INTERIM: Let Me See Your Smile

De EzraAryakirana

5.7K 1.8K 7.2K

INTERIM: Let Me See Your Smile Axel belum pernah akrab dengan manusia lain. Mereka terlalu rumit dan tidak bi... Mai multe

First Impression
1. Menangkap Boneka
2. Nightmare Catcher
3. Tiada Transaksi Tanpa Kucing
4. Cerita yang Berbeda
5. In the Eyes
6. To the Point
7. Trouble Makers
8. Wanted: Hacker
10. Run Away
11. Just Like A Cat
12. Jalan-jalan Penuh Pertanyaan
13. Bertukar Pikiran
14. Wig Pembawa Sial
15. Iseng atau Balas Dendam?
16. Berhasil Dilepas ... atau Tidak?
17. Mata, Hati, Pikiran
18. Kejutan
19. Seorang Adik
20. Lagi-lagi Kena
21. Different One
22. No Trial!
23. Feivello Maitreya
24. Witness
25. Mimpi dan Titipan
26. MOS: Membuat Otak Sempit
27. Firasat
28. All Done
29. Still Alive
30. A Simple Way to Bring Her Back
Epilog: Next Game

9. Target + Tugas = Rahasia

167 65 346
De EzraAryakirana

Aku bergegas menuruni tangga menuju dapur. Kak Arsha sedang mencuci peralatan makan yang baru selesai ia gunakan.

"Kak Ar, aku mau pinjam ponsel Kakak. Boleh?"

"Boleh. Ambil saja sendiri di kamar. Untuk apa?"

"Menelepon. Ada seseorang yang bisa kutanya."

"Tahu password-nya, enggak?"

"Tahu." Password dengan kombinasi 0000 adalah yang paling mudah ditebak.

Aku menaiki tangga lagi untuk mengambil ponsel Kak Arsha. Kuketik nomor Nata dan langsung meneleponnya.

Nada dering pertama. Kedua. Ketiga. Sampai di nada dering kelima, terdengar suara ceria dari seorang gadis yang familier di telinga.

"Nata, ini Axel. Kamu bilang kamu bisa bobol kunci ponsel, kan?"

"Ah, Axel rupanya. Bisa dicoba, kenapa?"

"Ponselku terkunci dan aku lupa password-nya. Konter ponsel tidak membantu. Sekarang aku menggunakan ponsel kakakku. Bisa kamu beri arahan bagaimana membobolnya?"

"Kamu ada laptop dan sumber internet yang cukup besar? Mungkin kamu harus download beberapa file, dan biasanya ukurannya tidak kecil. Minimal dua gigabyte."

Masalah selalu datang beruntun. Kukira Wi-Fi rumah mati tidak akan menyebabkan masalah lebih panjang. Kuota internetku dan Kak Arsha jika dijumlahkan tidak akan melebihi satu gigabyte. "Laptop ada, tapi internetnya tidak. Wi-Fi di rumahku mati. Bisakah kamu yang membobolnya?"

"Bisa, tapi kita harus bertemu. Aku enggak bisa sore ini."

"Besok pagi? Pukul delapan atau sembilan?"

"Bisa, tapi kamu yang ke sini. Aku ke sana pun tidak ada guna karena aku butuh internet untuk membobolnya."

"Oke, nanti SMS-kan alamatmu ke nomor ini. Aku ke sana."

"Baiklah."

"Terima kasih, Nat."

"With pleasure. Selama menunggu besok, kamu coba saja masukkan satu per satu angka sambil berdoa di tiap ketikannya. Mungkin saja sebuah keajaiban terjadi."

Aku mengangguk, tapi baru ingat kalau ia tidak bisa melihat. "Baiklah."

Kumatikan panggilan, dan menoleh. Kak Arsha tersenyum menggodaku sambil melepaskan telinganya dari punggung ponsel. Ia sedari tadi mendengarkan?

"Temanmu itu cewek? Atau pacar nih?"

