Memeluk Fajar [Terbit]

By sebaitrasa

244K 33.4K 28.4K

[Part tidak lengkap] Setiap nama yang lahir di dunia akan selalu memiliki kisahnya. Sama seperti langit yang... More

Awal Kisahnya
Satu; Aku Ini Siapa?
Dua; Batas Untuk Kita
Tiga; Mama, Lihat Aku!
Empat; Kenapa Aku Harus Ada?
Lima; Janji
Enam; Arti Hadirku
Tujuh; Ketika Mama Pulang
Delapan; Alasan Untuk Tinggal
Sembilan; Dia yang Pernah Hilang
Sepuluh; Memeluk atau Melepaskan?
Sebelas; Menghilanglah ... Fajar!
Dua belas; Langit Untuk Fajar
Empat belas; Pelarian Sejenak
Lima belas; Kamu Berharga
Enam belas; Sesakit Apa Rasanya?
Tujuh belas; Pelukan Pertama Mama
Delapan belas; Awal Menuju Luka
Sembilan belas; Rubber Band
Dua puluh; Masih Ada Aku, Kakakmu.
Dua puluh satu; Patah
Dua puluh dua; Ketika Rahasia Terbuka
Dua puluh tiga; Tempat Untuk Lari
Dua puluh empat; Mama ... Aku Ingin Pulang
Dua puluh lima; Aku ... Ayahmu
Dua puluh enam; Kebenaran Yang Terlupakan
Dua puluh tujuh; Kembalinya Sang Fajar
Dua puluh delapan; Rumah Yang Pernah Hilang
Akhir Kisahnya
Side Story; Detak Terakhir
Mohon Maaf
Choose One!
Open Pre Order!
Dari Clara, Untuk Fajar
Pre Order Ke-2
DISKON!
Tok Tok Tok!

Tiga belas; Kak ... Bagaimana Rasanya Mati?

6.6K 1K 1K
By sebaitrasa

Parkiran sekolah sudah sepi saat Cairo tiba di sana dengan Fajar yang dari tadi mengikuti. Cowok itu berjalan menuju barisan paling kiri, menuju motornya yang kini tinggal terparkir sendiri dan menjadi paling dominan di tengah tanah lapang yang tak lagi berpenghuni.

"Pulang sama gue." Tiba-tiba Cairo menoleh dan melempar helm pada Fajar yang saat itu diam. Beruntung refleks anak itu cukup bagus meski setelahnya ia mendengkus kesal.

"Bilang-bilang, dong, Kak kalau mau lempar! Kena muka gue tadi gimana?" Fajar berusaha protes dengan menekuk wajahnya. Tapi Cairo hanya membiarkan saja.

Ada lega yang diam-diam menelusup di dada cowok itu saat ia tahu Fajar sudah kembali menjadi jingga yang menyala. Tidak lagi hitam, seperti sebelumnya. Cairo senang, setidaknya anak itu telah kembali menganggap semua biasa, seolah sebelumnya tidak pernah terjadi apa-apa. Meski Cairo tidak tahu apakah semua benar telah baik-baik saja atau tawa anak itu hanya sebatas pura-pura.

Cairo tidak ingin bertanya dan kembali mengusik Fajar lebih dari seharusnya. Ia tidak ingin anak itu terluka. Baginya lebih baik seperti ini saja. Cukup baginya mengetahui bahwa Fajar tidak lagi berada dalam pengaruh Sonya.

"Lo balik sama gue hari ini," tekan Cairo sekali lagi. Cowok itu sudah berhasil mengeluarkan motornya dari parkiran dan berhenti tepat di depan Fajar. Tapi yang ia temukan justru hela napas panjang.

"Gue mau cari kanvas sama cat minyak dulu. Ada tugas seni rupa buat dikumpulin minggu depan."

Sejenak mata Cairo menyipit, sebelum akhirnya ia bertanya dengan tatap menyelidik.

"Ini bukan akal-akalan lo doang buat kabur dari gue, kan?"

"Astagaaa! Lo nggak percaya? Mau gue telponin Bu Sekar?"

Bukan apa-apa. Cairo hanya merasa tidak boleh membiarkan anak itu sendirian untuk sekarang. Ada banyak kemungkinan yang mengusik hingga ia tak tenang, ada banyak ketakutan yang bersarang dan membuatnya enggan meninggalkan. Cairo hanya takut kalimat Sonya akan mempengaruhi Fajar. Cairo takut anak itu bertindak lebih dari apa yang seharusnya ia lakukan.

