelaki itu tremor, meski Rayyan berusaha menyembunyikannya dengan cara memasukkannya ke saku celana jeans. Barangkali menghirup aroma steril dari sebuah ruangan klinik saja sudah membuatnya stres.

Shouki meraih tangan Rayyan dan menggenggamnya. Tangannya berkeringat dingin, sedingin es. Shouki mencoba membuatnya hangat dengan meremas lembut.

Rayyan sedikit tersentak, menoleh, berdeham. Kita di tempat umum. Shouki membaca dari mata itu. Lucu. Rayyan Nareswara yang dahulu ia kenal cuek dengan pendapat sekitar. Rayyan berusaha melepaskan tangannya, tetapi Shouki kukuh ingin menggandeng. Biar saja orang-orang melihat.

Shouki tersenyum, mengusap tangan itu. "Everything's gonna be okay."

"Ibu-ibu di depan kita ngeliatin," bisik Rayyan.

"Enggak masalah buatku. Kenapa memangnya?"

"Karena ... Daddy ... Daddy itu Indonesian pride, pebalap kebanggaan Indonesia enggak boleh ketahuan homo," bisik Rayyan lagi, wajahnya serius meski nada suaranya bercanda.

"And you're my pride," balas Shouki tertawa. "Aku cuma genggam tanganmu biar kamu tenang. Aku salah?"

Diam, Rayyan lalu mengambil bantalan sofa, menutupi pertautan jemari mereka dari mata orang-orang.

Shouki tak dapat menahan senyum, meremas pelan tangan Rayyan di bawah bantal.

Suster memanggil nama Rayyan beberapa saat kemudian. Shouki merasakan barang sedetik denyut kuat dari tangan Rayyan, sebelum kemudian Rayyan membalas genggam lebih erat.

"Saya ...," ia berdeham, "udah dipanggil. Masuk dulu."

"Kutunggu di sini, Ra," ucap Shouki, melepaskan tangan itu. "Tenang aja."

Rayyan menatap Shouki sebentar, seakan ia ingin minta ditemani masuk ke ruang dokter. Lalu, akhirnya ia mengangguk dan berdiri tegap. Di mata orang-orang, postur itu terlihat gagah sebagaimana Rayyan Nareswara yang biasa. Namun, Shouki tahu Rayyan sedang berusaha keras melawan rasa takut. Punggung itu membungkuk saat ia tiba di depan pintu ruangan psikiater.

Shouki menatap pintu yang tertutup.

Ini adalah pertemuan pertama. Pada hari ini sesi konseling. Rayyan akan diminta untuk bercerita dan membuka diri.

Shouki menatap langit-langit di atas kepala, membiarkan matanya buta oleh cahaya neon putih. Ia menarik napas dan menutup mata. Selama Rayyan berada di ruang konseling, Shouki jatuh tertidur. Sudah berhari-hari ia tak cukup tidur.

Setiap malam Rayyan mengigau, menunjuk pojok ruang, menyebut ada kuntilanak melayang dengan leher tergantung tali. Berhari-hari kurang tidur dirajam cemas dan takut. Shouki merasakan kulitnya ikut meremang saat malam memuncak. Di dalam kepalanya terlihat tangan-tangan pucat, berkuku runcing patah, yang menyentuh dan merebut kewarasan Rayyan Nareswara.

Rayyan mengidap post-traumatic stress syndrome yang barangkali lebih hebat karena ia seorang pria. Banyak wanita di luar sana mengalami kekerasan seksual yang sama, tetapi pria akan merasakan pengalaman berbeda. Kodrat pria sejatinya menjadi unggul secara fisik dan psikis. Saat mengalami serangan seksual, efek traumatis yang mereka hadapi barangkali menjadi lebih hebat. Pria akan merasa terlalu malu, lemah, dan hina untuk membuka suara, hancur harga diri dan menyalahkan diri sendiri. Ada terlalu banyak kasus ketika korban lelaki akhirnya memilih bungkam karena tak mau identitas alfanya dipertanyakan.

Tak ada banyak ruang untuk melapor. Di kantor polisi sendiri hanya tersedia Unit Perlindungan Perempuan dan Anak. Ke mana korban lelaki harus menghadap? Apakah laporan mereka dapat dipercaya? Masyarakat akan menghujat dan menertawakan.

Butuh waktu tidak sebentar untuk mengobati trauma psikis. Shouki lega pada akhirnya Rayyan mau dibawa berobat. Ia akan berusaha melindungi lelaki ini dengan segenap kekuatannya.

Shouki tahu semua itu tak mudah ketika Rayyan keluar dari ruangan dokter, hampir setengah jam kemudian, dan Rayyan sama sekali tak mau menatap matanya.

*

*

"Pak Shouki ini anggota keluarga dari Rayyan?" tanya sang psikiater.

Duduk di depan meja dokter, Shouki terdiam sejenak. "Saya ... Saya partnernya."

Sang psikiater menatapnya sebentar, lalu mengangguk. "Kata Rayyan, dia sudah tidak punya keluarga dekat selain Bapak."

Shouki menelan ludah. "Betul, Dok. Jadi bagaimana Rayyan?""

"Barusan saya coba ajak bicara Rayyan. Untuk sesi konseling pertama ini, Rayyan belum mau terbuka dan cerita banyak."

Tenggorokan Shouki menyempit.

Sakit, katanya. Sang dokter menjelaskan bahwa Rayyan mengaku dadanya sakit tiap kali ia ingin terbuka bercerita, seperti ada yang ingin menembus, mencabik-cabik dadanya. Ini reaksi yang wajar bagi penderita PTSD. Sangat sangat sulit untuk Rayyan membicarakan peristiwa yang membuatnya trauma tanpa adanya dorongan untuk menyakiti dirinya sendiri atau orang lain.

"Untuk membantu proses pemulihannya, Rayyan harus jalani psikoterapi intensif dibantu obat-obatan. Dan diharapkan bantuan dukungan dari Pak Shouki selaku orang terdekatnya. Saya juga akan resepkan beberapa obat untuk diminum rutin. Rayyan sempat bilang dia enggak percaya dengan obat-obatan, tapi ini penting untuk mengatasi depresinya. Antiansietas dibutuhkan untuk mengatasi panic attack-nya. Prazosin untuk mengatasi mimpi buruk ..."

Shouki mendengarkan instruksi dokter dengan saksama. Rayyan akan rutin mengikuti terapi kognitif dan psikologis, serta terapi manajemen stres untuk mengontrol ketakutannya. Saat Rayyan mengalami serangan panik, Shouki diminta siap berada di dekatnya, menuntun Rayyan mengatur pernapasan.

"Berapa lama Rayyan bisa sembuh, Dok?"

"Mungkin butuh waktu berbulan-bulan, tahunan, tergantung tingkatan gangguan stres pascatrauma dan kondisi psikis. Kalau Rayyan mau terbuka, menerima kondisinya, mau mengikuti terapi pengobatan secara teratur, dia bisa sembuh lebih cepat. Untuk ini perlu dukungan dari orang-orang terdekatnya"

"Pasti, Dok."

"Penderita PTSD butuh lingkungan positif yang bikin dirinya merasa nyaman. Lingkungan yang bisa menerima keadaan Rayyan apa adanya. Jangan pernah menyalahkan korban atas peristiwa yang pernah dialaminya."

Bayangan Papa Bebop yang berperan korban dan menyalahkan Rayyan membuat Shouki mengepalkan tangan. Shouki mengangguk. "Baik, saya tahu. Ada advice lainnya, Dok?"

"Rayyan kalau bisa jangan sering ditinggal sendirian. Itu aja."

*

*

Momen ini fase healing. Momen yang bagi Shouki Wisanggeni adalah fase terpenting dalam perjalanan hubungan mereka.

Minggu pertama, Rayyan masih belum banyak bersuara. Setidaknya, Rayyan mau duduk di meja makan dengan patuh dan menenggak semua obat-obatan yang Shouki berikan, tanpa banyak tanya. Malahan Rayyan tak mau melihat bentuk botol dan lembaran strip obat antidepresannya (katanya itu mengingatkannya pada botol-botol obat koleksi Mama). Jadi, Shouki selalu mengeluarkan butiran pil dari wadahnya, lalu menjajarkannya di atas meja.

Meski sudah menenggak penenang, ada beberapa malam ketika Rayyan menolak masuk kamar tidur. Ia sudah terlalu sering mimpi buruk (dan menakuti setiap sudut gelap di kamar tidur mereka, padahal tak ada apa-apa di sana). Jadi, Rayyan memilih tidur di sofa bed ruang TV. Shouki mengiyakan permintaan itu, asalkan ia tidur di sofa yang sama.

