My Zone is You [END]

By YunitaChearrish

6.8K 1.6K 2.1K

Please vote if you enjoy 🌟 Genre : School, Teenfiction, Romance, Sad (60%), Comedy (40%) (Naskah full revisi... More

Prolog
1). Comfort Zone
3). Accident and Blame
4). Both Fate and Destiny
5). Hope
6). Negligence
7). Why Should You?
8). Charity Bazaar
9). Tarot Reader
10). Nathan Anindira
11). This Familiar Feeling
12). It's the Time
13). Nathan, Nevan, and Tamara
14). His Smile
15). Day Minus 2
16). The Essence Part
17). Stand or Ignore?
18). One-sided Love
19). Memory and Recovery
20). Comeback
21). D-Day
22). Clarissa and Alvian
23). Bunny and Its Admire
24). Friendzone
25). Celebrating
26). My Zone is You
27). Celestial Hotel
28). Naura and Her Old Friend
29). Coincidence or Fate?
30). Tight or Loose?
31). Confessions
Epilog

2). Dejavu

302 83 116
By YunitaChearrish

Talitha melangkah menuju bangku kosong terakhir di kelas, tepatnya bersebelahan dengan Tamara. Wajahnya memang sangat cantik dan yang paling mendominasi adalah tinggi badan yang melebihi standar tinggi cewek pada umumnya, bahkan Tamara saja kalah dengannya.

"Oke, seperti biasa sebelum memulai pelajaran, kita harus voting untuk menentukan pengurus kelas," kata Bu Naura dari depan kelas, menarik perhatian semua murid untuk mengalihkan tatapan mereka yang masih lengket ke Talitha. Cewek itu seperti mempunyai magnet transparan yang akan menarik siapa saja untuk menatapnya, termasuk kaum hawa meski tatapan mereka sejenis tatapan iri.

Kelas mereka tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menentukan struktur organisasi kelas karena seperti yang bisa diduga, mereka mempunyai Alvian dan Clarissa yang sudah terbiasa mengurus hal sepele seperti ini. Sehingga dalam kurun waktu tidak sampai setengah jam, Bu Naura bisa melanjutkan waktu yang tersisa dengan menyampaikan materi pelajaran.

"Eh nama lo Tamara Felisha, ya? Gue denger lo anaknya Kepala Sekolah?" tanya Talitha berbasa-basi.

Tamara menoleh ke arah Talitha, lalu mengangguk. "Kok lo bisa tau?"

Talitha tersenyum. "Ini bukan rahasia, kan? Soalnya dari yang gue denger kayaknya ini bukan sesuatu yang harus ditutupi, trus kayaknya semua udah pada tau. Gue cuma mau nyari topik aja buat ngobrol sama lo."

"Sebenarnya bukan papa kandung gue. Yang bener tuh beliau papa kandung Vio, yang duduk di belakang gue," jelas Tamara sembari mengendikkan kepalanya ke arah belakang, lantas kaget bukan main ketika ekor matanya beradu dengan mata tajam milik Vio. Rupanya dia telah menguping pembicaraan mereka sejak tadi.

Talitha menoleh ke arah Vio dan mata mereka bertemu untuk pertama kalinya. Tamara gagal paham melihat Vio yang mendadak saja seperti terkena sindrom absurd yang membuatnya gemetaran seperti itu.

"S-salam kenal, ya. G-gue Vio. Kalo ada apa-apa, lo bisa nanya ke Tamara atau ke gue. Kami bakal berusaha bantuin lo kok. Jadi, jangan sungkan ya."

Tamara harus gagal paham lagi karena perkataan Vio. Sejak kapan cowok itu memanggil namanya tanpa embel-embel canggung?

Meski sangat penasaran, Tamara mengabaikannya. Mungkin saja ini hanya sekedar kebetulan dan dia juga tidak ingin menerima risiko dibentak oleh Bu Naura karena ketahuan berbicara dengan teman lain di kelas.

