My Cold Prince 2 || (T A M A...

By hananayajy_

2.8M 253K 123K

✒DILARANG MENJIPLAK!! ✨BAGIAN 2 'MY COLD PRINCE' (Sebelum membaca ini, baca dulu MY BOY IS COLD PRINCE & MY C... More

P R O L O G
1. Kerinduan yang terdalam
2. Rasa Bersalah.
3. Waktu
4. Reinkarnasi?
5. All The Moments
6. Ingin bahagia
7. Keinginan Arkan
8. Seperti Arkan
9. London & Lombok (Read Note)
10. London & Lombok 2
PENTING!
11. - What your dream? || Read Note!
12. - Pertanda
13. - Kemungkinan || QnA?
14. - Pembunuh?
15. - Tentang Luka
16. - Kebenaran
17. - Find You
18. - Find You 2
19. - All of my life [READ NOTE]
20. - Wake Up
21. - Bubur
H I M B A U A N
22. - Jangan sakit lagi
23. - About Arkan & Ben || READ NOTE
24. - Blood and Tears (READ NOTE)
OPEN PO NOVEL MBCP
24. - Maaf
25. - Maaf ... ( READ NOTE )
26. - Surat Terakhir Ken
27. - Keputusan
28. - Thames River
29. - Don't go away
30. - Akhir Cerita Kita
30. - Rencana Maura
31. - Akhir cerita kita
32. - Menghilangnya Maura
33. - Menyerah (READ NOTE)
34. - Titik permasalahan
35. - Pertemuan dari sebuah rencana
36. - Marry me
37. - Trauma lain
38. - Papa untuk Angel
39. - Menjijikan
39 B. - Sebuah foto
40. - Perpisahan (ENDING)
E P I L O G

E N D I N G

42.9K 5.4K 4.9K
By hananayajy_

Tidak ada kebaikan jika tidak ada keburukan, tidak ada kebahagiaan jika tidak ada penderitaan, dan tidak kan ada senyuman jika tidak ada tangisan. Masing-masing memiliki tempatnya, dan diantaranya harus ada yang di korbankan, entah itu tawa, atau air mata.

-

-

Tiga bulan kemudian.

Suasana duka kini menyelimuti tempat pemakaman, berdiri mengelilingi sang pusara. Isak tangis seorang gadis yang duduk di samping gundukan tanah itu terdengar pilu di telinga pelayat. Kepedihan dirasakan semua orang yang ada di sana, begitu juga dengan langit yang nampak gelap seakan ikut merasakan kehilangan yang mendalam bagi orang-orang yang ditinggalkan.

Gadis itu masih di sana saat orang-orang mulai beranjak pergi ketika rintik kecil hujan mulai turun membasahi bumi.

Rasanya terasa sangat menyakitkan kehilangan orang-orang yang disayangnya. Ia terlalu bodoh, bahkan sangat bodoh karena sebelumnya bersikap tak peduli dengan kejadian yang akan menimpa orang tercintanya.

"Jahat ..."

Maura mengusap air matanya dan mendongak menatap Kinara yang tiba-tiba berdiri dan berlari pergi dari sana. Adara mengejar, sementara Alvarel tetap berdiri di belakangnya dengan memegang payung hitam yang menutupi gadis itu.

Alvarel memperhatikan Maura yang hanya terdiam meskipun ia tahu, banyak air mata yang dia tumpahkan untuk orang-orang yang pernah menyakitinya. Mauranya dulu terlalu kuat untuk jatuh, terlalu kuat pula untuk tumbang, namun semakin lama, kekuatan gadis itu terasa semakin lemah karena terlalu banyak masalah yang datang menimpa hidupnya. Mauranya terguncang sehingga membuatnya terlalu gampang untuk berfikiran buruk.

Alvarel menarik napasnya lalu bersuara, "Ayo pulang, Rara harus istirahat untuk penerbangan besok"

Alvarel memesankan tiket ke London untuk Maura dan Kinara agar mereka bisa melupakan semua kejadian pahit mereka dan membuka lembaran hidup baru disana. Alvarel dan Adara akan tetap tinggal untuk mengurus perusahaannya disini dan tentu saja karena alasan lainnya, kehamilan Adara sudah memasuki enam minggu. Perjalanan dari Jakarta ke London sangatlah jauh dan Alvarel tidak ingin Adara mengalami keguguran karena kelelahan.

"Ra" panggil Alvarel sekali lagi karena tak ada respon dari gadis itu. Rintik hujan mulai turun semakin lebat membasahi pusara di sekitar mereka.

Maura meresponnya dengan anggukan. Di tatapnya lagi papan nisan di hadapannya dengan tatapan sendu. Hatinya kembali tercubit membaca nama itu. Tak ada hal yang mungkin perlu ia ceritakan semasa hidup lelaki itu, karena terlalu banyak luka yang menggores hatinya. Namun tak dapat dipungkiri jika ia masih tetap menyayangi lelaki itu.

'Terima kasih sudah memberikan banyak kenangan untukku, tenang disana ya ...' ujarnya dalam hati.

Maura mengusap air matanya lagi lalu berdiri, Alvarel merangkul bahu Maura yang nampak lemas akibat gadis itu terjaga semalaman.

Sebelum beranjak pergi, pandangan Maura lalu bergerak, berpindak ke arah pusara lain di sebelahnya. Maura memejamkan matanya sekali lagi dan mengangkat tangan bersejajar dada, berdoa untuk mereka yang telah tiada. Tiga pusara yang pernah memiliki arti penting di hidupnya. Maura mendoakan agar mereka bertiga tenang disana, di sisi-Nya.

Selesai berdoa, Maura membuka mata dan menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya.

"Selamat tinggal, aku janji akan menjaganya" ucap Maura dalam hati kemudian berbalik pergi meninggalkan tempat itu.

☃☃☃

Satu tahun Kemudian.

"Maura!"

Maura tersenyum melihat Calista berlarian ke arahnya dengan senyuman lebar yang menghiasi wajah cantiknya. Maura lalu merentangkan kedua tangannya dan menyambut Calista dengan sebuah pelukan hangat, kedua tangannya bergerak mengusap punggung sahabatnya lembut menghantarkan perasaan rindunya. Sudah setahun lamanya mereka tidak bertemu, hanya sekedar telfon, chat atau video call saja untuk mengobati rasa rindu mereka.

Nampaknya, Calista sekarang terlihat berbeda. Rambut panjang hitamnya kini sudah berganti dengan rambut coklat kemerahan sebatas bahu, nampak cocok untuk Calista. Gadis itu jadi semakin terlihat dewasa dan tentu saja semakin terlihat cantik dengan rambut barunya.

"Welcome back, Ra, Ki" ujar Calista pada Maura dan Kinara yang berdiri di sebelah mereka setelah melepas pelukannya.

"Wow! Lo makin cantik aja" puji Calista melihat penampilan Kinara dengan gaya rambut yang sama dengannya, sebatas bahu, bedanya Calista masih mempertahankan poninya sedangkan Kinara tidak memiliki poni.

"Kak Tata juga" puji Kinara balik.

"Gue gak lo puji nih?" gurau Maura.

