I Love You, Pak Dosen! (REWRI...

Bởi Rliaaan

6.4K 273 28

[ROMANCE - SPIRITUAL] Humaira itu es dan sangat membenci lelaki serta pernikahan. Sedangkan Abimanyu itu han... Xem Thêm

☕ 1 ☕ Hati Yang Keras
☕ 2 ☕ Pria Aneh
☕ 3 ☕ Trauma Masa Lalu
☕ 4 ☕ Teman Baru
☕ 5 ☕Pengantin Yang Hilang
☕ 7 ☕ Married With Dosen 2
☕ 8 ☕ Nasihat
☕ 9 ☕ Rumah Mertua
☕10☕ Tangisan Maira
☕11☕ Janji Kelingking
☕12☕ Ingin Seperti Dulu
13. Maira Hilang 2
Prolog

☕ 6 ☕ Married With Dosen 1

340 23 0
Bởi Rliaaan

بسم الله الرحمن الرحيم

Jangan lupa bershalawat😉😉

اللهم صل على سيدنا محمدو على آل سيدنا محمد

.
.
.
.
.

Semua orang tegang termasuk Humaira yang kini duduk membatu di sofa, orang yang daritadi dijadikan topik utama itu kini berdiri di hadapan mereka semua, sambil tubuhnya bertumpu pada tongkatnya.

Ya, ayah Abi memang sempat lumpuh dulu namun berkat kerja kerasnya dan dukungan dari Abi akhirnya ia berhasil sembuh walau tidak mampu senormal orang lain. Ia masih butuh tongkat yang sewaktu-waktu dapat menopang kakinya bila mendadak lemas.

"Abi, siapa yang kabur?" tanyanya lagi pada Abi yang masih terdiam, bingung ingin menjawab apa. Ia berjalan mendekati sang anak yang masih duduk-duduk saja di sini, padahal akad akan dimulai kurang dari satu jam lagi.

"Kenapa masih di sini, Nak?" tanya Ardhan heran, semua orang juga kenapa justru membuat kerumunan di sini, bukan di tempat pernikahan.

"Ini, kenapa banyak orang? Harusnya kalian kan sudah ada di tempat pernikahan. Kamu lagi, ayo cepat ke sana!" Ardhan mendumel pada anak semata wayangnya yang daritadi tak menyaut sama sekali.

Ia kemudian menarik tangan Abi dan mengajaknya berjalan, namun ia merasakan bahwa Abi tidak bergerak sama sekali.

"Abi?" gumamnya saat melihat bahwa Abi hanya diam menatap kosong lantai di bawahnya.

"Ada apa, Nak?" tanyanya lalu mendekat dan mengusap pundak kokoh sang anak.

Abi tetap tertunduk namun tak urung menjawab, "Sebenarnya ca-calon pen-pengantin Abi-"

"Tunggu!"

Ucapan Abi terpotong saat Farhan mendadak berbicara, padahal ia ingin jujur kepada sang ayah walau tahu resiko yang akan ia tanggung sangatlah berat dan menyakitkan.

"Pengantinnya akan segera siap Om, dia sedang bersiap-siap. Maklum, namanya juga perempuan." ucap Farhan sambil sedikit bercanda.

Bukannya tenang, orang-orang di sana justru kebingungan saat mendengar ucapan Farhan. Bukankah tadi pengantinnya hilang? Lalu, sekarang sudah kembali? Begitu?

Humaira melongo, ia kaget mendengar penuturan Kakaknya. Bagaimana kakaknya tahu bahwa Lisna sudah kembali? Bukankah Lisna tidak akan kembali?

"Farhan?" tanya Abi.

"Ssshht... Aku akan bawa Humaira ke kamar!" ucapnya pelan lalu segera menarik Humaira untuk menuju kamar Lisna.

Humaira hanya diam di tengah kebingungannya, lebih bingung lagi saat kakaknya mengusir semua orang dari kamar dan hanya menyisakan bundanya.

"Kak?" tanyanya bingung.

Bunda tersadar, ia melirik sekeliling dan melihat Farhan yang tengah menarik Humaira memasuki kamar.

"Farhan? Humaira?" tanyanya bingung.

Farhan mendekat pada Bunda lalu duduk di lantai dan memegang tangannya yang mulai keriput, ia menatap dalam mata sang Bunda yang masih kebingungan akan sikapnya.

Humaira sendiri masih berdiri mematung.

"Bun, Farhan akan membuat keputusan besar. Bunda sudah anggap Farhan kepala keluarga, kan?" ia mulai membuka pembicaraan.

Bunda mengangguk walau masih bingung, "Iya, kamu kepala keluarga kita, sayang."

Farhan menitihkan air mata, ia mencium telapak tangan sang Ibu dengan khidmat.

"Bunda rela kalau Humaira kecil kita dimiliki sepenuhnya oleh orang lain?"  tanyanya mengundang perhatian Humaira yang kini berjalan mendekat.

"Maksud kamu apa?"

"Kak, apa maksud Kakak?"