Bisa-bisa ini jadi pertimbangan Naura jika ke depan hari dia berpacaran dengan adik kandungnya.

zZz

Tamara tahu kalau Nevan tidak menyukai dirinya, tetapi cewek itu masih ingin berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan perhatiannya. Cewek itu yakin kalau suatu saat dia pasti akan balas menyukainya persis beberapa drama romansa yang pernah ditontonnya.

Tamara percaya diri tentang hal itu. Malahan, jika dibandingkan dengan tokoh utama cewek dalam drama, dia jauh lebih sempurna. Bagaimana tidak, dalam drama Taiwan A Love So Beautiful, It Started With a Kiss, hingga drama Korea Naughty Kiss saja semua pemeran utama ceweknya pada berotak dungu semua, berbeda dengan dirinya yang mempunyai otak cerdas. Selain itu, wajahnya juga jauh lebih cantik.

Jadi, sudah jelas kan pada hasil yang akan didapatnya?

Dengan berbekalkan asumsi seperti itu, Tamara jadi semakin yakin kalau Nevan bisa saja jual mahal karena ingin menilai sejauh mana usaha cewek itu mendekatinya.

Oleh karenanya, fakta dia sekelas dengan Nevan tahun ini turut memancingnya untuk lebih agresif.

Tamara mendapatkan kesempatan bagus karena Nevan sedang makan sendirian di kantin. Tepatnya, dia lebih senang melewati waktu sendirian meski satu-satunya yang betah berteman dengannya adalah Alvian.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Tamara untuk memenuhi lauk dalam piringnya supaya dia bisa merebut kursi kosong di hadapan Nevan. Untung saja tidak seperti insiden tadi pagi, cewek itu bisa memenangkan kursi tersebut tanpa hambatan.

Nevan menatapnya dengan tatapan dingin ketika melihat siapa yang duduk di hadapannya, lalu mendecih kesal tanpa berniat untuk menutupinya. Alih-alih merasa tersinggung dengan reaksinya, Tamara malah memberikan senyuman termanisnya hingga lesung pipit samarnya terlihat.

"Hai, Nevan. Gue nggak mau berbasa-basi nanyain lo apakah lo memberi izin gue duduk di sini apa nggak karena gue tau jawaban lo pasti 'nggak boleh'. Jadi--"

"Memang nggak boleh," potong Nevan galak meski tatapan tajamnya membuat Tamara kayak cacing kepanasan. "Gue rasa bahasa tubuh gue udah jelas menegaskan kalo gue sama sekali nggak tertarik sama lo."

"Van, gue...."

"Gue bener-bener nggak tertarik sama lo. Bahasa Inggrisnya, I'm really not interested in you. Mau pake bahasa apa lagi biar lo bisa ngerti? Oh, atau pendengaran lo nggak berfungsi ya?" tanya Nevan dengan sorot mata yang berubah jadi dingin. "Atau justru... otak lo sedungu itu sampai nggak bisa mengerti maksud gue?"

Mendengar kata dungu membuat Tamara merasa disamakan dengan pemeran utama cewek dalam drama.

"Gue pintar kok. IQ gue hampir 200."

"Lo mungkin sempurna dalam akademik, tapi nggak untuk yang ini. Kalo lo sepintar itu, lo nggak akan mau menghabiskan waktu berharga lo untuk deketin gue. Mau tau kenapa? Karena itu sia-sia."

Nevan tidak jadi melanjutkan acara makannya karena nafsu makannya mendadak hilang. Cowok itu memilih untuk beranjak dari sana, tetapi dia terhalang oleh tindakan Tamara yang ikut berdiri dari kursi.

"Kenapa lo nggak suka sama gue? Gue bukannya nggak cantik, gue juga pintar dan pandai bersosialisasi. Emang kurang apa lagi gue?"

