Respon Dhaffi saat pertemuan pertama mereka membuat kepercayaan diri Queenzie luntur. Baru kali ini ada yang mengucapkan istighfar saat bertemu dengannya. Biasanya cowok-cowok akan melempar pujian dan tatapan memuja, bukan malah membuang muka dan mengucapkan istighfar seolah Queenzie adalah setan yang menyeramkan.
Queenzie tidak habis pikir, bagaimana bisa papanya menjadikan cowok itu sebagai tolak ukur menantu idamannya? Queenzie akan berbicara pada papanya untuk mengganti role model menantu idamannya karena Queenzie tidak ingin memiliki suami seperti itu. Disapa malah buang muka. Sungguh tidak mencerminkan tetangga yang baik.
Sejujurnya Queenzie juga tidak yakin bisa mendapatkan laki-laki seperti itu jika mengingat lingkup pertemanannya yang isinya laki-laki brengsek semua. Queenzie cukup sadar diri untuk tidak berharap mendapatkan laki-laki baik karena dirinya merasa bukan perempuan baik-baik. Jadi, meminta papanya mengubah role model menantu idamannya adalah hal wajib yang harus Queenzie lakukan sekarang jika tidak ingin menjadi prawan tua karena papanya akan terus menolak semua pacar yang Queenzie bawa ke rumah jika pacarnya itu tidak sesuai dengan tipe calon menantu idaman papanya. Sedangkan, menantu idaman Alvis adalah laki-laki seperti Dhaffi. Queenzie harus mencari di pesantren mana laki-laki seperti itu?
Queenzie memang tidak berniat menikah muda, tapi juga tidak ingin menjadi prawan tua. Dia harus mulai mencari calon suaminya sendiri mulai dari sekarang sebelum nasibnya sama seperti orang tuanya yang berakhir dengan perjodohan.
Kaki Queenzie menuruni tangga dengan cepat. Penampilannya sudah lebih rapi dari sebelumnya karena dia juga sudah mandi. Baju yang dipakainya sekarang pun tidak sependek yang tadi. Meskipun bawahannya tetap celana pendek, tapi atasannya dia memakai kaos oversized.
Queenzie berniat ke rumah Kenzo setelah berbicara pada papanya. Entah kenapa dia sangat yakin kalau Kenzo belum bangun dan Queenzie akan membangunkan sepupunya itu. Queenzie merasa tidak adil karena dia harus bangun pagi, sedangkan Kenzo yang kemarin mengajaknya ke bar malah bisa tidur sampai sore. Memang mama Kenzo tidak sekejam mama Queenzie. Queenzie sampai heran, apa kakek dan neneknya mengucapkan doa yang berbeda saat membuat Mama Abel dan Tante Naura? Kenapa sifat mereka sangat berbeda?
“Kamu lagi nyari apa, Zie?” tanya Abel saat melihat Queenzie celingukan.
“Nyari papa. Papa dimana, Ma?”
“Di ruang tamu. Dia lagi sibuk kayaknya. Dari tadi Mama suruh makan siang belum sempet-sempet.”
“Itu kode biar Mama suapin. Mama, sih, gak peka-peka sama kode papa.” Queenzie tertawa geli. Dia berlalu menuju ruang tamu, meninggalkan mamanya yang sekarang sedang menggerutu.
“Like father, like daughter. Sama-sama suka godain gue,” gerutu Abel lalu menaiki tangga menuju kamarnya.
Queenzie menghampiri papanya yang sedang duduk di ruang tamu dengan tablet di tangannya. Papanya memang terlihat sibuk, tapi Queenzie tidak yakin kalau papanya itu sibuk bekerja. Apalagi setelah mendengar gumaman “Ayo! Dikit lagi.” “Ke kiri... Ke kiri...” “Ck! Harusnya tadi ke kanan.”
Queenzie berdehem lalu duduk di samping papanya yang masih sibuk dengan dunianya.
“Oh, jadi kesibukan ini yang buat Papa gak sempet makan?” Queenzie tersenyum, senyum yang bisa menguras atm Alvis.
