Ineffable

By Ayyalfy

225K 28.9K 8.3K

Ineffable (adj.) Incapable of being expressed in words. . . Kisah cewek yang ditembak oleh pemilik hotspot be... More

Prolog
1 | Orang Ganteng
2 | Iklan KB
3 | Dasi
4 | Akrobatik
5 | Friendzone
6 | Bu Jamilah
7 | Adik Ipar
8 | Monyet Terbang
9 | Hotspot
10 | Bungkus!
11 | Putri Tidur
12 | Mr. Sastra
13 | Mr. Sastra II
14 | Laki-laki Bertopeng
15 | Ice Cream
16 | Mamang Rossi
17 | Grup Sepak Bola
18 | Don't Go
19 | Bad Genius
21 | Dendam
22 | Bunuh Diri
23 | Berantakan
24 | Cinta Segitiga
25 | Memilih
26 | Hotspot 'Lagi'
27 | Andra
28 | Makna Cinta
29 | Ich Liebe Dich
30 | Bubble Tea
31 | Centang Biru
32 | 9u-7i > 2(3u-3i)
33 | Sundel Bella
34 | Couple Al
35 | Gelang Hitam
36 | Uncle Rafka
37 | Bolos
38 | Pak Moderator
39 | Kejutan
40 | My Lil Sister
41 | It's Only Me
42 | Tom & Jerry
43 | The Moon is Beautiful, isn't it?
44 | The Sunset is Beautiful, isn't it?
45 | Meant 2 Be
EPILOG
EXTRA PART I

20 | Pergi

3.1K 539 124
By Ayyalfy


ALFY

Aku meringis melihat luka di ujung bibir laki-laki yang ada di hadapanku. Saat tanganku terangkat untuk membersihkan luka itu, suara seseorang menginterupsinya dengan kesal.

"Kamu ngapain, sih? Dia pasti bisa obatin lukanya sendiri, Al!"

Mataku langsung menatap nyalang pada pemilik suara itu. "Bisa diem, nggak?"

"Nggak," Pak Rafka menyahut cepat. "Luka kecil kayak gitu doang nggak usah dibikin lebay, deh. Jauh ke usus, nggak bisa bikin nyawa melayang."

"Kalau Bapak nggak nonjok Alvin, luka ini nggak akan ada dan saya nggak merasa bersalah sekarang," ujarku sambil menatapnya dengan kesal. "Dasar sumbu pendek!"

"Alfy, dia minta kamu jadi pacarnya! Gimana aku nggak marah coba?" elaknya membela diri.

Aku menghela napas sambil kembali membersihkan luka di wajah Alvin. "Pacar bohongan, Pak, bukan beneran," ralatku.

"SAMA AJA!"

"Dimana letak samanya?!" pekikku sampai membuat Alvin meringis karena lukanya kutekan cukup keras. "Nggak usah ngadi-ngadi, deh!"

"Kamu yang jangan ngadi-ngadi, Alfy. Masa kamu tega selingkuhin aku cuma demi cowok kaku kayak patung selamat datang macam Alvin?"

Aku menatap Alvin yang diam seribu bahasa dari semenjak kami tiba di UKS. "Anggap aja lo emang patung selamat datang, ya? Jangan dengerin omongan nggak jelas dia," ucapku pada laki-laki itu yang dia respons dengan anggukan pelan.

"Alfy, kamu—"

"Mending Bapak balik ke kelas, deh! Bikin polusi suara aja di sini!" potongku sambil mendorong tubuh laki-laki itu untuk keluar dari ruang UKS.

Pak Rafka tetap kekeh dan menolak untuk kuusir. "Dengan biarin kamu berduaan sama Alvin di sini? Nggak, Alfy! Nanti kamu diapa-apain sama dia!"

Aku memutar bola mata dengan jengah. "Bapak pikir cewek yang bisa kalahin dua preman sekaligus bisa diapa-apain sama cowok kayak Alvin? Dia melek aja nggak kuat apalagi berbuat jahat!"

Di tempatnya, Alvin terlihat kesal melihat pertengkaran kami yang tak kunjung usai. "Mending kalian aja deh yang pergi dari sini," ujarnya datar.

"Nggak! Ada banyak hal yang mau gue tanya ke lo," tolakku dan kembali mengusir Pak Rafka untuk keluar. "Kalau Bapak nggak pergi, saya bakal pacaran beneran sama Alvin!" ancamku dan sukses membuat laki-laki itu mengalah.

