I Love You, Pak Dosen! (REWRI...

נכתב על ידי Rliaaan

6.4K 273 28

[ROMANCE - SPIRITUAL] Humaira itu es dan sangat membenci lelaki serta pernikahan. Sedangkan Abimanyu itu han... עוד

☕ 1 ☕ Hati Yang Keras
☕ 2 ☕ Pria Aneh
☕ 3 ☕ Trauma Masa Lalu
☕ 4 ☕ Teman Baru
☕ 5 ☕Pengantin Yang Hilang
☕ 6 ☕ Married With Dosen 1
☕ 7 ☕ Married With Dosen 2
☕ 8 ☕ Nasihat
☕ 9 ☕ Rumah Mertua
☕11☕ Janji Kelingking
☕12☕ Ingin Seperti Dulu
13. Maira Hilang 2
Prolog

☕10☕ Tangisan Maira

215 15 0
נכתב על ידי Rliaaan

بسم الله الرحمن الرحيم

Jangan lupa bershalawat😉😉

اللهم صل على سيدنا محمدو على آل سيدنا محمد

.
.
.
.
.

"Mai, ini kenapa bantalnya di tengah semua? Tempat tidurnya sempit nanti," tanya Abi bingung sembari mengusak rambutnya yang masih basah. Maklum, dia baru saja mandi.

Maira yang sedang sibuk menata bantal pun berbalik menghadap suaminya. Memincingkan matanya dan lekas membuang wajahnya.

"Sudah aku bilang bahwa aku yang akan menentukan batasannya, bukan?" balas Maira balik bertanya membuat Abi mengangguk tanpa sadar.

Memang benar ia menyetujui hal itu dengan Maira, tetapi untuk apa bantal setinggi ini? Abi bahkan dapat menebak jika tinggi bantalnya akan menutupi pandangannya pada Maira.

"Aku ingat, tapi apa harus setinggi ini? Tingginya bahkan nyaris menyamai harapan orang tua," jawab Abi berusaha bergurau.

Abi tidak ingin membawanya pada hal serius yang akan menyebabkan Maira merasa tidak nyaman. Bagaimana pun juga, ini malam pertama Maira tinggal di rumahnya.

Gurauan Abi rupanya tak mendapat respon yang baik dari Maira. Terbukti dengan gadis itu yang dengan ketusnya membalas ucapan suaminya.

"Ya, hanya harapan orang tua karena aku tidak punya harapan!" ketusnya mengusik alasan di balik pernikahannya.

Selama ini, ibu dan kakaknya selalu berharap agar dia mendapatkan jodoh yang baik. Sementara itu, Maira justru tak pernah mengharapkan hal itu.

Maira tidak ingin ada seorang pun yang datang ke dalam hidupnya. Secara tidak langsung, Maira tidak memiliki harapan, bukan? Jadi, tidak salah jika Maira mengatakan hal itu di depan Abi yang menjatuhkan Maira ke jurang pengorbanan.

Abi berdehem sebentar dan bergegas untuk menaruh handuknya. Tak berniat memberi respon pada sindiran istrinya yang jelas-jelas ditujukan padanya.

"Sabar, baru hari pertama," ujarnya menenangkan diri sendiri.

Setelah itu, Abi pun langsung menaiki kasur. Menatap sekilas Maira yang telah berbaring membelakanginya. Jujur, Abi tidak pernah menyepakati hal ini. Maksudnya, mengenai posisi tidur.

"Mai, apa harus kamu membelakangiku seperti ini?" tanya Abi merasa tak enak melihat posisi Maira. Apa bantal tinggi ini masih kurang bagi Maira? Memangnya Abi semengerikan, itu, ya, hingga Maira enggan menghadap ke arahnya?

Maira menggerakkan tubuhnya dengan pelan, tak suka dengan pertanyaan suaminya.

"Posisi tidurku?" tanya Maira tepat sasaran yang langsung dibalas dengan cepat oleh Abi. Menunjukkan betapa ekspresifnya dosen kesayangan mahasiswi kampusnya ini.

