Cephalotus

Door rahmatgenaldi

120K 11.5K 6.6K

❝ Sekalipun tentangmu adalah luka, aku tetap tak ingin lupa. ❞ --- Atilla Solana, Sang Cephalotus. Cewek ta... Meer

Prologue
1. Atilla
2. Derrel
3. Destiny?
4. Forgiveness
5. Let's Break The Rules (1)
6. Let's Break The Rules (2)
7. Danger?
8. A Bet
9. Broken
10. Heal
BACA!
11. How To Play
12. Problem
13. Atilla Vs Butterflies
14. Revenge
15. Epic Comeback?
16. Meaningless Kiss
17. Consequence
18. Fake Confession?
19. Jealousy
20. To Be Honest...
21. Coercion
22. Accepted
23. Fail Date
24. Closer
25. The Camp
( VISUAL )
26. Another Catastrophe
27. Resistance
28. Come Out From Hiding
29. Lovely Little Girl
31. Fall Down
32. Pathetic Dad
33. Worst Prom Night Ever
34. Cheer Up
35. Darker Than Sin
36. Pretty Savage
37. Dignity
38. Cracked
39. Run Away
40. Not Bonnie & Clyde
41. Her Name Is Andrea
42. Neverland
43. A Passionate Night
44. Anxiety
45. Mr. Rabbit & Mrs. Hedgehog
46. Forced To Go Home
47. Destruction
48. Drive Him Away
49. Welcomed
50. Miserable Days
51. Secret Admirer
52. The End
Epilogue
EXTRA CHAPTER - 1
GIVEAWAY !!!
Extra Chapter: Unexpected Hero
PRE - ORDER !!!
SURPRISE !

30. Prestige

1K 122 34
Door rahmatgenaldi

Sejatinya, kekecewaan terlahir dari sekeping harap yang dilambungkan terlalu tinggi.
—Atilla Solana

• • •

"Kok bianglalanya berhenti?" Bulan mengucek matanya, lalu merapikan rambut keritingnya yang jadi berantakan karena tertidur.

"Udah waktunya turun, nih. Kita hampir setengah jam ada di sini. Kasian yang lain masih pada ngantri tuh, turun yuk?" ajak Duta, yang langsung diamini oleh Atilla dan Bulan.

Tak menunggu lama, abang-abang petugas bianglalanya datang membukakan pintu sangkar yang mereka naiki. Atilla turun, lalu disusul Duta yang juga tengah menggendong Bulan.

"Sekarang, sesuai janji, kita beli permen kapas." Duta berucap, memancing antusiasme Bulan yang sebelumnya terlihat sudah mengantuk.

Setelah membelikan permen kapas untuk Bulan—yang mana sebelumnya Atilla tiba-tiba saja meminta untuk dibelikan juga—kini mobil mereka akhirnya sudah berada di jalanan Jakarta yang berangsur lengang. Jarak antara panti dan karnaval itu cukup jauh, sehingga mereka harus menghabiskan waktu lama untuk mengantarkan Bulan pulang ke panti.

Di perjalanan, di sela-sela obrolan ringan mereka, Atilla sesekali mencomot permen kapas untuk disuapkan ke mulut Bulan, juga untuk dirinya. Karena waktu yang sudah hampir tengah malam, Duta tidak jadi membelikan hadiah yang diminta anak-anak panti lainnya. Semoga saja dia punya kesempatan lain untuk menepati janjinya yang tertunda itu.

Bulan sudah tertidur kala Duta menggendongnya turun dari mobil. Beruntung, cowok itu tak perlu menunggu lama agar Pak Rusdi datang membukakan pagar, karena tepat saat kakinya menapak, sudah dilihatnya pria tua itu berlari-lari kecil ke arah pagar.

"Terima kasih ya, Nak Duta, lagi-lagi bikin Bulan seneng."

