Cephalotus

By rahmatgenaldi

120K 11.5K 6.6K

❝ Sekalipun tentangmu adalah luka, aku tetap tak ingin lupa. ❞ --- Atilla Solana, Sang Cephalotus. Cewek ta... More

Prologue
1. Atilla
2. Derrel
3. Destiny?
4. Forgiveness
5. Let's Break The Rules (1)
6. Let's Break The Rules (2)
7. Danger?
8. A Bet
9. Broken
10. Heal
BACA!
11. How To Play
12. Problem
13. Atilla Vs Butterflies
14. Revenge
15. Epic Comeback?
16. Meaningless Kiss
17. Consequence
18. Fake Confession?
19. Jealousy
20. To Be Honest...
21. Coercion
22. Accepted
23. Fail Date
24. Closer
25. The Camp
( VISUAL )
26. Another Catastrophe
27. Resistance
28. Come Out From Hiding
29. Lovely Little Girl
30. Prestige
31. Fall Down
32. Pathetic Dad
34. Cheer Up
35. Darker Than Sin
36. Pretty Savage
37. Dignity
38. Cracked
39. Run Away
40. Not Bonnie & Clyde
41. Her Name Is Andrea
42. Neverland
43. A Passionate Night
44. Anxiety
45. Mr. Rabbit & Mrs. Hedgehog
46. Forced To Go Home
47. Destruction
48. Drive Him Away
49. Welcomed
50. Miserable Days
51. Secret Admirer
52. The End
Epilogue
EXTRA CHAPTER - 1
GIVEAWAY !!!
Extra Chapter: Unexpected Hero
PRE - ORDER !!!
SURPRISE !

33. Worst Prom Night Ever

851 135 35
By rahmatgenaldi

AKHIRNYA BISA NYAPA KALIAN LAGIII...

Apa cuman aku doang yang kangen?

Absen dulu yuk, sesuai asal kota kalian.

AKU MAU INGETIN. KALIAN YANG RAJIN YAA SPAM KOMENNYA, BIAR PTCW MAKIN TOP!

Oh iya, bentar pas baca, kalo udah sampe di bagian acara prom night, kalian jangan lupa mainin playlist nya ya!

Playlist: Tak Sanggup Melupa-Ziva Magnolya

SELAMAT MEMBACA

———

Setelah menyecap setitik kebahagiaan, diracun lagi dengan pahitnya penderitaan. Adilkah?
—Atilla Solana

• • •

"Bagaimana caramu menjaga anak? Kenapa Atilla malah jadi kayak gini?"

Di sinilah Aline dan Adrian sekarang, di ruang tamu rumah Aline, di saat kedua putri mereka sengaja masuk ke kamar atas untuk memberi ruang kepada Ayah-Ibu mereka bicara empat mata.

"Adrian, tadi kamu sudah bilang, kan? Kamu ke sini bukan untuk menyudutkan saya. Lantas, ini apa?"

Adrian terdiam untuk sesaat, kemudian kembali membuang napas berat. "Apa salahnya bertanya? Kamu sendiri, kan, yang meminta supaya saya tidak membawa Atilla juga? Mestinya kamu menjaganya baik-baik, bukan malah membiarkan dia jadi tidak terarah seperti ini."

"Kamu salahkan saya? Pikir dulu, kira-kira, Atilla jadi begini karena apa? Itu karna kamu pergi!"

"Dan kamu tau persis alasan kenapa saya pergi, Aline."

Skakmat. Aline terdiam sekarang. Menatap mata Adrian pun ia tak lagi punya nyali. "Dia hanya butuh kamu, Adrian. Dia hanya mau mendengarkanmu. Sejak kecil, memang hanya kamu yang bisa mengatasi anak itu."

"Jadi bagaimana? Kita biarkan Atilla memilih sekarang?"

Saat itu juga, Aline membelalak dan menatap Adrian dengan amarah yang memuncak. "KAMU TIDAK ADIL, ADRIAN! JELAS MEREKA BERDUA AKAN MEMILIH UNTUK IKUT SAMA KAMU, KARNA KAMU SUDAH HABIS-HABISAN JELEK-JELEKKAN SAYA!"