"Iya, posisi tidur. Kenapa harus belakangin aku gini?" tanyanya menuntut, tak sabar menanti jawaban dari Maira yang mungkin tak bisa membayar kalimat yang dia keluarkan untuk Maira.

"Aku suka seperti ini. Kau bermasalah?" tanya Maira santai.

Abi berdecak di tempatnya dan dengan cepat menarik jilbab istrinya agar berbalik ke arahnya. Aksi tiba-tiba Abi itu pun membuat kemarahan Maira terpancing.

Gadis itu dengan kasar bangun dari tidurnya dan menatap marah pada Abi yang kini tersenyum konyol pada dirinya.

"Enggak sopan! Kenapa tarik-tarik begitu!" marah Maira sambil merapihkan jilbabnya. Takut jika ada rambutnya yang terlihat, padahal Abi sendiri dihalalkan untuk melihatnya. Namun, yang namanya hati dan manusia memanglah sulit. Jika ego mereka tinggi, yang benar pun menjadi salah dan begitu pula sebaliknya.

"Jangan marah dulu, aku enggak pernah menyetujui posisi tidur seperti itu! Lagipula, aku enggak tarik jilbabnya brutal," bela Abi pada dirinya sendiri mengundang kemarahan Maira. Gadis itu menatap Abi tajam dan menunjuk wajahnya.

"Namanya manusia tidur, ya, tidak bisa diatur posisinya, manusia aneh!" belas Maira pada dirinya sendiri membuat Abi memangku dagunya dengan malas.

Abi pun tahu hal itu, hanya saja apa benar tindakan yang tadi Maira lakukan? Tidak, kan? Maka dari itu, Abi akan meluruskannya. Dia menerima ada batas di antara mereka, tetapi tidak terima jika harus saling membelakangi.

"Aku tahu, Mai. Manusia tidur memang enggak bisa dikontrol, tapi kamu, kan, belum tidur. Kamu masih sadar dan membelakangi suamimu, dosa!" ujar Abi memulai ceramah singkatnya.

Meski Abi memang membebaskan Maira, dia tetap tak bisa mentolerir semua tindakan Maira. Tugasnya sebagai seorang suami bukan hanya menafkahi istrinya, tetapi juga mendidiknya agar semakin dekat dengan Allah. Menjadi istri yang bertakwa pada Allah dengan cara berbakti pada suaminya.

Jika ditanya ikhlas atau tidak, tentu saja jawabannya tidak. Namun, Abi pun berusaha memahami Maira.

Mendengar kata "dosa" dari mulut suaminya, Maira pun memutar bola matanya jengah. Lelaki memang sama saja, bermulut dua. "Kau lupa kalau kau membebaskanku?" tanya Maira mengingatkan Abi.

Abi hanya mengangguk sekilas dan duduk bersila sembari menaruh tangannya di dada. "Aku tahu, tapi tetap yang memegang kendali itu suami. Aku harus memberitahu kamu jalan yang benar," jawab Abi tenang.

Maira yang benar-benar malas pun memaksa tubuhnya untuk ikut bersila. Berhadapan dengan Abi yang menampakkan wajah hangatnya.

Lelaki itu meski berdebat dengan Maira sekalipun, tak pernah dia memperlihatkan wajah mengerikannya. Dia selalu mengontrol emosinya agar jangan meledak pada Maira yang sejatinya lebih rapuh dari yang ia kira.

"Ouh begitu? Menurutku, pernikahan ini sudah salah, jadi perjalanannya pun akan salah. Semua yang ada di dalamnya salah. Tidak seharusnya kita terikat di sini," geram Maira sembari menunjuk jari manisnya yang terdapat cincin pernikahannya dengan Abi. Dan tentunya, dipasangkan oleh Abi.

Wajah gadis itu terlihat mengeras, mencurahkan isi hatinya dengan penuh ambisi pada Abi yang hanya bisa mengucap istighfar di dalam hatinya.

Ia memang tidak heran lagi dengan sikap Maira yang ketus, keras kepala, dan pemarah. Hanya saja, Abi tidak menyangka jika Maira sekeras ini hingga kebenaran terlihat seperti abu-abu di matanya.