Alvis menoleh dengan panik. Jari telunjuknya dia tempelkan di bibirnya seperti memberi isyarat pada Queenzie untuk diam.
“Ssstt... Jangan bilang sama mama kamu! Papa bisa kena masalah kalau kamu ngadu.” Alvis tadi memang bilang pada Abel kalau dia sedang sibuk bekerja agar Abel tidak mengganggu permainannya. Kalau dia tidak bilang seperti itu, pasti Abel akan menyuruhnya ini itu.
Senyum Queenzie semakin lebar. Tatapannya memancarkan sejuta makna.
Alvis yang sangat peka dengan kode anaknya pun memutar bola matanya jengah. Dia sekarang tahu bagaimana perasaan Faro saat menjadi ayah Abel. Abel dan Queenzie memang punya sifat yang sama, sama-sama suka menguras ATM.
“Ya, ya, ya. Papa sudah tahu apa yang kamu mau.”
“Thank you, Papa.” Queenzie mencium pipi papanya dan memeluk tubuh papanya erat.
“Jangan peluk-peluk nanti Papa kalah!” Alvis memiring-miringkan kepalanya agar matanya masih bisa melihat ke layar tablet yang sempat tertutupi tubuh Queenzie.
Queenzie berdecak kesal. Dia segera melepaskan pelukannya di tubuh Alvis dan duduk manis di samping papanya itu.
“Pa...” panggil Queenzie setelah beberapa menit diam.
“Hmmm...” gumam Alvis tanpa menoleh. Matanya masih terfokus hanya pada layar. Nyamuk yang sedari tadi hinggap di pipinya dan menyesap darahnya pun dia biarkan begitu saja.
Queenzie menatap gemas pada nyamuk kurus yang sekarang sudah menjadi gemuk karena menyesap darah papanya. Tangannya reflek memukul nyamuk yang berada di pipi papanya tanpa berpikir kalau tindakannya itu bisa memancing kemarahan sang pemilik pipi.
Alvis menjeda permainannya saat merasa pipinya tertampol oleh tangan anaknya sendiri. Dia melirik Queenzie tajam.
Queenzie menggigit bibirnya takut. Karena nyamuk kampret itu dia sekarang berada dalam masalah.
“Queenzie!” geram Alvis.
“Kamu sebenarnya punya dendam apa sama Papa?”
“Tadi ada nyamuk, Pa,” jawab Queenzie takut-takut dengan menunjukkan telapak tangannya. Di telapak tangannya itu ada nyamuk yang sekarang sudah mati dan juga ada cipratan darah di sekitarnya.
Alvis mendengus lalu melanjutkan permainannya. Sesekali tangannya menggaruk pipinya yang terasa gatal.
“Pa...” panggil Queenzie sekali lagi.
Alvis menoleh dengan tatapan kesalnya. “Apa lagi? Ada gajah di pipi Papa?”
“Bukan. Aku mau tanya.”
“Tanya apa?”
“Kata mama, Papa pengen punya menantu kayak Dhaffi--” Queenzie tidak melanjutkan ucapannya karena ingin melihat respon papanya.
Alvis kembali menjeda permainannya mendengar ucapan Queenzie. Dia menatap anaknya dengan tersenyum senang.
“Bener. Dia itu anak baik-baik. Kalau kamu nyari calon suami, cari yang kayak dia!”
Queenzie cemberut melihat ekspresi papanya yang menunjukkan kalau papanya sangat menyukai Dhaffi.
“Kalau aku gak dapet cowok kayak Dhaffi gimana?” Queenzie mencoba meminta keringanan untuk tipe calon menantu idaman papanya. Siapa tahu papanya bisa sedikit menurunkan tipe menantu idamannya. Minimal seperti Calvin, mantan Queenzie yang sekarang menjadi sahabat Queenzie. Dia memang bukan cowok baik, tapi dia yang paling baik dari semua cowok yang dekat dengan Queenzie.
“Ya udah, sama Dhaffi aja!” jawab Alvis santai.