Minggu kedua, Rayyan mulai menjalani terapi kognitif dan terapi pemaparan untuk menghadapi rasa takut. Shouki menyimak dan mencatat setiap perkembangan Rayyan. Menurut dokter, ada sedikit kemajuan. Rayyan mulai berani bercerita saat dipancing tentang kesenangannya semasa kecil. Apa makanan favorit, minuman favorit, mainan favorit? Pempek, susu cokelat, boneka bebek. Ia tumbuh di panti asuhan sebagai anak lelaki yang sangat aktif. Ia menyukai susu cokelat (dan di bagian ini Rayyan cukup susah payah bercerita dan selalu meremas dada). Barangkali suatu hari nanti Rayyan bisa mengingat sedapnya rasa minuman cokelat tanpa perlu memendam trauma batin. Semoga.

Minggu ketiga, meski sudah mulai berhenti mimpi buruk, Rayyan sesekali terbangun pada tengah malam dan kembali terserang panik. Shouki membimbing Rayyan dengan teknik pernapasan yang diajarkan. Deep breathing. Pernapasan lewat perut yang membantu menghadapi ketakutan. Shouki menggenggam tangan lelaki itu sampai napasnya berangsur normal. You'll be fine. We'll be fine. Everything's gonna be alright.

Minggu keempat, Rayyan terlihat lebih tenang (kalau tidak jauh lebih pendiam) dan katanya ia merindukan rekan-rekan Tiadadua. Sudah sebulan Rayyan tidak bertemu mereka. Meski saat ini Rayyan tak perlu lagi mencari uang untuk membayar kos-kosan dan kebutuhan akademi (Rayyan mengambil cuti kuliah hingga dua semester), ia masih ingin kembali bekerja di kafe. Shouki mengabulkan keinginan itu. Toh, kata dokter, Rayyan sebaiknya mengisi hari-harinya dengan penuh kesibukan. Mereka akan bermotor ke Kafe Tiadadua setelah Bu Titian mengizinkannya mengambil shift. Shouki akan duduk di meja yang biasa dan menunggui Rayyan bekerja sepanjang hari.

Minggu kelima, Shouki mengusulkan agar mereka membeli alat lukis. Rayyan bisa menghabiskan waktu dengan menggambar di atas kanvas. Bisa juga membaca buku. Sesekali Rayyan akan bekerja di Tiadadua hanya untuk mengisi waktu. Shouki selalu ada di sisi Rayyan, terkecuali saat ia harus pergi ke Sentul untuk berlatih. Shouki akan menitipkan Rayyan di Tiadadua seharian.

Shouki tersadar. Kini ia telah mengubah bagaimana cara ia memandang Rayyan. Dulu ia memandang lelaki ini dengan tatapan lurus dan mata yang terbuka lebar, seolah siap dikejutkan dengan banyak hal menarik dari Rayyan—entah itu gombalan atau intimasi yang membuatnya salah tingkah. Sekarang Shouki menatap Rayyan dengan kelopak mata yang redup melembut. Shouki menatap dengan kerlingan mata berhati-hati seolah ia sedang berhadapan dengan sosok yang bisa menghilang kapan saja. Ia menatap dengan hati.

Rayyan mungkin tak sadar ia begitu diperhatikan. Rayyan kebanyakan diam, menatap lututnya sendiri atau menatap jendela (dan Shouki akan selalu hadir di sisinya untuk mengalihkan perhatian). Mungkin sudah seabad lamanya sejak Rayyan mengajak bercanda dan menggombal. Sisi dari Rayyan yang selalu membuat Shouki tertawa itu nyaris tak ada sekarang. Rayyan sedang pada fase dirinya yang terapuh.

Shouki akan selalu bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Malam hari, ia memesan makanan lewat aplikasi online atau memasak makanan sekadarnya. Saat Rayyan mulai melamun, Shouki langsung menggenggam tangannya. Mengajak pergi keluar atau menonton, apa pun untuk mengisi waktu kosong. Setelah sekian lama, Rayyan juga tampaknya mulai kembali bersemangat membangun ototnya di gym. Dengan senang hati Shouki menemaninya berlatih dan menjadi partner gimnya.

Dan ... ada momen langka ketika tiba-tiba Rayyan menatap Shouki di tengah bersantap mi instan buatannya.

"Daddy."

"Ya?"

"Micin apa yang paling bikin saya kecanduan?"

Shouki tak dapat menahan senyum semangat. Akhirnya. Setelah sekian lama Rayyan mau menggombal lagi!

"Micin ... micintai dirimu?" tebak Shouki.

Rayyan menatap sebentar, lalu tertawa. Tawa itu terdengar hambar. "Iya betul. Maaf gombalan saya udah enggak kreatif lagi sekarang."

Rayyan kembali tertunduk menikmati mi instan.

Shouki menyesal, mestinya ia berpura-pura tak tahu saja. Ia bertopang dagu dan menatap kekasihnya lekat, tersenyum lembut. "Syukurlah kamu kecanduan dicintai sama aku. Maaf, ya, malam ini aku cuma bisa siapin mi instan."

Rayyan hanya tersenyum. "Maaf saya ...."

"Hm?"

"Saya mungkin enggak bisa kasih micin yang bikin Daddy candu."

Shouki diam.

Apa pun maksud Rayyan barusan, lelaki itu sudah beranjak dari meja makan. Ia pergi ke bak cuci piring.

Shouki mengikutinya, ikut membersihkan piring di bak cuci satunya. "Aku kecanduan, kok," ujarnya sambil nyengir lebar.

Rayyan masih diam.

Shou menahan napas sebentar, lalu dengan sengaja mengibaskan tangannya di bawah air keran. Cipratannya tepat mengenai wajah Rayyan.

"Oops, maaf, Baby."

Tanpa kata, Rayyan tiba-tiba menciprat air mengalir di hadapannya. Percikannya mendarat mulus di pipi Shouki.

Shouki bisa melihat, walau hanya sedetik, Rayyan baru saja tersenyum usil.

"Awh—" Shouki berdesah pelan, mengusap wajahnya dengan tepian kaus. "Aku tadi enggak sengaja ... Nih, serangan balik!" Shouki mencipratkan air lagi. Sebagian airnya menciprat wajah Rayyan, sebagian lagi menetes di leher dan kausnya.

Menyeringai, Rayyan membalas cipratan itu lagi. Mereka sejenak melupakan kegiatan mencuci piring, membiarkan sebagian wajah dan tubuh mereka basah.

Andaikan Rayyan tahu betapa kencang jantung Shouki berdetak saat ini hanya karena melihat senyum seringainya.

Sayang sekali, seringai Rayyan hilang dengan cepat pula. Keran air ia matikan, lalu berbalik pergi. "Saya mau ganti baju terus minum obat."

"Tunggu—" Shouki menyeka cipratan busa di sudut pipi Rayyan dengan lembut.

Suasana ceria di dapur barusan perlahan mendingin, kembali melankoli. Rayyan diam saat Shouki mengusap pipinya lebih dari sekali, menghilangkan jejak sabun yang sudah tak ada.

Dalam jarak dekat mereka saling tatap.

Rayyan seperti ingin berkata sesuatu, tetapi hanya senyum yang ia berikan. Digenggamnya tangan Shouki, diturunkan. "Thanks, Daddy."

Rayyan pergi menjauh.

Shouki memaku matanya pada punggung rayyan, merasakan hampa di dadanya saat ia menarik napas. Ada udara yang menghilang.

*

*

Dua bulan masa healing.

Shouki rindu sosok Rayyan yang pertama kali bertemu dengannya; Rayyan yang senang menggoda, kalem, dan dominan. Namun, setelah berminggu-minggu mendampingi Rayyan melakukan terapi, Shouki akhirnya mengerti. Ia lebih memilih untuk bersama dengan Rayyan yang sekarang.

Setiap dari kita punya sisi paling rapuh yang ingin ditutupi. Sisi itulah yang paling murni dari seseorang.

Rayyan yang ada di depannya saat ini adalah Rayyan yang telanjang, tanpa topeng, tak ada senyum menggoda yang dibuat. Rayyan kini penuh keraguan dan tak lagi merasa alfa. Itu bukan mengapa. Shouki tak bosan menggandeng tangannya setiap hari dan berkata meyakinkan, ia ingin menerima segala kelemahan itu. Hanya dengan menerima kelemahan, kita dapat belajar menjadi lebih kuat.

You'll be fine. We'll be fine. Everything's gonna be alright. Bisikan Shouki selalu berderai di telinganya.

Terkadang suara itu sampai di telinga Rayyan, terkadang tidak. Shouki tak menyerah.

Beberapa bulan setelah Rayyan mendapatkan psikoterapi dan obat minum rutin, segalanya menjadi lebih baik. Rayyan sudah berhenti mimpi buruk sepenuhnya, meski sesekali ia masih sering mendesis dalam tidur (Shouki akan langsung memeluk saat itu juga). 