Sepanjang Abi mengenal Maira, Maira adalah gadis yang takwa pada Allah. Dia gadis yang lembut, terlebih lagi pada anak-anak dan lansia. Dia juga gadis yang pantang menyerah dan selalu teguh di jalan-Nya. Namun setelah menikah, Abi tak mendapati hal itu.

Bukan berarti Abi kecewa, hanya saja dia bingung bagaimana caranya membangkitkan Maira yang sesungguhnya.

Abi tahu sikap buruk yang selalu Maira perlihatkan padanya hanyalah tameng yang dibangun gadis itu. Dia tidak ingin membiarkan hatinya terbuka untuk siapa pun, termasuk suaminya sendiri.

"Astagfirullah, Mai. Istighfar kamu. Kita memang menikah karena terpaksa. Dan aku bersalah banget sama kamu, tapi tolong jangan pernah kamu menganggap bahwa pernikahan yang kita jalani sebuah kesalahan. Kamu mau Allah marah karena ucapanmu?" ujar Abi dengan lembut sekaligus menakut-nakuti Maira yang langsung terdiam.

Gadis itu mengunci mulutnya rapat dengan mata yang mengarah kosong ke wajah suaminya. Pikirannya mulai berkelana setelah mendengar ucapan suaminya barusan.

Allah marah padanya, ya? Tapi bukankah hal ini sendiri di luar kehendaknya? Maksudnya, ia menginginkan hal yang lain, tetapi Allah justru memberikan yang sebaliknya.

Maira adalah manusia biasa yang memiliki hati dan perasaan. Dia bukan boneka yang diam saja ketika merasa tidak mendapat keadilan.

Sepertinya, Allah memang marah dengannya hingga mengikatnya dalam hubungan ini. Tapi kenapa? Kenapa Allah marah dan mengikatnya dalam hubungan ini bersama Abi?

Sebelum menikah, Maira merasa tidak membuat kesalahan besar sehingga dirinya harus menanggung semua ini. Dia menjadi anak dan adik yang berbakti, manusia yang baik kepada sesama, dan rajin belajar serta bersedekah. Lantas, di mana letak kesalahannya?

Humaira kemudian larut dalam pikirannya hingga membuat Abi merasa lelah menunggu respon istrinya. Namun ketika Maira mengeluarkan suaranya, Abi langsung merasa tak karuan.

"Allah sudah marah padaku, maka dari itu dipersatukan olehmu!" balas Maira dan langsung merebahkan dirinya di ranjang. Menutupi wajahnya dengan tangan dan membelakangi Abi yang membulatkan mata melihat istrinya.

Tangannya terulur ingin menyentuh pundak sang istri, tetapi ia tahan saat melihat pundak istrinya bergetar pelan. Maira menangis?

Ia harus apa sekarang? Memeluknya dan memberinya ciuman? Atau diam saja seolah tak terjadi apa-apa agar Maira merasa nyaman? Ah, sepertinya pilihan terakhir lebih baik.

Gadis tertutup seperti Maira tidak akan suka urusannya dicampuri, apalagi berkaitan dengan batinnya. Bisa-bisa perhatian yang Abi berikan justru membuatnya semakin menangis.

Akhirnya dengan hati yang dipaksakan untuk ikhlas, Abi pun membaringkan tubuhnya lagi. Menghadapkan tubuhnya pada tumpukan bantal hasil karya istrinya.

"Selamat malam, istriku. Semoga Allah hapuskan kesedihanmu!" ucap Abi mengudara untuk Maira yang masih sibuk dengan dirinya.

Sebelum memejamkan matanya, Abi sempatkan untuk mematikan lampu. Berusaha membuat Maira lebih nyaman dari sebelumnya.

***

Abis terusik dalam tidurnya. Entah kenapa ia merasa silau, padahal matanya tertutup. Tubuhnya juga merasa lebih hangat, padahal sebelumnya Abi sedikit kedinginan. Selain itu, telinganya pun menangkap sebuah suara. Bukan suara hujan, tetapi suara isakan perempuan.