Detik berlalu dan Cairo akhirnya membiarkan tegang di wajahnya terurai.

"Tugasnya suruh ngapain?" tanya Cairo kemudian.

"Gambar. Jadi, kita semua dikasih dua pilihan tema. Tugas kita adalah milih tema yang paling kita suka terus tuangin kreativitas kita ke kanvas. Seru banget nggak, sih, Kak? Ini tuh kayak kita lagi nantang diri sendiri buat berkarya. Apalagi gue suka banget temanya. Memeluk Mimpi dan Melepas Harap. Rasanya relate banget aja gitu sama gue."

Siapa sangka kalimat terakhir Fajar bergema lebih lantang dari sebelumnya. Lalu fokus Cairo terpaku di sana untuk waktu yang lama. Dua pilihan yang Fajar sebutkan tadi terdengar begitu sempurna. Cairo bahkan sudah bisa membayangkan bagaimana kuas Fajar menari di permukaan kanvas, membentuk goresan penuh warna dan menjadikannya bernyawa.

Namun, yang menjadi pertanyaan Cairo sekarang adalah; mana yang Fajar pilih? Karena yang ia lihat, Fajar adalah sang tokoh utama yang terjebak di antara keduanya.

"Semua harus milih satu di antara dua, kan? Lo pilih yang mana?"

Detik itu Fajar tersenyum dengan mata yang tampak menyala. Lalu tanpa ragu ia menceritakan segalanya. Karena memang seperti itu seharusnya. Fajar hanya butuh satu tempat yang bersedia menampung keluh serta patah yang ia rasa, maka di sanalah ia akan menumpahkan semua.

"Dua-duanya gue suka. Gue juga udah nyiapin dua konsep gambar yang beda seandainya nanti gue gagal sama salah satunya. Memeluk mimpi kedengarannya sempurna, kan?"

"Lo pilih itu?"

"Enggak."

"Berarti lo ambil pilihan kedua?"

"Enggak juga."

Ketika Cairo mulai tidak bisa membaca bagaimana isi kepala Fajar bekerja, dengan cepat suara anak itu menyela. Memangkas seluruh tanya tanya dalam benak Cairo sebelum cowok itu sempat mengungkapkannya.

"Gue udah bilang, gue suka keduanya. Jadi, gue mau gabungin dua tema itu jadi satu konsep. Pinter 'kan gue? Iya, Fajar emang keren."

Di detik selanjutnya, Cairo bisa melihat nyala jingga yang membara melalui bagaimana Fajar bercerita. Ada pula tawa yang anak itu titipkan dalam tiap penggal kata yang ia gaungkan di udara. Hal yang diam-diam Cairo suka. Ia suka bagaimana Fajar terlihat begitu lepas dengan tawa yang ia punya. Bebas ... seolah tidak ada esok yang akan menyakiti, atau segenggam pisau yang siap menyayat sampai ke nadi.

"Mana bisa kayak gitu? Yang ada lo dapet poin minus dari Bu Sekar. Seenaknya aja bikin aturan sendiri," ucap Cairo kemudian. Cowok itu baru selesai memasang pengait helmnya dan sekarang membiarkan deru mesin motornya meraung, mengisi sepi di sana.

"Lihat aja nanti. Gue bakal bikin Bu Sekar nyesel udah ngatain hasil karya tangan gue mirip cacing abstrak." Fajar mendengkus kesal. Ternyata sindiran Bu Sekar tadi pagi masih membekas dan menempel kuat di ingatan. Sekarang malah menimbulkan dendam.

Cairo baru akan bertanya lagi, saat tiba-tiba Fajar memotong.

"Kakak duluan aja udah. Gue bener-bener perlu belanja dulu buat nyerang balik Bu Sekar."

"Sini!" Tapi tahu-tahu saja Cairo memerintah. Membuat Fajar mengernyitkan keningnya.

"Apa?"

"Sini gue bilang."

Mau tak mau Fajar menurutinya. Ia mendekat hingga jarak di antara keduanya hanya menyisakan jengkal pendek saja. Fajar baru akan bertanya, tapi ternyata Cairo bergerak lebih cepat dari yang ia kira. Tangan cowok itu merebut helm dari rengkuhannya kemudian memakaikan ke kepala Fajar begitu saja. Memastikan sebentar bahwa pengait di sana telah terkunci sempurna.