"Nggak apa-apa, kok, Pak. Bulan juga anaknya baik, ramah. Bisa menyebarkan aura positif ke orang di sekitarnya, termasuk saya. Tolong dijaga baik-baik ya, Pak, Bulannya." Pak Rusdi membuka tangannya lebar, menyambut Bulan pindah ke gendongannya dengan keadaan tertidur pulas. "Oh iya, Pak. Tolong sampein permohonan maaf saya ke anak panti lainnya, saya nggak sempet beliin buah tangan buat mereka."

"Tentu, Nak Duta. Nanti Bapak sampein ke anak-anak."

Duta beserta Atilla yang sedari tadi hanya diam, berpamitan dengan sopan sebelum masuk ke dalam mobil.

Menyalakan mesin, cowok itu lalu melajukan mobilnya untuk mengantar pacarnya pulang.

"Kamu salah kalo sekarang kamu pikir aku udah lupain janji kamu yang tadi siang," ucap Atilla saat berdiri di depan rumahnya.

"Apaan lagi, sih?" Wajah Duta tertekuk.

"Aku nggak mau tau. Besok pagi, kamu jemput aku. Derrel dan teman-teman yang lain bakalan ada di rumah Arkan buat belajar bareng, persiapan ulangan penaikan kelas. Kamu minta maafnya di sana aja."

"Terserah, deh." Duta mengibaskan tangannya, kemudian memutar badan. "Aku pulang dulu. Kamu tidur. Jangan begadang."

• • •

Cewek itu mendumel dalam hati. Sudah hampir satu jam ia terduduk di teras rumahnya untuk menunggu Duta, namun kekasihnya itu belum datang juga.

Bahkan saat baterai ponselnya tak cukup daya untuk menelpon cowok itu, Duta belum juga menampakkan batang hidungnya. Sudah sangat kesal, Atilla memutar badan untuk kembali masuk ke dalam rumah. Baru saat meraih gagang pintu, ia dikejutkan oleh suara klakson mobil.

Mobil yang mengejutkannya tadi adalah mobil Duta. Oleh karena itu lah Atilla kini berlari dengan tangan mengepal.

Duta keluar dari mobilnya, menghampiri Atilla yang ekspresi wajahnya tak bisa lagi dideskripsikan saking seramnya.

"Kenapa nggak datang-datang aja sekalian sampe besok? Biar aku tonjok tuh muka," omel Atilla.

"Sorry. Tadi Ayah minta dibikinin bubur, terus buburnya harus dianterin ke kliniknya. Nggak tau kenapa tuh orang tua jadi manja banget ke aku selama kamu abis ketemu dia."

Atila hanya diam, memberengut. Batinnya masih kesal karena terlalu lama menunggu.

"Tuh muka kalo masih kusut, aku setrika ya, serius."

"Nggak lucu!" semprot Atilla pada Duta.

"Emang aku melawak? Udah ah, ayo jalan. Ke rumah Arkan, kan?"

Akhirnya, Duta mendapatkan sebuah bantingan pintu mobil dari Atilla yang sudah masuk lebih dulu ke dalam mobilnya.

• • •

"Woy, gue di depan nih! Bukain pintu!"

Dari dalam rumah, Arkan meringis, khawatir kalau saja gendang telinganya pecah. "Iya, anak dajjal! Nggak usah pake teriak-teriak!" pekiknya.

"Lo anak dajjal! Ngomong lo nggak pake diksi. Udah, buruan bukain pintunya."

Semua orang yang ada di rumah itu menatap Arkan penuh tanya saat cowok itu meletakkan kembali ponselnya ke atas meja. "Temen kalian tuh, nyusahin banget!" Lalu, ia berjalan menuju pintu rumahnya.

Rentetan kalimat makian sudah terancang di otak Arkan untuk disemprotkan pada Atilla, namun yang terjadi adalah Arkan terkejut saat yang ia dapati berdiri di balik pintu itu justru adalah Duta.

"Eh, ada Kak Duta ternyata...," ucapnya gugup.

"Iya, emang ada. Kenapa? Lo naksir sama cowok gue?" Atilla benar-benar mencari masalah jika ia bermaksud untuk menambah rasa gugup yang menjalar di tubuh Arkan.

