ANONYMOUS CODE [TAMAT]

By winaalda

2K 543 164

[UPDATE SETIAP HARI] SMA Wijayamulya dihebohkan dengan kerusakan tugu di hari pertama sekolah. Empat orang si... More

PRAKATA
1. Hari Pertama
2. Pemberontakan
3. Cara Memperdengarkan Kebenaran
4. Hello
5. Sandi Kotak Satu
6. Apakah Sekolah Ini Bersih?
7. Skandal
8. Sandi Kotak Dua
9. Morse dan Semaphore
10. Siapa Dia?
11. Security Aneh
12. Kantong Semar
13. Diam atau Lawan
14. Keberuntungan di Luar Dugaan
15. Siapa Orang Jahatnya?
16. Pasukan Baru
17. Kedai Martabak
18. Kena Perangkap Sendiri
19. Calla atau Calla
20. Tertangkap
21. Rasa Bersalah
22. Sidang
23. Meledak
24. Melarikan Diri Bersama Musuh
25. Promise Me
26. Markas
28. Harus ke Mana?
29. Twogether
30. Anonim Kembali
31. Jebakan
32. Fight
33. Confession Failed
34. Something Called Destiny
35. Pernikahan Ibu
36. Forgiveness
INFO

27. Petir di Tengah Badai

29 8 0
By winaalda

"Apa kamu cuma mau mengawasinya? Gak ada pergerakan sama sekali?" tanya Rania.

Juna menghela napas. "Aku sudah memikirkan ini, tapi mau minta pendapat kalian dulu."

Teman-temannya bertukar pandang. Raihan yang pertama kali menanggapi.
"Tumben banget minta pendapat. Biasanya kamu bergerak sendiri," katanya. Calla langsung menyikutnya sambil memelotot.

"Aku gak ngomong, kamu ngomel. Aku ngomong, masih ngomel juga. Maunya apa, sih?" Juna berujar sebal.

"Udah, udah, ya. Nanti aja debatnya kalau aku udah pulang." Calla merentangkan kedua tangan seolah melerai mereka. "Apa yang kamu rencanakan, Jun?"

"Aku mau langsung menyerang Pak Hari."

"APA?!" Teman-temannya kompak melotot.

"Wah, kamu benar-benar kantong semar!" seru Raihan.

"Kantong apa?" Meysha menatap Raihan bingung.

"Aku cuma menyerangnya dengan teror." Juna meralat. "Kumpulkan semua bukti video, foto, atau apa pun yang kalian punya padaku."

"Terus ...." Raihan memperbaiki posisi duduk agar lebih menghadap pada Juna. " ... apa yang akan kamu lakukan dengan teror itu?"

"Aku akan membuatnya mengaku secara sukarela ...." Juna menggantung kalimatnya. " ... seperti yang kamu inginkan."

Raihan terdiam memandangnya. Juna buru-buru membuang muka.

"Tapi, ya ... kalau dia gak mau, terpaksa kita yang bongkar semuanya." Juna menambahkan.

"Akan aku kirimkan video waktu itu," kata Rania sambil bersiap memegang ponselnya.

"Aku juga." Meysha menimpali.

"Haruskah kita langsung kirim video di ruang kepala sekolah?" tanya Calla.

"Enggak," jawab Juna. "Kalau langsung pakai video itu, nanti mereka bisa cari kameranya. Kalau ketemu, kita gak punya senjata lagi."

Calla manggut-manggut.

"Aku akan mulai dengan video ini." Juna menunjukkan rekaman Pak Hari dan papanya Irgy ketika di rumah sakit.

"Kamu mau mengirimnya sekarang?" tanya Raihan.

"Haruskah kita coba?" Juna mengangkat alisnya.

"Aku mau lihat reaksinya." Meysha mengangkat tangan antusias.

Juna mengubah posisi duduk jadi besila. Teman-temannya yang semula duduk berpencar mulai berkerumun. Juna mengirimkan video menggunakan email bodong yang sudah dia buat sebelumnya.

