Cephalotus

By rahmatgenaldi

120K 11.5K 6.6K

❝ Sekalipun tentangmu adalah luka, aku tetap tak ingin lupa. ❞ --- Atilla Solana, Sang Cephalotus. Cewek ta... More

Prologue
1. Atilla
2. Derrel
3. Destiny?
4. Forgiveness
5. Let's Break The Rules (1)
6. Let's Break The Rules (2)
7. Danger?
8. A Bet
9. Broken
10. Heal
BACA!
11. How To Play
12. Problem
13. Atilla Vs Butterflies
14. Revenge
15. Epic Comeback?
16. Meaningless Kiss
17. Consequence
18. Fake Confession?
19. Jealousy
20. To Be Honest...
21. Coercion
22. Accepted
23. Fail Date
24. Closer
25. The Camp
( VISUAL )
26. Another Catastrophe
27. Resistance
28. Come Out From Hiding
29. Lovely Little Girl
30. Prestige
31. Fall Down
32. Pathetic Dad
33. Worst Prom Night Ever
34. Cheer Up
35. Darker Than Sin
36. Pretty Savage
38. Cracked
39. Run Away
40. Not Bonnie & Clyde
41. Her Name Is Andrea
42. Neverland
43. A Passionate Night
44. Anxiety
45. Mr. Rabbit & Mrs. Hedgehog
46. Forced To Go Home
47. Destruction
48. Drive Him Away
49. Welcomed
50. Miserable Days
51. Secret Admirer
52. The End
Epilogue
EXTRA CHAPTER - 1
GIVEAWAY !!!
Extra Chapter: Unexpected Hero
PRE - ORDER !!!
SURPRISE !

37. Dignity

933 111 40
By rahmatgenaldi


Aku memilih diam dan menahan segala rasa saat matamu menatapku lekat. Sebab aku wanita. Yang dengan ragu mengeja kata, bahwa tentang kita adalah cinta.
—Atilla Solana

• • •

"Til, bangun, udah siang!"

Tak cukup lima detik Aletta berteriak di depan pintu kamar Atilla, adiknya itu sudah muncul setelah terdengar suara kenop pintu yang ditarik.

"Oh, udah bangun?" tanya Aletta bercampur rasa kaget, karena ia sama sekali tak mengira bahwa adiknya bisa secepat ini bersiap ke sekolah.

"Bukan udah bangun doang, tapi udah siap!"

Aletta terkekeh sembari mengikuti langkah Atilla yang sudah berjalan menuju ruang makan. "Tumben banget! Habis dapet hidayah dari mana, sih?"

"Bacot," balas Atilla sekenanya. "Papa mana?"

"Kan gue udah bilang." Aletta mengambil tempat duduk di depan Atilla. "Jam segini jangan nyari Papa, dia udah berangkat kerja."

"Jadi lo yang masak?" Cewek itu menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. "Wow! Enak banget! Persis kayak yang biasa Papa bikin dulu. Lo sejak kapan bisa masak?"

"Emang gue ada bilang kalo yang masak nasi gorengnya itu gue? Nggak, bego! Itu yang masak Papa tadi."

Merasa cukup dengan jawaban Aletta, Atilla memilih menuangkan air putih di gelasnya, kemudian menenggaknya hingga tandas.

"Eh, Til. Gue jadi penasaran, deh. Emang bener kalo si Dion udah nggak tinggal di Padang lagi?"

Mendengar nama itu tiba-tiba disebut, seketika raut wajah Atilla berubah suram. "Dion siapa?" tanyanya dengan suara berat.

"Mantan lo, lah! Emang ada berapa Dion yang lo kenal?"

Atilla tak menjawab, dan sepertinya Aletta tidak cukup pintar untuk membaca ekspresi adiknya. Bahwa cewek itu tidak senang dengan pembicaraan seperti ini. Ia tak pernah senang jika ada manusia lain yang mengorek masa lalunya.

"Gue denger-denger, dia pindah jauh banget. Ikut orang tuanya ke daerah Sulawesi. Kalo nggak salah, nama kotanya... Kendari?. Eh iya, Kendari!"