Rayyan juga sudah tidak terlalu sering menatap ke pojok ruangan. Si hantu kuntilanak berkuku panjang barangkali masih ada di suatu sudut gelap di ruang pikiran Rayyan, tetapi Rayyan sudah tak lagi bisa melihat sosoknya secara jelas.

Namun, ada satu hal.

Rayyan sering menarik diri lebih cepat saat Shouki memeluknya.

Sudah ... mungkin sudah cukup lama sejak mereka terakhir berciuman?

Akhir pekan minggu lalu, Shouki mengajak Rayyan berkencan. Mereka bermotor ke daerah Jakarta Utara. Kota Tua. Rayyan diajak naik sepeda dan menikmati segelas bir pletok dingin di kafe bergaya tempo lama. Setelahnya, mereka berkeliling museum. Dunia seni, dunia Rayyan. Di antara lukisan minyak peninggalan masa silam, Shouki mencuri kesempatan untuk mengecup pipinya. 

Rayyan membalas kecupan itu dengan sebuah ciuman bibir. Ciuman itu di muka umum, tak bisa berlanjut lama.

Itulah ciuman terakhir mereka selama beberapa minggu terakhir ini.

*

*

Shouki makin menyadarinya; Rayyan menghindari intimasi belakangan ini, meski hanya berdekatan atau berpelukan sepele.

Menurut sang psikiater, selama ini kekasihnya melampiaskan trauma pasca diperkosa oleh ibu angkat dengan cara meniduri banyak partner. Rayyan memilih secara spesifik. Ia hanya ingin menguasai orang-orang yang dianggap berjenis kelamin paling unggul di masyarakat; para lelaki. Dengan cara itu, ia mendapatkan kepuasan dan merasa dapat mengembalikan jati dirinya yang terenggut sebagai alfa. Seorang dominan. 

Maka dari itu, ketakutan terbesar Rayyan adalah menjadi seorang submisif dalam hubungan intimasi. Ia menakuti keadaan terkekang. Ia membenci seseorang yang memegang kendali atas dirinya.

Dokter bertanya siapa yang dominan di dalam hubungan mereka berdua.

Meneguk ludah, Shouki menjawab jujur. Mereka sudah berpacaran selama lebih dari enam bulan, tetapi belum pernah benar-benar berhubungan seks.

Hal paling intim yang pernah Shouki lakukan bersama kekasih lelakinya adalah saling bersentuhan kulit, malam itu, di Lembang.

Shouki sendiri belum pernah melakukan hubungan intim dengan wanita, apalagi dengan pria. Tiga puluh tahun lebih ia perjaka.

Dokter menatap sebentar, lalu mengangguk. Nasihat terbaik darinya untuk Shouki adalah bersabar. Butuh waktu bagi Rayyan, korban kekerasan seksual, untuk bisa melepaskan diri dari trauma emosional.

Shouki tersenyum cukup percaya diri. Ia mau melakukan apa pun jika itu bisa membuat Rayyan sembuh, termasuk menahan diri untuk bersentuhan.

Ia akan memberi waktu bagi Rayyan untuk pulih dan membuka diri bersamanya suatu hari.

Suatu hari.

Suatu hari adalah frasa yang meresap dalam jantungnya. Bergelembung menjadi tekanan yang menyentakkan Shouki dalam tidurnya. Tekanan ini sudah tertahan begitu lama.

Selepas mengantarkan Rayyan pergi terapi kognitif pada suatu sore, Shouki tidur lebih cepat karena keletihan. Malam itu ia bermimpi basah.

Tubuhnya lembap dan berkilau redup oleh cahaya bulan dari sela jendela. Ia sedang rebah di ranjang yang hangat, sebuah cottage, di Lembang. Rayyan ada di sisinya. Ini bukan sepenuhnya mimpi. Ini pernah terjadi. Ada Rayyan berbaring tanpa pakaian, terlihat menawan dan sangat mendominasi. Shouki ditantang untuk menyentuh tanpa menggunakan tangan.

Barangkali hal yang mereka lakukan sudah biasa bagi Rayyan. Tidak bagi Shouki yang perjaka. Diam-diam adegan panas ini masih sering berputar dalam kepalanya hingga hari ini. Terkadang menyelinap dalam tidur malamnya. Khusus untuk malam ini, ada yang berbeda.

Shouki memutuskan untuk tidak lagi menyentuh dengan bibir, tetapi menggunakan tangannya, seluruh anggota tubuhnya.

Adegan mereka berlanjut cukup panjang. Melibatkan ranjang kayu yang berderit, serta dua tubuh melekat lebih rapat tak lagi bercelah. Shouki membiarkan insting mentah menguasainya. Ia menimpakan bobot tubuhnya pada Rayyan, di dalam Rayyan, sepenuhnya. Ia tak butuh punya pengalaman atau menonton banyak film panas sejenis untuk bisa membuat Rayyan membuka di bawahnya. Saat Shouki tersadar, mereka telah bergerak bersama-sama. Menyatu dan menjauh berulang-ulang secara senapas.

Rayyan menatapnya dengan bola mata yang jernih di bawahnya dan seketika mata Shouki buram, ia tak dapat melihat karena tercekik oleh panas rengkuhan Rayyan. Untuk kali pertama Shouki mengerti mengapa seks bisa membuat orang jadi gila. Barangkali ia bisa lebih gila dan lebih liar dari mereka semua. Beast, kata Rayyan, dan Shouki tak tahu apakah itu cacian atau pujian untuknya.

Dan saat sudah tak tahan lagi melepaskan seluruhnya, Shouki terbangun dari mimpi melepaskan keperjakaan itu. Ia terkesiap dan merasakan celananya basah.

Aduh.

Rasanya seperti kembali ke masa-masa puber dua puluh tahun silam.

Shouki ingin bangun tidur dan membersihkan diri, lalu ia menyadari kepala seseorang sedang bersandar pada lengan kirinya. Rayyan Nareswara. Kekasih yang baru saja bergerak bersamanya dalam mimpi. Wajahnya sangat dekat, sisi lututnya menekan kaki Shouki di bawah selimut.

Menahan napas, Shouki dengan sangat perlahan menggeser tubuh. Kepala Rayyan yang bersandar di lengannya ia angkat, lalu ia letakkan bantal di bawah leher Rayyan. Mestinya bantal itu lebih empuk daripada lengan Shouki yang berotot. Padahal ia sudah begitu lembut, tetapi bulu mata Rayyan bergerak-gerak dan dadanya yang bidang membusung. Shouki mendadak pasrah, tak ada cara untuknya kabur. Mata Rayyan membuka lebar tepat saat Shouki bergegas turun dari ranjang.

" ... Daddy? Mau ke mana."

"Err," Shouki berdeham dengan suara amat parau, "kamar mandi."

Rayyan menumpukan siku lengannya di ranjang, tidak terlihat seperti seseorang yang baru bangun tidur. Matanya bisa terbuka lebar dan mendadak Shouki merasa ditelanjangi. Mengapa Rayyan harus menurunkan pandangannya, mengetahui bagian selimut yang berkerut, sisa-sisa hangat tubuh yang lembap. Rayyan menatap Shouki dari bagian pinggang ke bawah, dan ... ya, kekasihnya sangat peka sebagai sesama lelaki. Ia tahu apa yang Shouki sedang tutupi.

Sebelum Shouki sempat menjelaskan, Rayyan menebak dengan ekspresi datar, "Mimpi, ya?"

Shouki menarik napas. "Iya. Mimpi ... biasalah."

Rayyan mengangguk, sekarang pandangannya turun ke kasur. Tangannya mengepal. Shouki bisa melihat otot dan urat di sekujur lengan Rayyan, kukuh, mengingatkannya akan dekapan lelaki itu di dalam mimpi. Shouki membayangkan tangan itu menggapai ketegangannya.

Shouki menunggu mata itu melihat padanya.

Hanya ada bunyi detik jarum jam. Rayyan tak bergerak.

Shouki tak kuat menahan deham, "Aku ke kamar mandi dulu. Sebentar aja. Kamu ... tunggu di sini?"

Rayyan mendongak, memberikan ekspresi yang Shouki tak mengerti. "Oke. Saya tunggu," ujarnya. "Take your time. Daddy bersih-bersih dulu ... di kamar mandi."

Shouki tak tahu apakah ia harus merasa lega atau kecewa.

Yang ia tahu, sesuatu mencekik napasnya. Bukan karena panas mimpi basah atau lengket di antara kakinya.

Ekspresi Rayyan barusan.

Terlihat muram.

Sejak malam itu, rasanya Rayyan memilih posisi tidur yang sedikit berjauhan dari Shouki. Ia tak pernah meletakkan kepalanya lagi di pundak Shouki atau membiarkan Shouki merengkuh pinggangnya lagi.

*

*

Sentul gerah dan panas terik pagi ini, tetapi Shouki merasa kedinginan. Ada resah dan mendung di hatinya.

