Insecurity (TAMAT)

Oleh gawulgirl

346K 35.4K 1K

"Now, tell me how can i love someone who didn't love herself?" Aku terdiam. "Kamu dan pikiran kamu itu yang h... Lebih Banyak

Obrolan di Travel 1
Obrolan di Travel 2
Apa ada yang mau menikah denganku?
Bukanagara Coffee..
Bertemu lagi
Tragedi Ojek Online
KENCAN??
News
Unexpectedly
Berteman
Perempuan jadi-jadian
Jadi pacar saya, please?
Nginep tempatku aja?
Bincang Malam
Rasa Percaya
Lucy In The Sky
Sehari setelah Lucy
Sweet Andi
Tarik Garis
I've got your back
Masa Orientasi Pacar
His Past
Honesty
Tidak Pantas Untuk Dicintai?
I'm done..
Selesai?
Resign.
Semua yang serba terlambat.
Healing Journey
Very much
Penjelasan
Infinity
Awal baru

Hilang

7.1K 882 35
Oleh gawulgirl

Hari yang aku tunggu-tunggu tiba.

Jumat.

Andi akan tiba nanti pukul 9 malam.

Aku akan memberikan kejutan kepada Andi. Memang Andi sudah melarangku untuk menjemputnya di bandara tapi aku dengan sifat keras kepalaku tidak mengindahkan larangan Andi.

Kemarin malam waktu Andi meneleponku dia meyakinkan aku untuk tidak menjemputnya di bandara. Andi akan langsung datang ke hotel tempatku menginap.

Namun, ini impianku sejak dulu. Impian masa kecilku. Menjemput kekasih di bandara.

Dengan berbekal jadwal penerbangan Andi yang dikirimkannya kepadaku kemarin malam aku pergi menuju bandara.

Setidaknya hari-hariku di Singapore tidak semuanya kelabu.

***

Aku berjalan bolak balik melihat layar monitor dan menuju ke pintu kedatangan.

Seharusnya Andi sudah tiba dua jam yang lalu. Seharusnya.

Aku kembali membuka salinan tiket yang Andi kirimkan padaku. Tidak ada yang salah. Aku sudah berada di terminal yang tepat.

Pesawat yang ditumpanginya sudah landing dari dua jam yang lalu. Namun Andi tak kunjung muncul.

Apa mungkin Andi mendapatkan masalah di imigrasi? Namun seharusnya tidak. Andi sudah pergi lima kali ke Singapore dalam tiga bulan ini dan dia tidak pernah ditahan oleh imigrasi sebelumnya.

Atau bisa saja hari ini Andi sial. Dia ditahan di imigrasi.

Aku kembali menduduki kursi di ruang tunggu terminal 2. Arah pandangku terpaku pada pintu keluar terminal 2. Aku mengecek handphone.

Tidak ada chat dari Andi. Tidak ada kabar dari Andi.

Terakhir Andi mengirimkan chat tadi malam.

Aku mencoba menelepon Andi. Tersambung. Namun tidak diangkat.

Aku mencoba menelepon kembali dan berakhir di kotak pesan suara.

Aku melihat jam tanganku. Jam 12 malam. MRT sudah tidak beroperasional.

Panik. Takut. Resah.

Itu yang aku rasakan sekarang.

Aku mengecek berita kecelakaan lalu lintas menuju bandara Soekarno Hatta. Tidak ada. Pesawat dengan no penerbangan Andi juga sudah landing dengan selamat. Tidak ada kecelakaan pesawat.

Apa Andi terlambat datang ke airport dan menaiki pesawat lain? Aku kembali memeriksa kecelakaan pesawat. Nihil!

Aku semakin takut. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Andi?

Aku mengecek kembali kecelakaan lalu lintas di sekitar daerah Sudirman.

Nihil.

Kecelakaan disepanjang jalan dari Sudirman ke bandara Soekarno Hatta. Hasilnyapun sama.

Tidak ada.

Aku harus tenang. Andi baik-baik saja.

Mungkin Andi sakit sehingga dia membatalkan kepergiaannya mendadak tapi kenapa Andi tidak memberitahuku?

Berbagai praduga menari di kepalaku menemani perjalananku menuju hotel.