"Terus hubungannya sama gue apaan?" Atilla mulai menatap Aletta dengan sinis.

"Santai dikit sabi kali. Gue cuman pengen tau aja, sejauh ini, kisah asmara lo kayak gimana setelah putus dari Dion, lalu Duta?"

"Aman deh pokoknya." Tiba-tiba saja Atilla menunduk, menyembunyikan rona merah dan seulas senyum yang terbit di wajahnya saat nama Derrel terlintas begitu saja di kepala.

"Aman gimana maksudnya?"

"Lo tau Derrel nggak?" Atilla malah balik bertanya.

Sejenak, Aletta terlihat berpikir. Lalu secepat mungkin ia mengangguk antusias. "Tau! Yang maksa nganterin lo pulang pas ultahnya Nella itu, kan? Yang anaknya Om Rendy?"

Atilla mengangguk, seirama dengan senyumannya yang semakin lebar terulas. "Shit! Gue suka dia. Tapi dia nggak jelas banget. Padahal gue tau, kalo sebenarnya dia itu udah suka sama gue dari dulu."

Aletta menahan senyumannya agar Atilla tak merasa ditertawakan. "Kok tiba-tiba gini? Bukannya kecepetan? Lo baru aja putus dari Duta, terus sekarang bilangnya suka Derrel. Kesannya kayak lo jadiin dia pelampiasan, nggak sih?"

Atilla menggeleng, lalu tersenyum. "Justru ketiba-tibaan ini gue lakuin supaya nggak wasting time terlalu banyak. Gue mau nerima dia sebelum nyesel. Gue harus buka mata dan sadar kalo ada cowok di belakang gue yang mau maju agar berdirinya sebelahan sama gue. Intinya, gue mau hargain keberadaan Derrel sebelum terlambat, keburu dia suka sama cewek lain kayak gue  yang dulu udah kepincut duluan sama Duta. Gue nggak nyesel di akhir."

Aletta mengerjap beberapa kali demi menerjemahkan maksud Atilla. "Ya-yaudah, sih. Kalo emang menurut Derrel dia itu nggak jelas dan cuma wasting time, lo duluan aja tembak dia langsung!"

Dan yang terjadi selanjutnya adalah Atilla tersedak nasi goreng. Cewek itu terbatuk-batuk, kemudian menepuk-nepuk dadanya agar makanan yang tersangkut di kerongkongannya segera turun. Belum cukup, Atilla meraih segelas penuh air putih, lalu meneguknya hingga habis.

"LO GILA, KAK?!" pekiknya kemudian.

Aletta membalasnya dengan tatapan heran, lalu mengangkat bahu. "Apa salahnya? Emang ada aturan yang ngelarang cewek buat nembak duluan?"

"Nggak gitu, Kak." Atilla menunduk, lalu kembali menatap Aletta setelah menyampirkan rambutnya ke samping. "Gue sama Derrel punya permainan. Siapa yang suka duluan, dia yang nembak duluan."

"Yaudah, tembak duluan aja. As simple as that, Atilla." Aletta merasa kerongkongannya jadi tandus karena pembicaraan yang mulai serius ini, ia lalu meraih segelas air putih untuk melepaskan dahaga.

Atilla menggeleng. "Masalahnya, kalo emang gue harus lakuin itu, gue harus lakuinnya di depan orang tuanya Derrel."

Ucapan Atilla bagai serangan mengejutkan yang telak mengenai kesadaran Aletta, hingga cewek itu tak sengaja menyemburkan kembali air minum yang sudah hampir habis dari mulutnya. Bahkan cewek itu terbatuk hingga wajahnya berubah merah.

"Siapa yang mulai permainan gila itu?" tanyanya setelah dada serta kerongkongannya berangsur membaik.

"Gue," jawab Atilla.

"Yaudah. Kalo kata Istaka nih ya, kau yang memulai, kau juga yang harus mengakhiri. Khheeekk."