Shouki baru saja menyelesaikan beberapa putaran. Ia masih mengenakan racing suit dan berjalan lambat di sekitar pitstop. Shouki berusaha menelepon Rayyan, memastikan kekasihnya baik-baik saja ia tinggalkan di Kafe Tiadadua. Namun, Rayyan tak mengangkat telepon sejak Shouki tiba di Sentul.

Shouki menekan nomor Sihar untuk video call. Rasanya tak cukup mendengar suara. Ia ingin melihat Rayyan.

Video call menyambung, tetapi yang terlihat di layar vertikal Shouki hanya celemek berlogo Tiadadua. Pasti ini celemek yang sedang Sihar pakai.

"Bang Sihar?"

Layar berputar dan wajah kotak Sihar muncul beberapa detik kemudian, ia sedang membenarkan helaian rambutnya. "Aduduh Pak Hot! Kenapa tiba-tiba video kolang-koling? Aku kan butuh sisiran dulu."

"Maaf, Sihar, saya ganggu. Rayyan lagi apa?"

"Lagi ...," Sihar berlama-lama, tampak memutar ponselnya ke segala arah. Di belakangnya, Astia sedang duduk di depan laptop yang terbuka. Gadis itu sepertinya sedang sibuk menonton serial drama. "Barusan berdiri di sini, Pak. Baru aja ngilang ke toilet."

Baru aja ngilang ke toilet—Rasanya terlalu kebetulan. Jantung Shouki sedikit berdentum tak nyaman, tetapi ia berusaha positif. "Oh oke, hmm ..." Shouki terdiam sebentar, "Rayyan baik-baik aja, kan?"

Tepat saat Shouki bertanya, Sihar sudah sibuk memutar ponselnya lagi. Ia memberdirikan ponsel itu pada sandaran rak di samping laptop Astia. Terdengar perdebatan lucu. Shouki menangkap sekilas kedua rekan barista kekasihnya ini sedang asyik menonton drama sembari memperdebatkan sesuatu. Drama ini bahasanya berbunyi dengan intonasi unik di telinga ... Thailand? Setelah kemarin mereka menggandrungi drama Korea, lalu drama Cina, sekarang drama Thailand.

Astia menyadari layar video call yang terbuka di ponsel Sihar dan segera melambaikan tangan. "Eh, lagi vidcall sama Pak Shouki?! Pak, entar malem jadi dinner, kan?"

"Ihhh, benterong! Mending ditanyain ke Pak Hot, deh! Pak Hot tahu sedalam-dalamnya seorang Rayyan!"

Astia menggigit tepian bibirnya, tanda ia mulai tak bisa menahan diri. Yang Shouki tahu, gadis ini punya ketertarikan tertentu pada dunia boys love dan selalu bersemangat saat bercerita. 

"Iya juga, ya. Ehem, Pak Shouki, saya lagi ngajakin Bang Sihar nonton drama boys love Thailand. 2gether the series! Kesukaan saya, nih! Terus .... "

Shouki mengerutkan alis. "Terus ...?"

Astia dan Sihar mendorong laptop ke hadapan Shouki. Foto-foto wajah sang aktor terlihat jelas.

Shouki terdiam melihat deretan foto itu. "Terus?"

"Ini! Pak Hot! Namanya Bright! Mirip banget mukanya sama Ra! Iya, enggak? Lebih mirip ini daripada aktor drama Cina yang kemarin!"

"Semua aja disamain mukanya sama Kak Ra!" sahut Astia nyinyir. "Tapi bibirnya Bright enggak mirip Kak Ra, lho!"

"Tapi tulang muka, alisnya, matanya, seluruhnya lebih mirip ini! HUH! 80% lebih mirip!"

"Miripnya cuma bagian rambut, alis, mata, ke hidung aja. Dari hidung ke bawah enggak begitu mirip! Bibir Kak Ra lebih tipis!"

Keduanya berdebat misuh-misuh. Shouki memperhatikan foto sang aktor secara tenang. Ya ... memang lebih banyak kemiripannya dibandingkan aktor sebelumnya, tetapi ia langsung berkata tegas, "Maaf ya, tapi jauh lebih menawan Rayyan milik saya, dong."

"IHH GEMES SAMA PAK HOT!"

"Tuh, kan! Di mata Pak Shouki, Kak Ra itu tiada duanya!"

Shouki tertawa. "Oke, oke. So, udah siap fancy dinner malam ini? Saya udah reservasi sejak sebulan lalu, lho. Malam ini kalian semua fixed bisa, kan?"

"BISAAA!!!" seru Astia.

"BISIKAAAN!!!" seru Sihar.

Dari lorong dapur, Rayyan berjalan keluar. Jantung Shouki berdentum pelan melihat sosok kekasihnya.

Rayyan tak serta merta langsung menatap ke arah ponsel yang Sihar angkat di udara. Shouki tak mau terus-menerus berprasangka, tetapi ia melihat Rayyan membuang muka sejenak.

Sihar memanggilnya. "Ra! Ra kesindang! Indang Pak Hot video kolang-koling, nih!!!"

Rayyan tidak langsung mendekat. Ia mengelap tangan, lalu meletakkan serbet di atas konter dapur. Ada ekspresi murung di wajahnya yang Shouki tangkap sering terlihat akhir-akhir ini. Dada Shouki mencelus.

Mereka bertatapan sejenak meski Rayyan belum berjalan mendekat.

Lalu, Rayyan berjalan cepat ke arah Sihar dan menerima ponsel itu. "Daddy?" Wajah tampannya memenuhi layar. "Gimana latihannya di Sentul."

Shouki tersenyum lembut. "Latihanku lancar. Barusan udah selesai, kok. Bentar lagi pulang. Kan malam ini udah janjian dinner bareng Astia dan Sihar juga. Kamu udah makan siang? Gimana kerjaan di kafe?"

"Udah. Makan siang udah dimasakin Mang Tito. Lancar-lancar aja." Rayyan mengerlingkan matanya ke samping, lalu menatap Shouki lagi. "Daddy .... "

"Hm?"

"Bisa kita bicara malam ini?"

Hening.

Perasaannya tak enak.

Sihar dan Astia sedang menyimak di balik punggung Rayyan. Shouki membuat senyum yang lebih lebar untuk menutupi kegelisahannya.

"Oke, Baby. Kita ketemu di apart, ya. Tunggu aku."

Rayyan mengangguk.

Saat Shouki masih ingin menatap wajah itu lama-lama, Rayyan menjauhi wajahnya dari kamera. Di belakangnya tampak Angelo Bramanty, baru saja masuk ke kafe dan ingin memesan kopi. Penampilannya seperti biasa, mengenakan hoodie gambar tokoh anime, masker hitam bertuliskan loli, dan sepertinya ia belum keramas lagi hari ini—model rambut lepek abadi.

"Hei, Angel," sapa Rayyan. "Dateng ke sini buat beli minum atau ngunjungin Astia, nih?"

Angelo membalas sapa Rayyan, lalu ia melambai kikuk pada gebetannya, Astia, yang sedang duduk menonton seri 2Gether di meja.

Merengut, Astia spontan memutar mata, menutup mulut dan hidungnya.

"Ih, kenapose kamu, Tia, tutup-tutup hidung gitu kalalo Angelo dateng?" tanya Sihar.

"Bau bawang!" kata Astia. "Bang Sihar aja, please, yang ngelayanin cowok itu."

"Ihh Astia berdosa bengeus!!! Enggak boleh begitu! Kamu sendiri wibu!"

"Aku fujoshi, Bang Sihar! Bukan wibu! Beda kelasnya! Aku enggak pernah sok-sok ngomong bahasa Jepang, pake hoodie bergambar waifu, dan pake masker norak."

"Lah, itu tas kamu adinda logo kartun Shingeki apa yang titan-titan raksasa itu. Bedanya di mana coba???"

"Angel, kamu mau ikut kita dinner malam ini?" ajak Rayyan, mengabaikan perdebatan dua sahabatnya, kemudian ia melirik Shouki lewat kamera. "Boleh, kan, Daddy?"

Angelo menyadari keberadaan Shouki di layar video call. Lelaki itu melambaikan tangan secara canggung.

Shouki memaksakan senyum untuknya. Jujur, Shouki masih merasa dikecewakan oleh Angelo yang memilih kabur saat Rayyan ditahan polisi.

"Tentu," jawab Shouki. "Ajak aja."

Astia kelihatan tak terima dan Sihar terkekeh geli.

"NANI?!!!" Angelo memekik dalam bahasa Jepang. "Tunggu dulu, aku beneran mau diajak dinner ... di resto fine dining?"

"Yeah, Angel, jangan lupa pakai jas rapi. Jangan pake masker loli terus," ujar Rayyan.

Setelah diberitahu detail lokasi dan kode busana, Angelo Bramanty langsung berlari keluar kafe. Dan tak ada yang tahu apa yang akan dilakukannya setelah ini. Astia berharap Angelo tidak jadi datang malam ini.