Humaira dan Bunda bertanya dengan kompak. Farhan kemudian menatap satu persatu wajah bidadari Syurganya dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Lalu satu tangannya ia gunakan untuk mengusap pipi Humaira masih dengan tangan lain yang menggenggam telapak tangan sang Bunda.

"Humaira akan menikah dengan Abi!" putusnya membuat Bunda dan Humaira terkejut bukan main.

Bunda berdiri dari duduknya dan Humaira yang kini berjalan mundur dengan air mata yang telah mengucur deras. Dadanya bergemuruh hebat, tubuhnya lemas dan kakinya gemetaran sehingga ia sendiri jatuh ke lantai dengan mudahnya.

Tangannya menumpu pada lantai yang kini terasa sangat dingin, semakin menambah perih yang Humaira rasakan.

Ia menggelengkan kepalanya tak percaya akan ucapan sang Kakak.

Bagaimana kakaknya itu bisa melakukan hal itu padanya?

Menyakitinya dengan menjerumuskannya dalam ikatan pernikahan?

Bagaimana bisa? Katakan!

"Farhan, apa maksudmu?!" sentak Bunda, ia tidak paham dengan jalan pikiran anaknya ini.

Farhan menunduk lalu kembali menatap dalam mata sang Ibu, "Bun, Abi sudah sangat baik pada kita dan kita juga tahu betul siapa Abi, dia pria baik-baik, dia pria yang bertanggung jawab, dan dia pria yang sangat penyayang."

"Sekarang Bun, saatnya kita balik membantu Abi. Abi butuh kita, ia butuh istri yang akan mendampinginya hingga akhir hayat, ia butuh seorang wanita yang selalu setia padanya, dan ia juga butuh wanita yang akan selalu sayang padanya apapun kondisinya. Dan kita? Kita butuh lelaki yang baik dan sholeh sehingga mampu membimbimg Humaira agar selalu berada dalam Jalan-Nya,"

"Tapi Farhan..."

"Kita butuh Abi, Bun, Abi pria yang cocok dan baik untuk masa depan Humaira. Kita bisa melepas Humaira dengan tenang nantinya, Abi mampu membimbing Humaira menuju Allah dan mampu mengubah Humaira Bun, Farhan yakin itu. Sangat yakin."

"Jadi Bun, apakah Bunda setuju?" tanya Farhan pada Bunda yang kini meneteskan air mata.

Farhan menyesal, jujur saja. Ia telah membuat dua bidadari tercintanya menangis hari ini karena ulahnya. Namun, ia melakukan semua ini untuk masa depan mereka yang tentunya akan lebih baik dan selalu berada dalam jalan ketaatan.

Bunda terdiam, benar. Semua yang dikatakan Farhan sangatlah benar, mereka memang membutuhkan lelaki terbaik dari yang terbaik untuk Humaira. Lelaki yang tahan, baik, dan sabar menghadapi berbagai sikap buruk Humaira dan hatinya yang keras.

Abi adalah orang yang cocok. Orang yang selama ini selalu berada dalam doanya untuk sang putri. Namun, yang jadi masalahnya adalah Humaira. Apakah Humaira mau? Sedangkan ia sendiri menolak untuk menikah?

"Apa kamu yakin?" tanya Bunda memastikan.

"Yakin Bun, yakin sekali."

"Bunda meridhoi, Nak." putusnya yang membuat Humaira semakin melemas, ia menatap lantai dengan kosong. Tangannya mengepal erat dengan amarah yang membara.

Bunda kemudian mendekat pada Humaira yang kini terlihat sangat marah, ia sedikit takut sebenarnya.

"Humaira!" panggilnya.

"Jangan mendekat!" Humaira menyentak sambil meringsut mundur. Ia memojokkan dirinya pada sudut lemari.

Bunda tetap mendekat, dibantu dengan Farhan yang kini berusaha mendekap Humaira.

"Mai, Mai dengar Kakak dulu!"

"Jahat! Kalian jahat!" Maira terus meracau, hatinya terlampau sakit, kakaknya sendiri membuatnya menangis.

Farhan masih berusaha mendekat, saat ia melihat sedikit celah langsung saja ia mendekap Humaira yang terkejut karena berhasil dipeluk oleh sang Kakak.

Grep!

Berhasil, Farhan berhasil mendekap Humaira yang sekarang menangis histeris sambil memukuli dadanya.

"Jahat! Kak Farhan jahat!"

"Mai! Mai dengarkan Kakak dulu, dengar!" Farhan berusaha menghentikan pergerakan Humaira yang masih memukul dadanya brutal.

Farhan masih tak dapat menghentikan pergerakan Humaira yang semakin brutal memukulinya. Ia harus cepat karena waktu mereka tidak banyak, Ayah Abi juga bisa curiga.

"Mai, andai Abi tidak ada maka mungkin Farhan tidak akan ada di sini bersama kita." ucap Bunda dengan tatapan menerawangnya. Ia meneteskan air mata mengingat masa lalunya.

"Bun," tegur Farhan, tidak ingin membiarkan Humaira tahu.

"Ngga, dia harus tahu. Sudah waktunya dia tahu." putus Bunda, ia beralih pada Humaira yang kini kebingungan. Apa maksud dari 'Farhan mungkin tidak akan ada bersama mereka'?