Cairo tidak menatap Fajar, tapi sepertinya diamnya anak itu mampu menuntun Cairo untuk memberi penegasan atas tindakannya barusan. "Gue anter."

Dan jika sudah begitu, Fajar tahu Kakaknya tidak menerima penolakan. Maka dengan berat hati ia mengangguk sebelum akhirnya menempati ruang kosong di belakang Cairo dan mencari pegangan.

"Dasar tukang maksa," ucap Fajar. Sengaja dikeraskan agar Cairo dapat mendengar.

"Dasar tukang ngeyel."

"Dasar kakak nyebelin."

"Dasar adek keras kepala." Bersamaan dengan itu Cairo menarik gasnya. Terlalu tiba-tiba sampai Fajar nyaris terjengkang jika tidak cepat meremas pundak cowok itu sebagai pegangan.

Tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Hanya membiarkan Cairo memacu motornya keluar dari parkiran dan membelah jalan. Fajar diam, merekam tiap jengkal punggung Cairo yang selalu menjadi tempat paling teduh untuk ia pulang. Menjadi dinding paling aman untuk ia sembunyi dari api yang menjadikan rumahnya terbakar. Menjadi perisai paling tangguh untuk melindungi Fajar dari busur-busur panah yang menyerang.

Tiba-tiba pikiran Fajar melayang. Kotak ingatan di kepalanya pun terbuka, isinya berceceran. Fajar ingat, dulu, setiap kali ia menangis sendirian di kamar setelah dimarahi Sonya, Cairo adalah satu-satunya yang akan datang. Saat jarinya tidak sengaja teriris pisau dan Sonya justru menambahkan satu sayatan, Cairo yang akan menariknya pergi lalu mengobatinya pelan-pelan. Saat Sonya mengurungnya di gudang setelah ia tidak sengaja menghilangkan ikat rambut Clara, Cairo yang akan diam-diam datang dan menemaninya di luar. Mengatakan bahwa saat itu Fajar tidak sendirian.

Sejak awal, Cairo adalah langit paling sempurna untuk Fajar. Bahkan sampai sekarang. Seharusnya Fajar tidak bersikap kurang ajar.

"Kakak," panggil Fajar kemudian. Ia tidak mendapat balasan, tapi di tempatnya, Cairo pasti mendengarkan. Maka Fajar mendekat dan mengeratkan pegangannya di pundak Cairo, sebelum akhirnya melanjutkan.

"Maaf kalau omongan gue tadi keterlaluan. Maaf kalau gue nyakitin lo tanpa sadar. Makasih karena lo masih peduli."

Kalimat Fajar hanya disambut oleh desah kasar angin yang terbelah perlahan. Tapi cowok itu juga tidak memerlukan jawaban. Ia hanya ingin memberitahu semesta bahwa ia benar-benar tidak ingin kehilangan. Ia hanya punya Cairo dan selamanya sosok itu ingin ia genggam. Hingga nanti ia sampai pada titik dimana semua harus dilepaskan dan ia pun harus menghilang.

Selanjutnya bisu merayap di antara bising kendaraan. Fajar kira semua benar-benar telah usai dan Cairo memilih diam. Tapi ternyata suara cowok itu terdengar saat Fajar sudah mulai larut dalam pekik riuh jalanan yang tidak pernah terasa melegakan.

"Kita mampir kafe dulu. Tadi lo nggak sempat makan siang."

Dan kalimat itu menjadi syair tanpa nada yang membawa tenang untuk gaduh di dada Fajar. Tanpa sadar sudut-sudut bibir cowok itu tertarik, membentuk senyuman. Ia senang. Karena hadirnya Cairo di sana membuat keramaian di sekitar tidak lagi terasa menakutkan.

✍️✍️

"Rangga bener-bener nyebelin!"

Meja di sudut kafe itu rasanya penuh, padahal hanya ada tiga orang di sana, ditemani tiga gelas latte yang mulai kehilangan aroma. Suara Clara menjadi yang paling keras menggema sejak ketiganya memutuskan duduk bersama. Gadis itu kacau setelah tadi memergoki Rangga diam-diam bertemu dengan Kaesa, mantan pacarnya yang tempo hari menyerang Clara tiba-tiba.