Pak Rafka menghela napas. "Oke, tapi jangan lama-lama, ya?"

"Emang kenapa kalau lama?"

"Nanti aku kangen."

Aku menatapnya datar. "Minta banget dibuang ke Nusa Kambangan, ya?"

Laki-laki itu hanya menyengir lebar. The annoying expression that always makes me hate and love it at the same time!

"Yaudah, sana pergi!"

Akhirnya laki-laki dengan mulut berisik itu meninggalkan UKS setelah mengancam Alvin dengan tatapan mautnya. Ruang UKS menjadi sepi senyap setelah dia pergi.

Aku ingin kembali mengobati luka Alvin, tapi laki-laki itu menolak. "Biar gue aja, Al," ucapnya yang kujawab dengan anggukan.

Aku mengambil posisi duduk di ujung brankar, mengamati laki-laki itu yang sedang mengobati lukanya sendiri. Dua tahun lebih aku mengenal laki-laki dingin ini, tapi baru sekarang aku menyadari bahwa di balik sikap kaku dan dinginnya itu ternyata tersimpan kesepian yang dalam. Dia mungkin terlihat sepi di luar, tapi aku tahu di dalam kepalanya itu dia ramai dengan pikirannya sendiri.

"Jadi, kenapa lo minta gue buat jadi pacar pura-pura lo?" tanyaku, memutus keheningan di antara kami berdua. "Ini ... ada hubungannya sama Via, ya?"

Laki-laki itu tampak terkejut. "Ketebak banget, ya?"

Kepalaku menggeleng. "Gue cuma cocokologi aja, sih, dan ternyata bener. Kalian ada hubungan apa, sih? Kok gue nggak tahu apa-apa?"

"Gue emang cuma kesalahan di hidup dia, Al," Alvin menatapku sekilas. "dan nggak ada orang yang nyebar aibnya sendiri."

Aku menggaruk pipi, tidak mengerti. "Gue nggak pernah nyangka kalian ada hubungan. Gue dan yang lain ngiranya Via masih sama cowoknya yang pacaran dari SMP itu."

"Mereka udah nggak pacaran," ujar Alvin membuat gue membeku sesaat. "jadi, lo mau bantu gue kan, Al? Bantu gue buat nyadarin perasaan dia."

Sekarang aku paham apa motifnya memintaku jadi pacar pura-puranya. Agar Via cemburu dan sadar dengan perasaannya sendiri. Hal yang mudah tapi sepertinya tidak sesederhana itu.

"Vin, gue nggak yakin." Aku menghela napas. "Gue nggak yakin lo bisa gantiin posisi itu sekalipun Via punya perasaan ke lo."

Alvin terdiam di tempatnya. Aku melanjutkan, "Lo tahu siapa orang yang ada di saat Via terpuruk karena perceraian orang tuanya?"

Laki-laki itu masih diam.

"Lo tahu siapa orang yang bersama Via saat nyokapnya pergi untuk selama-lamanya? Atau lo tahu siapa yang bantu Via mengurus neneknya—keluarga satu-satunya yang dia punya—dan siapa orang yang ada di sebelah dia saat neneknya juga pergi dan dia menjadi sebatang kara? Apa orang itu lo?" Kepalaku menggeleng, menjawab pertanyaanku sendiri. "Bukan lo, Vin. Dan kalau lo jadi Via, apa lo bisa menerima orang lain dan melupakan balas budi gitu aja?"

"Katakanlah kalau gue emang nggak sadar diri, Al," ucap Alvin setelah lama membungkam.

Aku menepuk pundak laki-laki itu. "Gue bakal bantu lo, kok. Tapi, lo perlu paham konsep ini. Terkadang, dibanding bisa bersama dengan orang yang kita sayang, pada akhirnya kita hanya butuh orang yang selalu ada."

• • •

"Lo yakin Via nontonnya di sini?"

Aku berdecak. Sudah lebih dari tiga kali laki-laki itu menanyakan hal yang sama. "Iya, Bambang. Sekali lagi lo nanya itu gue bunuh lo, ya!"

Dia diam dan malah meninggalkanku di belakang. Ck, menyebalkan.

Aku menyusul langkahnya yang panjang-panjang itu. Kami berdua sedang berada di dalam pusat perbelanjaan, berniat akan bertemu dengan Via di sini. "Lo kalau jalan sama Via kayak gini, Vin? Lo jalan di depan terus dia di belakang dan nggak diajak ngobrol?"