"Kak!" Kenapa aku selalu digoda di saat-saat seperti ini? Tidak adakah waktu lain?

"Cantik, enggak?"

Aku mencebik. Kak Arsha selalu tahu 'pelatuk' untukku. Dengan bertanya begitu, aku pasti otomatis memikirkannya. "Pasti cantik, Kak. Dia kan perempuan."

Kak Arsha malah tertawa. "Jangan lupa foto. Kakak mau lihat. Kali aja memang cantik."

"Lalu, Nona Reina?"

Giliran Kak Arsha yang mencebik. "Rei sudah bukan manusia, Xel, dan umurnya lebih tua dari Nenek, seangkatan dengan ibunya Nenek malahan. Kakak rasa sudah waktunya untuk move-on. Atau mungkin, gadis ini bisa untukmu."

Salahnya sendiri naksir pada makhluk penghuni dunia seberang.

Ponsel Kak Arsha di tanganku bergetar. Pesan dari nomor Nata. Kubuka pesannya, sementara Kak Arsha melihat dari balik pundak. Isinya alamat rumah yang besok akan kutuju.

"Enggak jauh rupanya. Lima belas menit naik motor. Kamu naik apa ke sana besok?"

Aku mengangkat bahu. Kuambil buku catatan dari dalam tas dan menulis alamat Nata di sana sebelum mengembalikan ponsel pada Kak Arsha.

Kubuka halaman buku paling belakang dan langsung duduk di kursi. Kutulis angka dari 0000, dan mencoret yang salah.

0000, 0001, 0002, 0003, 0004 ....

2610, 2611, 2612, 2613, 2614.

Aku meletakkan buku dan menutupnya. Kak Arsha sedang berbaring di kasurnya. Aku beranjak ke kasurku dan membanting tubuh ke atasnya. Langit sudah gelap. Tentu saja, sudah pukul delapan malam.

Tak disangka ini akan lebih melelahkan daripada berlari menaiki tangga apartemen sebanyak sepuluh lantai untuk orang pincang sepertiku.

"Tumben enggak mengetik tulisan apa pun malam ini, Xel."

Aku melihat ke kasur di seberangku. "Sebentar lagi aku mulai, Kak. Melihat deretan angka terus membuat sakit mata rasanya."

"Jangan terlalu malam. Nanti susah bangun."

"Yang lebih butuh bangun cepat besok kan Kakak. Aku kan enggak sekolah hari Sabtu."

"Sudah sampai angka berapa?"

"Dua ribuan."

"Kalau dijumlah, berapa totalnya?"

"Aku punya lebih banyak hal untuk dikerjakan selain menjumlahkannya, Kak."

"Kan lumayan kalau itu uang, Xel."

"Tapi itu bukan uang."

Minta tolong Nata, berarti secara tidak langsung aku setuju untuk berteman dengannya. Apa aku bisa mulai membiasakan diri? Bukankah manusia itu beradaptasi dengan lingkungannya?

Apakah aku akan bisa mengungkapkan pikiranku, seperti yang Nata lakukan? Apa kejadian seperti saat Ayah dan Ibu berpisah, saat Kak Aitha meninggal, atau bahkan saat Ayah mengusir Kapten tidak akan terulang lagi? Yang terpenting, bukan kejadiannya, tapi perasaan campur aduk yang muncul di dalam diriku.

Apa aku bisa menghilangkan takutku terhadap rasa kehilangan? Dan, apa aku akan berhasil menghilangkan sugesti dan cara berpikir bahwa aku penyebab mereka semua pergi?

***

"Nomor 17? Yang itu, tinggal lurus sedikit lagi. Mungkin sekitar dua atau tiga rumah lagi, ada di sebelah kiri."

Aku mengucapkan terima kasih pada ibu penjaga warung itu dan melanjutkan berjalan. Kata orang, jangan lupa GPS. Gunakan Penduduk Setempat. Tentu saja bukan GPS ponsel, aku tidak bawa ponsel Kak Arsha karena ia membawanya ke sekolah.