Mulut Queenzie terbuka lebar mendengar jawaban papanya. Belum hilang keterkejutannya, dia dikejutkan lagi oleh kedatangan seseorang yang sudah berdiri di depan pintu.
“Assalamualaikum,” ucap orang itu yang tidak lain adalah Dhaffi.
“Walaikumsalam,” jawab Alvis dan Queenzie bersamaan.
Alvis langsung beranjak dari duduknya dan mempersilahkan Dhaffi masuk.
Queenzie tidak mau menatap laki-laki itu. Dia pura-pura memainkan ponsel. Jujur saja, dia masih kesal dengan respon laki-laki itu saat melihatnya pertama kali. First impression harusnya mengesankan, bukan malah menyebalkan.
Dhaffi mencuri-curi pandang melihat Queenzie yang sedari tadi hanya menunduk saja. Penampilan cewek itu lebih sopan dari sebelumnya, membuatnya berani menatapnya lama. Dhaffi sudah menduga kalau Queenzie adalah anak dari tetangga depan rumahnya meskipun dia baru melihat cewek itu sekarang.
“Kenalin... ini Queenzie, anak Om,” ucap Alvis memperkenalkan Queenzie pada Dhaffi.
Queenzie mendumel dalam hati. Kenapa papanya harus repot-repot mengenalkannya pada Dhaffi padahal dia tidak ingin kenal dengan tetangganya yang tidak ramah itu.
“Saya Khadhaffi. Panggil saja Dhaffi!” Dhaffi mengulurkan tangannya di depan Queenzie.
Mau tidak mau, Queenzie pun membalas uluran tangan Dhaffi. Meskipun dia kesal, tapi dia masih punya sopan santun.
“Queenzie,” ucap Queenzie menyebut namanya sendiri. Dia tersenyum tipis. Tipe senyum yang dipaksakan.
Dhaffi manggut-manggut lalu melepas jabatan tangannya.
“Kamu manggilnya Mas Dhaffi aja biar lebih sopan! Dia lebih tua dari kamu. Gapapa kan, Dhaf, kalau Queenzie manggil kamu Mas?”
Queenzie langsung menoleh dengan tatapan tidak percaya menatap papanya yang sekarang sedang tersenyum menggoda. Queenzie tahu, papanya itu sedang mencoba mendekatkannya dengan role model menantu idamannya.
Dhaffi berdehem salah tingkah. “Gapapa, Om.”
“Sebenarnya saya kesini mau pinjam tangga buat benerin lampu,” ucap Dhaffi menyampaikan maksudnya agar pembicaraan mereka tidak menjalar kemana-mana.
“Jangankan tangga, mau ngajak anak Om berumah tangga aja Om izinin.”
Queenzie melotot menatap papanya. Bisa-bisanya papanya berbicara seperti itu pada orang yang baru dikenalnya 2 hari yang lalu.
Dhaffi semakin salah tingkah. Dia hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Alvis.
“Aku mau ke rumah Ken.” Queenzie segera pergi setelah mengatakan itu. Dia sangat kesal pada papanya. Awas saja, akan dia adukan kelakuan papanya yang bermain dengan alasan bekerja itu pada mamanya nanti.
Alvis menahan tawa melihat Queenzie pergi dengan menghentak-hentakkan kaki. Dia bersorak dalam hati karena berhasil menjahili anaknya.
“Ayo, tangganya ada di gudang!” ajak Alvis.
Dhaffi mengikuti langkah Alvis menuju gudang. Matanya memperhatikan sekeliling. Ada banyak foto keluarga yang terpajang. Pandangan Dhaffi terhenti pada sebuah foto yang menampilkan seorang anak kecil yang sedang tertawa dengan memperlihatkan giginya yang hanya ada dua. Dhaffi sangat yakin kalau itu foto Queenzie karena Queenzie tidak punya saudara lagi.
“Kecilnya ompong, kenapa besarnya bisa secantik itu?” gumamnya tanpa sadar.
💄💋💄💋