Alih-alih melawan ledekan Atilla layaknya biasa, Arkan malah mengajak Duta untuk masuk dan lebih memilih menganggap ledekan cewek itu sebagai angin lalu. "Ayo Kak Duta, masuk."

Atilla menarik Duta untuk masuk setelah sebelumnya melayangkan tatapan sinis ke arah Arkan. Jacklin, Arjun, Derrel, dan Sammy terlihat cukup terkejut akan keberadaan Duta di sana.

"Mau ngapain lagi dia tuh?" Arjun berucap pelan di samping Derrel dengan ekspresi wajah yang sulit dijabarkan.

"Ssst, jangan berisik." Derrel berdiri, kemudian berjalan menghampiri Duta.

"Duta," Derrel memanggil, tanpa embel-embel 'Kak' , mungkin karena sebelumnya dia sudah sangat akrab dengan cowok itu. "Gue minta maaf soal kejadian malam itu."

"Yaelah, kita belom duduk kali, udah maap maap aje," celetuk Atilla yang bermaksud diam-diam ingin mencairkan suasana.

Derrel menggaruk tangannya yang sama sekali tidak gatal. Salah tingkah, ia begerak dengan bahasa tubuh yang mengisyaratkan Duta untuk duduk.

"Justru gue ke sini buat minta maaf ke kalian semua. Khususnya sama lo, Derrel. Maafin gue, ya. Maafin semua kesalahan gue tentang malam itu, juga—tentang kakak lo, Daneen."

Semua orang yang ada di sana—khususnya Derrel—sempat terdiam lama karena terpana. Baru setelah Duta berbicara lagi, Derrel tersadar dari lamunannya yang mengembara ke masa lampau.

"Rel, lo mau kan, maafin gue?"

Derrel berucap dengan tergagap lantaran tidak siap. "Eh—hm.. ya iyalah! Masa orang minta maaf nggak gue maafin?" 

Biarlah Derrel sendiri dan Tuhan yang tahu bahwa saat ini ia tengah berbohong. Sekuat apapun ia mencoba memaafkan, rasa sakit yang ada dalam dirinya masih betah menorehkan dendam. Sebut saja, Derrel berpura-pura memaafkan Duta hanya sekedar untuk menghargai perasaan Atilla sebagai sahabatnya.

"Gue juga minta maaf, waktu itu gue langsung main hakimin lo tanpa cari tau dulu masalahnya," ucap Derrel, lalu menyambut tangan Duta yang hendak melakukan high five.

"Damai?" Duta kembali mengulurkan tangannya.

Derrel tersenyum canggung, menerima uluran tangan itu. "Damai."

"Oke. Selesai." Atilla mengambil tempat untuk duduk di samping Jacklin yang sedari tadi hanya diam menyaksikan. "Sekarang, kita mau belajar. Kamu bisa pulang sekarang kalo mau." Atilla beucap untuk Duta, membuat cowok itu langsung memberengut.

"Enak aja main usir-usir. Nggak!"

"Yaudah, kalo nggak mau pulang. Tungguin aja selesai, kalo gabut jangan salahin aku." balas Atilla cuek.

"Kita nggak belajar dulu, Til." Derrel menyela. "Belajarnya nanti aja pas malem. Tadinya kita rencana mau ke rumah lo buat bicara sama nyokap lo, tapi tau-taunya lo ke sini."

"Aduh, gimana ya... gue nggak siap."

"Kenapa sih, Til? Kok kayak nggak mau banget ngasih kabar baik tentang pekerjaan itu ke nyokap lo?" Sammy bertanya.

Wajah Atilla berubah sendu. "Gue juga nggak ngerti. Di lain sisi... gue juga sekarang kasihan dan merasa bersalah ke nyokap. Tapi di lain sisi juga, gue malu buat nunjukinnya, selama ini kan dia tau kalo gue nggak pernah ada baik-baiknya ke dia."