"Lo mah gak usah ditanya lagi, tetep lo yang paling cantik!" balas Calista mengundang tawa mereka. "Eh? Ben sama Joe gak ikut?"

"Loh, bukannya mereka udah duluan ya kemarin?" tanya Kinara sedikit bingung.

"Oh ya? Gue gak tau, mereka gak ngabarin soalnya" jawab Calista.

"Kak Rey mana?" tanya Maura yang celingak-celinguk mencari keberadaan Reyhan.

"Rey gak ikut, lagi banyak kerjaan"

Maura tersenyum kecut. "Atau emang benci gue karena udah buat Arkan pergi ..." lirihnya lalu tertunduk. Perkataan Maura sontak membuat Calista dan Kinara saling memandang satu sama lain.

Tahun lalu adalah tahun kehancuran bagi mereka. Mereka mengalami banyak kehilangan orang-orang yang mereka sayang, terkhususnya Kinara dan Maura. Merekalah yang paling terpukul diantara mereka yang masih berkabung. Namun Calista sigap memasang badan untuk menghibur mereka hingga mereka bisa beralih melupakan dan menjalani kehidupan baru mereka.

Tentu tidak akan mudah melupakan kenangan-kenangan yang sudah melekat ke dalam diri mereka. Bukan untuk melenyapkan, lebih tepatnya menyimpannya di tempat terdalam hingga tak ada seorangpun yang bisa menyentuhnya.

Calista berdeham lalu membuka suara, "Pulang yuk! Capek gue nungguin lo berdua"

Maura mengangkat wajahnya dan mengangguk. "So, berarti lo ke sini sendiri dong?"

"Nggaklah, sama supir. Mana boleh gue nyetir sendiri sama mereka"

"Mereka?" tanya Kinara bingung.

"Kakak gue sama Rey" jelas Calista, Kinara hanya ber-oh ria.

"Hmm ,,, gue setuju sih sama mereka. Bar-bar lo kan belum ilang, kalo nyungsep gimana?"

Calista mendelik kesal. "Sialan! Gak kompak lo!"

Maura terkekeh pelan. "Gue lebih sayang sama nyawa sahabat gue"

"Iiiihh, kok Rara gemesin sih ...?"

"Najis lo!"

☃☃☃

Sepanjang perjalanan suasana terasa hening karena baik Maura, Calista dan Kinara sama-sama terdiam. Calista yang duduk di depan samping supir sedang sibuk memainkan ponselnya, dan dibelakangnya-Kinara memilih menatap luar jendela mobil memandang jalanan, begitu juga yang dilakukan Maura di sampingnya. Memilih menatap gedung-gedung tinggi menjulang dari kaca mobil. Semuanya tidak berubah, masih terlihat sama sejak ia meninggalkan kota ini setahun yang lalu.

Maura membeku sejenak, hatinya serasa dicubit lagi saat mengingat kejadian tahun silam. Maura memejamkan mata seraya menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Gadis itu membuka matanya dan menoleh ke arah Calista yang kini tengah menatapnya khawatir.

Maura melemparkan senyuman tipis ke arahnya. "Sebelum balik, boleh anter kita ke sana dulu?"

Pertanyaan Maura sontak membuat Kinara menolehkan kepalanya cepat, menatap Maura dengan sorot penuh arti. Maura membalas tatapan itu, ada sorot luka dan kesedihan di mata Kinara ketika ia kembali membahasnya.

"Kak-"

"It's okay" potong Maura menenangkan Kinara. "Kita harus nyapa, 'kan?" lanjutnya.

Mengerti, Calista pun mengangguk dan memberitahukan sang supir ke tempat tujuan mereka.

☃☃☃

Maura berdiri di depan gundukan tanah dengan tatapan yang menyorot lurus ke arah papan nisan, bertuliskan nama seorang laki-laki yang dulu pernah dicintainya. Seorang lelaki yang ia anggap hebat sekaligus terburuk di hidupnya.

Maura lalu melangkah mendekati pusara, meletakkan bunga lily putih dan sebuah bingkai foto yang didalamnya terdapat foto lelaki itu bersama seorang perempuan yang mengenakan gaun putih.

Terasa menyayat hati saat menatap foto itu, seakan mereka berfoto tanpa adanya sebuah senyuman tulus yang terukir di wajah mereka meskipun bibir sang wanita tampak melengkung memperlihatkan senyuman tipisnya.

Sekarang sudah tidak ada lagi sosok lelaki yang selalu mengganggunya, tidak akan ada lagi luka baru di hidupnya dan menciptakan trauma baru. Semua seakan lenyap seakan ini adalah akhir dari cerita kehidupannya.

Sejak tragedi itu, Maura sudah kehilangan banyak orang-orang yang disayangnya.

Tamak akan keegoisan, Maura sadar jika ini adalah hukuman yang didapatnya karena sudah melukai perasaan banyak orang, terutama Arkan.

Lagi, dadanya terasa sesak dan sakit mengingat nama itu. Maura tak menyangka Arkan akan menghilang dari pandangannya dalam sekejap. Seolah membenarkan isi pesan yang dikirimkan cowok itu padanya.

Maura menatap satu persatu tiga pusara di sampingnya dengan tatapan sendu.

Kenangan indah atau pahit. Apapun itu, Maura akan berterima kasih pada mereka.

Tidak ada kebaikan jika tidak ada keburukan, tidak ada kebahagiaan jika tidak ada luka dan tidak kan ada senyuman jika tidak ada tangisan. Masing-masing memiliki tempatnya, dan diantaranya harus ada yang di korbankan, entah itu tawa, atau air mata.

Dan Maura adalah orang terbodoh yang sudah menyia-nyiakan kenangan mereka. Mengorbankan kenangan indah mereka untuk sebuah kesalahan yang bahkan tidak cowok itu lakukan.

Maura mengorbankan semuanya demi kepentingan egonya sendiri.

Maura terlalu di tutupi oleh rasa kecemburuan yang teramat besar, hingga ia gelap mata dan membiarkan rasa benci membakarnya. Dan sekarang, penyesalan itu seakan percuma, Arkan tiada dan ia tak bisa membawanya kembali untuk meminta maaf.

Sentuhan lembut dipundaknya membuat Maura menoleh menatap Kinara yang kini sudah berdiri di sampingnya. Sebelumnya gadis itu tidak berani menginjakkan kaki kemari karena masih merasakan duka, tapi mungkin Calista membujuknya hingga gadis itu akhirnya disini.

Maura menunjukkan senyum simpulnya dan menggenggam tangan Kinara ketika raut kesedihan terpancar diwajah adik angkatnya itu.

"Come on, sapa mereka" ajak Maura lembut seraya menghapus air mata Kinara yang sudah mengalir membasahi pipi kirinya.

"Kita pulang aja ya!?" bujuk Kinara. Maura menatap Kinara prihatin, kedua mata gadis itu nampak memerah dan bibirnya bergetar menahan tangis.

Maura lalu menggeleng pelan. "No, itu gak sopan"

Kinara pun terisak.

