Ineffable

By Ayyalfy

225K 28.9K 8.3K

Ineffable (adj.) Incapable of being expressed in words. . . Kisah cewek yang ditembak oleh pemilik hotspot be... More

Prolog
1 | Orang Ganteng
2 | Iklan KB
3 | Dasi
4 | Akrobatik
5 | Friendzone
6 | Bu Jamilah
7 | Adik Ipar
8 | Monyet Terbang
9 | Hotspot
10 | Bungkus!
11 | Putri Tidur
12 | Mr. Sastra
13 | Mr. Sastra II
14 | Laki-laki Bertopeng
15 | Ice Cream
16 | Mamang Rossi
17 | Grup Sepak Bola
18 | Don't Go
19 | Bad Genius
20 | Pergi
21 | Dendam
22 | Bunuh Diri
23 | Berantakan
24 | Cinta Segitiga
25 | Memilih
26 | Hotspot 'Lagi'
28 | Makna Cinta
29 | Ich Liebe Dich
30 | Bubble Tea
31 | Centang Biru
32 | 9u-7i > 2(3u-3i)
33 | Sundel Bella
34 | Couple Al
35 | Gelang Hitam
36 | Uncle Rafka
37 | Bolos
38 | Pak Moderator
39 | Kejutan
40 | My Lil Sister
41 | It's Only Me
42 | Tom & Jerry
43 | The Moon is Beautiful, isn't it?
44 | The Sunset is Beautiful, isn't it?
45 | Meant 2 Be
EPILOG
EXTRA PART I

27 | Andra

2.8K 568 230
By Ayyalfy

Terima kasih atas kalian yang selalu menunggu untuk membaca cerita ini:)

Terima kasih atas 500+ komentarnya:)

Kalian keren ❤️

Aku suka banget bacain komentar kalian:) Terima kasih ya❤️

• • •

RAFKA

"Muka Pak Rafka hari ini cerah banget. Lagi bahagia ya, Pak?"

Gue menoleh pada Bu Cindy yang kebetulan sedang berjalan di samping gue. "Kelihatan banget ya, Bu?" tanya gue sedikit salah tingkah.

Guru perempuan itu mengangguk sambil tertawa kecil. "Mending di-control deh, Pak, ekspresinya. Kalau saya jadi Alfy, saya nggak bakal fokus belajar di kelas."

Eh?

"Ibu tau kalau saya dan Alfy ..." Gue jelas terkejut karena Bu Cindy mengetahui hubungan gue dan Alfy.

Dia mengangguk. "Anak-anak satu sekolah lagi ramai bicarain kalian, gimana saya nggak tahu?"

Ah, memang tidak bisa diragukan lagi bakat gosip dari murid-murid di sekolah ini. Tapi yang gue takutkan hanya satu yaitu citra Alfy yang bisa saja menjadi buruk setelah ini. Dia berpotensi besar menjadi lulusan terbaik pada tahun ini, kalau sampai dia gagal menyabet predikat itu karena gue, akan sangat sulit bagi gue untuk bisa memaafkan diri gue sendiri.

Bu Cindy menepuk bahu gue dan tersenyum, seolah mengerti kegelisahan gue saat ini. "Tenang aja, Pak Rafka, prestasi Alfy untuk sekolah ini sudah sangat banyak. Berpacaran dengan Bapak nggak akan mencoreng semua pencapaian-pencapaian itu."

Gue mengangguk. Bu Cindy benar. Sebelum berpacaran dengan gue pun Alfy sudah menunjukkan kalau dia adalah murid yang hebat dengan segudang prestasinya. Seharusnya gue tidak perlu mengkhawatirkan itu.

"Asal jangan sering menebar ke-uwu-an aja. Kasian, banyak murid yang jomlo di sekolah ini."

Perkataan Bu Cindy membuat gue terkekeh. "Akan saya usahakan."

Bu Cindy pamit setelah itu dan meninggalkan gue yang sekarang terdiam kaku di depan pintu kelas Alfy yang tertutup. Aneh, kenapa gue jadi mendadak gugup seperti ini?