Alvin menyahut tanpa repot-repot menoleh padaku. "Iya. Emangnya harus gimana?"

Aku menatap laki-laki itu tak habis pikir. Bisa-bisanya Via suka dengan cowok setengah kulkas seperti dia. "Gue nggak akan heran kalau Via nggak milih lo."

Ucapanku sepertinya kelewatan karena berhasil membuat cowok dingin itu menatapku cukup lama. Kupikir dia akan marah, ternyata tidak.

"Gue tau," ucapnya singkat dan itu menohokku sekaligus membuatku merasa bersalah.

"Kalau lo udah tahu, kenapa lo ngelakuin ini? Bukan karena gue nggak ikhlas bantu, tapi apa lo nggak takut kecewa lebih dalam setelah ambil keputusan ini?"

"Sekarang gue mau tanya sama lo, Al. Lebih baik menyesal karena belum melakukan, atau menyesal karena telah melakukan?" tanya Alvin yang kali ini menatapku secara langsung.

Pertanyaan yang sulit karena menurutku tidak ada penyesalan yang baik di dunia ini. "Gue nggak pilih keduanya," jawabku pada akhirnya.

Alvin mengambil tanganku tiba-tiba dan langsung menggenggamnya. Tindakannya itu membuatku terkejut setengah mati. "Lebih baik menyesal karena telah melakukan, daripada belum. Karena gue nggak suka menyesal sambil memikirkan apa yang terjadi jika seandainya gue melakukan hal yang gue sesali itu," ucapnya sambil menatap ke satu arah dan detik itu juga aku paham kenapa dia menggenggam tanganku.

Ada Via di sana. Yang melihat kami berdua dengan tatapan tak terdefinisikan.

Fazri—laki-laki yang bersama Via—melambaikan tangannya saat melihatku. Semua anak TKF sudah mengenalnya dengan akrab. Laki-laki yang aku kira hanya dia yang Via punya. Namun ternyata Via menyimpan banyak rahasia dariku.

Tibalah kami berempat saling berhadapan. Aku bisa melihat Via sangat canggung di tempatnya, berbanding terbalik dengan Alvin yang tampak biasa saja.

Fazri akhirnya membuka pembicaraan di antara kami. "Kirain datang sendiri, Al,"

"Ya kali gue mau jadi nyamuk di antara kalian," sahutku membuat laki-laki itu terkekeh. Ya, aku sengaja tidak memberitahu mereka kalau aku datang bersama Alvin. Yang Via tahu hanya aku yang ikut dalam rencana nonton bareng ini.

"Pacar?" tanya Fazri sambil menatapku dengan Alvin bergantian.

Aku tersenyum dan bisa aku rasakan genggaman Alvin di tanganku menguat. "Seperti yang lo lihat," jawabku sambil melihat reaksi yang Via perlihatkan. Seperti dugaanku, dia sedang kesusahan menyembunyikan keterkejutannya itu.

"Yaudah, yuk! Nanti filmnya keburu mulai."

Kami berempat berjalan beriringan menuju lantai dua, tempat dimana bioskop berada. Akhirnya aku bisa sedikit bernapas lega. Setidaknya yang aku dan Alvin rencanakan sudah berjalan sesuai harapan. Semoga saja ini berakhir dengan baik.

• • •

"Kalian tunggu di sini, ya. Biar kami yang beli tiket," ucap Fazri sebelum meninggalkan gue dan Via untuk mengantre di loket bersama Alvin.

Aku menatap kepergian dua laki-laki itu dengan tatapan miris. Membayangkan diriku di posisi Alvin membuat hatiku berdenyut nyeri. Berpura-pura baik di depan saingan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.

"Al," panggil Via dengan tiba-tiba, membuatku menoleh padanya. "lo nggak mau jelasin apapun ke gue? Lo deket sama Alvin tapi gue nggak tahu apa-apa."

Bibirku melukis senyum miring. "Nggak terbalik? Lo deket sama Alvin tapi kok gue nggak tahu apa-apa tentang itu?"

Cewek berdaging lebih di pipi itu membeku di tempatnya. Dia sepertinya langsung paham kalau aku telah mengetahui tentang fakta itu. Fakta yang dia sembunyikan dari sahabatnya ini.