"Jangan nangis ..." ujar Maura sembari menghapus air mata Kinara. "Mereka gak akan suka liat lo nangis"

Kinara menatap Maura yang terlihat tegar di matanya, meskipun sorot matanya juga menunjukkan kesedihan dari luka yang dialaminya, tetapi Maura mencoba terlihat kuat.

"Ayo" Maura menuntun Kinara mendekati pusara. Kinara lalu duduk di antara dua pusara. Tempat terakhir dua orang dicintainya-Samuel Hendra Rahardian dan Jessica, ayah dan ibunya.

Air matanya semakin mengalir deras menatap batu nisan yang bertuliskan nama kedua orang tuanya. Teringat lagi bagaimana Tuhan merenggut nyawa mereka, dan itu membuat hati Kinara sakit.

Samuel meninggal tepat pada hari pernikahan Alvarel dan Adara. Sebelum Kinara pergi ke acara itu, ia sudah melihat Jessica cemas sendiri sembari memegang ponselnya. Jessica bilang, dia mendapat telfon jika Samuel membuat kekacauan di dalam sel. Kinara sempat menenangkan ibunya dan berkata untuk tidak terlalu peduli dengan Samuel setelah apa yang dia perbuat pada mereka setelah itu pergi dengan perasaan kacau.

Beberapa jam kemudian, Jessica menelfonnya dan mengabarkan jika ia tengah berada dirumah sakit menunggu Samuel yang sedang berada di ruang operasi karena Samuel mengiris pergelangan tangannya sendiri.

Kinara syok, Kinara merasa was-was dan khawatir, gadis itu pun meninggalkan acara dan pergi ke rumah sakit dengan di temani Joe yang memang pada saat itu tengah bersamanya.

Sampai di rumah sakit Kinara menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dan Jessica pun menceritakan jika akhir-akhir ini ia sering mengunjungi Samuel untuk menyadarkan lelaki itu atas perbuatannya. Karena memang Jessica merasakan aura menyeramkan suaminya atas kebenciannya dengan mereka dan orang-orang yang menjatuhkannya, termasuk Maura dan Alvarel. Samuel bahkan bersumpah akan bebas secepatnya dan membunuh Maura karena sudah lancang menjebloskannya.

Jessica dengan sabar berbicara dengan Samuel dan mengungkit kembali kenangan mereka dulu. Mengingatkannya kembali akan apa yang sudah dia perbuat pada orang di sekitarnya dimasa lalu. Jessica akan memaafkannya jika Samuel sadar dan mau berubah.

Perlahan-lahan Samuel pun tersadar, lelaki itu menangis merutuki kebodohannya, merutuki perbuatannya yang sudah melenyapkan Ivanka, orang-orang di sekitarnya yang menyayanginya. Samuel merasa terpuruk dan sangat merasa bersalah, Samuel uring-uringan dan berteriak apa gunanya dia hidup.

Hingga akhirnya Samuel memecahkan cermin dan mengiris pergelangan tangannya sendiri, sama seperti yang Ivanka lakukan di masa lalu karena sakit hati dengan perbuatannya. Samuel dibawa ke rumah sakit dan menghubungi Jessica mengabari kondisi Samuel.

Kinara datang satu jam kemudian.

Tapi nyatanya Tuhan berkehendak lain, Samuel tak tertolong dan lelaki itu pun dinyatakan meninggal dunia.

Jessica yang syok pun jatuh pingsan sementara Kinara terduduk lemas dilantai rumah sakit.

Dan lebih menyakitkannya lagi bagi Kinara, kondisi Jessica semakin memburuk pasca kematian Samuel hingga wanita itu harus bolak-balik masuk rumah sakit. Jessica merasa terpukul, tentu karena dia masih mencintai Samuel meskipun lelaki itu menyiksanya. Walau begitu, mereka dulu pernah membuat kenangan indah bersama.

Tiga bulan kemudian Jessica akhirnya menghembuskan napasnya di pelukan Kinara dan Maura. Sebelumnya wanita itu sempat menitipkan pesan pada Maura untuk menjaga Kinara agar dia bisa pergi dengan tenang.

Tersisa Kinara sendiri, tanpa saudara, tanpa ayah, tanpa ibu. Tak ada lagi kasih sayang yang ia dapatkan, dan itu membuat Maura merasa iba. Maura menepati janjinya dan membawa Kinara pergi bersamanya.

Seiring waktu berlalu, Kinara pun hidup bersama keluarga Wijaya. Meskipun Kinara bukan siapa-siapa, namun keluarga Wijaya menerima kehadiran Kinara dan memperlakukan Kinara dengan penuh kehangatan.

Alvarel juga tak merasa keberatan karena itu permintaan Maura dan juga mendiang Jessica, disisi lain Alvarel juga tidak mungkin membiarkan Kinara hidup seorang diri dan tumbuh menjadi gadis yang buruk.

"Ibu ..." lirih Kinara yang terdengar memilukan di telinga Maura.

Maura mendekati Kinara saat tangisan gadis itu mulai semakin pecah. Maura berjongkok disamping Kinara dan memberikannya pelukan untuk menenangkannya, sekaligus berusaha menahan air matanya untuk tidak keluar. Jika Maura ikut menangis, ia tak akan bisa menguatkan Kinara.

Kinara masih sangat terpukul atas kepergian kedua orang tuanya. Belum padam rasa sakit dan duka Kinara setelah kematian ayahnya-Samuel, Jessica justru ikut menghembuskan napasnya menyusul Samuel.

Maura turut berduka, meskipun perbuatan mereka padanya dimasa lalu terbilang menyakitkan, Maura sudah memaafkannya. Dan tentu saja Maura menyayangi Samuel juga Jessica sebagai ibu Kinara yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.

"Kinar kangen ibu sama ayah ... hiks ... Kinar kangen ..."

Air mata Maura akhirnya tumpah, namun gadis itu masih diam menahan isakannya. Rasanya begitu menyakitkan mendengar tangisan pilu Kinara.

"Kinar kangen ibu ... Kinar kangen pelukan ibu ... Kinar juga kangen ayah ... Kinar kangen bentakan ayah ... hiks ... kenapa kalian ninggalin Kinar sendiri ...? Kinar belum bahagiain ibu sama ayah ... hiks ... Kinar belum liat kalian bahagia dari usaha Kinar ..." seru Kinar mengeluarkan semua uneg-uneg yang selama ini disimpannya. Saat pemakaman tahun lalu, Kinar hanya menangis dan mengatakan sepatah kata lalu pergi begitu saja, dan sekarang gadis itu mengeluarkan apa yang selama ini di tahannya.

Maura tahu betapa rindunya Kinara pada kedua orang tuanya. Maura juga pernah merasakannya saat ia merindukan Ivanka dan juga Arkan. Namun Maura yakin, seiring berjalannya waktu, Kinara bisa melepaskan kepergian mereka dan menjalani hidup dengan penuh kebahagiaan.

Maura mencoba membantu Kinar sebisa mungkin untuk terus membuat gadis itu ceria. Untungnya, Kinara sudah tak lagi memiliki trauma atas siksaan Samuel, gadis itu sudah lebih membaik dari biasanya dan memulai kehidupan baru sebagai Kinara-adik angkat Alvarel dan Maura.