Begitu tiba di pelataran lobby hotel aku langsung berlari keluar dari taxi. Kepalaku melihat ke kanan dan kiri. Berjalan ke arah kanan dan kiri Lobby hotel.

Andi tidak ada.

Dengan tergesa aku berjalan menuju kamarku. Mencoba menghubungi Andi kembali.

Bersamaan dengan aku yang sampai di depan pintu kamarku, panggilan teleponku diangkat.

"Hallo..."

"Hallo..." Ulangnya.

"Ha-llo.." Terbata aku menjawab. Jantungku berdebar kencang seolah aku baru saja lari sprint 100m.

"Ini siapa?" Tanyanya.

"An-di.."

"Ohh.. cari Andi.. sebentar ya.. dia lagi mandi tadi, coba aku cek dulu ya udah selesai atau be..."

Aku mematikan sambungan telepon tanpa menunggu perempuan itu melanjutkan perkataannya.

Ya, perempuan yang menjawab panggilanku ke handphone Andi.

Kedua kakiku seperti kehilangan kekuatan. Seperti jelly. Tidak bisa menopang berat badanku yang membuat aku jatuh tersungkur di lantai kamar hotel. Air mata membasahi pipiku namun tak ada isak tangis yang sanggup keluar dari bibirku.

Andi mungkin tidak ada bedanya dengan pria diluaran sana. Sama seperti Boss.

Atau mungkin aku yang tidak cukup untuk bisa membuat Andi setia kepadaku.

Kembali terngiang percakapanku dengan Boss. Mantan Andi yang cantik. Kaum pria yang menilai dari tampang.

Siapa Perempuan itu?

Aku merebahkan badanku di lantai berkarpet merah tua kamar hotelku.

Aku memiringkan badanku. Merangkul kedua kakiku dengan tangan.

Air mata masih membasahi pipiku.

Aku menangis dalam diam. Tanpa suara. Tanpa isakan.

***

Bunyi telepon membangunkanku. Aku melirik ke arah jam digital di bedside table ranjangku.

Pukul 7 pagi.

Dengan enggan aku mengangkat telepon. Mungkin petugas concierge hotel.

"Hallo.."

"Good morning Miss Kanaya, Mr. Jonan Wiryadi would like to speak with you." Katanya sopan.

Mati aku!

"Kenapa handphone kamu mati selama dua hari ini?" Tanyanya tanpa basa basi.

"Morning Pak... Ada yang bisa saya bantu?" Balasku mengalihkan pembicaraan.

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin aku bilang charger handphone rusak. Boss pasti bertanya-tanya kenapa aku tidak pergi membeli charger.

Aahh, seharusnya aku bilang handphone-ku rusak.

Aku bisa mendengar dengusan kasar Boss.

"Saya sudah urus check out kamu. Jam satu siang kita ke Jakarta."

Aku diam. Mencerna ucapan Boss.

Mungkin bila kalimat itu diucapkan minggu lalu aku akan bahagia tapi sekarang aku tidak ingin kembali ke Jakarta. Aku belum mau, belum siap untuk kembali ke Jakarta.

Aku belum siap menghadapi kenyataan.

"Butuh berapa lama waktu untuk kamu packing dan get ready?" Suara Boss kembali masuk ke pendengaranku.

"Satu jam Pak."

"Ok, saya tunggu kamu di Lobby."

"Ok. See you Pak!"

"See you in one hour." Balas Boss. "Kanaya, aktifkan handphone kamu!" Tambahnya.

Mengabaikan peringatan Boss untuk mengaktifkan handphone, aku malah bergegas packing dan mandi.

Hanya butuh waktu kurang dari satu jam dan aku sekarang sudah berada di hadapan Boss yang sedang berbicara di telepon. Boss mematikan sambungan ketika menyadari aku sudah duduk di depannya.

"Sudah siap?" Boss berdiri, mengambil koperku dan membawanya keluar dari lobby hotel.

Such a gentleman! Sayang brengsek.

"Kita langsung ke airport saja. Breakfast disana." Katanya sambil memasukan koperku ke bagasi mobil.

"Kok mendadak pulangnya Pak?" Tanyaku.

Kami sekarang di dalam mobil menuju ke bandara.