"Alvin itu temen sekelas kita tapi kenapa gue nggak sadar kalau kalian deket? Entah gue yang nggak peka atau kalian yang kayak agen FBI, yang jelas gue kecewa banget karena tahu hal ini dari Alvin, bukan dari lo, Vi," ujarku yang akhirnya bisa menumpahkan semua rasa kecewaku padanya. "Kenapa sih lo sembunyiin ini dari gue dan yang lain?"

Via menundukkan kepalanya. Mungkin takut jika dia menatapku matanya akan berair. "Gue nggak mau kalian mandang gue sebagai orang yang nggak tahu balas budi, Al. Kalian tahu jelas kalau selama ini Fazri udah nemenin gue dari lama dan banyak bantu gue. Dengan menyayangi cowok lain, gue menganggap itu sebagai kesalahan dan tindakan paling nggak tahu diri, Al."

Aku berdecak. "Lo pikir kita bakal demo kalau tahu lo deket sama Alvin?"

Via memutar bola matanya. "Bakal demo, kan?"

"Iya lah!" Setelah melihat wajah kesal Via aku langsung meralat. "Walaupun kita bakal berpikir kalau lo nggak normal karena deketnya sama yang model kayak Alvin, tapi gue dan yang lain bakal dukung lo kok."

Via tersenyum. "Sorry banget ya karena udah nyembunyiin ini dari lo," sesalnya.

Aku mengangguk. "Sekarang lo harus memilih, Vi, antara Alvin atau Fazri. Inget, pilih orang yang benar-benar mengikuti kata hati lo."

"Jadi lo nggak pacaran beneran sama Alvin?" tanyanya sedikit kaget.

Kepalaku menggeleng cepat. "Nggak lah! Gue masih waras kali. Gue cuma bantu Alvin buat nyadarin perasaan lo ke dia."

"Jadi maksud lo gue nggak waras gitu?" Via bertanya sangsi, membuatku terkekeh geli.

"Kalian ngobrolin apa?"

Via dan aku menoleh, ternyata Fazri dan Alvin sudah kembali dengan tiket di tangan mereka. Kami berdua menggeleng bersamaan dan tersenyum. Hal itu membuat Alvin terlihat bingung.

"Yaudah, yuk, filmnya mau mulai."

Fazri dan Via berjalan lebih dulu, aku dan Alvin di belakang. Aku berbisik pada laki-laki itu dengan mendekatkan mulut ke telinganya. "Abis ini lo harus ngobrol sama Via."

Alvin hanya mengangguk setelahnya.

Setibanya di dalam teater, kami berempat menempati tempat duduk masing-masing. Via di sebelah Fazri dan aku di sebelah Alvin. Lebih tepatnya aku berada di antara Alvin dan Via. Jelas ini bukan posisi yang mengenakkan karena aku bisa merasakan aura ketegangan di antara mereka, mengalahkan tegangnya film barat yang sedang kami tonton sekarang.

Selama film ditayangkan, aku dan Alvin tidak terlibat perbincangan apapun. Yang aku dengar dari laki-laki itu hanya helaan napas berulang kali. Aku kira dia mengidap asma, ternyata saat aku menoleh ke samping, aku melihat Via dan Fazri tengah bergenggaman tangan. Aku lantas paham kalau laki-laki kulkas itu sedang terbakar api cemburu.

Tanpa berkata apa-apa aku langsung menyambar tangannya, menggenggamnya seperti yang dia lakukan sebelumnya. Alvin menoleh padaku dan aku berpura-pura fokus melihat ke arah layar tanpa sedikit pun melirik ke arahnya.

Anggap saja itu bonus dari bantuanku padanya hari ini.

Di tengah-tengah film, Via bangun dari tempatnya, sempat kudengar dia pamit ke toilet pada Fazri. Cewek itu melewati aku dan Alvin sambil melirik sekilas tangan kami yang masih bergenggaman. Meski di sini gelap, aku tahu wajahnya itu menyembunyikan raut cemburu yang tak kasat mata. Tak berselang lama usai Via pergi, layar ponsel Alvin menyala. Aku langsung bisa menebak itu pasti karena Via yang mengiriminya pesan.

"Al, gue keluar sebentar," ujar Alvin yang kujawab dengan anggukan pelan.

Tersisalah aku dan Fazri di sini. Menonton film dengan suasana tidak nyaman. Pasalnya pikiranku melayang memikirkan dua manusia itu. Yang belum juga kembali setelah dua puluh menit berlalu. Di tempatnya Fazri juga terlihat gelisah, dia juga sepertinya berusaha menghubungi Via namun tidak ada jawaban.