Maura menarik wajah Kinara ke arahnya lalu menghapus air mata gadis itu. "Kita pulang, yuk!" ajaknya yang langsung diangguki Kinara. Maura membantu Kinara berdiri dan melangkah pergi dari sana.

☃☃☃

Adara berjalan menghampiri Maura dan menyambutnya dengan sebuah pelukan setelah gadis itu keluar dari mobil.

"You're fine?" tanyanya dan Maura membalasnya dengan anggukan.

Adara melepas pelukannya. "Sorry ya gak bisa jemput, baby El lagi rewel-rewelnya"

"Gapapa kok, lagian udah ada Tata"

Adara melirik Calista sekilas dan menggeleng heran. "Rasanya aneh liat dia kelayapan"katanya mengundang kekehan kecil Maura."Heh, harusnya lo tuh dirumah, bukan kelayapan kayak gini! Lo kan lagi di-"

"Yang penting gue gak ketemu Rey, emang kayak lo? Nempel terus sama kak Al kayak idung sama upil!"

Adara berdecak sebal. Sementara Maura dan Kinara sudah terkikik geli melihat perdebatan mereka.

"Udah, Ta. Jangan mancing emosi Mamah muda"ledek Maura.

"Eh sorry-sorry nih, tapi banyak yang gak percaya kalo gue udah nikah dan punya anak"

"Ah masa?" ujar Calista tak percaya. "Siapa?"

"Kakek depan rumah noh" jawab Adara asal hingga mengundang gelak tawa mereka bertiga.

"Terus Baby Noah-nya mana?"tanya Maura, ia belum pernah bertemu Noah langsung setelah keponakannya itu lahir lima bulan yang lalu. Hanya bisa melihat wajahnya setiap kali mereka VC-an, kedua pipinya yang tembam itu membuat Maura merasa gemas dan ingin menggigitnya. Jadi sekarang adalah waktu yang pas untuk memenuhi keinginannya mengunyel-unyel pipi tembam keponakannya itu.

"Ada di kamar, Al lagi boboin dia-HEH! AWAS LO YA GANGGUIN ANAK GUE SAMPE BANGUN TERUS NANGIS, GUE TEBALIKIN PALA LO, RA!" seru Adara sedangkan Maura sudah berlarian masuk ke dalam rumah menemui Alvarel dan Noah.

Calista tertawa. "Galak lo Kak sama adek ipar sendiri"

"Bodoamat!"

☃☃☃

Maura menghela napas berat seraya menatap Calista dihadapannya penuh arti saat gadis itu memintanya memakai gaun pemberian Arkan untuk acara pernikahannya nanti.

Tidak, bukan Maura yang menikah, tetapi Calista.

Alasan Kembalinya Maura ke Jakarta karena untuk memenuhi undangan pernikahan Calista dan Reyhan yang akan digelar tiga hari lagi di Lombok. Jadi tidak mungkin Maura tidak menghadiri pernikahan sahabatnya sendiri?

Seperti pernikahan Alvarel dan Adara sebelumnya, Calista juga memilih tema pantai untuk pernikahannya nanti. Bedanya acaranya akan digelar di tempat terbuka, sebuah taman hotel keluarga Dirgantara yang langsung mengarah ke laut. Dan acara tersebut menyediakan ribuan topeng untuk pesta dansa topeng yang akan digelar pada malam hari. Tentu akan sangat terlihat megah dan semakin menambah kesan romantis. Lalu sekarang dengan mudahnya Calista memintanya untuk memakai gaun itu dihari pernikahannya?

Calista sudah gila.

"Gue gak bisa" tolak Maura dengan nada pelan. Maura lalu merebut kembali gaun dari tangan Calista dan memasukkannya ke dalam lemari lalu duduk di pinggir ranjang.

Calista mendesah pelan dan ikut mendudukkan dirinya disamping Maura. "Ra-"

"Please, Ta. Jangan paksa gue buat pake itu, gue gak bisa ..." pinta Maura agak lirih. Calista memperhatikannya dari samping, ia tahu Maura merasa berat untuk memakainya tapi bukankah itu lebih baik dari pada harus terus disimpan?

"Terus sampe kapan lo nyimpen itu?"

Maura terdiam.

"Arkan bakal lebih seneng liat gaun pemberiannya lo pake dari pada lo jadiin pajangan doang di lemari"

Maura tetap diam, menatap lantai kamarnya hampa. Bukan, bukan karena ia membenci kepergian Arkan, membenci perbuatannya atau membenci semua kenangan yang sudah cowok itu berikan. Maura hanya tidak kuat jika gaun itu melekat di tubuhnya, ia akan merasa tersiksa dengan rasa bersalahnya.

"Gue ngerasa gak pantes ..."

Calista berdecak kasar. "Insecure lagi! Kebiasaan banget sih lo! Apa perlu gue keluarin otak lo, gue bersihin biar gak karatan lagi?!"

Maura tak merespon, gadis itu masih memandang kosong sampai akhirnya ia menolehkan kepalanya menatap Calista dengan mata berkaca-kaca.

"Ta, jujur sama gue. Lo pasti tau kejadian hari itu 'kan?" tanya Maura, membuat Calista seketika terdiam seribu bahasa.

"Jawab gue, Ta ..."

Calista memejamkan matanya sejenak lalu menggeleng pelan. "Gue gak tau"

"Kak Rey gak ngasih tau lo?"

Calista terdiam lagi sebelum akhirnya menggeleng.

Maura hanya menunjukkan senyum tipisnya. "Pembohong" ujarnya pelan.

"Ra-"

"I know ..." jeda Maura seraya mengangguk lemah. "Kesalahan gue terlalu besar sampe gue gak boleh tau keadaan dia"

"Gak gitu, Ra ..."

"Gue cuma pengin minta maaf, Ta ..."

Calista menatap Maura lekat. "Lo masih cinta sama dia?"

Maura terdiam.

"Diam artinya iya" Calista lalu menarik napasnya dalam-dalam. Rasanya sulit mengatakannya, tetapi ini juga demi Maura.

"Kalo nanti lo ketemu dia dengan keadaan berbeda, apa lo siap?"

Maura menatap Calista bingung. "Maksud lo?"

"Maksud gue, mungkin dia gak sesempurna dulu, Ra ..."

"Atau mungkin dia beneran udah gak ada di dunia ini lagi" lanjut Calista yang langsung menelak kuat tepat di hati Maura.

"Kita semua gak pernah tau kabarnya setelah kejadian itu, Ra. Dan sorry, sesuai permintaan Arkan, kita gak bisa kasih tau lo apapun soal dia ..."

"Itu pesan terakhirnya sebelum pergi" Calista menghela napasnya. "Semuanya udah gak sama lagi, Ra, dan itu karena ulah lo sendiri. Lo terlalu berfikir buruk sama pasangan lo yang bahkan lo tau betul gimana perasaannya dia ke elo, lo terlalu egois. Sekarang semuanya udah beda, jadi jangan terlalu berharap lebih dan pikirin masa depan lo sendiri" Calista lalu berdiri.