Amarah gadis itu memuncak saat ia menghubungi Rangga dan lelaki itu mengatakan bahwa ia sedang pergi mengantar Mama. Padahal saat itu Clara ada tak jauh dari tempat Rangga berada dan melihat jelas siapa orang yang ada bersamanya. Ini bukan kali pertama Rangga membuatnya patah, tapi baru kali ini Clara merasa benar-benar marah.

"Emang harus lo yang mutusin duluan, Ra. Cowok kayak gitu ngapain juga dipertahanin? Cowok tuh, ya ... sekalinya nyakitin, bakal keterusan. Daripada lo makin sakit nanti, mending udahan sekarang." Reya, salah satu teman Clara yang duduk di sana akhirnya angkat bicara.

Tapi siapa sangka dengan begitu Clara justru semakin terluka. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menyembunyikan matanya yang sembab serta make up yang mungkin berantakan.

"Tapi gue masih sayang. Selama ini dia baik banget. Makanya gue tahan pacaran dua tahun sama dia."

"Ya terus lo maunya gimana? Putus apa enggak?" Kali ini Diandra yang bersuara. Gadis blasteran Indonesia-Australia itu memang jadi yang paling diam di antara mereka bertiga. Tapi melihat Clara yang tidak berhenti mengeluh dari tadi sepertinya berhasil membuat gadis itu geram juga.

Detik itu Clara mengusap wajah kasar dan membuang pandangan ke luar, membiarkan air matanya kembali jatuh meski tanpa isakan. Para pejalan kaki tampak berlalu lalang dengan langit cerah sebagai latar, tapi bagi Clara semua terasa menyebalkan.

"Gue nggak tau," ucapnya kemudian. Karena rasanya berat sekali melepaskan seseorang yang terlanjur memiliki tempat untuk tinggal.

Sebelumnya gadis itu tidak pernah serius dalam menjalin hubungan. Baginya status hanya untuk sekadar bersenang-senang. Tapi sial karena kepada Rangga, ia jatuh terlalu dalam.

"Gini, deh. Sekarang lo pikir aja, tetep mau sama Rangga setelah lo tau kelakuan dia di belakang lo kayak apa? Sumpah lo bodoh banget kalau milih pertahanin dia. Cowok nggak cuma Rangga, Ra. Lo bisa cari yang jauh lebih baik dari dia." Reya masih tetap teguh dengan pendirian awalnya. Bahwa ikatan tak kasatmata antara Clara dan Rangga memang cukup sampai di sini saja. Tapi gadis itu sepertinya tidak paham apa yang Clara rasa.

"Nggak segampang itu, Re!"

"Lo sendiri yang bikin semuanya jadi susah. Udahlah, terserah lo aja. Gue udah kasih saran, kalau lo nggak mau denger, terserah."

"Bukan gitu, Re ... masalahnya-"

"Eh, Ra, bentar, deh. Itu adek lo bukan? Si Cairo? Sama siapa dia?"

Di detik itu kalimat Clara terpenggal oleh suara Diandra. Dengan cepat fokus mereka berpindah dan badai yang sempat mengisi meja itu pun sirna. Seketika wajah Clara menegang dan tangannya mengepal. Ia belum sempat mengatakan apa-apa saat Diandra lebih dulu mengangkat tengan ke udara dan memanggil Cairo dengan sedikit teriakan.

"Cairo! Halo! Kita di sini!"

Ada jeda yang tercipta setelah panggilan itu mengudara. Dari sini Clara bisa melihat bagaimana dua sosok itu membeku dengan tatap tak biasa. Tapi tidak lama, karena setelahnya langkah mereka tertuntun menuju meja tempat ia berada.

"Ngapain, sih, Cairo bawa-bawa dia?" gumam Clara, pelan sekali. Dengan cepat ia mengusap jejak air mata di wajah dan duduk dengan tegak.

Sementara Cairo yang baru tiba bersama Fajar hanya diam. Sejenak melirik Clara yang tampak jelas sangat tidak nyaman.

"Hai, Cai! Ingat kita berdua nggak? Kita pernah beberapa kali ketemu di kampus Clara."