"Bapak manggil saya pulang."

Bapak yang dimaksud adalah Bapaknya Boss, Pak Bram Wiryadi.

"Bapak sehat kan?"

"Sehat." Boss melihat kearahku. "Malah kamu yang nggak sehat sepertinya."

Tidak ingin memperpanjang percakapan, aku mengalihkan pandanganku pada jalanan yang padat dipagi hari.

***

"Hape loe kenapa?" Teriakan Ellen menyambutku. Dia berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang.

Aku hanya tersenyum kecut. Aku sudah menduga Ellen akan mencercaku. Seharusnya aku menerima tawaran Boss untuk mendrop-ku di kost saja, bukan malah kerajinan ke kantor.

"Gue chat centang satu. Gue telepon nggak aktif!"

Apa Andi mencariku melalui Ellen?

"Kenapa sih Len?" Aku meletakan tasku diatas meja. "Udah tiga minggu nggak ketemu bukannya disambut dengan hangat malah mata melotot Suzzana."

Ellen berjalan kedepan meja kerjaku, "Gue tadinya mau nitip skincare di duty free. Tapi loe nggak bisa dihubungi. Menyebalkan!" Telapak tangan Ellen menengadah di depanku. Aku melihat tangannya lalu ke wajah Ellen. "Nggak usah sok polos! Oleh-oleh mana?"

Aku tidak membeli oleh-oleh apapun. Aku lupa untuk membeli.

Aku menggelengkan kepala.

"Coklat?" Aku meringis. "Pelit banget loe!" Sungut Ellen sambil berjalan meninggalkan mejaku.

Aku menatap Ellen yang duduk memunggungiku.

Jadi, Andi tidak mencariku melalui Ellen? Aku menatap layar hitam pada handphone. Sudah dua hari aku mematikan handphone tanpa ada keinginan untuk menaktifkannya.

Terlintas dipikiranku, bisa saja perempuan yang mengangkat telepon kemarin adik Andi?
Tidak mungkin! Andi hanya dua bersaudara dan adiknyav laki-laki. Atau mungkin sepupu perempuan Andi?

Kenapa aku tidak berpikir jauh. Kenapa aku malah mematikan handphone. Andi pasti khawatir. Andi pasti mencariku.

Aku mengaktifkan handphone. Bunyi notifikasi bersahutan seiring dengan pop up chat yang muncul di layar handphone.

Nama Andi muncul tak lama. Isi pesan yang singkat hanya kata maaf. Dikirim pada hari Sabtu pagi. Dan satu panggilan tak terjawab.

Aku sedang memikirkan balasan chat untuj Andi ketika Boss mengirimkan chat berisi beberapa gambar dan video.

Aku meng-nonaktifkan fitur auto download foto dan video pada aplikasi chat. Aku harus mendownloadnya terlebih dahulu.

Aku terpaku pada foto yang baru saja berhasil aku download.

Andi dan sang mantan.

Sang mantan merangkul lengan Andi.

Andi yang menatap sang mantan dengan tawa menghiasi wajahnya.

Tatapan mata Andi.

Tanggal. Aku menanggkap tanggal yang tertera di setiap foto dan video yang ada.

25,26 dan 27. Jumat, Sabtu dan Minggu.

Bukan hanya tanggal. Jam juga tertera.

Aku membuka kembali foto yang baru dikirimkan Boss.

Andi dan sang mantan di lobby apartemen Andi. Hari ini, Senin. Tanggal 28 pukul 06.30 pagi.

Aku membalikan layar handphone. Menundukkan kepala di atas meja kerja. Aku memejamkan mata, mencoba mengatur pernapasan. Dadaku sesak.

Aku tidak akan menangis. Aku kuat. Aku merapal kata-kata itu terus di dalam otakku.

***

Aku sudah dua minggu kembali ke ibukota dan sampai detik ini juga aku belum memberitahukan kepulanganku kepada Andi.

Bukankah itu sudah tidak penting sekarang? Bukankah aku sudah tidak penting sekarang? Apa dari dulu aku tidak penting?

Boss tidak membahas apapun denganku tentang foto-foto dan video yang dikirimkannya padaku. Mungkin Boss menganut paham, foto-foto dan video menjelaskan banyak hal dibandingkan kata-kata. Atau mungkin ini cara Boss menjelaskan maksud kata-katanya kemarin.