Rayyan kembali berkontak mata dengan Shouki lewat kamera. "Oke, habis ini kita selesai shift dan siap-siap, nunggu di apartemen."

"Oke, Baby. I'll see you soon."

"See you. Take care."

"Dadaaaah Pak Hot. I love you!!!" Sihar tak mau ketinggalan.

Sambungan terputus.

....

Apa yang ingin Rayyan bicarakan malam ini?

Matahari Sentul yang masih bersinar terik di atas kepalanya membuat mata Shouki buram. Ia mengusap lelehan keringat dan terduduk di atas ban hitam di tepi sirkuit.

Hubungannya dan Rayyan agak merenggang.

Rayyan begitu pendiam dan lebih senang menyendiri akhir-akhir ini. Melukis di sudut ruangan atau mendengarkan musik sendirian.

Shouki makin menyadari. Akhir-akhir ini, Rayyan selalu tidur memunggungi. Biasanya Shouki akan selalu siaga memeluk lelaki itu saat bermimpi buruk, tetapi beberapa kali Rayyan terlihat enggan, bahkan saat Shouki menautkan jemarinya di tempat tidur.

Saya enggak perlu ditenangin lagi, Daddy. Saya udah jarang mimpi buruk.

Saya bisa apa-apa sendiri. 

Obatnya saya minum sendiri aja, saya udah hafal.

Saya bisa masak sendiri.

Enggak perlu ditungguin, Daddy. Saya enggak bakal kenapa-napa, kok.

Kata-kata penolakan sang kekasih terus terngiang. Shouki Wisanggeni tak ingin berpikir negatif, tetapi ia tahu kata-kata Rayyan mengisyaratkan bahwa lelaki itu tak suka terlalu diperhatikan. Tak mau lagi dipeluk saat tidur malam. Barangkali Rayyan merasa Shouki terlalu mengontrolnya.

Dan ... tatapan Rayyan di video call barusan seolah ia ingin berpamitan, pergi jauh.

Apa Rayyan terganggu dengan sesuatu? Apa perlakuan Shouki membuatnya tersinggung?

Jangan-jangan Papa Bebop masih berani coba-coba menelepon Rayyan? Shouki merasa dadanya panas mengingat wajah ayah angkat Rayyan itu.

Arian Hendrajaya duduk di sisinya, membawakan sebotol air mineral. "Jangan ngelamun, Bang. Nanti ada kunti lewat diculik, lho."

Shouki menerima air itu dari tangannya, matanya tak fokus saat membuka botolnya. "Arian."

"What is it, Bang? Pasti mau curhat tentang si Baby Bebeq Alemong, nih."

Shouki berhela napas. Arian selalu tahu isi hatinya.

"Gimana si Baby, Bang?"

Shouki meneguk air di dalam botol, lalu badannya melengkung ke depan. Ia menutupi mukanya dengan sebelah tangan.

Shouki merasa sangat letih.

Arian meletakkan handuk di pundaknya. "Ceritalah, Bang, biar ringan perasaannya."

Shouki membuka matanya lagi, lalu mengusap ujung matanya yang sembab dengan handuk itu. "Thanks. Gue enggak bisa cerita detailnya, Arian."

"Apa yang terjadi sama si Bebeq Alemong ... ya, anggep aja gue udah tahu. Enggak usah malu buat cerita."

"Yeah," desahnya. "Masalahnya berat. Akhir-akhir ini, kondisi Rayyan udah jauh lebih baik, tapi rasanya dia makin menjauh. Awalnya gue pikir Rayyan butuh lebih banyak waktu untuk sendiri, tapi .... "

Pengendara motor lain baru saja memelesat di lintasan sirkuit di hadapan mereka. Shouki menjeda sejenak.

"Gue cuma takut gue enggak bisa ngasih apa-apa buat dia. Gue ... takut Rayyan enggak bisa bahagia sama gue."

Shouki mengusap wajahnya yang berpeluh.

"Gue takut dia pergi—gue takut semua. Apa yang udah gue lakuin selama ini cukup? Buat kesehatan mentalnya ... fisiknya, apa lagi yang bisa gue lakuin supaya dia benar-benar sembuh," lanjutnya.

"Seberat itu mencintai si Bebeq Alemong, Bang?"

Senyumnya tipis. "Gue cinta banget sama dia. Gue mau dia bahagia, tapi ... bikin dia bahagia itu enggak gampang. Di depan rayyan, gue harus kelihatan kuat, Arian. Gue enggak boleh kelihatan stres."

"Iya gue ngerti, Bang. Tapi lo harus tahu. Setahu gue, ya, Bang, orang yang nemenin pengobatan orang depresi itu bisa ikutan depresi juga lama-lama. Makanya, lo jangan cuma pikirin Rayyan aja. Pikirin diri lo sendiri juga."

Shouki diam.

"Coba lo kacaan, deh. Kucel amat lu kayak kobokan. Urus diri lah, Bang. Tidur yang bener, lakuin hal-hal yang lo suka. Ehek-ehek sama Bebeq Alemong."

Shouki mendengus dan bergeleng.

"Si Bebeq ada di tangan orang yang tepat, kok. Lo ada sama dia bukan cuma waktu dia bahagia aja, tapi di titik terendah dalam hidupnya sekarang. Trust me, Bang, kalau bukan sekarang, suatu hari dia bakal nyadar tentang itu. Kalau cuma lo yang terbaik buat dia."

"Gitu?"

"Ikhlas aja, Bang. Kalau memang jodoh, gue doain kalian bakal langgeng sampai adopt banyak anak, terus beranak bercucu bercicit."

"Menurut lo gue cukup buat dia? Rayyan katanya mau ngomong sama gue nanti. Gue jadi cemas, gimana kalau dia minta putus?"

"Ya cukuplah. Cuma ELO yang Rayyan punya! Pede dikit napa, sik. Elo orang paling setia dan tulus yang gue kenal, yang lain mah cuih cuih."

Terkekeh, Shouki menepuk kencang punggung Arian. "Amin, makasih doanya. Makasih udah mau dengerin curhatan gue."

"Tapi memang enggak boleh gue kasih yang manis terus, takut diabetes. Kita harus ngomongin pahit-pahitnya juga, Bang. Kalau ternyata si Baby Bebeq, pahitnya banget, nih .... "

"Ya ...?"

"Minta putus betulan, ya coba belajar ikhlasin dia, Bang. Kita enggak tahu apa yang terbaik buat seseorang. Mungkin harus jalan sendiri-sendiri dulu biar kita sadar apa yang harus dibenahi."

"Gue tahu, Yan. Kalau memang ... itu yang terbaik buat dia. Gue siap."

Meski logika memenuhi kepala Shouki Wisanggeni saat ini, hatinya berguncang. Telapak tangannya dingin saat ia menyetir mobil dari Sentul kembali ke Jakarta.

Dari luar pintu apartemennya, Shouki mendengar sekilas canda dan obrolan dari dalam. Sihar dan Astia sudah menunggu di kamar apartemen.

Saat Rayyan membuka pintu, napas Shouki tertahan. Kekasihnya sudah mengenakan setelan jas lengkap dengan rambut yang disisir klimis. Ia menyambut Shouki dengan tersenyum.

"Welcome home, Daddy."

"Halo, Baby." Shouki melangkah ke depan, hendak memeluk dan mengecup bibir kekasihnya.

Namun, Rayyan sudah mundur selangkah seolah tak ingin didekati. Shouki mengerti, menahan diri. Hanya ia tak bisa menahan tangannya untuk mengusap pipi Rayyan, dengan sangat lembut berhati-hati.

Rayyan kelihatannya tidak keberatan dengan sentuhan ringan itu, meski hanya sebentar, ia langsung memalingkan muka. "Kita semua udah siap dari tadi. Tinggal nunggu Daddy aja."

Astia dan Sihar sudah duduk di sofa. Keduanya sudah berdandan dengan pakaian formal. Sihar dengan blazer satin hitam, Astia dengan dress terusan hitam berpita kecil di bagian kerah. Keduanya sama-sama menenteng clutch.

Sihar berseru, "Halo Pak Hot!!! Hehehehe seneng banget akhirnya bisa main ke apart Pak Hot."

"Hehe apart Bapak bagus banget!" tambah Astia. "Mirip sama yang saya tulis di novel Wattpad yang tokohnya terinspirasi dari Bapak dan Kak Ra, hehehe."

Shouki tertawa. "Saya juga seneng kedatangan tamu dari Tiadadua. Santai aja, anggap rumah sendiri. Sebentar, ya, saya mandi dan siap-siap dulu."

"Ahhhsyiiiaapps, Pak!"

Shouki meninggalkan tiga sekawan itu dan langsung meluncur ke kamar mandi. Saat melepas pakaiannya, samar-samar ia mendengar suara Rayyan. "Angelo barusan kirim WhatsApp. Dia bakal nyusul langsung ke TKP, butuh persiapan lama." Shouki langsung membayangkan wajah merengut Astia di sofa.