"Mending lo istirahat, besok pagi kita bakal berangkat ke Lombok. Dan satu lagi, lo harus pake gaun itu di pesta dansa topeng nanti!" lanjutnya lagi kemudian melangkah keluar kamar meninggalkan Maura yang terdiam ditempatnya.

Tangan kanan Maura terangkat meremas dadanya. Rasanya sakit, sakit sekali mendengar perkataan Calista. Tetapi ia cukup tahu diri jika semua ini karena ulahnya, dan setelah apa yang sudah terjadi ia malah ingin hubungan yang sudah pecah ini menyatu kembali.

Maura terlalu bodoh.

Mungkin saja Arkan sudah menikah dan berbahagia dengan pasangan barunya, sedangkan dirinya masih diam ditempatnya berdiri.

Maura kehilangan arahnya.

Bisakah Tuhan membawanya kembali? Jika ia tidak bisa memperbaiki keadaan, setidaknya ia ingin meminta maaf pada Arkan. Ia siap dengan apapun yang akan terjadi.

☃☃☃

Deburan ombak serta kicauan burung yang berterbangan di langit terdengar begitu merdu di telinga Maura. Gadis itu tengah menyendiri di tepian pantai, duduk memeluk kedua lututnya memandang hamparan laut didepannya. Kunciran dengan bandul panda beserta rambut coklat panjangnya yang di kuncir kuda itu bergerak akibat terpaan angin. Maura masih berada di sana tak memperdulikan hawa dingin yang mulai menusuk karena hembusan angin laut yang lumayan kencang. Maura mengenakan jaketnya, jaket levis milik Arkan masa sekolah dulu. Benar, jaket itu masih ia jaga dengan baik sampai saat ini.

Di antara jaket yang ia miliki, Maura sangat menyukai jaket Arkan. Rasanya terasa hangat, seakan seperti Arkan tengah memeluknya. Maura selalu merasa aman dan nyaman mengenakan jaket Arkan, seakan ia dijaga oleh cowok itu.

Maura menghembuskan napas panjangnya. Besok adalah hari pernikahan Calista dan Reyhan, namun sampai saat ini sosok Arkan belum juga terlihat olehnya. Mungkinkah cowok itu ....

Maura menggelengkan kepalanya kuat ketika pemikiran buruk mengganggunya. Hatinya jadi semakin cemas, apa benar yang di katakan Calista?

Maura menoleh saat merasakan kedatangan seseorang, dilihatnya Ben ikut mendudukkan dirinya disamping Maura. Gadis itu lalu kembali lagi menatap ke depan. Hatinya tercubit lagi menatap wajah mereka yang nyaris sama, melihat Ben, Maura seperti melihat Arkan. Hal itulah yang membuatnya tak bisa berlama-lama berada dekat dengan cowok itu.

Sepuluh menit berlalu, suasana semakin terasa asing karena keduanya tak memulai obrolan. Ben yang datang menghampiri Maura pun hanya diam tak melakukan apapun seperti patung hidup. Maura jadi merasa risih jika terus saling diam begini, tapi meskipun ia ingin memulai obrolan, Maura tidak tahu harus membahas apa

"Sorry soal anak-anak" ujar Ben pada akhirnya memecah keheningan diantara mereka.

Maura menatap Ben sejenak melalui ekor matanya. Maura tahu arah pembicaraan Ben, disaat teman-teman lainnya sedang berkumpul ria di dalam hotel, Maura malah memilih kemari dan menyendiri. Bukan karena ingin, namun terasa sekali sikap dingin mereka padanya. Dan Maura cukup paham alasan mereka memperlakukannya dingin dan tak bersahabat, mereka berada diposisi yang benar membela Arkan.

Maura tak mengapa, itu balasannya karena sudah menyakiti perasaan Arkan. Tetapi jika boleh jujur, rasanya sakit sekali dimusuhi oleh teman-temannya sendiri. Maura merasa di asingkan.

"Dia gak akan suka liat lo nangis" ujar Ben melihat mata Maura berkaca-kaca.

"Maybe ..." Maura tertawa hambar. "Gue bego banget 'kan? Nyia-nyiain orang sebaik Arkan ..."

Ben terdiam.

"Dia udah tulus sayang sama gue, tapi gue malah gak pernah percaya sama dia ..." Maura tertunduk. "Bodoh banget"

Ben masih memperhatikan Maura dalam diam, hingga gadis itu kembali mengangkat wajahnya.

"Seandainya dulu gue-"

"Terlambat" potong Ben, Maura menoleh menatapnya. "Semuanya udah berubah, lo gak bisa balik kayak dulu lagi"

Ben pun berdiri melangkah pergi. Ben menghentikan langkahnya sejenak dan berbalik menatap Maura.

"Siapin hati lo buat besok"

☃☃☃

Suara nyanyian band terdengar di penjuru taman hotel yang sudah di sulap cantik untuk pesta pernikahan Reyhan dan Calista. Ijab qobul dan acara tukar cincin sudah di lakukan, dan sekarang giliran tamu undangan memberikan ucapan selamat untuk sang pengantin baru.

Maura. Gadis itu duduk sendirian di kursi VVIP yang berada di bagian ujung. Sama seperti kemarin, ia memilih menyendiri disaat teman-temannya yang lain mengobrol ria di tempat yang tak jauh darinya. Kinara, Joe dan Ben juga berada disana, dan parahnya mereka juga tidak menghiraukannya, bahkan saat Maura berbicara pada mereka tadi, mereka hanya diam saja tidak menanggapinya dan malah menjauh lalu bergabung dengan yang lain.

Separah itukah kesalahannya?

"Anjir, lo yang mulai ya goblok!" suara Kevin terdengar dari tempatnya, terlihat cowok itu tertawa seraya memukul lengan Valdo jenaka. Lalu disusul gelak tawa yang lainnya, bahkan Ben pun ikut tertawa karena candaan yang di lontarkan Kevin dan Valdo.

Maura jadi merasa tidak nyaman. Merasa seakan mereka tak mempedulikan keberadaannya, atau bahkan memang menganggapnya tak ada.

Maura menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Gadis itu akhirnya bangkit dan menjauh dari sana untuk mencari kakaknya dan Adara. Setidaknya dengan mereka Maura merasa memiliki teman mengobrol.

Terus berkeliling mencari keberadaan mereka, Maura pun akhirnya menyerah karena tak bisa menemukannya. Maura mendudukkan dirinya di bangku putih panjang pinggir kolam lalu memijit kakinya yang terasa pegal.

Maura mendengus kecil, merasa kasihan pada dirinya sendiri yang di asingkan dan tidak mempunyai teman mengobrol. Jika Arkan ada di sini mungkin ia tak akan merasa kesepian.

Arkan.

Lagi-lagi nama itu terlintas di otaknya dan berhasil membuat jantungnya berdetak kencang. Rasanya Maura ingin menangis saja. Maura merindukan cowok itu, ingin kembali memeluknya dan merasakan kehangatan yang di berikan cowok itu padanya. Maura ingin meminta maaf, bahkan jika Arkan berubah dingin padanya atau memang cowok itu sudah menemukan penggantinya. Maura akan terima apapun, asal Arkan berada di sini dan memaafkannya.