"Apa kita cuma kirim videonya aja?" tanya Calla.

"Enggak, dong. Harus pakai gertakan sedikit," sahut Meysha.

"Kita harus bilang apa?" Juna termangu-mangu.

"Sini biar aku aja." Raihan merebut ponsel Juna dan mengetikkan sesuatu.

"Pak-Anwar-sangat-dermawan. Apa-benar-dia-melakukannya-tanpa-imbalan?" Raihan mengeja kata per kata.

"Ternyata kamu boleh juga," kata Meysha. "Kenapa waktu itu cuma menulis hello doang? Enggak kreatif banget."

"Aku menulis lebih panjang waktu di kelas Juna." Raihan membela diri. "Lebih baik daripada seseorang yang malah mempermainkan kita dengan kode pramukanya."

Juna menggertakkan gigi, menatap Raihan sebal.

"Rai, jangan mulai, deh." Calla mendorong Raihan hingga oleng, dan kepalanya membentur kepala Juna yang ada di sebelah. Alhasil, mereka kompak memekik kesakitan.

"Calla, apa-apaan, sih?" gerutu Raihan.

Juna menggosok kepalanya sendiri.

"Eh, harus dibenturin lagi kepalanya," ujar Calla menunjuk kepala Juna dan Raihan. "Kalau enggak, nanti kepala kalian ketiban kelapa."

"Ngawur!" sungut Raihan.

"Takhayul!" Timpal Juna.

Calla malah terbahak, diikuti dua cewek yang lain.

Suasana hening sejak Raihan menekan tombol kirim. Semua orang menatap ponsel Juna yang tidak menunjukkan tanda-tanda ada balasan.

"Kayaknya Pak Hari gak bakal buka email cepat-cepat, deh," ujar Meysha. "Kenapa gak lewat Whatsapp aja, sih?"

"Kalau lewat Whatsapp ketahuan, dong, nomorku," jawab Juna.

"Kan, pakai nomor bodong."

"Kan, bakal kelihatan kalau aku ganti nomor."

"Terus gimana, dong?"

"Ya tungguin aja kenapa, sih?"

Meysha menyemburkan napas kasar. Raihan terlonjak saat ponsel Juna tiba-tiba berdenting. Balasan dari Pak Hari telah masuk. Semua orang buru-buru mengerubuti ponsel Juna di tangan Raihan.

Juna, jangan main-main.

"Wah, kenapa dia bisa tahu?" Calla melongo.

"Udah bisa ditebak kalau dia tetap bakal tahu," kata Juna. "Kalau begini, sekalian aja."

Juna mengambil ponselnya dari tangan Raihan, lalu mengetik balasan.

Saya enggak main-main. Saya akan berhenti kalau Bapak mau mengaku sendiri.

Mereka semua diam menunggu balasan. Akan tetapi, beberapa menit berlalu, tidak ada jawaban apa pun dari Pak Hari. Juna menghela napas melemaskan otot-ototnya yang tegang dan bersandar di sofa.

"Kayaknya dia lagi bingung," kata Raihan.

"Berapa lama lagi dia mau jawab?" Meysha merengut.

"Udahlah. Mending makan," sahut Calla sambil menusuk sepotong buah naga dengan garpu dan melahapnya.

"Calla, katanya kamu sakit? Kamu udah mendingan?" tanya Raihan.

"Setelah sekian lama aku di sini, kamu baru tanya?"

"Heh?" Raihan menggaruk tengkuk. "Y-ya ... aku lupa. Terlalu senang lihat kamu kembali seperti biasa."