"Kalau memang saya berniat untuk menjelek-jelekkan kamu, saya pasti sudah membeberkan semuanya, Aline. SEMUANYA."

"KAMU MENGANCAMKU?!" Aline berdiri, hingga vas bunga yang ada di atas meja terjatuh—pecah berkeping-keping di lantai.

Mendengar kegaduhan yang ada di lantai bawah, Aletta dan Atilla berlarian menuruni tangga.

"Bukan ini yang aku harapin pas bawa Papa ke sini," lirih Atilla, membuat orangtuanya menoleh ke arah mereka, untuk kemudian merasa bersalah.

Sekilas, Aline terpana melihat Atilla. Mendengar suaranya yang melembut, putrinya itu seperti kembali menjadi gadis remaja lugu yang hidup terarah sebelum ini semua terjadi.

"Ma-maaf. Mama terlalu terbawa." Wanita itu kembali duduk setelah meredam emosinya.

"Mama udah buat kesepakatan." Aline menegakkan posisi duduknya, melirik ke arah Adrian, berkedip satu kali untuk membuat mantan suaminya itu mengerti bahwa kali ini dirinya ingin bekerja sama dengannya.

"Atilla boleh nginap di rumah Papa setiap hari Sabtu dan Minggu. Mama nggak akan ngelarang kalian bertemu, asalkan kamu nggak bikin masalah. Iya, kan, Pa?" Lagi, sinyal yang menandakan permohonan bantuan untuk Adrian itu diisyaratkan Aline melalui sorotan mata.

Beruntung, Adrian langsung mengerti maksud Aline. Ia pun setuju dengan kesepakatan yang sebenarnya baru sekarang dibicarakan. "I-iya. Atilla boleh main ke rumah kalau hari libur."

Atilla tidak sengaja tersenyum. Lupa bahwa orang yang tengah ia berikan senyuman saat ini adalah seseorang yang selama ini memiliki hubungan buruk dengannya.

"Terima kasih." Cewek itu kemudian menunduk, berusaha menghalau rasa gengsi yang menahan kalimatnya tepat di ujung mulut, hingga sulit untuk diucapkan.

"Ma-maafin Atilla... Ma."

Namun akhirnya, Atilla berhasil melawan rasa gengsi yang selama ini mengekangnya.

• • •

Meira yang tengah menonton televisi di ruang keluarga tiba-tiba terlonjak kaget demi mendengar seseorang membanting pintu rumah dari luar.

"Derrel mana?!" Belum juga Meira menemukan jawaban atas kebingungannya, kini malah bertambah dengan munculnya Daneen dengan penampilannya yang terlihat kacau.

"DERREL MANA, MA?!" Tangis Daneen pecah, membuat Meira semakin kebingungan di tempatnya.

"Ada... di kamarnya. Ini ada apa, sih?! Jangan bikin Mama panik!"

Tanpa menjawab, Daneen langsung berlari meninggalkan ibunya, dengan pandangan mengabur akan air mata, ia mendorong pintu kamar Derrel.

Brak!

Pintu itu seperti akan terlepas dari tempatnya saking kuatnya Daneen mendorong.

"Lo nggak tau ngetok pintu dulu sebelum masuk? Bahkan tata krama seremeh itu lo udah nggak tau?" Derrel berucap sinis, merasa kesal karena kegiatan belajarnya terganggu.

Alih-alih meminta maaf karena hampir merusak pintu kamar adiknya, Daneen malah membuat Derrel terkejut karena aksinya yang langsung menghambur pelukan ke arah cowok itu secara tiba-tiba.

"Maafin gue, Rel. Gue salah udah nuduh lo sembarangan. Mestinya waktu itu gue nggak langsung percaya kalo lo yang aduin gue ke nyokap. Gue malu banget sekarang."

"Apaan, sih. Lepas!"

Semakin keras Derrel meronta, semakin erat pula pelukan Daneen untuknya. "Gue salah udah nuduh lo, ternyata... ternyata yang cepuin gue selama ini temen gue sendiri. Dan kenapa lo nggak pernah usaha buat yakinin gue kalo emang bukan lo pelakunya?!"