"Itu tuh namanya gengsi, itu wajar, tapi sebisa mungkin harus dilawan," Duta menyeletuk, meski tak tahu sepenuhnya tentang masalah yang sedang dibicarakan. Yang ia yakini adalah, Atilla punya hubungan buruk dengan ibunya, sama seperti dirinya dan sang Ayah dahulu.

"Kamu bakalan tetap merasa bersalah selama rasa gengsi itu masih kamu turutin." Duta menambahkan, membuat semua orang mengangguk kecil, setuju.

"Yaudah, kita langsung jalan aja apa gimana?" Mungkin Derrel memang tidak suka melihat Duta terlalu banyak mengambil bagian dalam urusan ini, makanya ia meminta agar mereka semua segera beranjak menuju rumah Atilla, ketimbang mendengarkan kalimat sok bijak yang kelur dari mulut cowok yang menurutnya brengsek itu.

Atilla mengangguk pelan, setuju dengan tawaran Derrel. "Gue di mobil Duta. Tapi please, kalian aja ya, yang ngomong ke nyokap? Gue bener-bener nggak bisa." Cewek itu memelas.

Beberapa menit setelah itu, mereka sudah berada di pekarangan rumah milik Arkan, menaiki kendaraan mereka masing-masing.

• • •

Mobil dan motor yang menjadi media transportasi ketujuh remaja itu sudah sampai di tempat tujuannya. Mereka kini jalan beriringan di pekarangan rumah, dipimpin oleh Atilla yang sejak berangkat terlihat gelisah.

Cewek itu menghentikan langkahnya saat sudah tiba di depan pintu.  "Siapa yang mau ngetok pintu?" Ia lalu berbalik, menunggu inisiatif dari salah satu temannya.

"Biar gue aja." Derrel menyahut bersamaan dengan kakinya maju selangkah.

Atilla spontan menggeleng. "Jangan lo. Doi sensitif banget kalo ketemu sama lo."

Jika waktunya sempat, mungkin Derrel akan merenungkan perkataan Atilla tadi. Apa Ibu Atilla tidak menyukainya? Karena masalah itu?

"Biar gue aja kalo gitu. Kan ujung-ujungnya yang mau ngomong juga gue." Arjun maju, mulai mengetuk pintu.

Setelah hampir menyerah karena ketukan pintu itu tak mendapatkan tanggapan apapun sedari tadi, akhirnya mereka semua menegang saat tiba-tiba  terdengar suara kenop pintu ditarik.

"Siang, Tante." Arjun menyapa, sebagai formalitas.

"Siang, kamu siapa, yah?" Aline bertanya, kemudian matanya melotot saat menyadari keberadaan Derrel di sana. "MAU APA LAGI KAMU KE SINI?"

"Sa-sabar dulu, Tante. Ada yang ingin saya bicarakan."

"Maaf, kalo kalian datang ke sini untuk mengantar teman kalian agar menghakimi saya, mending kalian pulang sekarang. Saya tidak punya waktu."

Aline hendak menutup pintu, namun gerakannya terhenti saat telinganya menangkap sebuah ucapan yang menarik perhatiannya.

"Tante lagi cari pekerjaan, kan? Jadi manajer?" Hanya itu yang keluar dari mulut Arjun, namun berhasil menghentikan pergerakan Aline.

Aline menatap ketujuh remaja di depannya ini. Saat tatapannya tak sengaja bertemu dengan Atilla, cewek itu berusaha secepat mungkin membuang muka.

"Ma-maksudnya?" Kali ini, giliran Aline yang tergagap karena bingung. "Apa yang bikin kalian datang ke sini membicarakan pekerjaan? Ide siapa ini?" tanyanya beruntun.

Derrel berdeham. "I-ide saya, Tante. Saya merasa bersalah, karena perbuatan saya, Tante jadi dipecat sama Mama saya. Anggap saja ini bentuk permohonan maaf saya."

Aline menatap Derrel skeptis. Jujur, ia sempat kagum dengan kemurahan hati anak cowok yang dibencinya itu, dan hampir mengucap pujian untuknya kalau saja rasa gengsi tidak sedang mengekang batinnya.