Rumah nomor 17. Berwarna kelabu. Posisinya dibangun sedikit lebih tinggi dari jalan tempatku berdiri. Pagarnya sedikit terbuka. Nata sudah bilang kalau ia meninggalkan pagar terbuka.

"Pagarnya sudah aku buka. Nanti masuk dan ketuk saja pintunya. Tanya saja rumah nomor 17 ke penduduk kalau bingung, harusnya orang-orang tau. Kalau masih bingung, sebut saja, rumahnya Ibu Dosen."

Aku berjalan mengikuti jalur yang mengarah ke garasi. Terbuat dari paving block. Di sisi kiri, kebunnya ditanami berbagai macam tumbuhan. Pintunya ada di mana?

Aku berjalan mendekati teras dan membuka sepatuku. Kursi, jendela, dan ... pintu? Apa benar ini pintunya? Menyamping, tidak menghadap jalan? Tapi, itu satu-satunya pintu yang bisa kulihat.

Pintu kayu, berwarna cokelat. Tidak ada bel di sekitar situ, mungkin memang diketuk seperti kata Nata.

Seorang anak laki-laki membukakan pintu setelah aku mengetuk. Bukan anak laki-laki yang kulihat di pernikahan teman Ibu. Yang ini lebih tinggi. Mungkin tingginya sama dengan bahuku. Wajahnya juga mirip, tapi kesannya berbeda. Yang sebelumnya terasa lebih ceria, seperti Nata. Yang ini kelihatan lebih pendiam.

"Maaf, mencari siapa, ya?" tanya anak itu memecahkan pemikiranku.

"Oh, Maynata-nya ada?"

Ia menatapku dari kepala sampai kaki dengan tatapan penuh selidik sebelum menyuruhku menunggu. Aku duduk di kursi di teras, tapi suara anak itu masih bisa terdengar.

"Teteh, ada yang mencari Teteh."

Teteh? Adiknya Nata juga? Dia berapa bersaudara?

Terdengar suara Nata. "Kenapa enggak disuruh masuk, Fei?"

Nama anak yang tadi itu Fei?

Nata keluar untuk menyuruhku masuk ke rumah, sebelum ia masuk lagi. Begitu masuk, mataku disuguhi dengan buku-buku. Sebagian besarnya buku anak-anak, tapi ada juga trilogi Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi, serial Anak-anak Mamak karya Tere Liye dan beberapa judul yang belum sempat ditangkap mata. Ada mikroskop dan globe di meja di samping rak.

Selanjutnya, beberapa papan plastik disusun dan saling direkatkan supaya bisa berdiri, sebagai pembatas antara ruang penuh buku dan ruang keluarga. Di papan itu ditempeli banyak kertas.

Target selanjutnya sejak bulan Ramadhan tahun lalu. Target untuk tahun Hijriyah selanjutnya.

Kumpulan judul lagu klasik dan pop, beserta sebuah tanggal untuk setiap lagu, walau ada yang belum ada tanggalnya. Bukan tanggal diciptakan pastinya, karena tahunnya di atas 2015 semua. Di ujung kertasnya tertulis, 'Tristan Karkasa.'

Ada juga target bacaan selama setahun. Sebagian besar diceklis, tapi lebih banyak yang belum. Siapa yang membaca deretan buku ini? Jarang sekali yang mengenal Nakajima Atsushi di kalangan pembaca Indonesia kecuali yang memang suka membaca semua jenis buku. Nama yang tertulis di kertas itu kali ini adalah, 'Feivello Maitreya.' Itukah yang membacanya?

"Axel, ya?"

Otomatis aku mendongak dari kertas di papan plastik itu, mencari siapa yang memanggilku. Seorang wanita, usianya mungkin di atas empat puluh tahun, seusia dengan Ibu. Mungkin saja wanita ini lebih muda, karena penampilan Ibu selalu saja 'lain dari yang lain'. 