Derrel yang mulai mengerti apa yang terjadi, melerai pelukan Daneen perlahan-lahan. Ia menatap kakak angkat yang sudah seperti saudara kandung baginya itu dengan datar. "Gue cukup ngomong sekali aja. Waktu itu, gue nggak peduli lo mau percaya sama gue apa nggak. Yang jelas bukan gue yang laporin kehamilan lo ke nyokap."

"Maafin gue, Rel...," Daneen tertunduk, menangis. "Gue malu banget sama lo sekarang. Dasar emang perempuan jalang tuh si Tania!"

"Udah, tenang dulu." Derrel menuntun Daneen agar duduk di pinggir kasurnya. "Lo tau dari mana kalo pelakunya Tania?"

Daneen menyeka air matanya, berusaha menjelaskan sejelas mungkin, dengan keadaan dirinya masih sulit berbicara karena sesenggukan.

"Gue tadi nggak sengaja liat ada kontak Mama di hp-nya, karna penasaran, gue baca semua obrolan mereka, tau-taunya Tania lagi bahas tentang masalah itu. Selama ini gue bener-bener ngira kalo lo yang ngadu ke nyokap, maafin gue, Rel...."

"Nggak apa-apa. Gue nggak tau harus seneng atau sedih sekarang. Yang jelas, lo harus bersyukur sekarang, Kak. Tuhan udah nunjukin ke lo kalo Tania bukan teman yang baik. Dari dulu gue udah tau kok kalo dia itu munafik banget."

Daneen terbatuk, kemudian berusaha mengatur napasnya. "Maksud lo? Munafik gimana?"

"Gue udah tau lebih dulu kalo sebenarnya Tania ada sesuatu sama Duta. Bahkan gue pernah nge gep mereka berdua ciuman di villa pas kita liburan bareng."

Daneen terkesiap. Ia mulai mengingat-ingat kejadian kala itu, di mana ia dan teman-temannya beserta teman-teman Derrel—menginap di sebuah villa. "Yang di Bandung? Astaga, di situ posisinya gue masih pacaran sama si Dutaaa!" Lalu, cewek itu mencak-mencak di tempatnya.

"Dan asal lo tau, mereka udah dekat, bahkan jauh sebelum lo jadian sama Duta. Tania nggak terima pas lo sama Duta jadian, karena awalnya emang dia yang dideketin sama tuh cowok. Makanya, mereka diam-diam jalin hubungan di belakang lo."

"Lo tau dari mana ini semua? Kenapa lo baru bilang sekarang?!"

Derrel menghembuskan napasnya pelan. "Pas setelah mereka sadar kalo gue ngeliat apa yang mereka lakuin di villa, Tania mohon-mohon ke gue, terus jelasin alasan kenapa dia dan Duta bisa setega itu ngekhianatin lo. Bahkan, Tania sempet ancam gue. Katanya kalo gue beberin tentang perselingkuhan mereka ke lo, dia bakalan beberin tentang kehamilan lo ke bonyok. Eh, tau-taunya, sebelum gue bongkar rahasia mereka ke lo, Tania udah lebih dulu ngasih tau nyokap tentang kehamilan itu. Dan Duta dengan liciknya malah nuduh gue."

"Rel...," Daneen kembali menangis, meski tak sehisteris sebelumnya. "Gu-gue udah nggak tau mau ngomong apa lagi. Maafin gue...."

Derrel hanya tersenyum, kemudian menarik Daneen ke dalam pelukannya. "Lo harus inget ini. Sebesar apapun kesalahan yang lo lakuin ke gue, seburuk apapun diri lo, lo tetep kakak gue. Nggak ada yang bisa merubah itu."

Melerai pelukan, Derrel menuntun Daneen untuk berdiri. "Udah, sono mandi. Bau banget," ledeknya.

"Rese lo!"

"Udah, sana lo ke kamar. Tidur. Jangan begadang. Meskipun besok malam lo nggak punya pasangan buat ke prom, lo masih harus tampil cantik. Emang nggak mau apa, dinobatin sebagai prom queen?"