Maura mengusap wajahnya pelan. "Kayaknya gue harus pulang"

Maura lalu bangkit dan melangkah menemui Calista dan Reyhan untuk berpamitan. Ia sudah tidak tahan lagi ada di sini melihat wajah-wajah kebahagiaan, sedangkan ia sendiri merasa hampa.

"Kenapa, Ra?" tanya Calista saat Maura sudah ada dihadapannya.

"Gue mau balik ke kamar"

"Loh kok balik?"

Maura mengusap tengkuknya tak nyaman karena mendapatkan tatapan tak suka dari Reyhan.

"Ng,,, gue ngantuk"

Calista mendesah pelan. "Yaudah tapi inget, nanti malem ke sini lagi dan wajib pake gaun itu, ngerti kan?"

Maura mengangguk.

"Oke, topeng yang gue kasih tadi pagi jangan sampe ilang. Ilang, lo gak bisa masuk!"

"Iya. Yaudah gue ba-"

"Arkan!"

Seruan Reyhan membuat Maura terkejut, namun tak lama gadis itu mematung setelah menyadari nama seseorang yang Reyhan panggil.

Detik berikutnya Maura merasakan jantungnya kembali berdetak kencang saat wangi tubuh yang selama ini ia rindukan tercium di hidungnya. Maura menoleh perlahan dan membeku melihat sosok Arkan kini berdiri di sampingnya.

Arkan memberi pelukan singkat untuk Reyhan, mengucapkan selamat atas pernikahannya.

"Apa kabar, Ar?" tanya Calista sehingga cowok itu menoleh.

Arkan tersenyum tipis. "Baik" jawabnya, pandangannya lalu beralih menatap Maura di sampingnya. Hanya beberapa detik, Arkan lalu memutuskan kontak mereka dan kembali menatap Reyhan untuk mengobrol.

Sementara Maura terdiam seraya menahan untuk tidak mengeluarkan air matanya. Ada perasaan senang melihat Arkan kembali dengan keadaan yang baik-baik saja, namun perasaan sedihnya justru lebih dominan saat ini karena cowok itu mengabaikannya. Bukan hanya mengabaikannya, dia bahkan bersikap dingin padanya.

Separah itukah kesalahannya?

"Arkan"

Suara lembut seseorang yang begitu familiar terdengar, keempatnya sontak menoleh ke arah suara. Belva berdiri mengenakan gaun berwarna cream, senada dengan pakaian bayi yang saat ini berada di gendongannya.

Tunggu! Bayi?

Deg!

Hantaman yang sungguh benar-benar keras ke hatinya. Tubuh Maura merasa lemas dengan denyut sakit di dadanya. Apa itu anak mereka? Jadi, Arkan akhirnya memilih Belva dan menikahinya?

"Oh, hai, Ra" sapa Belva dengan senyuman manisnya.

"H-hai"

"Itu ... anak lo?"

Belva mengangguk dengan senyuman yang mengembang. "Anak gue" Belva beralih menatap Arkan, "Iya 'kan, Ar?"

Arkan menatap Maura sejenak dan mengangguk.

Maura tersenyum culas. "Oh ,,, selamat ya"

"Thank's ya, Ra. Dan maaf kalo dulu gue pernah jahat ke elo"

Maura mengangguk pelan. "Gue udah maafin lo kok" ujarnya, lalu beralih menatap Calista yang kini tengah menatapnya iba. "Ta, gue pamit ya"

Calista mengangguk.

Maura berbalik, dan di saat yang bersamaan suara berat Arkan yang berbisik terdengar jelas di telinga kanannya.

'Maaf' satu kata namun berhasil menghancurkan hati Maura. Gadis itu tak merespon dan terus melangkah pergi dari sana dengan perasaan hancur. Pandangannya sudah memburam karena terus ia tahan, mungkin ia akan melepaskan tangisannya jika sudah sampai di kamar nanti.

Saat ini, Maura hanya ingin menenangkan dirinya. Masa bodoh dengan mata bengkaknya nanti malam, topeng bisa membantunya menutupi semua luka yang ia rasakan saat ini.

☃☃☃

Alunan musik yang terasa lembut terdengar di telinga Maura ketika ia memasuki taman yang sudah berubah lagi dengan hiasan lampu-lampu kecil dan lampion yang menggantung indah di antara pepohonan. Kolam renang terisi dengan beberapa lampion dan lilin kecil serta kelopak-kelopak bunga mawar yang mengambang sehingga menambah kesan romantis malam hari ini.

Maura mengenakan gaun putih juga sepatu pemberian Arkan dulu, tak lupa dengan topeng masquerade putih dengan ukiran mewah sudah terpasang di wajahnya. Rambutnya di buat ikal dibagian ujung ia biarkan tergerai sedikit menutupi leher jenjangnya yang terbuka.



Semua tamu undangan juga mengenakan topeng masquerade, termasuk Calista dan Reyhan yang kini tengah berdansa di panggung kerajaan mereka. Beberapa dari yang lainnya juga ikut berdansa di bawah panggung seakan ikut memeriahkan acara ini bersama sang mempelai. Semua orang yang ada di sini nampak menikmati acara ini.

Beruntung malam ini pesta dansa topeng, kalau tidak ia tidak akan keluar dari kamar karena kondisi matanya yang bengkak akibat menangis.

Maura tersenyum memperhatikan sahabatnya yang nampak bahagia di pelukan Reyhan. Terharu, akhirnya sahabatnya itu menemukan kebahagiaannya setelah lama kesal karena digantungkan. Bahkan Maura sendiri sempat tidak percaya ketika Calista menelfon dan berteriak memberitahu jika Reyhan melamarnya. Padahal sebelumnya Calista mengirimnya pesan spam berisikan kekesalan gadis itu karena Reyhan membuatnya menunggu selama satu jam lebih di restoran yang sudah dipesan oleh cowok itu sendiri.

Reyhan sengaja lebih dulu mengerjai Calista diacara makan malam mereka.

Calista yang sudah kesal dan ingin beranak pergi dari sana pun dikejutkan dengan kedatangan orang tuanya, Clara dan Edgar, Adrian juga teman-temannya. Lalu setelah itu entah dari mana Reyhan sudah berdiri di belakangnya dengan sebuket bunga dan kotak cincin.

Benar-benar romantis untuk seorang Reyhan.

"Will you dance with me?"

Maura sontak berbalik hingga tubuhnya menabrak orang tersebut.

"Ah! M-maaf!" ujar Maura panik.

"Dance?" tawarnya lagi menghiraukan ucapan Maura.

Maura membuka mulutnya ingin menolak karena jujur ia tidak bisa berdansa, tetapi cowok itu langsung menariknya begitu saja ke area dansa dan mengisyaratkan pemain musik untuk mengganti lagu.

Alunan musik pun terputar memainkan lagu Ed Sheeran - Perfect. Sesaat Maura terlena dengan lagu itu, teringat Arkan pernah menyanyikan lagu itu untuknya di balkon kamar beberapa tahun lalu.

Seketika dadanya terasa perih.