Keep calm, Rafka! Nggak usah lebay lo!

Gue memantapkan diri sebelum membuka pintu kelas.

"Assalamu'alaikum."

Semua penghuni kelas langsung menjawab salam gue dengan kompak. Mereka sudah duduk rapi di bangku masing-masing. Tapi ada satu yang terlewat, kemana Alfy?

Gue berjalan menghampiri meja guru dan meletakkan beberapa buku yang gue bawa di atas sana. Sekali lagi, saat gue melihat tempat duduknya, cewek itu tidak ada di sana. Jangan-jangan dia tidak masuk sekolah hari ini?

"Bagaimana dengan kabar kalian?"

"Baik, Kak!"

"Kakak gimana kabarnya setelah balikan sama Alfy?" Seseorang menyeletuk dari arah belakang, mengundang sorakan 'cie' dari seisi kelas. "Nggak salah pake alas kaki lagi kan, Kak?"

Sekarang kelas penuh gelak tawa. Gue juga ikut tertawa, setengah malu juga. "Aman, kok. Aman."

"Saya absen dulu, ya?" Gue membuka buku absen. Namun, tiba-tiba saja ada sesuatu yang menarik celana gue dan itu berasal dari kolong meja. Saat gue mengintip ke bawah, jantung gue serasa lepas dari tempatnya.

Alfy? Dia sedang apa di sana?

Melihat wajah terkejut gue dia malah semakin melebarkan senyumnya. Dia melambai-lambaikan tangannya sambil menggerakkan mulutnya tanpa suara. "Halo!"

Gue menggigit bibir, menahan untuk tidak tersenyum. Astaga, cewek siapa sih, dia?

Kepala gue kembali mendongak ke atas, memastikan tidak ada yang mencurigai gerak-gerik gue sekarang. Beruntungnya mereka semua sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Gue mengambil kesempatan itu untuk bertanya pada tikus berwajah cantik yang berada di kolong meja gue.

"Kamu ngapain?"

Dia malah meminta gue untuk mendekat.

Gue berpikir keras bagaimana caranya gue bisa bergabung bersamanya tanpa dicurigai. Hingga akhirnya tatapan gue jatuh pada pulpen yang ada di atas meja. Dengan sengaja, gue menjatuhkan benda itu ke lantai. Gue pun berjongkok setelahnya, berpura-pura untuk mengambil pulpen yang jatuh itu.

Sekarang gue dan Alfy saling berhadapan. Gue langsung mencubit pipinya, gemas melihat kelakuannya yang aneh itu. "Siapa yang ngajarin kamu jadi bandel kayak gini, hm?"

Bibirnya mengerucut ke depan. "Abisnya susah banget buat ketemu sama kamu di sekolah. Kan aku mau ngucapin sesuatu yang penting,"

"Apa?"

Gue terkejut saat tangannya tiba-tiba menarik dasi gue, mengikis jarak di antara wajah kami. Dan ternyata dia membenarkan bentuk dasi gue. "Kamu lupa, ya, sekarang tanggal berapa?" tanyanya kemudian.

Berada di jarak sedekat ini menyulitkan gue untuk berpikir jernih. Tanggal apa? Tanggal dia kedatangan tamu bulanan?

"Kamu pms?"

Dia langsung memelototi gue. "Tuh kan! Kamu lupa!"

Gue sedang berada dalam bahaya sekarang. "Aku inget, kok. Hari ini ... tanggal ulang tahun kamu, kan?"

Cewek itu diam selama beberapa saat. Gue kira jawaban gue benar, tapi ternyata kepala gue malah kena jitak. "Dahlah! Aku males. Minggir, aku mau keluar!"

Misi gue untuk membuatnya kesal ternyata berhasil. Alfy yang ingin keluar dari kolong meja langsung gue tahan. Gue menatapnya sambil tersenyum. "Selamat 4 bulan berpacaran, sayang."

Alfy menekuk wajahnya. "Jahil banget, sih! Aku kira kamu lupa."