Daneen tertawa meremehkan. "Tanpa gue jadi prom queen sekalipun, orang-orang juga udah pada tau, kalo nggak ada yang bisa nandingin kecantikan seorang Daneen Dafania." Kemudian, cewek itu mengibaskan rambutnya dengan dramatis, bak model yang tengah melakukan catwalk.

"Pede banget, anjim!" pekik Derrel, kemudian ia bisa tersenyum lega melihat kakak angkatnya itu keluar dari kamarnya dengan suara tawa menggema hampir ke seluruh rumah.

• • •

Perhatian seluruh siswa yang tengah berdiri di depan pintu ballroom tak bisa lepas dari cewek yang tengah melangkah sendirian di red carpet itu.

Daneen Dafania, cewek tercantik yang kini bernasib malang. Ketika seluruh cewek seangkatannya menghadiri momen ini bersama pasangan, ia justru hanya datang sendirian.

"Anjrit! Itu beneran si Daneen ke prom sendirian? Nggak katarak nih mata gue?"

"Waduh, kesempatan nih."

"Wah, si Daneen datengnya sendiri juga, nih. Kalo gue nawarin diri buat jadi pasangan prom nya, kira-kira dia mau nggak, ya?"

Sedikit banyak, kalimat-kalimat itulah yang memenuhi telinga Daneen saat ini. Beruntung mereka tengah mendapati Daneen dengan versi yang lebih sabar sekarang. Karena jika tidak, pasti dengan senang hati Daneen akan menghampiri mereka satu per satu, kemudian meramas mulut mereka hingga berpindah dari tempatnya.

"Wah, cantik banget kakak gue." Derrel menghampiri kakaknya yang baru saja mengambil segelas minuman di atas meja saji.

"Bullshit banget. Semua orang juga tau kali,
kalo gue cantik."

"Iya, sih, cantik. Tapi, pasangannya mana?" Kemudian, Derrel menahan tawa demi melihat Daneen yang tiba-tiba berekspresi datar.

Cewek itu tertawa remeh mendengar perkataan adiknya. "Kalo gue mau, gue bisa milih siapapun yang bisa jadi pasangan prom gue malem ini. Tapi, gue males."

"Yaudah, deh. Have fun, ya. Maaf tadi gue berangkat duluan, soalnya mau bantuin panitia yang lain."

"Udah, sono. Pergi, hussh!" Daneen mengibas-ngibaskan tangannya ke arah Derrel. Tepat setelah adiknya itu pergi, suara dari ketua panitia yang ada di panggung mengunterupsi segala suara yang ada di sana.

"Selamat malam, kakak-kakak semua. Sebelum memasuki acara puncak, saya di sini akan mengumumkan  dua orang dari kakak-kakak sekalian yang akan dinobatkan sebagai prom queen dan prom king."

Mendengar itu, Daneen tersenyum. Ia memutar-mutar gelasnya perlahan, menunggu namanya disebutkan.

"Untuk prom kingnya...,"

Ketua panitia itu berhasil membuat seisi ruangan hening karena menunggu sambungan kalimatnya.

"Prom King pada prom night tahun ini adalah.... Kak Duta Muhammad! Selamat, Kak! Mohon untuk segera naik ke panggung."

Atilla yang berdiri tak jauh dari tempat Daneen, refleks menatap ke arah cewek itu. Pandangan mereka bertemu, Atilla seperti bisa menebak nama siapa yang akan dipanggil setelah ini.

Mendapati Atilla menatapnya, Daneen berusaha tersenyum seramah mungkin. Memang terasa canggung, tapi cewek itu berharap, nanti akan ada waktu baginya untuk meminta maaf dengan benar-benar tulus kepada Atilla.

"Dan prom queen yang akan mendampingi Kak Duta Muhammad malam ini adalah...."

Lagi, si Ketua Panitia yang membawa pengumuman itu menahan kalimatnya. Daneen yang berdiri sendirian memilih untuk meneguk minuman di gelas, berusaha menutupi senyuman angkuh yang tercetak samar di bibirnya. Ia menunggu, untuk sebentar lagi berjalan anggun ke atas panggung.