"G-gue gak bisa dansa" ujar Maura untuk menolak secara halus.

"You can"

"I can't!" elaknya. Maura melepas genggaman cowok itu dan bergerak mundur hendak berbalik untuk pergi, namun cowok itu menarik pinggangnya hingga menubruk dada cowok itu.

"You can. Ikutin gerakannya" ujarnya. Satu tangannya bergerak mengangkat satu tangan Maura dan menggenggamnya, sedangkan satu yang lain masih melingkar di pinggang Maura.

Maura mulai mengikuti gerakan cowok itu dan mengimbanginya meskipun masih terasa kaku. Gadis itu lalu mendongak menatap kedua mata yang tengah menatapnya, keningnya mengkerut dalam melihat tatapan itu. Tatapan yang terasa familiar, bahkan suara berat yang dikeluarkannya tadi.

"Arkan?"

Nama itu keluar begitu saja dari mulut Maura. Entah kenapa ia merasa jika cowok di hadapannya sekarang ini adalah Arkan. Postur tubuh, mata dan suaranya yang khas membuat Maura langsung menilai meskipun ia tidak bisa melihat wajahnya karena terhalang topeng.

"Who is he?"

Maura terdiam, mulutnya terkatup rapat. Seketika ia tersadar dengan ucapanya yang menyebut nama Arkan. Benar juga, meskipun postur, mata dan suaranya sama, bukan berarti dia adalah Arkan. Maura baru saja menyadari wangi tubuh cowok di hadapannya ini berbeda, bukan wangi tubuh Arkan yang selalu membuatnya tenang.

Maura melepas diri dan beringsut mundur, wajahnya berubah sendu dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca. "M-maaf ..." ujarnya kemudian berbalik pergi.

-

Maura meraih high heelnya yang baru saja ia lepaskan dan mulai berjalan menginjakkan pasir pantai yang terasa lembut di kulit kakinya menuju tepian pantai, membiarkan kaki telanjangnya basah terkena air. Maura melarikan diri ke pantai karena menurutnya akan lebih baik berada di sini dari pada berdiri di tengah keramaian seperti orang bodoh karena tak memiliki teman.

Ditengah perjalanannya menuju kemari ia berpapasan dengan Belva, Fiona, Arsha dan Aretha. Mereka melihatnya namun tidak menyapa atau memanggilnya untuk mengajaknya bergabung bersama mereka. Dan sejak kapan Belva akrab dengan mereka? Terlebih saat ia melihat Fiona menggendong anak Belva. Maura tidak merasa marah, justru ia ikut senang karena teman-temannya menerima Belva dan berteman dengannya.

Sebelumnya Maura sempat takut jika Belva tidak memiliki teman karena perbuatannya, tetapi untunglah tidak terjadi.

Maura menghela napas beratnya menyisiri pantai dengan segala pemikirannya tentang Arkan. Betapa beruntungnya Belva sekarang memiliki teman-teman yang baik seperti mereka ... juga Arkan.

Maura berhenti sejenak saat dadanya kembali berdenyut lalu kembali melangkahkan kakinya. Maura tersenyum sendu, sekarang ia merasa begitu menyedihkan. Ternyata kebahagiaan itu menyakitkan, maksudnya saat dimana kita mencoba untuk melepas seseorang yang kita cintai untuk kebahagiaannya juga diri kita sendiri. Lalu suatu hari kita melihat orang yang kita cintai bahagia, sedangkan kita masih terjebak di dalam kenangan itu.

Maura masih mencintai Arkan, sangat, tidak kurang sedikitpun. Tetapi nampaknya Arkan bahagia sekarang dengan cinta barunya-Belva. Belva ternyata berhasil mendapatkan hati Arkan, dan Arkan berhasil menghapus Maura dari hatinya.

Sakit sekali.

Bibir Maura yang sudah bergetar menahan tangis pun akhirnya terbuka mengeluarkan isakan tangis pilunya. Maura lalu berjongkok menenggelamkan wajahnya diantara kedua lututnya. Tubuhnya bergetar karena menangis, ia bahkan tak peduli jika gaunnya basah akibat terkena air pantai. Maura sudah melemas dengan segala kesakitan dihatinya, ia bahkan lupa dengan rencananya yang ingin meminta maaf pada Arkan. Rasa sakitnya membuatnya tak kuat untuk berhadapan langsung dengan cowok itu.

Lima belas menit menangis, Maura akhirnya mengangkat kepalanya. Melepas topeng lalu menghapus air matanya, setelah itu menarik napas dalam-dalam untuk meredakan tekanan di dadanya. Ini benar-benar sesak untuk ia rasakan dan air matanya seakan tak habis untuk keluar membasahi wajahnya.

Mata coklatnya lalu tak sengaja menangkap sebuah lampion yang terbang tinggi menghiasi langit seakan bergabung dengan ribuan bintang di atas sana. Lagi-lagi ia teringat kembali saat dirinya dan Arkan menerbangkan lampion bersama, hal yang tak pernah ia lupakan sampai detik ini.

Maura yang penasaran pun melangkahkan kakinya menuju tempat asal dimana lampion itu di terbangkan. Di tengah perjalanan ia kembali melihat lampion yang kembali di terbangkan oleh sang pemilik, membuat rasa penasaran itu pun semakin meningkat. Anehnya, semakin Maura mendekati tempat itu, rasanya semakin gelap hingga ia tak lagi menemukan cahaya lampu yang menerangi pantai. Hanya sinar bulan satu-satunya pencahayaannya sekarang, Maura merasa takut tetapi rasa penasarannya jauh lebih besar dari ketakutannya terhadap kegelapan.

Sampai di tempat Maura tak menemukan apapun di sana. Padahal tadi dua lampion sudah di terbangkan dan sudah pasti ada seseorang yang menerbangkannya, tetapi Maura tidak menemukan siapapun. Ia juga tak terlalu jelas untuk melihat sekitar karena pencahayaan yang minim.

Dan bodohnya ia tidak membawa ponselnya.

Bagaimana kalau ada orang yang sengaja melakukan ini untuk menjebaknya lalu melakukan hal buruk padanya?

Oh my ... Maura merasa menyesal menuruti rasa penasarannya.

Dubb! Dubb! Dubb!

Maura sontak menyipitkan kedua matanya dengan tangan kanan terangkat menghalangi pandangannya saat tiba-tiba beberapa cahaya lampu menyala menyilaukan pandangannya.

Lampu yang membentuk dua huruf dan satu symbol di tengahnya.

I ❤ U

Maura terdiam membacanya. Tak sampai di situ, lampu-lampu tumbler kecil yang mengias sekeliling membentuk love juga menyala, dan Maura kini berada di tengah-tengahnya. Lampion-lampion dan lilin-lilin listrik kecil yang menyebar di sekitarnya juga ikut menyala membuat Maura terperangah melihat pemandangan cantik di sekitarnya itu.

Pasir-pasir di sekitarnya berterbangan hingga membuat Maura sontak sedikit menjauh ketika satu buah drone datang dengan kain putih yang berkibar menunjukkan tulisan namanya di sana. Lalu di susul satu drone lagi dengan kain yang sama namun dengan tulisan yang berbeda hingga berhasil membuat Maura lagi-lagi terperangah dengan jantung yang berdegup kencang.