Gue mengeluarkan sesuatu dari saku celana lalu memakaikan benda itu padanya. Sebuah kalung berliontin bunga kecil berwarna putih yang sangat pas untuknya. "Mana mungkin aku lupa sama tanggal jadian kita. Bahkan jam, menit dan detiknya pun aku masih inget."

Alfy mengamati kalung yang sudah melilit lehernya itu lalu menatap gue keberatan. "Apa ini nggak berlebihan?" tanyanya.

Tentu saja gue menggeleng. "Waktu 4 bulan yang aku laluin bersama kamu lebih mahal dari kalung itu, Alfy, dan nggak akan bisa dihargai dengan apapun. Jadi, jangan anggap itu berlebihan."

"Tapi-"

"Pak Rafka!"

Duk!

Karena terkejut, kepala gue sampai terpentok meja cukup keras dan menimbulkan bunyi yang nyaring. Alfy yang melihat kejadian itu secara live berusaha keras untuk menahan tawanya. Dengan perasaan sedikit kesal, gue kembali berdiri sambil mengusap kepala gue.

"Maaf, saya habis ambil pulpen saya yang jatuh. Tadi siapa yang manggil saya?"

Syifa mengangkat tangannya. "Saya mau tanya, Kak."

Gue melirik sekilas pada Alfy yang sedang merangkak di lantai dan masuk ke kolong meja yang bersebelahan dengan tempat duduk Alvin. Kemunculan cewek itu membuat Alvin terkejut, tapi sepertinya dia dapat menebak dengan mudah kenapa Alfy bisa tiba-tiba muncul di sana. Karena laki-laki itu langsung menatap gue dengan mata memicing.

Bibir gue berkedut geli. "Silakan, Syifa, kamu mau bertanya apa?"

"Rekomendasiin jurusan untuk kuliah S1 dong, Kak."

"Kalau untuk anak ips beragam, Syifa. Mulai dari ekonomi, pendidikan, komunikasi, sampai hukum bisa kamu ambil. Tapi kalau mau lintas jurusan dan ingin saintek, bisa-bisa aja. Toh di S1 kamu akan belajar dari awal lagi. Saran Kakak, sih, pilih jurusan yang sesuai minat dan goals atau cita-cita kamu. Biar pas jalaninnya nanti kamu nggak setengah hati."

Syifa manggut-manggut di tempatnya. Tipe murid seperti dia dan Alfy pasti akan memikirkan dengan serius tentang pendidikannya.

"Buat yang lain juga, kalian harus memikirkan itu dari sekarang. Karena S1 adalah pijakan awal untuk karir kalian nanti, jadi perlu dipertimbangkan matang-matang."

Ferdy yang duduk di belakang mengacungkan tangannya. "Cita-cita saya ingin punya istri empat, Kak. Jurusan S1-nya apa tuh?"

Semua penghuni kelas menyambut pertanyaan Ferdy dengan gelak tawa. Gue geleng-geleng kepala dengan tingkah ajaib anak itu.

"Cita-cita saya jadi pengacara, Kak, kayak Lee Jong-suk."

"Cita-cita saya jadi Rafatar, Kak."

"Cita-cita saya mau jadi jodohnya Sehun, Kak!"

"Eh, cita-cita gue jadi Nia Ramadhani aja kali, ya?"

"Nagita Slavina aja, sih."

Kelas berubah gaduh karena mereka sibuk memikirkan cita-cita masing-masing. Semuanya tampak tertarik membahas topik itu, tapi tidak dengan Alfy. Cewek itu malah asik mengobrol dengan Alvin.

Sejak kapan mereka akrab?

"Kalau kamu, Alfy, cita-cita kamu apa?" Gue melayangkan pertanyaan untuknya, membuat cewek itu mendongak dan menatap gue.

Suasana kelas berangsur hening, menunggu jawaban Alfy dengan penasaran.

"Eh, saya?" Alfy menunjuk dirinya sendiri yang gue jawab dengan anggukan. "Cita-cita saya mah simpel. Mau jadi ibu rumah tangga yang baik aja."