Sapa itu hanya Cairo balas dengan senyum tipis yang dipaksakan. Karena jujur, ia tidak ingat siapa mereka. Ia bahkan tidak merasa pernah bicara atau mengenal mereka hingga nama-nama mereka harus ia kenang. Untung saja teman-teman Clara itu tidak mempermasalahkan reaksi yang ia berikan.

"Cairo mau makan juga? Sini aja, gabung sama kita. Biar makin seru."

"Nggak usah. Dia nggak suka makan rame-rame." Tiba-tiba Clara menyela. Tapi mata gadis itu tidak tertuju ke arah yang seharusnya. Dan tidak butuh waktu lama untuk Fajar menyadari bahwa gadis itu sedang mengancamnya.

"Masa? Nggak apa-apalah, Cairo. Sekali-kali gitu kita makan bareng. Eh, btw, lo sama siapa ini?"

"Anak asisten rumah tangga di rumah. Dia emang suka ngikutin adek gue ke mana-mana. Udah dikasih tau berkali-kali tapi tetep aja nggak tau diri."

Tapi lagi-lagi Clara menyela dan mematahkan kalimat yang bahkan belum sempat Cairo suarakan. Sedang Fajar bungkam, masih mengunci pandangannya pada Clara yang detik itu mendecih pelan.

"Kak-"

"Stop belain dia, Ro! Ini anak emang nggak tau diri, kan? Kalau dia mikir, harusnya dia sadar posisi. Anak pembantu, nggak seharusnya nempel sama majikan."

Ada pisau tajam di setiap kata yang Clara ucapkan. Menyayat dada Fajar pelan-pelan lalu menusuk tepat di jantungnya yang berlubang.

Tangan Fajar seketika mengepal, tubuhnya gemetar. Jika Cairo adalah langit yang akan selalu melindungi Fajar, maka Clara adalah badai yang dapat kapan saja menghancurkan. Kalimat gadis itu senada guntur yang menyambar. Tatapnya serupa awan hitam yang datang membawa ancaman.

Tidak cukupkah gadis itu menyakiti Fajar dengan menganggapnya tiada?

"Ya ampun ... muka ganteng gini ternyata anak pembantu? Sayang banget, ya. Padahal lo cocok lho jadi anak artis. Oh, apa jangan-jangan dia suka ngintilin adek lo gara-gara pengen tenar, Ra? Pansos gitu. Sekarang 'kan masih zamannya." Reya menanggapi dan setelahnya tawa Diandra pun terdengar. Tapi tidak lama, karena detik berikutnya Clara kembali melanjutkan.

"Emang dasar nggak tau diri!"

"Kak Clara cukup. Please ...." Suara Cairo memohon, tapi sepertinya usaha cowok itu tidak membuat Clara iba. Alih-alih luluh, amarah gadis itu justru semakin menyala.

Gadis itu bangkit dengan kasar, tidak lagi peduli pada pasang mata yang sekarang merekam hadirnya.

"Gue udah ingetin lo buat nggak deket-deket dia. Kenapa lo keras kepala?"

"Karena nggak ada alasan buat gue jauhin Fajar."

"Apa gue aja nggak cukup lo jadiin alasan? Ro, gue kakak lo!"

"Maaf, Kak. Aku bisa pergi kalau Kakak nggak mau aku di sini. Tapi tolong jangan bikin keributan. Kakak nggak mau 'kan mereka semua tau siapa aku?" Fajar tidak tahu dari mana keberanian itu berasal. Tapi ia benar-benar tidak tahan. Suara berisik Clara berhasil mengundang perhatian dan Fajar benar-benar tidak nyaman.

Tapi sepertinya kalimat Fajar justru menjadi api yang membakar Clara lebih dari sebelumnya. Dengan cepat gadis itu meraih gelas minuman di meja dan sedetik kemudian Fajar bisa merasakan dingin air itu mengguyurnya.

Suara pekikan Cairo terdengar, tapi bentakan Clara jauh lebih lantang.

"Lo sumber masalahnya di sini! Kalau lo tau diri, seharusnya dari lama lo pergi. Jauhin Cairo, jauhin keluarga gue! Pergi yang jauh sampai gue nggak bisa liat lo lagi! Berapa kali gue harus bilang kalau nggak ada yang mau lo di sini?!"

Suara Clara seperti menjelma menjadi dengung panjang yang menyakitkan. Dingin menusuk dari bekas minuman yang Clara siramkan tadi juga terasa semakin membekukan. Sejenak Fajar memejam, berusaha lari dari tatap orang-orang yang menyaksikan.