Apa ini?

Apa ia kembali tertinggal kabar lagi?

Tapi, bagaimana bisa?

"Dulu, saat kamu masih berusia empat belas tahun. Kamu ingat tidak? Kamu terkejut karena melihat Kakakmu babak belur saat pulang ke rumah. Ingat?" Bunda bertanya pada Humaira yang terdiam seketika namun tetap menganggukkan kepala.

"Ingat, Bun."

"Saat itu Farhan hampir saja ditusuk dengan parang oleh seorang preman, namun karena ada Abi yang saat itu tidak sengaja melintas hingga Abi reflek melindungi Farhan, sehingga Parang itu bukan menusuk Kakakmu tapi Abi."

Humaira terkejut, ia menutup mulutnya reflek. Benar-benar terkejut, ia ingat betul kejadian itu. Saat itu ia masih duduk di bangku SMP dan sang Kakak pulang dengan babak belur serta baju yang dipenuhi darah. Ia panik tentu saja, namun ketika dicek, tubuh sang Kakak tidak ada yang luka parah. Hanya wajah saja yang sudah bengkak dan berdarah, mengelupas kulitnya.

Ia pikir sang Kakak akan tenang saat telah selesai diobati dan tinggal menunggu lukanya kering, namun nyatanya ia salah. Kakaknya tetap murung setiap waktunya, belum lagi Bunda dan Kakaknya yang seringkali pergi keluar meninggalkan dirinya sendiri.

Mereka akan pergi di siang dan malam hari, bila malam hari mereka hanya sebentar karena ada Humaira yang sendirian di rumah. Namun, jika siang hari mereka akan lama karena Humaira sedang belajar di sekolah. Hal itu terjadi selama tiga bulan dalam perhitungan Humaira.

Lalu setelah dua bulan dari berakhirnya hal itu, Humaira kedatangan orang baru yang mengaku sebagai teman kakaknya dan pertemanan mereka terjalin hingga sekarang.

"Jadi..." ucap Maira menggantung.

"Ya, saat itu Abi kritis, dia kehilangan banyak darah dan lukanya hampir mengenai jantung. Sedikit lagi maka hidupnya berakhir, Alhamdulillah lukanya masih dapat diobati walau sangat sulit dan butuh waktu lama,"

"Bahkan, Abi sampai menghabiskan tujuh kantong darah dari Bank Darah dan dua kantong dari ayahnya sendiri."

Humaira terdiam, ia tak menyangka bahwa hal ini terjadi di keluarganya dan ia sama sekali tak mengetahui hal ini, hal sebesar ini?

"Selama Dua bulan dia koma, kondisinya selalu naik turun dan bahkan detak jantungnya sempat berhenti, kami takut. Bunda dan Farhan benar-benar takut, takut sekali. Anak yang tidak kenal dengan kami dan tidak tahu apa-apa itu malah menjadi korban demi melindungi Kakakmu."

"Dan Mai, dia lelaki yang baik, tidak pernah menuntut apapun pada kita, dia juga sholeh, Nak. Dia pantas untuk kamu, untuk bidadari kecil Bunda. Bunda ingin yang terbaik untukmu, Bunda ingin kamu menikah sayang, menunaikan ibadah terpanjang dan ternikmat sepanjang masa."

Humaira menunduk, tak mampu menatap mata sang Ibu yang kini menatapnya penuh harap.

"Jangan menunduk, Mai." ingatnya namun Humaira tetap kekeh, ia enggan untuk mendongak.

"Tatap Bunda!" sentak Bunda sambil memegang wajah Humaira dengan tangannya dan membuat Humaira menatapnya.

"Bun?" gumam Humaira.

"Ya, kamu ingin lepas dari beban ini bukan? Kamu ingin berubah bukan? Lalu, jika hatimu tetap keras, bagaimana kamu bisa berubah, Nak?"

Humaira terdiam, semua yang dikatakan ibunya benar.

"Bukankah Allah menyenangi hamba yang berhati lunak sayang? Bukankah Allah sendiri selalu membuka pintu taubat dan rahmat yang besar? Lalu, kenapa kamu tidak yakin sementara takdir sudah di depan mata?"

Air mata Humaira menetes deras, benar, semua yang dikatakan Bundanya adalah benar. Namun, semua ini terasa sangat sulit bagi Humaira.

______________________________________

Masukkan reading list dan perpustakaan kalian ya...

Vote dan komen jangan lupa.

Bumi Pertiwi, 21 Februari 2021

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

712K 12K 21
Megan tidak menyadari bahwa rumah yang ia beli adalah rumah bekas pembunuhan beberapa tahun silam. Beberapa hari tinggal di rumah itu Megan tidak me...
5M 431K 50
-jangan lupa follow sebelum membaca- Aster tidak menyangka bahwa pacar yang dulu hanya memanfaatkannya, kini berubah obsesif padanya. Jika resikonya...
18+ Bởi Beary

Ngẫu nhiên

1M 8.1K 39
hanya cerita random berbau kotor KK.
418K 571 4
21+