"Melepaskan diamond untuk serbuk emas"

Hanya orang bodoh yang mau melepaskan berlian untuk serbuk emas. Setidaknya Boss menyebutku serbuk emas, bukan pasir pantai yang diinjak-injak kaki manusia.

Dan selama dua minggu pula aku mengurangi intensitasku pada handphone. Aku meng-silent kedua handphone-ku. Di kost, kedua handphone-ku tak akan aku keluarkan dari dalam tas kerjaku. Baru keesokan harinya, dikantor, aku mengeluarkannya dan menaruhnya diatas meja dengan layar menghadap meja.

Andi mulai intens mengirimkanku chat. Di hari Senin sore minggu kedua hingga hari ini.

Andi meminta maaf karena tidak jadi pergi ke Singapore kemarin dan akan menjelaskannya bila nanti bertemu. Dia juga bertanya kapan aku pulang yang hanya aku balas dengan 'soon'.

Ternyata seperti ini sakitnya dikhianati?

***

Aku baru selesai mengenakan piyama selepas mandi ketika pintu kamarku diketuk.

Mba Mirna dan disusul sosok tinggi dibelakangnya. Andi.

"Ada temennya nyari Mbak."

Aku melirik Andi yang sedang menatapku tajam. Andi memendam amarah.

"Makasih Mba Mirna."

"Pintu kamarnya dibuka dikit ya Mbak. Jangan sampe ditutup apalagi dikunci."

"Iya Mba, makasih ya!" Mba Mirna pergi meninggalkan kami.

Andi masih berdiri ditempat semula dan masih menatapku dengan tajam.

"Kamu mau berdiri disitu terus?"

Andi membuka sepatunya, masuk ke kamarku. Duduk di kursi.

Aku menyusul masuk dan membiarkan pintu terbuka lebar.

"Tutup pintunya sedikit."

"Kamu denger kan kata Mba Mirna, nggak boleh ditutup." Jawabku.

"Iya, aku denger makanya aku minta pintunya ditutup sedikit bukan ditutup rapat."

"Aku nggak enak sama penghuni kost yang lain." Elakku.

Andi berdecak kesal. Dia berjalan ke arah pintu dan menutupnya, menyisakan sedikit celah. Andi kembali duduk di kursi, matanya kembali menatapku yang duduk di ranjang.

"Soon yang kamu maksud itu apa? Kalau kenyataannya kamu udah pulang dari dua minggu lalu?"

Aku menarik napas dalam-dalam. Aku harus tenang. Aku tidak boleh terlihat lemah di depan Andi.

"Segera."

"Segera? Segera apa?" Andi menatapku kian tajam. "Kalau aku nggak sengaja ketemu Ellen tadi, aku nggak akan tahu kamu udah ada di Jakarta."

"Kamu kenapa sih? Kenapa sampe nggak ngasih tahu aku kalau kamu udah pulang? Aku buat salah sama kamu?"

'Aku buat salah sama kamu' aku mengulang kata-kata yang baru diucapkan Andi dihatiku. Andi tidak merasa apa yang dia lakukan kemarin kepadaku salah? Bertemu dengan sang mantan dibelakangku? Mantan yang menginap di apartemennya?

"Aya" Panggil Andi. Kali ini suaranya melembut.

Aku menggelengkan kepala.

"Jujur sama aku. Kenapa?"

"Kenapa kamu kemarin batal ke Singapore?"

"Aku ada urusan mendadak yang nggak bisa ditinggalin."

"Kantor?" Andi diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Bukannya ketemu mantan?"

Selama menjalin hubungan dengan Andi aku terbiasa dengan berbagai ekspresi di wajahnya. Namun baru kali ini aku melihat ekspresi wajah Andi saat ini.

Pias. Pucat. Mati Kutu.

Sorot mata tajamnya menghilang hanya dalam satu kedipan mata.

Tak ada kata yang terucap, baik dari Andi maupun aku. Hening namun mencekam.

"Seharusnya aku yang nanya maksud kamu apa?" Ucapku pelan seperti suara berbisik.