Aline terlihat berpikir cukup lama, tatapannya dalam menghunus ke arah Derrel, seolah dengan tatapannya itu ia bisa menikam habis anak dari mantan kekasihnya itu.

Bukannya tak menghargai usaha, selain rasa gengsi yang menghalanginya, kemungkinan Derrel sedang merencanakan sesuatu untuk membalaskan dendam ibunya adalah alasan lain yang membuat Aline tak percaya akan semua ini.

Namun, sekuat apapun rasa gengsi mencengkramnya, sebesar apapun kecurigaan itu tersemat di pikirannya, Aline tetap tergiur akan kabar baik itu. Enggan berbicara dengan Derrel, Aline mengalihkan pandangannya ke arah Arjun.

"Silahkan masuk, dan tolong ajak teman-temanmu yang lain masuk juga. Lebih baik kalo kita ngomongnya di dalem." Suara Aline sekarang lebih rendah saat berbicara dengan Arjun. Lain cerita kalau lawan bicaranya adalah Derrel, mungkin ia bisa terkena hipertensi lantaran emosi.

"Lah, anaknya kan gue, kenapa malah Arjun yang disuruh giring temen-temen masuk ke rumah? Emang nggak ada akhlaknya nih wanita." Batin Atilla bergejolak ingin protes, namun lagi-lagi rasa gengsi mengambil andil terlalu banyak dalam mengatur egonya.

"Silahkan duduk." Aline mempersilahkan mereka duduk di sofa ruang tamu. Semakin lama, Atilla semakin ragu kalau rumah yang ia datangi ini adalah rumahnya, sebab perlakuan Aline seperti sangat menganggap Atilla sebagai tamu, alih-alih tuan rumah.

"Ijinkan saya jelasin tentang yang tadi Tante," tutur Arjun, lalu saat ia yakin bahwa Aline sudah menunggu, ia melanjutkan kalimatnya. "Kebetulan salah satu perusahaan properti milik Papa saya lagi nyari manajer, dan saya denger dari temen-temen, Tante sangat memenuhi semua persyaratannya, termasuk ijazah S2 Manajemen Bisnis. Jadi, saya sudah bicara sama Papa saya. Setelah menceritakan permasalahan yang penting-penting dan seharusnya saja, akhirnya Papa saya setuju. Tante bisa dateng langsung ke kantor untuk interview, besok siang. Tenang, interviewnya cuman sekedar buat formalitas, Tan. Tante pasti langsung keterima," papar Arjun panjang lebar.

Aline mengerjap beberapa kali, berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua ini nyata adanya. "Sa-saya tidak tau harus ngomong apa sekarang...," Aline menahan diri agar tidak langsung menatap Derrel si pencipta ide, "terima kasih, Nak."

Arjun tersenyum teduh. "Terima kasihnya jangan ke saya, Tante. Ini idenya Derrel.

"Eh—ngg, nggak!" Derrel tergagap, buru-buru memotong omongan Arjun sebelum Aline kembali menatapnya dengan tatapan yang sukar diartikan. "Kita nggak mungkin ngelakuin ini kalo bukan karena kita peduli ke Atilla. Kita cuma mau buktiin pertemanan kita ke Atilla. Jadi, kalau pun ada orang yang pantas menerima ucapan terima kasih di sini, orang itu Atilla, Tante," beber Derrel sambil menunduk sopan.

Spontan, tatapan anak dan ibu itu bertemu untuk sesaat. Merasa canggung, Atilla langsung membuang tatapannya ke sembarang arah. Gengsi. Momok itu terlalu menyiksa Atilla dan Aline untuk saat ini.

"Ka-kalo gitu, kita pamit ya, Tante. Mau belajar di rumah temen, soalnya besok udah ulangan penaikan kelas." Arjun pamit, lalu dibalas Aline dengan anggukan kuat.

"I-iya, silahkan," ucap wanita itu canggung. Dari lubuk hati yang paling dalam, ia merasa malu dengan Derrel yang membalas kejahatannya dengan kebaikan tak ternilai.