Wanita di sebelahku ini mengenakan kerudung panjang dan rok. Penampilan yang berbeda dengan Ibu. Mungkin karena pekerjaan Ibu mengharuskannya turun ke lapangan, ia lebih sering memakai celana kargo, kemeja, dan kerudung yang tidak mengganggu aktivitas. Atau blazer ketika sedang bertemu klien.

"Ah, iya, Tante," jawabku singkat.

Ia berjalan mendekatiku yang kembali membaca tulisan di papan plastik dan melihat ke arah papan itu. "Biasa, punya anak-anak. Target mereka. Apa hal yang mau mereka lakukan di tahun berikutnya. Hanya Nata saja yang sudah lama tidak menempelkannya. Ia tahu kalau target dia ditempel di situ, pasti akan ada yang menangis membacanya."

Menangis? Kenapa menangis? "Kenapa, Tante?"

"Dia selalu bilang, target dia setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, atau pun setiap tahun selalu sama sejak hampir satu tahun ke belakang. Dia mau tetap hidup, sampai tugasnya di bumi selesai."

Eh? Apa maksudnya itu?

"Ma, Axel-nya dipinjam dulu. Enggak apa, kan?" Nata muncul dari arah ruang keluarga di belakangku.

Ibunya mengangguk. "Mau di mana?"

"Di kamar saja, Ma, biar gampang kalau mau mengambil barang. Axel, ayo."

Aku mengikutinya melintasi ruang keluarga, yang memiliki sebuah rak berisi buku tentang bidang sipil. Siapa yang bekerja di bidang sipil? Ada juga plakat dengan nama 'Fitria Adelina'. Siapa? Ibunya Nata?

Dari balik dinding tempat rak itu berada, Nata memasuki sebuah pintu. Kamarnya?

Ia membiarkan pintu itu terbuka, tapi tetap saja aku ragu memasukinya. Satu-satunya kamar perempuan yang pernah kumasuki hanya kamar Kak Aitha. Itu pun sudah lima tahun lebih sejak kamar itu terakhir menjadi miliknya.

"Punten*," ucapku pelan sambil mengetuk pintu kamar yang sudah terbuka.

"Masuk saja, Xel. Maaf sedikit berantakan. Kabel di mana-mana."

Aku mengintip ke dalam sebelum masuk. Baguslah bukan berantakan yang biasanya terjadi pada kamar anak perempuan pada umumnya. 

Kamar Nata penuh dengan kabel berseliweran di lantai, beberapa kontainer berukuran 60x30 senti yang ditumpuk sampai setinggi bahu, dan meja rendah di tengah-tengah kamar. Di atas meja itu, terdapat satu laptop terbuka.

Terdapat juga lemari yang merapat ke dinding. Di sebelahnya, ada rak berisi buku tentang elektro, mesin, dan software. Ada satu buku novel terselip di antara buku-buku itu. Origin karya Dan Brown? Dia benar-benar membacanya?

"Ada yang membuatmu tertarik?"

Aku menoleh ke arah Nata yang sedang menarik satu meja rendah lagi dari kolong kasur. Ia menyalakan satu laptop lagi yang sebelumnya berada di atas tumpukan kontainer.

"Kamu benar-benar membaca karya Dan Brown?"

"Iya, tapi hanya Origin. Sama halnya dengan Chicken Soup for The Soul di sana," ia menunjuk ke rak teratas lemari, "aku hanya membaca seri yang itu. Hanya yang komik, bukan novel aslinya. Dua buku itu pun baru kubeli dan baca setahun ke belakang ini."

"Boleh kulihat?"

Ia mengangguk, senyum lebar terpampang di wajahnya.

Aku berjinjit untuk mengambil komik Chicken Soup for The Soul yang ditunjuknya tadi. Kelihatannya ini adalah tiga tema yang disatukan menjadi satu buku tebal.

Chicken Soup for The Soul: Hadiah Terindah, Pelajaran Berharga, dan Perjalanan Ajaib.

Kalimat itu tertulis di sampulnya. Kalau melihat daftar isinya, sepertinya ini kumpulan cerita pendek yang semulanya tulisan saja, lalu diberi ilustrasi.