Atilla pasti sudah tertawa melihat kakaknya yang kini memperagakan gerakan seekor ular mematuk jika seandainya ponselnya tak berdering. Secepat mungkin ia merogoh saku roknya untuk melihat siapa manusia kurang kerjaan yang meneleponnya sepagi ini.

"Siapa?" tanya Aletta saat melihat ekspresi aneh adiknya.

Atilla berusaha menahan gejolak aneh dalam dadanya. Ia sampai menggigiti bibir bawahnya agar dapat menyembunyikan senyuman yang baginya terasa menggelikan.

"Dari Derrel nih," jawabnya kemudian.

"Yaudah, tunggu apa lagi? Angkat!" titah Aletta.

Entah mengapa, Atilla jadi sering gemetaran ketika akan berinteraksi dengan cowok itu. Bahkan ia pernah mendapati dirinya seperti tersengat listrik kala kulitnya bersentuhan dengan Derrel. Pun sering kali ia mendapati tubuhnya merinding meskipun Derrel hanya sekadar membisikkan sesuatu di telinganya.

Baginya, Derrel bisa saja berubah menjadi seorang cowok mematikan yang akan membahayakan jantungnya. Meskipun tetap saja, saat dilanda rasa gengsi, di dalam pengakuan Atilla, Derrel hanyalah cowok lemah nan receh yang sering kali membuatnya gemas dan naik darah.

Dengan ujung jarinya yang keringatan, Atilla menekan tombol hijau.

"Halo?" sapanya.

"Cepetan keluar. Gue di depan."

"H-hah?" Sudah jelas Atilla terkejut.

"Cepetan, bego! Mau dikasih tumpangan gratis apa nggak? Gue tunggu sampai tiga menit. Kalo belom keluar juga, gue tinggal, ya."

Lalu, bertepatan dengan telepon yang terputus, Atilla meraih tas sekolahnya—berpamitan seadanya dengan Aletta—lalu berlari keluar rumah—meninggalkan kakaknya yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat perubahan drastis yang terjadi pada dirinya.

• • •

"Lah, kok bisa jemput?"

Derrel hanya mengangkat bahunya. "Ya gitu lah. Karna... ya, bisa aja."

"Ih, maksud gue, siapa yang ijinin? Bukannya lo nggak boleh bawa kendaraan lagi?"

"Buktinya sekarang gue di sini, kan?" balas Derrel dengan telak.

"Ya karena lo di sini, gue nanya. Kok bisa?"

"Nggak penting." Cowok itu kemudian menyerahkan helm ke Atilla. "Cepetan naik."

"Iya, tapi jelasin dul—"

"Naik, atau gue tinggal?"

"Ck." Atilla memasangkan helm di kepalanya, lalu naik ke atas motor dengan bibirnya yang ia cebikkan. "Lo kok tiba-tiba jadi sok cool dan sok kharismatik banget gini, sih? Belajar dari mana?!" tanyanya kesal.

Cowok itu mulai melajukan motornya, membelah jalan, lalu bergabung dengan pengendara lain yang memadati jalan raya.

"Lo juga agak berubah. Belajar dari mana?" Derrel dengan sengaja membalikkan pertanyaan Atilla.

"Dari lo. Katanya, gue harus berbaur, kan? Nggak boleh ansos, kan? Tapi kenapa sekarang malah lo yang jadi sok dingin gini?"

"Lo belajar dari gue?"

"I-iya," jawab Atilla setengah bingung. Interaksi mereka sedikit terganggu dengan suara deru motor yang beradu dengan suara angin.

"Yaudah. Gue juga belajar dari lo. Lebih tepatnya, berubah buat lo."

Lalu, yang terjadi selanjutnya adalah Atilla terpaksa  bungkam seribu bahasa, bahkan sampai pelajaran pertama di kelasnya selesai.

"Berubah buat gue? M-maksudnya?" batin Atilla gelisah.

• • •

"Psst."

Atilla langsung menoleh sewaktu Derrel mendesis untuk menmanggilnya di sela-sela waktu pelajaran.

"Kenapa?" sahutnya pelan.

"Bentar, pulang sekolah, lo pasti gabut, kan?"