Calla tersenyum. Raihan membalas, menunjukkan kedua lesung pipitnya. Juna memandangnya, lalu beralih pada Calla. Kenapa Juna merasa ada yang aneh dengan tatapan Raihan pada Calla? Setelah Irgy, sekarang Raihan?
Juna menggelengkan kepala. Apa yang dia pikirkan, sih? Memangnya kenapa dengan kedua cowok itu? Kenapa mereka membuat Juna tidak nyaman?
Beberapa waktu berlalu. Pak Hari masih tidak menjawab. Teman-teman Juna sudah kembali ke posisi masing-masing, sibuk dengan kegiatan sendiri. Cewek-cewek curhat tentang apa saja. Raihan mengomel karena kalah terus main game.

"Kalian gak mau pulang aja?" tanya Juna membuat teman-temannya menoleh.

"Hei! Kamu ngusir kami?" Ekspresi Meysha tampak tak terima.

"Bukan begitu. Lagian, aku juga harus pergi."

"Ke mana?" tanya Raihan. "Ini masih siang. Masa kerja jam segini?"

"Aku ada janji dengan seseorang."

"Siapa?"

Juna terdiam sejenak. "Pak Daniel."
Teman-teman bergerak memusatkan perhatian pada Juna.

"Apa ada sesuatu yang dia ketahui?" tanya Calla.

"Belum tahu pasti. Tapi semoga aja. Dia udah bersedia membantu kita."

"Kalau begitu, kami pulang dulu." Meysha menyandang tasnya. "Semoga berhasil!"

Juna mengangguk. Calla dan Rania juga ikut cewek itu keluar. Juna mengantarnya sampai pintu. Dia menoleh pada Raihan yang masih belum beranjak dari tempatnya.

"Kamu gak ikut pulang?" tanya Juna.

"Pulang ke mana? Memangnya aku sedang di mana?" Raihan menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya.

Juna membuang napas sambil menutup pintu. Dia bergegas pergi ke kamar untuk bersiap-siap. Hanya mengganti celana pendeknya dengan yang panjang. Kemudian, kaus hitamnya dibalut kemeja kotak-kotak hitam-putih. Rambutnya yang tadi lupa disisir, dia rapikan. Juna kembali ke ruang tengah setelah menyandang tas, lalu menyimpan sebuah kunci di atas meja—di depan Raihan.

"Ini kunci cadangannya. Kunci aja kalau mau keluar," kata Juna.

"Mmm." Raihan mengangguk paham.
Juna menyambar ponsel dan bergegas pergi sambil memesan ojek online. Ojeknya datang setelah Juna keluar dari gerbang. Dia langsung meluncur ke alamat yang dikirimkan Pak Daniel, semalam.

Setelah beberapa lama, Juna tiba di tempat tujuan. Dia melongo sendiri melihat tempat janjian mereka.

"Pak Daniel gak salah ngajak ketemuan di kedai es krim?" Juna bicara sendiri melihat toko eskrim di hadapannya.

Suara Mamang Ojek yang meminta helm mengalihkan perhatian Juna. Dia segera memberikannya dan masuk ke kedai. Ojeknya sudah dibayar dengan uang elektronik sejak memesan.
Juna celingukan setibanya di dalam. Matanya menangkap tangan seseorang yang teracung dan bergoyang-goyang. Pak Daniel sedang tersenyum lebar padanya. Juna bergegas menghampirinya.

"Kamu mau pesan apa?" tanya Pak Daniel sesaat setelah Juna duduk.

"Enggak usah."

"Hei, ini tempat es krim favorit Bapak. Kamu harus coba. Bapak yang traktir."

"Bapak suka es krim?"

"Memangnya kenapa?"

"E-enggak apa-apa." Juna cengengesan dan mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Ayo, pesan dulu," kata Pak Daniel lagi.

Juna menoleh. "Terserah Bapak aja. Bapak lebih tahu mana yang enak."

"Begitu, ya? Oke." Pak Daniel tersenyum lebar sekali. Sepertinya dia memang sangat menyukai es krim.

Sembari menunggu es krimnya diantar, Pak Daniel mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Sebuah map plastik berwarna hijau berisi buku besar bertuliskan daftar nilai.