"Kamu tahu aku datang ke bandara. Nungguin kamu. Aku takut waktu kamu nggak muncul. Aku takut kamu kecelakaan. Aku telepon kamu terus-terusan. Terhubung tapi nggak kamu angkat. Banyak skenario dikepala aku, kamu kecelakaan, kamu sakit, kamu kejambret dan dilukain sama penjambret."

"Kamu malah baru info ke aku Sabtu pagi kalau kamu batal pergi dan akan jelaskan nanti kalau ketemu." Aku menatap Andi yang kini menundukkan kepalanya, matanya menatap lantai.

"Sekarang kita udah ketemu, bisa kamu jelasin sekarang?"

"Aku memang ketemu sama Renata"

"Dan urusan yang kamu bilang penting itu Renata?"

Andi menganggukkan kepala "Ada yang nggak bisa aku ceritain."

"Renata nginep di tempat kamu?"

Andi menggeleng, aku mendengus pelan.

"Apapun yang ada dipikiran kamu tentang aku sama Renata itu nggak bener."

"Aku telepon malam itu. Renata yang angkat. Dia bilang kamu lagi di toilet. Aku juga lihat Senin pagi dua minggu yang lalu, dia dianter kamu naik taxi di depan lobby tower apartemen kamu." Aku menarik napas dalam. Dadaku mulai terasa sesak.

"Dan ternyata nggak berhenti di Senin itu. Selama seminggu dia stay di apartemen kamu."

"Kalau kamu diposisi aku, apa kamu akan dengan mudah nerima jawaban 'apapun yang ada dipikiran kamu tentang aku sama Renata itu nggak bener'"?

Aku menghapus air mata yang mencuri keluar dengan kasar. Aku memalingkan wajahku dari Andi. Namun terlambat, Andi sudah melihat air mataku.

Andi mengambil duduk disampingku, menautkan jari-jarinya kedalam jari-jariku.

"Jangan nangis please.." Pinta Andi.

Aku mengambil napas dalam. Aku melepaskan tautan jari-jari kami.

"Kamu pulang ya, sudah mau jam 10." Pintaku. "Sampai di apartemen, kamu bisa berpikir ulang tentang hubungan kita."

Raut cemas muncul di wajah Andi. "Aya.."

"Andi ada yang bilang sama aku 'nggak ada orang yang mau melepas berlian untuk serbuk emas'. Aku ngerti..." Aku menelan ludah, mengambil napas dan menahan suaraku untuk tidak bergetar, "Kalau kamu mau kembali ke mantan kamu. Aku nggak apa-apa. Jangan lepasin yang bagus dan baik di depan mata kamu."

"Maksud kamu? Aku harus lepasin kamu karena Renata datang lagi di hidup aku?"

Raut cemas Andi berganti dengan amarah terlihat dari wajahnya yang kembali memerah.

"Melepas berlian buat serbuk emas?" Andi mendengus kasar. "Aku pikir setelah beberapa bulan ini kita pacaran kamu ngerti aku."

"Renata, dia pasangan yang cocok buat kamu. Dia punya segalanya. Cantik, pintar, dari keluarga berada. Dia juga.."

"Cut that bullshit!" Potong Andi. Andi beranjak berdiri dari duduknya. "Bukan aku yang butuh berpikir disini, kamu."

Andi pergi setelahnya tanpa pamit dan tanpa kecupan di keningku yang menjadi kebiasaanya selama ini.

Entah kenapa, aku merasa ada yang hilang.

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

321K 19K 74
Ternyata memang benar, garis antara cinta dan benci itu nyaris tak ada. Dari yang bukan siapa-siapa bisa menjadi teman hidup.
201K 32.1K 46
[BACA SAAT ON GOING. INTERMEZZO PART DIHAPUS 1X24 JAM PUBLISHED] May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh be...
4.7M 557K 34
Setiap orang pasti pernah melakukan satu kesalahan besar. Kesalahan yang membuatnya menyesal bahkan sampai bertahun-tahun kemudian. Bagi Gadis, kesal...
151K 17.7K 25
"Abian, saya enggak bisa masak." "Jangan bohong." "Saya enggak bisa cuci piring." "Memang kamu enggak punya tangan?" "Saya pemalas, jorok, dan engg...