"Kok nanyanya gitu?" Sepersekian detik kemudian, mereka mulai hanyut dalam percakapan, mengabaikan sang guru yang tengah menjelaskan materi di depan sana.

Derrel mendekatkan posisi duduknya ke samping Atilla. "Gini, sebagai temen yang baik, dan karena gue tahu kalo lo itu nolep banget, gue mau ajakin lo nonton film bareng lewat Zoom. Mau nggak? Gue mau nonton Harry Potter pulang sekolah. Mau ikut?"

Atilla berdecih, kemudian tersenyum miring. "Bullshit. Bilang aja kalo lo emang pengen banget nonton bareng gue! Nggak usah sok bilangin gue gabut. Jangan bikin ini seolah-olah gue yang pengen ikut. Emang susah banget ya, bilang 'Til, mau nggak nonton bareng gue?' Dasar emang gengsian lo ya!" ledek Atilla.

"Idih, ini gue baik, pengen nemenin lo biar nggak gabut. Tapi kalo nggak mau yaudah."

"Lah, ngambek." Atilla terkekeh. "Iya, Derrel. Gue mau kok, 'temenin' lo zoom-an sambil nonton Harry Potter." Ia mengulum senyum yang terlampau lebar. Dirinya memang sengaja menekankan kata 'temenin' agar Derrel sadar bahwa tidak mudah untuk berpura-pura di hadapan manusia bernama Atilla Solana.

Tak lama setelah itu, bel tanda jam istirahat berdenting nyaring.

• • •

Suara derap kaki yang berlarian itu menggema hampir di setiap koridor sekolah. Bukan. Ini bukan hanya karena bel istirahat sudah berdenting nyaring, melainkan karena apa yang tengah terjadi di kantin berhasil menghebohkan hampir seluruh siswa di sekolah.

Atilla seharusnya sudah turut berada di kantin bersama teman-temannya. Namun, setangkai bunga mawar di atas mejanya terlalu menyita perhatiannya. Apalagi, pesan yang tertempel di tangkai bunga itu berhasil mendistraksi cewek itu.

Ia hanya lima belas menit ke toilet, dan tiba-tiba saja ada yang menaruh bunga mawar di atas mejanya. Bukankah itu mencurigakan?

"Hai, Cephalotus. Semoga harimu baik."

—Rahasia.

Setelah cukup lama terpaku dengan setangkai mawar yang kini sudah berada di tangannya, akhirnya kesadarannya kembali terkumpul.

Masih dengan mawar itu, Atilla berlari sampai di kantin, lalu dengan mudahnya ia menyibak kerumunan di sana.

"Ini ada apa, sih?" omelnya sebelum setelahnya ia menemukan Jacklin menangis dengan posisi terduduk di lantai.

Munculnya Atilla berhasil mengalihkan perhatian para siswa untuk sesaat. Jika sebelumnya menyaksikan drama yang datang dari Jacklin adalah tontonan menarik bagi mereka, kali ini penampilan Atilla yang menawan bak dewi berhasil membuat para siswa laki-laki hampir gila.

"Lin, lo kenapa?" tanya Atilla kala dirinya mulai berlutut untuk menyejajarkan tatapannya dengan Jacklin.

Bukannya menjawab, Jacklin menatap Atilla dengan tatapan yang sukar untuk diartikan. Tatapannya hampa, namun sesaat setelah itu, air mata yang membendung di pelupuk matanya langsung luruh ke pipi.

Atilla menemukan pertanda luka yang amat dalam saat Jacklin menatapnya. Tapi, apa itu? Ia tak tahu persis.

"Lin, lo kenapa, sih? Jangan bikin gue makin bingung deh."

Sialnya, tak seorang pun yang tahu penyebab Jacklin menangis. Atilla menatap Derrel, namun cowok itu hanya mengangkat bahunya sebagai respon.

"A-aku... sa-sakit banget, Til!" keluh Jacklin dengan terbata.

"Iya, sakit karena apa?" Untuk kedua kalinya, Atilla kembali merasakan hatinya seperti tertusuk kala mata sendu milik Jacklin lagi-lagi menatap ke arahnya. Refleks, cewek itu kembali mengedarkan pandangannya ke arah lain.