"Sambutlah prom queen kita malam ini! Kak Tania Aurelia Nugroho!"

Semua orang bertepuk tangan, meski sebagian ada yang terkejut dan meneriakkan protesnya. Bukankah seharusnya Daneen yang mendapatkan gelar itu?

Dan lihatlah, Atilla yang tengah memberikan arahan kepada panitia lain melalui walkie-talkie, refleks berhenti—kemudian memusatkan pandangannya ke arah Daneen yang kini terbatuk-batuk tersedak minuman.

Bukan karena cemburu. Tapi Atilla bertanya-tanya, dengan setengah batinnya ikut memprotes. Jika yang tertampan adalah Duta, bukankah seharusnya Daneen yang tercantik malam ini?

Sadar bahwa hampir seluruh tatapan kini terpusat padanya, Daneen menaraik napasnya dalam-dalam, kemudian kembali meneguk minuman untuk menyembunyikan ekspresinya yang masih terkejut.

Daneen membalik badannya untuk membelakangi panggung. Tak bisa ia pungkiri bahwa hatinya terasa teriris. Ego dan kegengsiannya tertampar. Pun tak bisa ia pungkiri bahwa masih ada sebagian dari dirinya yang merasakan cemburu melihat Duta bersama Tania.

Sedangkan di panggung sana, Tania tersenyum lebar. Seluruh siswa bersorak saat ia dan Duta menuruni tangga panggung dengan tangan yang saling menggandeng. Mahkota dan selempang yang disematkan ke tubuh mereka seperti memperjelas bahwa malam ini adalah milik mereka berdua.

"Are you ok?" Atilla menghampiri Daneen. Dan jangan tanyakan mengapa ia bisa seberani ini melakukannya.

Daneen menoleh, hendak mengatakan sesuatu, yang akhirnya tertahan di ujung mulut karena terinterupsi oleh Atilla.

"Jangan geer. Satu-satunya alasan kenapa gue datengin lo sekarang adalah karena gue juga manusia yang masih punya rasa empati."

"Lo empati ke gue? Terus lo apa kabar?" Daneen tertawa. "Bukannya Duta itu cowok lo? Lo munafik kalo lo bilang lo nggak cemburu," balas Daneen telak.

"Oke, katakanlah gue cemburu." Atilla meraih minuman yang sama dengan Daneen di atas meja. "Tapi kalo gue jadi lo, gue nggak bakalan sudi biarin kecemburuan itu ngerusak malam yang cuman bisa gue alamin sekali dalam seumur hidup. Ayolah, lo ke prom buat seneng-seneng, kan?"

Saat Daneen menatapnya dengan ekspresi tak percaya bercampur bingung, Atilla sudah berlalu dari sana. Meninggalkan dirinya yang berdiri tanpa ekspresi hingga ketua panitia kembali berbicara di atas sana, memulai acara selanjutnya yang sepertinya akan membuat Daneen semakin menderita.

Puncak acara, pesta dansa.

Saat ketua panitia yang malam itu menjadi sosok yang paling dibenci Daneen turun dari panggung, musik jazz mulai mengalun lembut. Pencahayaan di ruangan luas itu berubah remang, membuat setiap siswa yang memiliki pasangan mulai mengambil posisi.

Daneen tak lagi peduli tentang Duta dan Tania. Mungkin di tempat lain mereka berdua sudah saling mengamit tangan, bersiap untuk dansa.

Seperti yang dikatakan cewek cantik ini sebelumnya, bahwa ia bisa memilih siapa saja yang diinginkannya untuk menjadi pasangan dansanya malam ini.

Untuk itu, Daneen mulai berjalan, menghampiri seorang cowok, dan mengundang atensi segala mata yang ada di sana.

"Mamat!"

Daneen hanya memanggil dan menarik kerah baju Mamat dari belakang. Tapi, kenapa semua orang ikut menoleh?

"I-iya, ke-kenapa, Daneen?" Cowok berkacamata itu menyahut dengan tergagap. Takut-takut kalau saja Daneen akan membully nya lagi seperi biasa.

"Gue mau lo dansa sama gue."

"What the hell?!"