"Ini nilai yang saya setorkan ke Pak Hari," kata Pak Daniel, lalu menunjukkan setumpukan kertas fotokopi di bawahnya. "Kalau ini dari guru lain."

Juna mengambil benda itu dan mengamatinya baik-baik.

"Bagaimana bisa Bapak dapat yang dari guru lain juga? Enggak ketahuan Pak Hari?"

"Akhir-akhir ini Pak Hari banyak menghilang dari ruang guru."

Juna termangu mendengar ucapan Pak Daniel.

"Hampir mustahil guru akan mengingat semua nilai yang dia berikan pada siswa. Jadi, kecil kemungkinan mereka akan sadar kalau ada nilai yang berubah. Tapi kebetulan saya melihatnya. Kamu periksa sendiri dan bandingkan," tutur Pak Daniel.

"Terima kasih, Bapak sudah membantu sejauh ini."

"Jangan sungkan. Katakan saja kalau kamu butuh bantuan lagi."

Kedatangan seseorang yang membawakan pesanan mengalihkan perhatian mereka. Juna terpesona sendiri melihat satu gelas besar es krim dengan topping buah-buahan miliknya. Tampak estetik dan menggiurkan. Dia segera mencicipinya, lalu menyesal sudah meledek Pak Daniel dalam hati. Kalau rasanya seenak ini, pantas saja dia suka.

"Ngomong-ngomong, Jun. Hati-hati," kata Pak Daniel.

Juna mengangguk, lalu menjawab setelah menelan es krimnya. "Jangan terlalu khawatir. Saya gak bergerak sendirian."

"Teman-teman kamu masih membantu?"

"Iya."

"Saya senang melihat kamu kompak dengan Raihan."

Juna terdiam memandang Pak Daniel.

"Ada gosip yang mengatakan kalau kalian tidak akur. Tapi sepertinya, gosip itu salah." Pak Daniel tersenyum.

Juna menghela napas. Kenapa gosipnya sampai terdengar oleh telinga guru segala?

Juna memasukkan map ke dalam tas, lalu pamitan pergi setelah menghabiskan suapan terakhir. Dia bergegas memesan ojek online untuk pergi ke tempat lain. Rumah Ibu, kali ini menjadi tujuannya.

Setelah menghabiskan waktu sekitar setengah jam lebih, Juna tiba di area kontrakan ibunya. Dia melanjutkan perjalanan memasuki gang-gang dengan berjalan kaki. Gangnya banyak, seperti di daerah tempat tinggal Meysha. Meski begitu, dia tidak kebingungan sama sekali karena sudah terbiasa. Juna sudah lama tinggal di sini bersama Ibu. Tanpa Papa, tentu saja. Barangkali Ibu membawanya setelah bercerai dengan Papa. Kata Ibu, sih, saat umur Juna lima tahun. Juna tidak pernah tahu persis apa yang menyebabkan perceraian mereka. Ibu cuma bilang, keduanya sudah tidak seiring sejalan sehingga memilih jalan masing-masing.

Juna mengembangkan senyum saat melihat Ibu sedang sibuk melayani pelanggan. Ibu menjual kupat tahu di teras rumahnya. Juna berlari kecil, lalu menghambur memeluknya.

"Juna, kalau datang itu salam dulu," kata Ibu sambil mengacak-acak rambut Juna.

Juna melepas pelukannya. "Aku kangen."

Ibu tersenyum sambil menangkup wajah Juna dengan kedua tangannya. Senyumnya tiba-tiba mengendur. "Astaga. Kenapa pipi kamu makin tirus? Kamu gak makan dengan baik?"

Juna merengut. "Ini tren penampilan zaman sekarang. Aku jadi lebih ganteng, kan?" Juna berubah memasang senyum.

Ibu menggeleng. "Enggak. Kamu lebih ganteng kalau pipinya gembul."

Juna membuang napas. Ibu tergelak.