Tangannya yang masih  menggenggam setangkai mawar itu berkeringat dingin. Semua pandangan terpusat pada dirinya, membuatnya semakin tidak nyaman berada di sana.

"Oh, iya. Arkan mana?" tanyanya setelah selesai mengedarkan pandangan. "Bukannya seharusnya dia ada di saat lo rewel kayak gini, Lin?"

Sial. Mendengar nama Arkan, Jacklin semakin menunjukkan seberapa hancur dan menyedihkan dirinya sekarang. "I-itu dia. Arkan bilang, a-ku salah. Salah besar. Tapi—"

Jacklin mengangkat pandangannya. Matanya yang basah, ditambah tatapan memelas semakin menunjukkan betapa saat ini ia tak berdaya.

"—apa salahnya nyatain perasaan? A-aku juga perempuan. Aku berhak suka sama siapapun, termasuk Arkan. Itu wajar, kan? Ta-tapi, kenapa Arkan tega banget sama aku?"

Tangan Atilla mengepal kuat, membuat tangkai bunga di tangannya hampir patah. Tatapannya berubah tajam, seolah ia siap menikam siapa saja dengan tatapannya itu. "Bilang ke gue. Lo dikatain apa sama si mulut cabe itu?"

Jacklin menggeleng, membuat bendungan air di matanya kembali jatuh ke pipi mulusnya. "A-arkan nggak salah. Aku yang bego. Udah tau Arkan cuma anggap aku sahabat, tapi tetep aja harepin dia."

Atilla menengadahkan wajahnya, berusaha untuk meredam emosinya. "Jangan bikin ini tambah susah deh, Lin. Arkan bilang apa sampe lo nangis?"

"A-aku nembak Arkan, tapi dia nolak. Terus  dia ngatain aku bego. Itu doang," lirih Jacklin.

Tak ingin membuang waktu terbuang lebih lama lagi, Atilla langsung berdiri dari duduknya. Ia berjalan keluar dari kantin bersama setangkai mawar yang menjadi saksi bahwa seseorang telah menyalakan api amarah yang menyala-nyala  dalam tubuhnya. 

• • •

Bugh!

Hanya satu pukulan, namun berhasil membuat Arkan terkapar jatuh dari bangkunya. Bersama kebingungannya, cowok itu bangkit sambil mengelus pipinya yang berdenyut.

"Dasar cewek sinting! Lo apa-apaan, hah? Dateng-dateng mukulin orang!" cecarnya.

"Lo cowok apa bukan? Kalo lo emang nggak suka sama Jacklin, lo nggak usah baperin dia! Nggak usah anter jemput dia, nggak usah bikin dia berharap kalo lo emang nggak bermaksud buat macarin dia! Dasar banci!"

Arkan berdecih. "Lo tau apa soal gue sama Jacklin? Kita tetanggan, dari kecil udah barenh. Gue kayak gitu karna dia udah gue anggep kayak adek gue sendiri! Dia aja yang bego, salah ngartiin."

Atilla terlalu hanyut dalam hawa panas yang mengerubungi antara dirinya dan Arkan, sampai tak sadar bahwa hampir semua siswa turut hadir mengikutinya. Bahkan Jacklin sebenarnya sudah ada di sampingnya untuk menenangkan—seandainya cewek itu menyadari.

"Kalo emang menurut lo dia nggak pantas buat lo pacarin, yaudah. Tinggal lo tolak baik-baik aja. Dia udah berani ngambil inisiatif buat nembak lo duluan, itu artinya dia cinta banget sama lo! Jangan lo bales dengan ucapan kurang ajar kayak gitu!"

"Terus gue harus ngapain sekarang, hah? Kalo gue emang nggak bisa sama dia gimana? Itu hak gue dong. Toh juga kalo gue jadian sama Jacklin, sama aja, ujung-ujungnya dia bakalan rasain sakit juga. Karena gue nggak punya perasaan apa-apa ke dia selain rasa sayang sang kakak kepada adiknya," papar Arkan panjang lebar.