"Til, telpon ya, kalo mau dijemput ke rumah Arkan!" seru Duta—yang sedari tadi hanya diam menyaksikan—bertepatan saat kakinya melangkah keluar dari rumah.

Atilla mengangguk sebagai respon atas ucapan Duta barusan.

Karena menjunjung tinggi kegengsiannya, Aline tega membiarkan Derrel pergi dari rumahnya tanpa menerima ucapan terima kasihnya terlebih dahulu.

Merasa tak lagi punya urusan di sana, Atilla beranjak, menaiki tangga untuk masuk ke dalam kamarnya.

Entah bagian syaraf mana yang membuat Aline bersikap spontan lagi sekarang ini, jelasnya ia mengekori Atilla hingga sampai di depan kamar.

"A-Atilla," panggilnya.

Langkah Atilla terhenti, bahkan tangannya yang hendak meraih kenop pintu jadi tertahan di udara. Cewek itu menoleh, menatap ibunya dengan tatapan datar.

Aline menggaruk tengkuknya karena gugup. Sederhana saja, ia ingin mengucapkan terima kasih, tapi tidak ingin menjatuhkan gengsinya secara bersamaan. Hingga akhirnya kalimat yang akan membuat Atilla semakin membencinya mencuat keluar dari mulutnya.

"Terima kasih, tapi kamu jangan mengira setelah ini Mama bisa ijinin kamu deket-deket sama Derrel."

Atilla tersenyum miris. "Setelah apa yang dia lakuin buat lo?"

Aline membalas, "sebut saja dia sedang membayar kesalahan orangtuanya."

Seketika, emosi Atilla meledak. "DASAR MANUSIA NGGAK TAU DIRI, UDAH DIBANTU, MALAH NGELUNJAK! EMANG SALAH DERREL APA KE LO? MESTINYA LO MALU SAMA DIA! MESKIPUN LO UDAH HANCURIN KELUARGANYA, DIA TETEP AJA MAU NOLONGIN LO!" Atilla berusaha mengatur napasnya yang tidak terkendali karena membentak dengan meraung-raung.

Ia melanjutkan, "oh, iya, lupa! Pelakor kayak lo mana bisa mikirin perasaan orang? Di kepala lo itu adanya cuma duit!"

Aline menggeleng tak percaya mendengar kalimat yang keluar bebas dari mulut putrinya itu. "Sejak kamu lahir, kita memang nggak pernah cocok."

Atilla tertawa, bertepuk tangan tinggi-tinggi. "Gue bahkan berharap nggak pernah dilahirkan sama sekali."

Lalu, suara bantingan pintu, didengar lagi oleh telinga panas Aline untuk kesekian kalinya.

Ironis, bukan? Hanya karena hal remeh bernama gengsi, sesuatu yang punya kesempatan untuk diperbaiki, justru kembali rusak dengan keadaan yang lebih parah.

• • •

Jangan lupa vote nya yaa!

Bakalan aku update lagi kalo jumlah komentar di chapter ini udah melebihi komentar dari chapter sebelumnya. Nah, makanya, komennya yang buanyakk, wkwkwkwk. Kalo perlu scroll lagi deh, ke atas, komenin paragraf-paragraf yang bikin kalian gemess. Semoga aja komennya bisa cepet ngalahin chapter sebelumnya yaa. Biar aku bisa update lagii, dan tentu ajaa biar PTCW semakin banyak diketahui orang-orang🥺👉🏻👈🏻

See youu.

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

1M 172K 49
Hwang Hyunjin sangat membenci perempuan bernama Lee Hana. Ia membenci gadis itu lebih dari apapun. Hana sempurna di mata semua orang, namun tidak di...
2.2M 129K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
8.1M 875K 58
"Di dunia ini gak dijual obat untuk sembuhin penyesalan. Jadi rasa itu akan terus ngebayangin lo sampai mati."
841 4 1
Setelah berhasil melawan sakitnya kanker ginjal, Richa kembali pulang ke Indonesia dengan ginjalnya yang tersisa satu, juga harus merelakan sang (man...