"Mau Ibu buatkan?" Ibu menunjuk kupat tahu di depannya.

Juna mengangguk antusias, lalu bergegas pergi dan menunggu di dalam. Dia menjatuhkan dirinya di kursi yang sudah lusuh. Setelah beberapa saat, Ibu membawakan sepiring penuh untuk Juna. Bukan penuh lagi. Hampir tumpah-tumpah. Tumpukan kupat tahunya tampak menggunung.

"Kenapa banyak sekali?" Juna memandang Ibu heran.

"Biar pipi gembul kamu balik lagi."

"Ibu ...." Juna merengek, Ibu hanya tertawa kecil mengusap kepalanya, lalu kembali ke depan karena sudah dipanggil-panggil.

Juna hanya berhasil menghabiskan setengahnya. Perutnya sudah diisi es krim. Mana kuat dia menghabiskan kupat tahu sebanyak itu. Ibu sudah kembali sambil membawa wadah dagangannya.

"Habis?" tanya Juna.

"Alhamdulillah." Ibu menjawab sambil berlalu ke dapur.

Juna mengikutinya. Ibu tampak heran melihat wajah Juna.

"Ada yang ingin kamu katakan?" tanyanya.

Juna menggaruk tengkuknya, membuang muka, lalu beralih menatap Ibu lagi. "A-aku ... udah boleh tinggal di sini?"

Ibu menghela napas, lalu meraih tangan Juna. "Jun, kenapa kamu terus bersikeras ingin tinggal di sini? Kamu sudah punya kehidupan yang baik di sana."

"Aku gak betah di sana." Juna menjawab sambil menunduk.

"Jun, kamu tahu keadaan Ibu."

"Aku punya pekerjaan, kok." Juna menjawab cepat-cepat.

"Apa?"

"Ibu gak perlu khawatir karena harus menanggung keperluanku. Sekolah juga menyediakan beasiswa. Meskipun aku ... kehilangan beasiswa dari prestasi, aku masih bisa mendaftar sebagai siswa kurang mampu."

"Kamu bercanda?" Ibu menatap tak percaya. "Semua orang tahu kamu anak siapa di sana. Kamu tiba-tiba mau mendaftar sebagai siswa kurang mampu?"

"Kalau begitu, aku bisa pindah ke sekolah di sekitar sini."

"Juna, bukan itu masalahnya." Suara Ibu terdengar bergetar. "Kenapa tidak kamu terima saja keluarga barumu itu?"

"Kenapa Ibu selalu memintaku melakukan sesuatu yang sulit?"

Ibu membuang napas. Tangannya mengusap air mata yang mengalir di pipi, kemudian memandang Juna lagi. "Kalau alasan kamu ingin pergi hanya karena gak betah tinggal bersama keluarga tiri, apa nanti kamu akan pergi lagi setelah di sini?"

"A-apa ... maksud Ibu?"

"Jun, Ibu juga akan menikah lagi."

Kaki Juna mundur selangkah. Pandangannya mengabur dalam sekejap. Matanya tergenang.

"A-apa?" Juna bergumam.

Ibu mendekat, tetapi Juna mundur lagi.
"Jun ...." Ibu berujar lirih.

Juna mengusap air yang jatuh di pipinya begitu saja. Setelah menyambar tas, Juna berlalu.

_______________

Anonymous Code, winaalda©2020

All Right Reserved

01 Desember 2020

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.1M 289K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
18.9K 1.1K 26
#3 osn 130719 OSN Palembang 2016 Based on True Story Ini bukan ceritaku, tapi cerita kami. Hanya ingin bernostalgia lewat kata-kata bersama memori d...
377K 2K 13
PERHATIAN ☡ FOLLOW SEBELUM MEMBACA! PENULIS CERITA MASIH BARU, JIKA ADA KESALAHAN DAN TYPO MOHON DIMAAFKAN! Terbit di dreame dengan judul dan cover...
409K 14.8K 30
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...