"Heh, itu Daneen kenapa?!"

"Mending sama gue, anying!"

Saat ocehan heboh para cowok-cowok jomblo di sana terdengar di telinganya, Mamat hampir pingsan di tempatnya.

Malam itu, Daneen hanya ingin membuktikan bahwa cerita tentang 'Beauty and The Beast' tidak hanya ada di dalam dongeng.

Dan Mamat... ah, mungkin dia tidak akan bangun dari pingsannya.

• • •

Suasana syahdu yang memabukkan para remaja ini seperti lagu cinta yang mengalun tanpa henti. Tak ada suara yang terdengar selain suara musik jazz yang mengalun lembut, serta beberapa desis napas di antara mereka.

Semuanya terlihat manis sekali. Akan menjadi malam yang tak terlupakan jika seandainya tragedi itu tidak terjadi.

Saat mereka sudah terlanjur menyelam dalam suasana, tiba-tiba saja semua lampu yang ada di sana padam. Semuanya gelap.

Suara pekikan para siswi terdengar memekakkan telinga, hingga panitia yang berada di sudut ruangan terlihat panik.

"Hei, ini ada apa?! Cepetan cek di belakang, kali aja ada yang koslet atau apa!?" pekik Atilla di walkie talkie. Berawal dari keterpaksaan, sekarang ia justru merasa yang paling bertanggung jawab di sini.

Di tengah-tengah kebingugan dan kepanikan mereka, layar putih besar yang berdiri kokoh di tiap sisi panggung itu menyala—menjadi satu-satunya sumber cahaya.

Di layar itu tak ada apa-apa selain cahaya putih yang menyilaukan.

Mereka terdiam. Tanpa sengaja, menanti-nanti apakah gerangan yang akan terjadi setelah ini.

Perlahan, sebuah tulisan kecil muncul di layar tadi. Mereka semua mengeja dalam hati.

The Truth.

Bukannya mendapat petunjuk, justru membuat semua orang  semakin bingung kala membaca tulisan itu. Bahkan untuk memeriksa ke bagian teknisi pun para panitia tak terpikirkan lagi sekarang.

Seolah ini semua belum cukup membingungkan, tiba-tiba saja seluruh pengeras suara yang ada di sana menyala, memainkan rekaman obrolan yang akan menggemparkan mereka semua.

"Kita mau, lo buktiin kalo lo bener-bener nggak berbalik jadi suka beneran sama Atilla."

Spontan, Atilla gelagapan di tempatnya saat semua mata tertuju ke arahnya. Jantungnya berdegup kencang saat syaraf otaknya justru terasa melambat dan gagal menerima apa yang didengarkannya barusan.

Pengeras suara itu lagi-lagi berbunyi.

"Apaan sih, lo berdua. Kok malah kepikiran itu? Udah lewat masalahnya, gue kalah taruhan, kan? Yaudah, sekarang gue cuman mau buktiin kalo si Atilla itu cuma sok nggak mau sama gue."

Tubuh Atilla menegang. Ia tahu persis siapa pemilik suara itu. Ia pun tahu bahwa suara itu pasti sebuah rekaman yang sudah diambil dari jauh-jauh hari. Matanya mulai berkaca. Tunggu, apakah tadi yang ia dengar adalah tentang taruhan? Seremeh itukah dirinya di mata Duta?

"Kalo gitu lo harus milih, Ta. Lo milih ngaku kalo lo udah mulai suka beneran sama Atilla, atau lo buktiin ke kita berdua kalo Atilla nggak pernah lebih dari sekedar mainan. Dan itu alasannya kenapa gue dan Alex ngadain camping di sini."

Jika Atilla saat ini sudah berdiri dengan mata yang berkaca-kaca, Duta yang berada di tempat lain berusaha keras menepis rangkulan Tania. Hanya dua hal yang ingin ia lakukan sekarang; menemukan Atilla, kemudian meyakinkan cewek itu bahwa apa yang ia dengar sudah tak berarti apa-apa sekarang.

Duta berlari, menyibak kerumunan siswa yang mulai berbisik heboh. Ia bahkan tak menyadari keberadaan Bastian dan Alex yang juga sudah panik di belakangnya.