Beberapa halaman di dalamnya kelihatannya terlipat. Apa sengaja dilipat? Kubuka buku pada halaman yang dilipat ujung atasnya itu dan membacanya dalam diam. Juga membaca pada beberapa halaman terlipat lainnya.

"Bagaimana bila setiap orang berkata, 'Aku tak dapat pergi, biar orang lain saja yang melakukannya'?"

"Cinta harus dijalani di sini, di dunia. Begitu kita meninggalkan dunia, maka sudah terlambat. Jadi, aku diberi hadiah kehidupan sehingga aku bisa belajar hidup penuh cinta di sini saat ini."

"Aku menatap mata para pengendara kuda itu. Dan aku sadar mereka tidak peduli sama sekali dengan apa yang terjadi padaku. Jadi, tak ada gunanya minta pertolongan mereka."

"Aku memulai hariku dengan bertanya pada diri sendiri, 'Perbuatan baik apa yang dapat kulakukan hari ini?' dan menutup hariku dengan merefleksikan, 'Perbuatan baik apa yang telah kulakukan hari ini?'."

"Kebijaksanaan adalah keajaiban yang dapat merubah penderitaan menjadi kesenangan."

Itu belum semua. Masih banyak lagi, tapi pikiranku sudah menjelajah terlalu jauh. Ada apa sebenarnya setahun ke belakang sampai ia menandai kata-kata seperti ini? Ibunya juga mengatakan hal yang sama tentang target yang ditempel pada papan di ruang keluarga.

Mataku menangkap sesuatu di ujung rak buku. Sebuah kotak, berisi obat. Kubaca nama obatnya. Tidak familier, tapi kelihatannya obat keras.

Langsung kulihat gadis yang duduk di lantai sambil melihat-lihat badan ponselku yang casing-nya sudah dilepas olehnya. Ia bersenandung sambil tersenyum kecil. Ia tidak kelihatan seperti orang sakit.

Kalau dia memang mau memberitahuku, maka dia akan memberitahu sendiri. Tak perlu kutanyakan sekarang.

Aku duduk di sebelahnya. Hasil coding di layar salah satu laptop-nya, sementara laptop satunya membuka browser.

"Nat, data di ponselku jangan sampai hilang. Bisa, kan?"

Ia mengangguk. "Aman itu, Xel."

"Dan kalau bisa, aku sudah kembali ke rumah sebelum pukul tiga sore. Ibuku pulang sore ini. Aku takut Kak Arsha enggak di rumah."

"Oke, kita kejar targetmu itu. Pukul tiga masih lumayan lama."

"Nat, kenapa ketika aku ke konter ponsel, dia malah bertanya aku punya kotak ponselnya atau tidak?"

"Itu sebagai bukti kalau kamu memang pemiliknya. Kamu tahu, kalau ke black market, kotak itu diperjual-belikan dan harganya bisa di atas lima puluh ribu rupiah, tapi tidak kusarankan kamu menjualnya kecuali ponselmu tidak bisa dipakai lagi. Selama ponsel masih bisa dipakai, kotaknya akan penting."

"Bagaimana cara kamu membobolnya?"

"Setiap ponsel dibobol dengan cara yang berbeda. Biar kuajarkan sesuatu."

Dalam keadaan ponsel yang mati itu, ia menekan tombol seperti sedang menangkap layar. Layar menyala di laman yang tidak pernah kulihat. Memilih bahasa?

"Pilih saja bahasa Inggris. Aku tidak mengerti bahasa Mandarin. Nah, yang ini," ia menunjuk tulisan reset, "adalah hard reset. Kamu menghapus semua isi ponsel. Kuncinya akan hilang, tapi file-mu juga akan hilang. Jadi, jangan pernah simpan file penting di phone storage. Masukkan ke SD card atau hard disk, atau setidaknya di laptop."

"Kumohon jangan lakukan itu." Ada benda penting di sana. Sangat penting.