Hingga Tuhan mengirimkan bantuan di antara doa yang ia gumamkan. Suara Cairo membelah jeda dingin panjang di sana, diikuti genggam hangat yang sudah sangat Fajar hafal.

"Kita pergi dari sini," bisiknya. Pelan namun terdengar begitu tajam.

Kemudian Fajar merasa tubuhnya ditarik meninggalkan keramaian. Tapi ternyata Clara tidak berhenti di sana. Gadis itu mengejar hingga mereka tiba di halaman depan kafe yang siang ini lengang.

"Ro, lo pulang sama gue!" Clara berhasil menjangkau sebelah tangan Cairo yang bebas dan mencengkeramnya. Tapi dengan cepat Cairo menepisnya.

"Kakak udah keterlaluan."

"Gue keterlaluan? Lo yang keterlaluan, Ro. Lo udah janji buat nggak peduli sama anak ini. Tapi sekarang apa? Lo jalan sama dia. Lo bahkan berani bentak gue cuma demi dia."

Cairo mencoba tidak peduli dengan melangkah pergi. Masih sambil menggenggam tangan Fajar yang gemetar. Tapi sebelum ia sempat mencapai motornya, suara teriakan Clara kembali terdengar dan di detik itu langkah Cairo tertahan.

"Rangga baru aja ninggalin gue. Sekarang lo juga mau ninggalin gue. Kalian semua sama aja. Nggak ada yang bener-bener sayang sama gue. Gue cuma mau lo di sini, Ro. Temenin gue. Gue butuh lo sekarang."

Teriakan itu sudah bercampur dengan isakan. Kini semua terasa menyakitkan. Udara di sekitar berubah menjadi duri tajam yang menusuk sekaligus menghancurkan.

Fajar tidak tahan. Ia butuh jeda untuk lari dan menghirup udara segar.

Maka cowok itu melepas genggaman Cairo yang perlahan merenggang kemudian mengambil langkah ke belakang.

"Lo temenin Kak Clara aja. Dia lebih butuh lo sekarang. Gue bisa pulang sendiri."

Dan setelahnya Fajar membawa langkahnya membelah jalanan hingga akhirnya menghilang. Mengabaikan panggilan Cairo di belakang.

"Nggak usah dikejar, gue mohon. Gue butuh lo banget sekarang, Ro."

Tidak ada yang bisa Cairo lakukan selain merelakan bayang punggung Fajar tertelan oleh jarak panjang yang membentang. Cukup lama ia diam. Sebelum akhirnya membalas pelukan Clara, dan membiarkan gadis itu menangis keras di pundaknya.

✍️✍️

Sejak awal, langkah Fajar memang tidak memiliki tujuan. Cowok itu hanya berjalan di sepanjang trotoar dengan sesak yang mendesak hingga ia kesakitan. Pikirannya kacau. Ia bahkan tidak lagi mengingat kanvas dan segala macam yang sebelumnya ia jadikan pegangan.

Suara-suara dari sekitar bersahutan, tapi yang Fajar dengar hanya bisik lirih Sonya yang memintanya menghilang, serta dingin tajam dari kalimat Clara barusan.

"Seharusnya udah dari lama lo pergi! Pergi yang jauh sampai gue nggak bisa lihat lo lagi!"

"Kalau kamu nggak bisa diam, sembunyilah. Jangan muncul di hadapan orang-orang. Jangan sampai saya dan orang lain bisa lihat kamu."

"Menghilanglah ... Fajar."

Langkah Fajar mulai tak beraturan. Kadang ia melangkah pendek-pendek dan berhenti sebentar, kadang ia membuka kakinya lebar-lebar dan berlari kencang. Hingga tidak sadar ia menabrak seorang lelaki dewasa yang sedang berhenti untuk mengikat tali sepatunya.

"Hoy! Lihat-lihat kalau jalan! Orang segede gini masih aja ditabrak. Mata lo buta? Mati aja sana! Nggak guna!"

Mati?

Kata itu bergema di kepala Fajar lebih dari yang lainnya. Seperti nada konstan yang setiap malam bermain-main di kepala. Fajar menyukainya. Tapi kesadaran cowok itu masih tahu cara kembali ke raga.