Suara canda tawa antara Sihar, Astia, dan Rayyan terdengar hingga menembus ubin kamar mandi. Shouki membasuh wajah di bawah pancuran dan diam-diam merasa lega. Sudah lama sekali ia tidak mendengar tawa senang memenuhi ruangan apartemennya. Semoga Rayyan ikut terbawa suasana cerianya.

Sudah terlalu lama mereka dirundung atmosfer dingin dan mencekam di tempat ini. Barangkali hal itu juga yang membuat Rayyan tidak bisa pulih lebih cepat? Apakah Shouki perlu mengajak Rayyan berjalan-jalan setelah ini?

Ke luar kota.

Ke luar negeri.

Hanya berdua di mana mereka bisa membuat kenangan sebanyak mungkin dan menyelami perasaan masing-masing.

Shouki keluar dari kamar mandi hanya dengan berbalut handuk di pinggang. Di atas tempat tidur, sudah ada setelan jas yang disiapkan.

Pintu kamar terbuka. Shouki menoleh dan spontan bertanya, "Baby, ini jas buatku? Udah kamu siapin?"

Bukan Rayyan yang membuka pintu kamar, melainkan Sihar. "Iya Daddy~ Eh Pak Hot! EH ADUH SALAH MASYUUK KAMAR!" Sihar keluar lagi.

Rayyan muncul di sebelah Sihar, tertawa, menepuk pinggul Sihar yang berlari genit.

"Iya, saya yang siapin. Daddy kurang suka?" jawab Rayyan, masuk kamar.

"No, I love it. Makasih udah disiapin jasnya."

Tanpa ragu Shouki membuka balutan handuknya di depan Rayyan.

Shouki terlalu sibuk berpakaian sehingga ia tak sadar diperhatikan. Rayyan Nareswara tengah tak berkedip menatap tubuh polosnya dari sudut kamar.

Hingga Shouki sudah mengenakan celana bahan yang terlihat sangat sesuai dengan panjang kakinya. Shouki berjalan ke cermin untuk mengeringkan rambut, lalu mengenakan jam tangan kronograf favoritnya. Saat Shouki mencari sosoknya lewat pantulan cermin, Rayyan sudah tak ada di kamar.

*

*

Mereka bermobil menuju jantung Kawasan Pusat Bisnis Sudirman. Ada restoran fine dining Prancis romantis di sana yang terkenal sering dijadikan venue arisan para sosialita, atau tempat perjamuan pejabat dan figur publik. Restoran mewah bergaya nouvelle cuisine ini sudah sering muncul di mimpi Sihar, katanya, dan betapa senang lelaki itu saat akhirnya diajak ke sana.

Shouki punya uang lebih dari cukup untuk membeli apa pun, tetapi lebih memilih barang-barang sederhana. Shouki lebih suka makan di pinggir jalan, mengenakan arloji dari merek menengah, pakaian bukan branded asalkan nyaman. Namun, sekali ini saja ia dengan senang hati memesan meja dan kursi terbaik di dalam ruang VIP restoran tersebut. Ia mau Rayyan duduk bersantap di sana bersama rekan-rekan dengan senyum dan perut kenyang.

Sambil menyetir mobil, Shouki tersenyum membayangkan semua itu. Sihar dan Astia selalu bisa membuat Rayyan tertawa. Dan tawa mereka memenuhi mobil ini dengan rasa hangat. Shouki telah melupakan rasa cemas menyambut datangnya malam. Rayyan baik-baik saja, tawanya cukup lepas. Ada rona merah kehidupan di pipi Rayyan yang membuat Shouki ingin tersenyum lega. Segalanya akan baik-baik saja ...

... meski mungkin tanpa Shouki di sisi Rayyan.

Mobil diparkir di halaman restoran. Sihar turun di mobil sambil mengempit clutch selayaknya perempuan. Astia di sebelahnya, agak kesulitan berjalan dengan heels di atas bebatuan. Tepat di depan pintu masuk restoran, mereka berpapasan dengan seorang lelaki.

Lelaki ini mengenakan jas yang layak. Model dinner suit dengan bahan yang licin selaiknya sutra sungguhan, meski jas itu kelihatan sedikit kedodoran. Lelaki ini juga sepertinya menyemprotkan parfum ke sekujur tubuhnya, dari jauh saja tubuhnya tercium wangi sekali. Di tangan kanannya ada sebuket bunga mawar besar.

Namun, mereka harus menghentikan langkah saat menyadari betapa wajah itu sangat familier. Meski rambut lelaki ini sudah ditata sangat rapi, mereka mengenali rambut semi ikal itu yang biasanya selalu berminyak. Ada banyak bekas jerawat di jidat yang masih kentara meski sudah sedikit dibedaki, dan tulang mata yang agak menjorok ke dalam itu tiada lain adalah milik Angelo Bramanty.

Shouki benar-benar nyaris tidak mengenalinya!

Sampai akhirnya Angelo yang pertama kali buka suara. "Hai, Astia."

Astia mengerjap. "Um, siapa, ya?"

"Ini aku, Angel."

Astia langsung mendelik, bola mata naik turun. "Oh—Halo."

Sihar terkekeh geli di sampingnya. Astia langsung menampar lengannya dengan clutch.

"Kamu bisa dandan rapi juga, ya?" kata Rayyan.

"Ini jas minjem om aku, agak kedodoran, sih." Angelo kembali menatap Astia. "Oh ya, Astia, aku ada sesuatu buat kamu."

Angelo menyodorkan sebuket bunga mawar yang ia bawa.

Sekilas pandang, Astia seperti ingin meloncat ke belakang seolah bunga itu adalah benda menjijikan. Namun, ada sesuatu yang terselip di antara tangkai mawar merah menawan itu. Sebuah buku komik.

Shouki langsung mengenali buku itu. Seri terbaru komik homo yang ia tunggu-tunggu.

Astia masih mendelik. "Hah? Apa, nih?"

"Iya, ini ... khusus buatmu," ujar Angelo.

"B-Buat aku? Lho ... ini kan komik edisi spesial My Sexy Butler. Tunggu, ini bukannya masih pre-order? Belum dirilis sama artist-nya!"

"Umm, um, itu—" Angelo sedikit kelabakan menutupi identitasnya.

Rayyan memotong, "Udah, ngomong di dalam aja. Dingin ah berdiri di luar. Jadi, diterima enggak bunganya, Tia?"

Sihar melambai. "Ihh so sweet, lho, Shay. Pake bunga segala. Wangi, lho! Enggak ada bau bawang-bawang."

Astia kelihatan panik dan malu. "Ini ada apaan, sih?! Aku di-prank, ya."

Shouki mendengus. "Angelo, kalau Astia enggak mau, bukunya boleh buat saya?"

Tertawa, Rayyan menyikut rusuk Shouki.

Astia ikut tertawa saat mendengar canda Shouki, tetapi tawa itu reda dengan cepat. Gadis itu menatap bunga, komik, dan wajah Angelo dengan ogah-ogahan, kemudian ia berkata terima kasih.

Hanya buku komiknya yang diambil. Bunganya tidak.

Di dalam restoran, Rayyan berjalan lebih cepat menuju kursi Shouki. Ia berakting seperti butler di komik bikinan Angelo dan menyeret kursi itu, mempersilakan Shouki duduk.

Berseri-seri karena perlakuan Rayyan, Shouki duduk di kursi itu. "Thanks, Baby."

"Anytime, Daddy." Rayyan duduk di sebelahnya.

Meniru perlakuan gentleman Rayyan, Angelo juga ikut menggeser kursi untuk Astia duduk.

Cuek, Astia malah memilih duduk di kursi lain yang jauh dari Angelo.

"Deuh, aku jomblo! Kapan aku bisa digeserin kursi kayak gitu," Sihar menyindir.

"Cari daddy sendiri, dong, Bang Sihar."

"Tapi eku enggak mau daddy biasa, maunya syuurga daddy. Ada, enggak?"

Mereka tertawa.

Pada akhirnya, mereka berlima duduk meja yang sama dan mulai memesan makanan. Shouki memilihkan hidangan gastronomi andalan koki. Rayyan dan Shouki mencoba hidangan bebek saus jeruk yang dipanggang dengan cara slow roasting dan angel hair pasta dengan white truffle. Sihar dan Astia sepakat untuk mencicipi foie gras dan daging ikan barramundi yang sangat lembut. Tak ketinggalan mereka ingin mencoba anggur manis dan keju. Angelo memesan apa yang Astia pesan, lalu memesan banyak makanan manis penutup.

Sambil menunggu makanan datang, Astia mengintip lembaran komik di bawah meja. Angelo diam-diam tersenyum melihat gadis itu.