"Tidak, tidak akan." Sambil mengetik sesuatu di laptop, ia berkata, "Axel, adikku yang membukakan pintu untukmu itu, aku ingin memberi kisah yang kamu tulis padanya."

Tunggu, apa? "Maksudmu?"

"Namanya Feivel, tapi biasa dipanggil Fei. Ia kelas 1 SMP sekarang. Ia suka membaca, menonton dan sulap. Apa pun yang menciptakan ilusi. Membuat orang lupa atas beratnya kehidupan dan merasakan bahagia walau hanya sesaat. Dia akan melihat seseorang berada di ambang kematian di hari ulang tahunnya, tanggal 5 November."

Jadi 5 November itu tanggal lahir adiknya ... tapi siapa yang di ambang kematian? Bukan Nata, kan? "Berapa saudaramu?"

"Dua adik laki-laki. Fei dan Tris. Aku anak sulung."

"Kamu kakak yang baik, ya."

Nata langsung terbahak mendengar perkataanku. Salahkah perkataan barusan? 

"Katakan itu di depan Fei dan Tris, dan mereka akan langsung membantah. Bukannya merendah atau apa, tapi aku kakak yang buruk, Xel. Sangat buruk."

Aku menatapnya sejenak, sebelum salah satu laptop memutarkan video berbahasa asing yang menunjukkan bagaimana caranya membobol ponsel dengan jenis yang sama persis denganku.

Anak laki-laki yang Nata bilang bernama Fei itu masuk dan duduk di kasur di belakangku. "Teteh, bahasa apa itu? Pasti bukan bahasa Jepang. Beda dari yang biasanya."

"Vietnam, Fei. Mau coba belajar? Tris mana?"

"Main piano. Pintu kamarnya ditutup makanya enggak terdengar sampai sini." Ia melihat ke arahku dan bertanya, "Kakak yang namanya Axel itu?"

Aku mengangguk. Di tengah tontonannya, Nata menceletuk, "Dia sama denganmu, Fei. Suka baca. Jarang senyum. Bedanya cuma satu. Kamu tukang recok, dia enggak."

"Pasti Teteh yang suka recokin dia, 'kan?"

Nata mencebik.

"Teteh, kayaknya seru nih kalau dihapus." Fei menunjuk layar laptop yang memampangkan coding.

"Seru untuk kamu yang menonton. Teteh nanti stress mengulangnya lagi. Kamu mau Teteh ambil kartu remi kamu, terus dirobek-robek?"

"Jangan, Teteh. Kak Axel, kok diam saja? Kenapa?"

Aku menggeleng. "Enggak, hanya jadi ingat kedua kakakku saja kalau melihat saudara yang saling iseng seperti kalian. Sudah lama tidak ada keributan mereka di rumah."

"Kak Axel punya berapa saudara?"

"Dua kakak. Satu perempuan, satu laki-laki, tapi yang perempuan sudah meninggal lima tahun yang lalu."

Fei otomatis berhenti bicara dan melirik Nata. Mata Nata tetap tertuju pada layar laptop. Senyum kecil tetap terlihat di bibir, tapi aku tau, ada perasaan campur aduk di dalam pikiran dan hatinya.

Apa ini ada kaitannya dengan kutipan di buku, target dan tugas yang dibilang ibunya, serta obat di rak itu?

---------------

To be continued...

*Punten: Permisi (Bahasa Sunda)

Continuă lectura

O să-ți placă și

2.6K 610 19
[ongoing] Tristan, seorang pemimpin muda yang karismatik, telah dikenal sebagai pribadi yang memiliki segudang prestasi dan bakat di mata orang-orang...
The antagonist's wife De Acha..luv

Ficțiune adolescenți

569K 27.7K 36
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
KITA SELESAI De ayas

Proză scurtă

328 38 5
Untukmu Dariku Kata terbaik untukmu A Love Story Spin off "I Will Always Love You", dari Qila untuk Akha.
Roomate [End] De asta

Ficțiune adolescenți

596K 40.2K 41
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...