"Via nggak bisa dihubungin?" tanyaku pada laki-laki itu dengan setengah berbisik dan Fazri mengangguk. "Biar gue deh yang susulin Via ke toilet. Siapa tau dia lagi mencret, kan?"

Fazri terkekeh sekilas karena ucapanku dan mengangguk setelahnya. Aku pun langsung bangun dari duduk dan berjalan meninggalkan ruang teater. Butuh waktu dua menit sebelum aku berhasil menemukan toilet wanita. Dan benar saja, Via dan Alvin masih terlibat pembicaraan di salah satu bangku tunggu bioskop. Belum sempat menghampiri keduanya, Via sudah mengambil posisi berdiri sebelum meninggalkan Alvin di sana.

Saat Via melewatiku, dia tersenyum dengan mata sembab yang sangat kentara di wajahnya. Aku memanggilnya tapi dia terus melewatiku, membuatku langsung menatap Alvin penuh tanya.

"Yuk, pergi. Udah selesai," ucap laki-laki itu saat aku telah di hadapannya.

"Selesai apa?" tanyaku bingung.

"Gue dan Via." Alvin tersenyum miring. "Bener kata lo, pada akhirnya dia lebih memilih orang yang selalu ada buat dia dan itu bukan gue orangnya."

Aku tertegun selama beberapa saat sebelum akhirnya memberikan tatapan meledek pada laki-laki kulkas itu. "Jadi sekarang lo resmi jadi sadboy nih?"

"Berisik," umpatnya sambil merangkul leherku dan mengajakku berjalan beriringan.

Kami meninggalkan bioskop, melupakan begitu saja film yang belum selesai kami tonton dan memutuskan untuk mendatangi tempat yang lebih membahagiakan.

"Timezone, kuy!"

• • •

Aku mengembuskan napas kecewa karena gagal memasukkan bola ke ring. Dan lebih mengecewakan lagi waktu bermainku sudah habis.

Lengan kemeja laki-laki di sampingku kutarik-tarik. "Alvin, isi saldo lagi," rengekku.

Laki-laki itu berdecak sebal. "Yang lagi galau di sini gue atau lo, sih?"

Aku menyengir seperti bintang iklan pasta gigi. "Sedekah bisa bikin hati lo lapang, Vin. Percaya deh sama gue."

"Mending gue nyantunin janda anak dua di deket rumah gue daripada nyantunin lo," ujarnya sangat tega sambil berbalik badan dan melangkah pergi.

"Eh, lo lupa kalau gue janda anak dua juga?"

Alvin tidak menghiraukanku dan terus saja berjalan. Dasar cowok kulkas!

Sepeninggal laki-laki itu aku hanya melihat-lihat sekeliling dengan tatapan mupeng. Anak-anak kecil dan beberapa remaja seusiaku terlihat memadati berbagai permainan di sini. Meski sudah menghabiskan dua lembar uang berwarna merah milik Alvin, keinginanku untuk main belum berkurang sedikit pun. Dan sekarang investorku itu sudah enggan mengalirkan dananya lagi.

Aku melirik tiket timezone hasil bermainku dengan tatapan tidak puas. Jika ditukarkan sekarang, hadiah yang kudapat paling hanya boneka berukuran kecil. Tentu saja itu bukan hal yang keren untuk bisa aku banggakan di depan anggota TKF nanti.

"Yah, hampir aja dapet. Padahal bonekanya lucu banget!"

Telingaku tidak sengaja mendengar suara feminin yang tak asing itu. Hingga akhirnya mataku terarah pada satu titik, pada pemandangan pasangan muda yang sedang berada di depan permainan capit boneka. Mereka membelakangiku, tapi punggung laki-laki itu terlihat familiar.

Tiba-tiba tangan durhaka seseorang menutup mataku dari belakang.

"Vin, gue tampol lo, ya! Lepas, nggak!"

"Shut, diem!"

Kan, aku sudah bisa menebak kalau itu ulah si cina. Aku mencoba menyingkirkan tangannya itu, yang menempel seperti tantakel gurita di wajahku. "Biar apa, sih? Korban ftv lo, ya?"

"Diem kenapa, sih?! Lo nggak bisa banget diajak romantis dikit, ya?"