"Maaf, Pak. Saya kurang hati-hati tadi."

"Maaf, maaf. Lain kali kalo jalan mata dibuka. Bikin emosi aja. Minggir sana!" Lelaki itu berlalu setelah mendorong bahu Fajar. Sedang cowok itu diam, memikirkan kembali semua yang baru saja ia dengar.

"Iya, kenapa lo nggak mati aja, Fajar?"

Cowok itu terkekeh dengan mata berlinang dan berakhir mendudukkan diri di trotoar. Ia membawa matanya menatap lurus ke depan, merekam truk-truk besar yang melintas bergantian.

Bibirnya berusaha menyenandungkan lagu untuk membuat dirinya lebih tenang, tapi yang keluar justru rintihan. Hingga menit yang berganti membawa dering familiar dari ponsel di saku seragam Fajar. Cowok itu diam cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk menjawab panggilan.

Tapi tidak ada yang bersuara hingga detik ke-dua puluh di mana Cairo akhirnya menghela napas panjang.

"Gue udah di rumah. Lo di mana?"

Ada lega yang diam-diam menyelinap ke dada Fajar. Ada hangat yang menyenangkan saat suara Cairo terdengar. Setidaknya dengan begini Fajar tahu ada yang menginginkannya tinggal.

"Di jalan, Kak. Gue jalan kaki," jawab Fajar. Mencoba mengelabui Cairo yang saat ini hanya mendengar, tanpa melihat keadaannya yang berantakan.

Kemudian hening panjang tercipta. Hanya suara kendaraan yang Fajar biarkan mengisi agar Cairo tahu bahwa ia masih bernapas di sana. Sampai suara dari seberang kembali terdengar.

"Jar ... lo oke?"

Siapa sangka kalimat Cairo detik itu seperti ombak pasang yang membawa Fajar ke tepian. Menyadarkan Fajar bahwa ia juga butuh tempat untuk berhenti sebentar. Bahwa ia juga butuh bahu untuk bersandar. Tapi sekarang ia sendirian.

"Gue capek," ucap Fajar asal. Cairo pun menjawab dengan ringan.

"Cari taksi sekarang. Jangan jalan kaki."

Tapi bukan itu yang ingin Fajar sampaikan. Bukan lelah yang hanya tinggal mencari taksi lalu semua selesai. Cowok itu mengalihkan pandangan dari jalanan. Kini langit cerah di atasnya yang ia jadikan pelarian.

"Kak, orang yang udah meninggal itu ... perginya ke langit, ya?"

"Nggak tau. Gue belum pernah mati."

Biasanya Fajar akan tertawa, tapi kali ini tidak bisa. Maka ia hanya menarik ujung bibirnya.

"Kakak pernah penasaran gimana rasanya mati?"

"Cari taksi sekarang terus pulang. Omongan lo udah nggak bener."

"Gue lagi mikirin gimana rasanya, Kak."

"Pulang sekarang, Fajar!"

Fajar hanya tertawa sebelum akhirnya menutup panggilan tanpa salam. Kemudian ia menggenggam ponselnya kuat-kuat, membiarkan satu per satu sesak di dadanya meluap. Setelahnya ia membiarkan wajahnya terbenam dalam lipatan lutut yang ia ciptakan. Dan di sanalah ia menumpahkan semuanya, sendirian.

Panjang banget ini 🤧 Anggap aja kompensasi karena aku belum tau apakah malam Minggu nanti bisa up atau enggak 😌

Selamat malam. Rindu buat Clara udah terbayar, kan?

Ah iya, btw ini Clip Versi 2-nya 😌

26.08.2020

Continue Reading

You'll Also Like

194K 17.4K 33
"Dia sangat berbeda dengan Ragil. Padahal mereka saudara kembar." "Romeo sama sekali nggak bisa diandalkan. Beda banget sama adik kembarnya." "Ragil...
55.7K 6.5K 113
~ Bertransmigrasi Sebagai Kucing Penjahat ~ Original title : 穿成反派的猫 Author : Xishan Fish [ 西山鱼 ] Status in COO : 106 chapters + 6 extras [Compl...
149K 5.5K 50
"Kau yang membuatku terbang disetiap harinya tetapi kau juga yang menjatuhkanku kedasarjurang yang paling dalam dengan cara kau meninggalkanku untuk...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.1M 112K 59
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...