Semua penghuni kelas bertepuk tangan dan bersiul heboh.

"2021 Alfy otw halal!"

"Kita udah tau cita-cita Alfy, sekarang giliran Kak Rafka, dong!"

Ternyata gue kena juga. Gue menatap seisi kelas dan berakhir menatap Alfy yang juga sedang menatap ke arah gue. "Apa lagi? Cita-cita saya ya membantu Alfy mewujudkan cita-citanya."

• • •

ALFY

"Alfy, Rafka udah dateng tuh!"

Suara ibu menggelegar dari luar. Aku melirik jam yang menempel di dinding kamar, sekarang baru menunjukkan pukul sembilan pagi. Laki-laki itu gercep sekali. Dia datang setengah jam lebih awal dari yang dia janjikan.

Setelah memakai pashhmina, aku keluar dari kamar dengan membawa beberapa buku dan alat tulis. Tiba di ruang tamu aku melihat laki-laki itu sudah duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Anehnya dia tidak menyapaku sama sekali. Bahkan menatap pun tidak.

"Ekhem!" Aku mengambil posisi duduk di sebelahnya sambil berpura-pura batuk, namun masih tidak berefek apapun untuknya.

Ini mencurigakan. Seingatku kami tidak sedang bertengkar dan aku juga tidak memiliki salah padanya. Bahkan semalam kami teleponan hingga tengah malam. Sangat aneh jika dia tiba-tiba berubah dalam sekejap mata seperti ini.

"Hari ini kita belajar apa?" tanyaku memberanikan diri dan kali ini berhasil membuatnya terlepas dari ponsel. Tapi dia tetap tidak bersuara, hanya membuka buku detik-detik UN milikku lalu memberikannya padaku.

Aku berdecak. Dia bilang dia akan membantuku belajar untuk ujian nasional. Lalu bagaimana cara aku memahami apa yang dia ajarkan jika dia membisu seperti itu?

Dengan gerakan kesal aku menutup buku dan beranjak bangun. "Dahlah! Saya belajar sendiri aja. Toh IQ saya tiga dijit, masa iya nggak bisa belajar sendiri?"

Berhasil. Dia menahan tanganku dan menarikku untuk kembali duduk.

"Alfy?"

Akhirnya dia bersuara juga. "Hmm?"

"Andra siapa?"

"Andra?" Aku menatapnya bingung. "Andra siapa apanya?"

Laki-laki itu menatapku datar. "Nggak usah pura-pura nggak tau."

Aku memang benar-benar tidak tahu tentang Andra yang dia maksud itu. Bahkan punya teman yang bernama Andra pun tidak pernah. "Andra siapa, sih?"

"Kamu jalan kan sama Andra?" tuduhnya seenak jidat.

"Nggak!"

"Tapi semalam aku mimpi!"

Mimpi katanya?!

Aku meletakkan pensil di atas meja dengan kesal. "Ya kan itu di mimpi, Bambang!

Pak Rafka masih menatapku nyolot. "Tapi Andra siapa?"

"Ya nggak tau!"

"Kok kamu bisa bareng dia?!"

Astaga, dia kesambet setan bego dari mana, sih?! "Ya kan itu cuma mimpi!"

Dia menggeser tubuhnya dan menjauhiku. "Nggak usah pegang-pegang!"

"Dih?"

"Siapa Andra, Al? Ngaku!"

Aku menatapnya datar. "Dodol," umpatku yang mendapat pelototan mata darinya.

"Aku laporin ke ibu kamu, nih!" ancamnya kemudian.

"Astaga. Andra siapa, sih?!"

"Bilangin ke ayah kamu mau?"

Aku seperti orang bodoh yang bertengkar dengannya hanya karena mimpi. Kalau aku tahu dia marah hanya karena mimpi bodoh itu, aku tidak akan meladeninya dari awal.

"Yaudah, bilangin aja sana," sahutku balik menantang. "paling nama kamu dicoret dari daftar calon mantu."