Aku menggeleng cepat. "Kagak! Ngapain gue mau diajak romantis sama lo? Lepas!"

Kesal karena tak kunjung dilepaskan olehnya, kuinjak saja kakinya dan sukses membuat tangannya itu menyingkir dari wajahku. Alvin mengaduh dan mengambil jarak, sehingga aku bisa kembali melihat dengan leluasa. Namun aku langsung menyesalinya di detik itu juga.

Mataku melihat sosok itu, yang juga tengah menatapku dengan raut terkejut di tempatnya berdiri. Tanpa aku sadari kakiku mengambil langkah mundur. Bersiap untuk segera pergi dari sana. Ternyata yang Alvin lakukan tadi adalah untuk melindungiku dari luka.

"Al!"

Aku mengabaikan panggilan Alvin dan memilih untuk meninggalkannya. Berjalan secepat mungkin tanpa menoleh lagi ke belakang. Sebelum akhirnya aku memilih bersembunyi di dekat tempat karaoke yang terlihat sepi.

Napasku memburu bersama rasa sesak yang mulai menghimpit dada. Lagi-lagi aku selalu menjadi pecundang jika dihadapkan pada masalah ini. Menghindar dan menghindar lagi karena terlalu takut merusak rasa percaya yang aku punya untuknya.

Belum hilang rasa lelahku usai berlari tadi, jantungku kembali berpacu keras saat seseorang menarikku masuk ke dalam tempat karaoke. Mataku membulat sempurna saat sosok yang kuhindari itu berada tepat di hadapanku. Lengannya mengurungku di badan pintu yang sudah tertutup, membuat wajah kami berhadapan tanpa sekat. Napasnya yang juga memburu menerpa wajahku dengan cepat.

"Ini yang kamu bilang tugas kelompok? Pergi berdua dengan Alvin?" tanyanya dengan nada dingin yang menusuk.

Aku menahan mataku yang mulai memanas. "Maaf," sahutku lirih.

"Aku bahkan nggak pernah bilang setuju soal dia yang minta kamu buat jadi pacar pura-puranya. Atau jangan-jangan kamu terima syaratnya itu?"

Kepalaku tertunduk.

Brak!

Tangannya menonjok badan pintu yang berada di sebelah wajahku, membuat tubuhku semakin bergetar hebat. "Kamu lebih memilih jadi pacar orang lain ketimbang hubungan pacaran kita diketahui orang? Senggak dianggap itu aku di mata kamu?" tanyanya nyaris membentak.

Aku memang salah atas itu. Aku tidak memberitahunya kalau aku pergi dengan Alvin hari ini, sebagai pacar pura-pura laki-laki itu. Tapi tidakkah dia...

"Aku kira kamu mau minta maaf karena hari ini kamu jalan sama Bella," ujarku sambil mati-matian menahan isakan. "ternyata kamu cuma mau luapin marah kamu ke aku kayak gini?"

Ucapanku menyapu habis amarahnya tak bersisa. Dia tersadar kalau kali ini dia sudah menyalahkan tanpa menyadari kesalahannya sendiri.

"Kamu pernah bilang kalau aku benar-benar muak, aku boleh pergi." Aku menatapnya dengan terhalang air mata. "Apa sekarang boleh?"

• • •
TBC!
JAN LUPA VOTE DAN KOMEN YAW

Siapa di sini yang tim Alfy-Rafka putus? Wkwk

Kalau kalian jadi Alfy, sakit nggak sih lihat sikap asli Rafka yang kayak gitu?

Sebenernya keduanya salah sih, karena nggak saling terbuka. Menurut kalian gimana?

Hehehe

Banyak konflik setelah ini. Siapkan diri klean yaks 😁😁😁

Continue Reading

You'll Also Like

608K 23.9K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
268K 27.1K 30
[Belum direvisi] Nisa mempunyai ketakutan tersendiri dalam hidupnya. Sebuah ketakutan yang mungkin akan dianggap lucu oleh orang lain, namun begitu m...
204K 10.7K 60
Notes : Ceritanya beneran udah tamat, lagi direvisi aja Arshaka Dirgantara Arundani. Seantereo mahasiswa di jurusan Psikologi tahu kalau ditanya soal...
5.1M 88.1K 14
Mendapati dirinya akan di jodohkan, Vira merasa konyol saat Handi-sang Ayah-tak sedikitpun mengizinkan dirinya untuk mengeluarkan sebuah argumen peno...