Menyadari dirinya sedang dipandangi, Astia berpura-pura cuek lagi dan meletakkan komik itu di atas meja.

"Saya hari ini enggak ke kafe. Aman-aman aja, kan?" tanya Shouki.

"Kafenya atau Ra-nya yang aman, Pak Hot?" tanya Sihar balik.

"Aman, aman banget," kata Astia. "Cuma tadi ada sedikit perdebatan tentang aktor yang mirip sama Kak Ra. Dapur hampir kebakaran!"

Angelo bertanya pada Astia, "Aktor siapa?"

Astia pura-pura tidak mendengar.

Perhatian mereka langsung teralih saat satu demi satu makanan tersaji di atas meja.

Ah, malang juga nasib Angelo Bramanty ini.

Rayyan berdeham sambil menikmati makanannya. "Angel, itu buku apaan yang kamu kasih ke Astia tadi? Bisa-bisanya Pak Shouki juga langganan baca seri itu. Jangan-jangan kamu author-nya, ya?"

Astia menahan napas.

"Eh? AnoEto—" Angelo garuk-garuk kepala kikuk. "I-iya, sih. Sengaja aku buru-buru selesein gambarnya biar bisa kasih ke Astia."

Saking syoknya, Astia sampai menjatuhkan potongan daging dari mulutnya.

Sihar mengernyit jijik. "IHH ANAK PERAWAN KOK GINI MAKANNYA!" Sihar membersihkan makanan yang jatuh dengan tisu. "Gelaay gelaaay."

Astia bergeming. "Kamu ... barusan bilang apa?"

Angelo mematung.

"Kamu ... yang gambar?" Astia membuka lagi komik itu seolah memastikan, "tapi ini kan komiknya Anjero-kun! Kamu plagiat gambarnya Anjero-kun, dong?!"

"Y-ya, aku enggak mungkin plagiat gambar orang. Jadi ... ya itu gambarku. Kenapa? Ada yang salah di anatominya ...?" Angelo mendorong badannya ke depan. "Apa tititnya kurang gede—Aku gambar karakter mereka terinspirasi dari Om Shouki dan Ra. Aslinya gedean siapa di antara Om Shouki dan Ra, ya?"

Shouki tersedak pasta. Rayyan menepuk-nepuk pundaknya.

Di sisi lain, kata-kata frontal Angelo sepertinya sudah jadi makanan sehari-hari untuk seorang fujoshi seperti Astia. Bukan itu yang membuatnya makin marah. Astia menabrakkan punggungnya ke sandaran kursi dan nyaris berteriak, "Serius? Jangan ngadi-ngadi, deh! Gambar Anjero-kun sempurna sampai ke titit-tititnya. Dia artist favorit aku sejak lima tahun lalu! Kamu enggak mungkin Anjero--"

Lalu, Astia membungkam bibirnya sendiri.

Shouki masih terbatuk-batuk karena tersedak. Rayyan membantunya minum air.

Astia menelan ludah. "Anjero-kun itu ... muka aslinya kayak Yamada Ryosuke! Ganteng! Pernah ada yang ngomong gitu ke aku waktu di acara event. Kamu ... jauh banget dari bayangan. Please jangan bikin aku ilfil. Enggak mungkin." Ditatapnya Angelo menjelang pingsan. "Enggak mungkin kamulah, jangan bercanda."

Angelo tak bisa berkata-kata. Tangannya sibuk meremas serbet di atas pahanya sendiri.

"Anjero-kun enggak pernah nunjukin muka. Coba apa buktinya kamu beneran Anjero-kun? Bisa aja ini buku kamu dapetin dari dia!"

Shouki menjernihkan tenggorokannya yang gatal, lalu bersuara, "Oke, oke, berhenti debatnya. Saya saksi kalo Angelo ini Anjero-kun. Saya pernah pesan art commision gambar langsung ke Angelo ini."

Astia menatap horor.

"Iya, Tia ... udin Tia, jangan denial terus, nanti beneran jodoh, lho," tambah Sihar.

Astia memukul Sihar dengan buku.

Rayyan mendengus. "Bener, Astia. Masih mending, kan, daripada aki-aki?"

Gagal melanjutkan argumen, Astia terlihat lemas.

Gadis itu terlihat seperti seseorang gadis yang perutnya sedang keram menjelang PMS. Ia beranjak dari meja. "Aku mau ke toilet dulu ....."

Setelah Astia menghilang dari ruang VIP, Angelo kembali meremas serbet di pahanya. "Apa harusnya aku jangan jujur aja, ya?"

"Kejujuran itu perlu, meski pahit," jawab Rayyan.

Kemudian, Rayyan terdiam sejenak karena jawabannya sendiri. Ia tampak seperti sedang memikirkan sesuatu.

Sedetik kemudian, Rayyan melanjutkan, "Biar Astia enggak kebanyakan ngayal. Astia itu baik dan pengertian, kok, pasti dia bisa nerima kamu, Angel. Walau jangan berharap terlalu banyak."

"Beneran, Shay, lagian malam ini kamu kelihatan lebih cucok dari biasanya. Semoga ada benih-benih cintrong tumbuh, yeus," Sihar menimpali, "Anyway, kamu bisa gambarin mukaku, enggak? Sama Brad Pitt satu frame. Kalau bisa, entar aku doain kalian bisa jadian."

Angelo tertawa gugup, lalu mengangguk. "Diusahakan bisa. Entar aku gambar Brad Pitt jadi syuurga daddy-nya Bang Sihar, ya."

"Ihhh, dasar, kamu bisa gemesin juga ternyata!" Sihar menampar lengan Angelo.

Astia kembali ke meja beberapa saat kemudian. Langkahnya masih lemas. Dalihnya karena ia tidak terbiasa mengenakan hak tinggi.

Melirik Angelo, Astia kembali berwajah sebal. Ia melanjutkan bersantap dalam diam.

"Astia, kamu enggak pengen minta tanda tangan Angel, nih? Katanya selama ini ngefans berat," pancing Rayyan.

"Entar aja."

"Aduh, ini kok jadi enggak enak suasananya," Shouki bertutur sedih. "Makanannya enggak enak?"

"Enak, kok, Pak. Banget." Astia makan dengan cukup emosional setelahnya, habis tak bersisa.

"Pelan-pelan, ih, makannya, Tia!"

Tiba-tiba Angelo berdiri dari kursi. Lagaknya seperti seorang bangsawan yang ingin mengajak seorang gadis berdansa.

Astia mendongak dan sedikit mendelik, was-was.

"Astia Nadiamulya, aku mau minta. Maaf aku udah bikin kamu kecewa."

Hening.

"Harusnya aku enggak usah ngaku aja kali, ya. Biar Anjero-kun tetap sesuai bayanganmu."

" .... "

"Sekali lagi aku minta maaf. Maaf suasana makan-makan jadi enggak enak. Makasih udah diajak ke sini. Mungkin aku permisi duluan."

Angelo sudah siap-siap berdiri sepenuhnya dan meletakkan serbet di atas kursi. Ia juga akan membawa buket bunga yang ditolak pulang ke rumah.

Astia berkata, "Udah lupain aja. Maaf juga aku tadi kaget banget. Makasih komiknya ..., Angel. Aku sebenarnya udah ikut PO, tapi belum sempat transfer. Nunggu gajian dulu."

"Gratis, kok, buat kamu," kata Angel. "Nanti dikasih kritik aja kurangnya di mana. Kamu jadi first reader komik itu sebelum dibaca yang lain. Kalo kamu kurang suka, aku bakal perbaiki, sebelum buku itu kurilis."

Sihar membulat mata. "Ih ... kok sweet, sih, Angel!"

"Oke .... " Astia menangguk pelan, menatap piringnya. "Thanks, ya."

"S-Sama-sama." Angelo mengulum senyum, lalu mengusap keringat di tangannya pada serbet makan. Astaga, lelaki ini berkeringat dingin sekujur tubuh. Ada yang tak beres dengan sarafnya.

Astia mulai melunak, meski mungkin butuh waktu lama bagi Astia untuk menerima wujud asli idolanya. Angelo pun tak jadi pulang lebih dahulu. Mereka kembali duduk bersama menikmati anggur dan makanan penutup.

Saat mereka menikmati sajian penutup keju, Rayyan kembali menjadi pendiam. Ia tertunduk menatap sisa crumble di atas piring, mengunyah perlahan. Suasana yang sebelumnya hangat dan ceria kembali menyurut, seperti daging bebek di atas piringnya yang mulai mendingin.

Shouki diingatkan bahwa ia akan mendengar sesuatu dari Rayyan malam ini. Apa pun itu adalah kejujuran yang barangkali pahit. Dan ia harus bersiap.

"Enak makannya? Kamu suka, Baby?" tanya Shouki.

Rayyan mengangguk antusias, menutupi raut muramnya. "Selalu enak kalau makannya di samping Daddy."