"Kok gitu?!"

"Ya pikir aja sendiri!" Kali ini aku memutuskan untuk berhenti meladeninya dan pergi meninggalkannya.

Lagi, dia menahanku. "Mau kemana?" tanyanya.

"Mau jalan sama Andra!"

Kedua mata laki-laki itu langsung membelalak. "TUH KAN KAMU KENAL ANDRA!"

Aku menatapnya jengah. "Mau ambil minum ke dapur. Ikut?"

"Ma-"

Dering ponselnya menginterupsi kami berdua. Aku tidak berniat untuk melihat siapa orang yang meneleponnya itu, tapi aku tidak sengaja membaca nama 'Mbak Ratna' di sana. Wajah laki-laki itu langsung berubah, meski berusaha dia tutupi seapik mungkin.

"Aku izin angkat telepon dulu, ya?"

Tanpa menunggu jawabanku dia langsung pergi menjauh dan memutuskan untuk menerima telepon di teras. Kuputuskan untuk tidak kepo lebih lanjut. Bagaimana pun Pak Rafka memiliki privasi dan aku harus menghargai itu.

Aku pun pergi ke dapur untuk mengambil minum. Saat aku kembali ke ruang tamu, laki-laki itu belum menyelesaikan panggilannya. Kali ini aku tidak bisa menahan diri lagi. Kuputuskan untuk mendekat ke teras dan berdiri di balik pintu utama. Dari sini aku bisa mendengar jelas suara laki-laki itu.

"Rafka nggak akan pergi, Mbak."

Pergi?

"Iya, Rafka keras kepala. Rafka egois. Kalau dengan egois Rafka bisa menjaga perasaan Alfy, Rafka nggak akan berpikir ulang untuk melakukannya."

Jantungku serasa mencelos. Mereka sedang bertengkar karenaku?

"Kalau nggak ada yang penting lagi Rafka matikan teleponnya."

Aku menggigit bibir saat melihat laki-laki itu mengacak rambutnya frustrasi. Aku tahu sekacau apa dirinya sekarang. Saat dia harus memilih antara keluarga atau aku yang hanya orang asing yang kebetulan dia sayangi.

"Alfy? Kamu ..." Laki-laki itu terkejut saat menemukanku ada di balik pintu.

"Kenapa kamu pilih aku?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Hei," Dia menangkup wajahku. "Kok kamu nangis?"

"Jawab, please."

Dia terdiam selama beberapa saat sebelum membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah memintaku untuk berjanji. Janji yang juga akan aku pinta darinya.

"Kamu mau janji, nggak? Kalau suatu saat, jalan satu-satunya yang bisa kita ambil cuma ada jalan menuju berpisah, kita jalan di tempat aja, ya? Karena berpisah dengan kamu adalah hal yang nggak pernah aku mau dan nggak pernah aku mampu."

Di tengah isakan dan pelukan hangatnya, aku mengangguk.

• • •
TBC!
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN!

UDAH AH, GA TEGA BIKIN KONFLIK LAGI BUAT MEREKA:(

TAPI KALAU GA ADA KONFLIK, KALIAN BACANYA BAKAL GEREGET GA?😭




Continue Reading

You'll Also Like

Dua Sejoli By ika

Teen Fiction

113K 11.7K 9
Squel Of Dosen Kampus cover by : canva
17.4K 1.6K 6
Satu tahun menjalani hubungan membuat Nayyara Ayu Prameswari yakin untuk menerima lamaran Rafisqi Alterio Mahawira, seorang Wakil Direktur di tempatn...
13.1M 849K 69
Cerita ringan untuk menemani karantina kalian. Start: 7 Mei 2020 End: 22 Juni 2020 [Masih suka update meskipun udah tamat] ❄❄❄ "Emang kalau saya mau...
9K 916 43
💜 LavenderWriters Project Season 07 ||Kelompok 03|| #Tema; Mantan •- Ketua: Manda •- Wakil: Lintang ××× Ini kisah tentang dua insan yang tak lagi be...