MAURA CARISSA

WILL
YOU
MARRY
ME?

Maura lalu menoleh merasakan kedatangan seseorang. Keningnya mengernyit menatap cowok bertopeng yang mengajaknya berdansa tadi.

"Lo?"

"Ini maksudnya apa?"

"Lamaran?" balas cowok itu.

Maura menggeleng heran. Gadis itu hendak membuka mulutnya menyampaikan protes dan berganti dengan tubuhnya yang mematung setelah cowok itu membuka topengnya.

"Surprise"ujarnya.

"A-Arkan??"

Arkan tersenyum lembut. Satu tangannya terulur menyelipkan helaian rambut Maura ke belakang telinganya.

"Suka?" Maura mengangguk.

"I miss you ... and I'm sorry ..." lirih Maura mulai menitikan air matanya. "Maaf karena kebodohan aku, maaf kalo aku udah nyakitin perasaan kamu"

"Jangan nangis" ucapnya seraya menghapus air mata Maura lembut. "Kamu gak salah, Ra"

"Kamu bahagia sama Belva?" tanya Maura serak meskipun dirasanya sekarang sakit mengatakan hal itu.

Arkan terkekeh pelan. "Cuma kamu kebahagiaan aku, Ra"

"Tapi, kamu sama Belva bukannya udah-"

Arkan menggeleng. "Kita cuma teman"

"Terus anak yang di gendong Belva itu anak siapa?"

"Bayu dan Fiona"

Maura menganga dibuatnya. Seketika ia merasa kesal dengan Belva karena sudah membodohinya. Bagus sekali, mentang-mentang ia belum pernah menjenguk anak Fiona jadi Belva memanfaatkan itu untuk membohonginya.

"Bagus, jadi aku di tipu sama Belva"

"Bukan Belva aja, tapi yang lain juga"

"Maksud kamu anak-anak marah dan nyuekin aku itu cuma pura-pura?"

Arkan mengangguk.

Maura mendengus kesal. "Bener-bener ya! Ngeselin banget sih kalian!!" protesnya sedangkan Arkan hanya tersenyum geli.

"Itu gak penting, Ra. Masa depan kita yang lebih penting ..."

"Kamu ninggalin aku"

Arkan menggeleng. "Aku gak pernah pergi dari kamu, Ra. Aku selalu ngawasin kamu dari jauh kemanapun kamu pergi. Aku gak pernah langgar janji aku untuk terus jagain kamu sampai kapanpun"

"I love you, Maura Carissa" ujar Arkan lembut. Arkan bergerak mendekat mendaratkan bibirnya di kening Maura, mengecupnya lama menghantarkan perasaannya pada gadis itu.

Arkan lalu menjauh dan sudah melihat wajah Maura di banjiri air mata, namun ia tidak menghapusnya. Arkan membiarkannya karena ia yakin tangisan itu adalah tangis haru bahagia dari seorang Maura. Arkan bisa merasakannya.

Arkan menangkup wajah Maura dan mengecup kedua mata basah Maura, satu tangannya lalu turun menggenggam tangan gadis itu. Arkan lalu memeluk Maura tanpa melepaskan genggamannya.

"Will you marry me?"bisik Arkan tepat di telinga Maura. Arkan lalu menguraikan pelukannya, memperhatikan Maura yang terperangah ketika sebuah cincin pemberiannya kini tersemat di jemarinya.

Maura lagi-lagi menitikan air matanya menyadari keinginannya terwujud. Memakai gaun pemberian Arkan dan membiarkan cowok itu menyematkan cincin di jemarinya.

Arkan sudah mewujudkannya.

"Aku mau kamu jadi pendamping hidup aku, Ra. Bangun dunia baru yang hanya ada kita di dalamnya" jedanya. "Kamu mau?"

Maura terisak. Gadis itu menarik tangannya dari genggaman Arkan dan beralih memegang satu tangan Arkan yang berada di pipinya.

Maura menggeleng pelan sembari menatap Arkan penuh penyesalan, membuat Arkan merubah raut wajahnya mengetahui jawaban Maura.

Tidak ingin membuat Maura merasa bersalah dan bersedih, Arkan tersenyum.

"Kamu bisa lepas cincin itu kalo kamu mau menolaknya" ujar Arkan. "Itu hak kamu dan aku gak bisa maksa kamu. Aku mau liat kamu bahagia, dan apapun keputusan kamu, sampai kapanpun hati aku cuma milik kamu" ujar Arkan pahit. Sejarah terlukis. Ketika dua insan yang saling mencintai di pertemukan kembali oleh takdir, tetapi takdir seakan hanya membuat mereka bertemu, tidak membuat mereka bersama selamanya.

"Kamu bisa lepas cincin itu sekarang" kata Arkan lagi.

Maura tersenyum teduh menatap Arkan. Gadis itu lalu beringsut memeluk Arkan.

"Gimana bisa aku nolak kalo selama ini aku selalu nunggu kamu kembali ke pelukan aku, Ar ..."

"Yes, I will. And I love you so much, now and forever" lanjut Maura menciptakan senyuman mengembang di bibir Arkan. Arkan membalas pelukan Maura dan kembali mendaratkan kecupan lembut di kening gadis itu.

"And I love you more forever"

Cinta itu buta. Itu sebabnya hanya cinta sesungguhnyalah yang hanya bisa menilai dari hati dan ketulusan, bukan karena fisik atau materi.

Cinta Arkan dan Maura memang penuh uji. Akan tetapi mereka mendapatkan kebahagiaan mereka. Tidak dilihat atau diukur seberapa banyak luka yang mereka dapatkan ditengah pelayaran mereka, tetapi dari banyaknya ketulusan dan keihlasan untuk saling menerima.

Kapal mereka boleh saja berhenti dan hampir tenggelam ditengah lautan badai, tapi bukan berarti menyerah. Arkan menguatkan diri untuk mempertahankan kapal mereka, dan kini kapal mereka kembali berlayar ke tempat tujuan terindah mereka.

☃☃☃☃☃ TAMAT ☃☃☃☃☃

Okee bakal ada epilog terakhir dengan penjelasan part 39 besok.

Congrats buat A.M lovers dan jangan lupa like dan komennya.

Thanks buat partisipasi kalian dan dukungan kalian selama ini buat hana dan A.M dkk💜

Love you all
💜💜💜💜💜💜

Continue Reading

You'll Also Like

264K 8.7K 51
[FOLLOW AUTHOR,SEBELUM MEMBACA SEBAGAI BENTUK SUPORT KALIAN UNTUK PENULIS DAN CERITA INI] (BELUM REVISI) "Aku sayang kamu tanpa alasan,mencintai kamu...
1.6M 117K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
579K 22.6K 35
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
Adam By Boss C

Teen Fiction

1.3M 7.2K 1
Menerima perjodohannya dengan Adam Baron Pranaja, adalah sebuah keputusan paling salah di dalam kehidupan Hawa Aliandra Bramantyo. Dia harus melepask...