"A-arkan, Jacklin minta maaf," lirih Jacklin sekali lagi.

Arkan memejamkan matanya, berusaha agar tidak merasa bersalah dan menyesal. Ia tahu Jacklin sangat menginginkan dirinya, namun ia pun tahu bahwa ia akan semakin menyakiti Jacklin jika dirinya memaksakan perasaan.

"Ada keributan apa ini? Bubar!"

Seperti kawanan semut yang sarangnya dihancurkan, sebagian dari siswa yang memang bukan siswa dari kelas itu langsung berhamburan keluar.

Bu Christin langsung duduk di kursinya, membuat Atilla dan teman-temannya turut melakukan hal yang sama.

Sesekali, Atilla menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa Jacklin baik-baik saja. Emosinya belum sepenuhnya tersalurkan ke Arkan, membuat ia menyumpahi Bu Christin dalam hati.

Atilla kembali menoleh ke belakang, menatap Arkan yang kebetulan sedang menatap ke arahnya juga.

"Lo harus minta maaf sama Jacklin. Gue nggak mau tau. Iya, lo emang punya hak buat nolak dia, tapi lo udah kelewatan. Lo udah jatuhin harga dirinya. Lo jatuhin martabatnya sebagai cewek!"

Untuk merespons Atilla, Arkan hanya mengangguk malas. Ia tahu bahwa setelah menolak Jacklin, akan ada banyak orang yang menyalahkan dirinya.

Atilla masih betah menatap nyalang ke arah Arkan sampai akhirnya Bu Christin membuatnya tersentak bukan main.

"ATILLA!"

Cewek itu refleks menoleh, wajahnya berubah pucat. "I-iya, Bu. Maaf. Tadi saya cuman nanya materi ke Arkan."

Bu Chistin menggeleng. "Bukan itu!" Kemudian, wanita itu menghampiri meja Atilla, membuat cewek itu semakin panik di tempatnya.

Tanpa disangka-sangka, Bu Christin malah meraih setangkai mawar yang sengaja Atilla letakkan di atas mejanya, membuat dirinya semakin ketakutan dan bingung. Sungguh tidak menyenangkan jika di pagi yang cerah ini Atilla dihukum membersihkan toilet lagi.

"Oh, jadi kamu yang metik bunga ini di depan kantor ibu?! Bener-bener kamu, ya. Sekarang keluar! Temuin Pak Aryo di ruangan BP!

"H-hah?" Atilla mengerjap beberapa kali. Ia masih terkejut, hingga tak dapat mengerti apa yang tengah terjadi.

"KELUAR!"

Setelah menatap Derrel yang hanya memasang wajah tak berdosa, cewek itu keluar dari kelas dengan langkah terburu-buru.

"Sialan banget tuh si Rahasia. Ternyata bunga yang dia kasih ke gue hasil nyolong!" umpat Atilla selama perjalanannya menuju ruang BP.

• • •

Terima kasih sudah meluangkan waktu buat baca sampai di sini.

Seperti biasa, aku mau nanya. Menurut kalian, sejauh ini ceritanya gimana?

Kalo kalian suka, bantu share ke temen-temen kalian, ya! Biar bapernya nggak sendirian😜

Last but not least, jangan lupa vote+spam komen sebanyak-banyaknya biar aku bisa update secepatnya!

See you🤎

Continue Reading

You'll Also Like

5.6M 241K 56
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
695K 111K 54
VANESSA ABHIGEAL LUCY Adalah gadis cantik dengan tinggi di bawah rata-rata, meski terlahir dari keluarga berpunya tak lantas membuatnya menjadi priba...
176K 29.5K 101
[Mengusung tema mental health pada tokohnya. Ada plot twist dan teka-teki yang membuat Anda mikir.] CERITA INI BELUM DIREVISI! Ketika dua orang denga...
2.7M 239K 37
Namaku Kira. Aku Hacker. Kehidupanku berjalan dengan baik sebelumnya, tanpa komputer. Namun, karena dikhianati seseorang. Aku yang notabenenya memili...