Mungkin akan terlihat sangat menarik jika Atilla menangis sekarang juga di tengah kerumunan. Karena buktinya, pengeras suara itu berbicara lagi tanpa ampun.

"Jadi lo berdua minta gue ngapain, hah?"

"Kayak yang lalu-lalu aja gimana?"

"Maksudnya?"

"Dulu, lo ngancurin 'kehormatan' Daneen buat buktiin kalo dia cuma mainan lo doang. Sekarang, kita mau lo lakuin hal yang sama ke Atilla."

Mendengar itu, Atilla semakin yakin bahwa semesta memang tak pernah mengizinkan dirinya untuk bahagia. Ia menunduk, bersamaan dengan bulir air matanya terjatuh membasahi sepatu hitam yang dikenakannya.

Bibirnya bergetar, merapalkan doa agar setidaknya kakinya bisa membawanya menjauh dari sini.

Semestinya ia tak perlu datang ke sini. Semestinya harus ada guru yang mengawasi acara ini. Semestinya waktu itu ia tak perlu bermain-main dengan Duta. Semestinya... ah, ada banyak sekali semestinya-semestinya lain yang turut memenuhi pikiran kalut Atilla.

Ia menggigit bibirnya, menahan perih tak tertahankan yang menjalar di dada. Air matanya semakin deras hingga penglihatannya mengabur.

"OKE! Lagian, tanpa gue lakuin itu, Atilla tetap sampah di mata gue. Dan sampai kapanpun, hal itu nggak akan pernah berubah. Dia cuma mainan, nggak lebih."

Tolong yakinkan Atilla bahwa kalimat terakhir yang terdengar dari pengeras suara itu bukanlah milik Duta. Sebab jika benar, ia akan semakin yakin bahwa tak akan ada yang lebih buruk lagi dalam kehidupannya selain dari kejadian malam ini.

Cukup. Atilla tak peduli jika semua orang mengatakannya lemah malam ini. Ia refleks jatuh terduduk dengan suara tangisnya yang pecah. Ia ingin bangkit, menghabisi Duta sebrutal yang ia bisa, dan membuktikan bahwa cinta sekalipun tak bisa menyakitinya.

Realita memang tak pernah sejalan dengan ekspektasi. Untuk berdiripun Atilla sudah tidak sanggup. Kakinya seperti mati rasa, bahunya terguncang hebat.

"Til, ayo kita kita pulang."

Gadis malang itu berdiri semampunya. Sejurus kemudian ia menepis tangan Derrel yang terulur membantunya berdiri.

"Lepasin. Gue," ucapnya penuh penekanan.

"Gue nggak mungkin ninggalin lo dalam keadaan kayak gini."

"LEPASIN GUE! DENGER YA, GUE NGGAK PERLU DIKASIHANIN!" racau Atilla memberontak.

Ia berlari, sekencang yang ia bisa. Matanya yang berembun menatap nyalang ke arah siapapun yang menatapnya dengan iba.

Ia benci dikasihani. Ia benci terlihat lemah. Dan yang paling penting, ia benci Duta.

• • •
Gimana part ini?

Jangan lupa vote dan komennya yaa.

See you when i see you.

Maaf kalo akhir-akhir ini aku jarang banget updatee. Jangan bosan nunggu yaa, hehe.

KOMEN 'NEXT' YANG BANYAK BIAR AKU UPDATE LAGII, XIXIXI😌

Continue Reading

You'll Also Like

5.4M 230K 54
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
841 4 1
Setelah berhasil melawan sakitnya kanker ginjal, Richa kembali pulang ke Indonesia dengan ginjalnya yang tersisa satu, juga harus merelakan sang (man...
176K 29.5K 101
[Mengusung tema mental health pada tokohnya. Ada plot twist dan teka-teki yang membuat Anda mikir.] CERITA INI BELUM DIREVISI! Ketika dua orang denga...
695K 111K 54
VANESSA ABHIGEAL LUCY Adalah gadis cantik dengan tinggi di bawah rata-rata, meski terlahir dari keluarga berpunya tak lantas membuatnya menjadi priba...