Tanpa menunggu lama, Abi pun bangun dari alam bawah sadarnya. Di pikirannya sekarang hanya ada hal-hal menakutkan. Malam-malam seperti ini, siapa yang menangis memangnya?

Jujur, Abi merasa sekujur tubuhnya merinding. Seram sekali jika tiba-tiba ada mahluk ghaib di kamarnya. Dia ingin meminta tolong pada siapa? Papa Dery?

"Allah, serem banget. Ini siapa yang nangis?" gumam Abi sembari mengucek-ngucek matanya dengan suara yang parau. Maklum saja, dia baru bangun tidur dan mungkin nyawanya belum terkumpul.

Setelah matanya terbuka, Abi pun terkejut saat mendapati seorang wanita yang menggunakan pakaian putih berdiri di samping kasurnya dan membelakanginya.

"Innalillahi! Astagfirullah! Beneran ada setan," panik Abi sembari mencari tasbih. Berusaha menenangkan dirinya dengan dzikir kepada Allah agar mahluk astral di depannya menghilang.

Abi pun memojokkan dirinya ke kepala ranjang sembari terus melantunkan dzikir dan doa, tetapi mahluk itu tak kunjung hilang. Dia justru membuat gerakan seperti sholat hingga membuat Abi yakin yang dia hadapi adalah jin islam.

"Kalau tahu dia jin islam, percuma aku baca ini. Dia lebih pinter dari aku," gumam Abi kebingungan.

Tanpa sadar, tangannya menyentuh tumpukan bantal di atas kasur. Langsung saja Abi menengok dan terdiam sebentar.

"Ini bantal siapa yang susun, ya? Selama aku tidur, enggak pernah aku susun bantal kayak gini," tanya Abi heran. Dia berpikir sejenak dan membulatkan matanya setelah menemukan jawabannya.

"Ya Allah! Aku, kan, udah nikah. Berarti yang tadi itu bukan setan, tapi Maira!" sesalnya dan langsung menengok cepat pada Maira yang tengah sujud.

"Maira nangis lagi?" simpul Abi ketika mendengar isakan istrinya yang tengah sujud.

Pria itu terdiam sebentar dan akhirnya memilih untuk kembali berbaring. Dia tidak ingin membuat Maira canggung atau malu karena mengetahui tangisannya di sepertiga malam ini. Jadi, berpura-pura tidur adalah pilihan terbaik.

Maira pasti tengah menumpahkan isi hatinya dan Abi tidak ingin mengganggunya. Gadis itu pasti merasa yang dia alami sekarang sangatlah berat hingga menangis sepanjang sholat.

Kalau sudah begini, Abi semakin tidak tega pada Maira. Dia pasti akan lebih membebaskan Maira agar gadis itu merasa nyaman. Namun, Abi juga tak ingin Maira bebas hingga mengabaikan pernikahannya. Dia ingin hubungan mereka bertahan hingga maut memisahkan.

Sembari berbaring, Abi memperhatikan Maira yang tak kunjung bangun dari sujud. Gadis itu tampak sangat nyaman dalam sujudnya hingga membuat Abi khawatir.

Apa Maira pingsan karena terlalu lama menangis?

Abi bangun dari tidurnya, berniat mendekati Maira. Sayangnya, Maira pun langsung bangun dari sujudnya hingga membuat Abi naik ke kasur dengan cepat. Menutup matanya dengan tenang, seolah tak terjadi apa-apa.

Ucapan salam pun terdengar membuat Abi semakin mendalami perannya. Mendengar untaian doa yang dilantunkan dengan pelan oleh istrinya.

"Ya Allah, tangisanku di sepertiga malam-Mu ini tak berarti dibanding apa yang telah Engkau berikan padaku. Engkau memberikanku kehidupan, rezeki, dan kebahagiaan yang tidak pernah ada habisnya. Engkau memberiku nikmat yang sayangnya tidak pernah aku syukuri."