Shouki benar-benar berharap mereka akan selalu makan berdampingan seperti ini, selamanya.

*

*

Makan malam menyenangkan ini pun berakhir.

Di luar restoran, mereka berpamitan. Sihar dan Astia pulang dengan taksi online.

Astia masih kelihatan cuek, tetapi akhirnya mau juga membawa pulang bunga dari Angelo. Bunga itu ia pukulkan ke punggung Sihar yang sibuk beryel-yel cie cie cie sepanjang jalan.

Angelo pamit pulang dijemput om dan tantenya.

Shouki dan Rayyan pulang bersama ke apartemen. Keheningan menyelimuti mobil. Kontras dengan suasana siang ketika mobil ini dipenuhi canda tawa.

Shouki menatap lurus jalan raya di hadapannya. Andaikan sedang tidak menyetir, ia ingin berpejam. Ia mau menyerap seluruh aroma hangat lelaki yang duduk di sampingnya. Shouki tak ingin bernegatif, tetapi benar kata Arian, ia mesti siap membayangkan hal paling pahit malam ini. Barangkali ini berkendara berdua yang terakhir.

Tiba di dalam kamar apartemen, Shouki melepas sepatu dan menatanya di rak.

Rayyan merenggangkan tubuh di depan kulkas, mengambil air.

Shouki tersenyum, melepaskan jasnya. "Hari ini kamu seneng, Baby?"

"Banget. Makasih, ya, Daddy."

"Sama-sama. Sihar dan Astia kelihatan puas banget. Angel juga. Semoga kamu juga puas banget, ya."

Rayyan meletakkan gelas airnya di meja dapur, lalu menggulung lengan kemejanya. Ia mendekat.

"Daddy. Bisa kita bicara sekarang?"

Shouki sudah siap, mengangguk. Sebelah tangannya menenteng jas. Ketika mereka berdua sudah duduk di sofa. Shouki masih memegangi jas tersebut.

Rayyan menarik napas perlahan, lalu mengembuskannya. "Daddy ... saya ... mungkin sebaiknya saya jangan teruskan terapi ini."

"Kenapa—?"

"Kalau saya teruskan terapi ini, mungkin memang bisa sembuh dari trauma," Rayyan berhenti sejenak, kelopak matanya menurun, "trauma karena Mama. Tauma saya kepada perempuan."

Shouki diam.

"Tapi ... itu berarti, mungkin preferensi saya juga jadi berubah." Dahi Rayyan mengernyit dalam. "Saya mungkin bisa nerima perempuan lagi, mungkin bisa jatuh cinta sama perempuan. Saya .... "

Shouki diam.

"Katanya seseorang menjadi gay karena pengaruh lingkungan. Jujur, saya enggak percaya. Selama ini saya yakin saya terlahir sebagai gay, atau mungkin bi, pansex, entahlah ... yang pasti bukan karena Mama. Saya udah suka laki-laki jauh sebelum melakukan itu sama Mama. Tapi ... sejak terapi dan minum obat beberapa bulan ini, saya jadi bingung. Ingatan masa lalu saya mulai buram. Saya pikir ... m-mungkin perasaan saya ke laki-laki selama ini ...cuma pelarian dari trauma."

Mata mereka beradu.

"Mungkin saya .... suatu hari perasaan saya ke Daddy bakal menghilang," ucap Rayyan serendah bisikan. "Saya mungkin bakal pergi ninggalin Daddy."

Perlahan Shouki memejamkan mata.

Di balik matanya, ia melihat gelap. Namun, ada sebentuk wajah bercahaya di sana. Wajah Rayyan Nareswara. Wajah itu beberapa tahun lebih muda. Shouki tak pernah bertemu dengan Rayyan sesama remaja, tetapi ia bisa membayangkan kerut kesakitan di wajah itu. Kukunya yang mencakar seprai, bibirnya yang koyak, dan kulit punggung penuh luka. Rayyan remaja mengalami kekerasan seksual dan tak pernah bisa lari dari kegelapan, bahkan hingga dewasa. Sampai-sampai ia membenci perempuan.

Suatu hari Rayyan pasti sembuh. Suatu hari Rayyan bisa menemukan cahaya dan melangkah keluar dari kegelapan. Tak ada lagi rona sakit, tak ada kulit tersayat berdarah, tak ada wanita iblis yang memerangkap malam-malamnya lagi.

Ketika itu, Rayyan Nareswara akan hidup bahagia seutuhnya. Ia bisa jatuh cinta dengan perempuan. Ia sembuh.

Shouki membuka matanya lagi.

Dilihatnya kini tubuh Rayyan membungkuk. Dari jarak dekat, Shouki menyaksikan kegelapan, tekanan, kecemasan, trauma, kebingungan meliputi tubuh itu. Rayyan menyembunyikan wajahnya dari dunia dengan sebelah tangan. Tubuhnya bergetar.

Sebelumnya, Shouki berdebar keras.

Sekarang, ia merasa tenang.

Shouki berkata lemah, "Enggak masalah, Ra."

Rayyan menoleh.

"Kalau kamu nantinya suka orang lain, perempuan ... dan kamu sangat menyayangi dia ...," Shouki menggigit bibirnya sebentar, menahan tarikan napas berat, lalu tersenyum lembut, "aku bakal ikut bahagia."

"Saya mungkin bakal pergi dari Daddy," ulang Rayyan.

Shouki mengangguk, membelai kepala Rayyan dengan sangat tulus. "Aku ngerti. Enggak masalah. Aku mau kamu bahagia lebih dari apa pun. Kamu pantas bahagia. Itu aja."

Mata Rayyan terpejam di bawah usapan tangan Shouki. Tubuhnya berhenti bergetar.

Selama beberapa saat, tak ada respons dari Rayyan. Lelaki itu terus berpejam, seakan-akan ia ingin memutus kesadaran, tenggelam dalam koma. Sentuhan Shouki mungkin tak berarti baginya. Rayyan ingin sendiri.

Saat Shouki perlahan menarik kembali tangannya, Rayyan membuka mata.

Sedetik kemudian, Shouki bisa merasakan seluruh hangat Rayyan. Aroma keringat khasnya yang keras dan kelaki-lakian, parfum aroma summer, dan wangi manis shea butter di sekitar lehernya. Semua berkumpul satu dan memenuhi rongga dada Shouki. Ia tak mampu bernapas.

"Maaf, Daddy, tapi saya enggak mau pergi."

Rayyan memeluk.

Erat.

Saat Rayyan memeluk, Shouki baru menyadari napasnya sendiri yang gemetar. Giginya bergemeretak dan matanya memerah pedih. Tenaganya menguap hilang saat Rayyan berkata akan pergi, tetapi Shouki tetap tersenyum di hadapannya.

Shouki balas merengkuh, membelai punggung yang dipenuhi bekas luka itu, melindunginya dengan sayang. Setelah berminggu-minggu tidak berpeluk, rindu membuatnya pecah.

Rayyan Nareswara, tak peduli ia lelaki atau perempuan, Shouki Wisanggeni tahu ia sudah mencintai. Ia tidak akan menarik kata-katanya. Ia tidak menyesal. Yang ia inginkan saat ini hanya melebur.

Ia meletakkan kening di pundak Rayyan dan memejamkan matanya yang basah. Hanya pada pundak lelaki ini, Shouki Wisanggeni membiarkan dirinya kembali ke masa kecil, masa ketika ia bisa bebas menumpahkan air mata sedih dan bahagia.


Foto-foto di chapter ini diambil dari Google Images dan Instagram 

Part selanjutnya adalah part favoritku di Daddy Hot. He he. Mungkin bakal jadi favorit pembaca juga, tapi jangan lupa persiapkan diri dulu sebelum membacanya, ya.

Follow Instagram: @ ra_shou (IG khusus pembaca Rashoura, DM dulu agar di-confirm, ya)

Continue Reading

You'll Also Like

247K 20.3K 30
Memulai sesuatu yang sulit dihentikan adalah keputusan yang salah. . . . ❀ 𝕆ℝ𝕀𝔾𝕀ℕ𝔸𝕃 ℂℍ𝔸ℝ𝔸ℂ𝕋𝔼ℝ ❀ Ada beberapa part bersifat 𝐑𝟐𝟎+, harap b...
21.1K 1.3K 15
[21+] [Warning!!] [#Cerita ini mengandung adegan sex!! #tidak cocok dibaca oleh anak-anak berumur 17 tahun kebawah #kalau masih nekat, konsekuensin...
8.4K 755 24
{{BL LOKAL}} 18+ [JANGAN LUPA FOLLOW, VOTE DAN KOMEN CERITA INI YAAA..!!] *** [Cerita ini adalah side story dari cerita Till I Get You] Kenny (Kennet...
545K 6.8K 28
Warning konten 21+ yang masih dibawah umur menjauh. Sebuah short story yang menceritakan gairah panas antara seorang magang dan seorang wakil rakyat...