Tangan Humaira yang terangkat pun bergetar. Tak kuasa membandingkan pemberian Allah dengan rasa syukurnya. Karena sudah jelas, hal itu berbanding jauh sekali.

"Allah, aku menghadap padamu dari tempat yang berbeda. Aku tak lagi di rumahku, tetapi di rumah suamiku. Rumah seseorang yang sejak dulu aku jauhi karena rasa ketidaksukaanku."

Maira berhenti sebentar sembari menengok ke belakang, di mana suaminya tengah terlelap di alam bawah sadar. Menatapnya sendu, tetapi tak sanggup berlama-lama.

"Allah, aku hanya mampu menganggapnya sebagai teman kakakku. Bukan suamiku yang berarti menjadi tumpuanku. Aku tidak bisa menganggapnya seperti itu sementara Engkau sendiri tahu bahwa hatiku terlampau kotor untuk dirinya yang bersih."

"Ada banyak hal yang telah aku lalui dan inilah puncak kesedihanku. Aku tidak pernah merasa sesedih ini, bahkan ketika aku kehilangan sosok ayah untuk selamanya. Aku tidak pernah merasa sesakit ini, bahkan ketika dikhianati oleh orang yang kusayang."

"Kali ini aku merasa sangat sakit karena pernikahan ini. Aku adalah hamba-Mu yang kotor. Aku hamba-Mu yang tak pantas menerima tanggung jawab berbuah syurga sebesar ini. Aku adalah hamba-Mu yang tak pantas menerima semua ini. Aku terlalu rendah untuk derajat seorang istri dan ibu. Aku pun terlalu jauh darimu hingga aku kehilangan arah."

"Allah, kau tahu bahwa aku pun tersiksa akan diriku sendiri. Aku tidak suka diriku. Aku bingung apa yang sebenarnya aku inginkan. Tapi Allah, aku hanya menginginkan ampunan-Mu. Jangan engkau jatuhkan murka-Mu padaku. Dan tolong, berilah aku waktu dan kekuatan agar bisa ikhlas menjalankan ini semua."

"Ya Allah, ampunilah dosa-dosa ku dan lembutkanlah hati orang-orang yang pernah aku sakiti. Luaskanlah hati suamiku karena memiliki istri sepertiku, sehatkanlah mertuaku, dan bahagiakanlah keluargaku."

Ketika Humaira sibuk dengan doanya, Abi pun melakukan hal yang sama. Hatinya sedih sekaligus terharu mendengar doa istrinya.

"Ya Allah, malam ini aku telah dibahagiakan oleh istriku. Balaslah dia dengan segudang pahala dan kebahagiaan. Serta ampunilah hamba-Mu ini yang belum bisa membahagiakan istri sebaik dirinya."

"Jagalah dia Ya Allah dan jagalah pernikahan kami. Jagalah kami agar selalu berjalan bersama menuju ridho-Mu meski nanti akan ada luka di antara kami. Kuatkanlah aku agar mampu menjaga istriku dan memberikan apa yang tidak pernah dia dapatkan."

"Ya Allah, teguhkanlah aku dan istriku untuk menghadapi masa depan kami ketika semuanya sudah terbongkar. Kuatkanlah dia karena hanya Engkaulah yang dapat menguatkannya. Jagalah dia dan sembuhkanlah lukanya."

Abi mengaminkan doanya dengan air mata yang menetes. Ikut terhanyut dalam suasana sendu sang istri.

Bumi Pertiwi, 18 Desember 2022

המשך קריאה

You'll Also Like

559K 9.7K 19
suka suka saya.
5M 432K 50
-jangan lupa follow sebelum membaca- Aster tidak menyangka bahwa pacar yang dulu hanya memanfaatkannya, kini berubah obsesif padanya. Jika resikonya...
277K 747 10
Area 21+++, yang bocah dilarang baca. Dosa tanggung sendiri yap. Jangan direport, kalau gasuka skip.
2.2M 107K 45
•Obsession Series• Dave tidak bisa lepas dari Kana-nya Dave tidak bisa tanpa Kanara Dave bisa gila tanpa Kanara Dave tidak suka jika Kana-nya pergi ...