Untung saja kantin di sekolah mereka agak luas dan kursi yang ditempati berada di sudut ruangan, sehingga pembicaraan mereka tidak didengar oleh yang lain.

Nevan memutar tubuhnya dan menatap Tamara dengan intens. Entah karena dia sedang memikirkan sesuatu atau sedang menikmati sorot mata Tamara yang bersaratkan luka di dalamnya, yang jelas keduanya terlibat dalam adu tatap yang cukup lama.

Hingga Nevan berkata, "Ada yang bilang kalau kita hanya membutuhkan waktu setidaknya satu menit untuk mengetes apakah kita bisa tertarik dengan lawan jenis dengan menatap langsung ke matanya. Tapi sayang sekali, gue masih aja nggak tertarik sama lo padahal kita udah bertatapan selama lebih dari satu menit."

Pernyataan dari Nevan seakan menusuk tepat di ulu hatinya tetapi di satu sisi, Tamara juga sepertinya menyadari satu hal.

"Tapi kenapa gue selalu merasa dejavu tiap gue melihat lo? Apa waktu kecil kita pernah bertemu atau apa?" tanya Tamara yang sebenarnya lebih bertanya ke dirinya sendiri.

Nevan tidak menjawab, tetapi sorot matanya berubah dan itu berhasil memancing keingintahuan Tamara untuk bertanya lebih lanjut. Cewek itu menahan pergelangan tangannya, sekali lagi menghalangi niatan Nevan untuk benar-benar beranjak dari sana.

"Kenapa lo diem aja? Kenapa ekspresi lo kayak gitu?"

Nevan menarik tangannya sendiri supaya lepas dari cengkeraman Tamara dengan tatapan tidak suka.

"Lo benci sama gue?" tanya Tamara lambat-lambat, sementara suara hatinya berharap penuh agar Nevan tidak menjawab 'iya'.

Tamara merasa hampir menangis ketika dia mendengar jawaban Nevan yang terdengar menggema dalam telinganya.

"Gue benci sama lo. Jadi tolong buang jauh-jauh perasaan lo ke gue karena gue nggak akan jatuh cinta sama lo."

Tamara berpikir dia masih punya kesempatan selagi berusaha, tetapi tidak ketika dia mendengar sendiri kalau Nevan telah menegaskan bahwa dia membencinya.

zZz

"Ekspresi lo hancur banget kayaknya," celetuk Harris sekembalinya Tamara di kelas.

Alih-alih merespons, Tamara duduk kembali ke bangkunya sendiri, mengabaikan Harris yang menaikkan sebelah alisnya dengan gagal paham.

"Lo kenapa?" desak Harris. Vica juga membalikkan tubuhnya untuk menghadapi sobatnya dengan ekspresi yang sama cemasnya dengan cowok itu.

"Ada sesuatu ya antara lo sama Nevan?" tebak Vica, berhasil membuat sorot mata Tamara berubah sedikit.

"Udah gue bilang juga apa, dia tuh nggak bakalan suka sama lo. Dia nggak cocok sama lo. You deserve someone better, not him."

"Sok banget pake bahasa Inggris," ledek Tamara yang sekarang berusaha terlihat tegar. "Emangnya ada yang lebih ganteng dari dia?"

"Dari segi muka mungkin nggak ada yang bisa ngalahin dia, tapi kalo dari segi bahagiakan lo, pasti ada."

"Masalahnya," kata Tamara, yang ekor matanya lagi-lagi menangkap sosok Nevan yang berjalan masuk ke kelas lantas kembali ke bangkunya tanpa memandangnya balik. "Gue yakin hanya dia yang bisa bahagiain gue karena gue selalu merasa dejavu tiap berada di dekat dia."

"Dejavu lagi, dejavu lagi. Persetan deh sama dejavu itu," protes Harris. "Udah gue bilang berkali-kali kalo itu hanya sugesti lo aja."

"Tapi selain dejavu, gue juga merasa nyaman di dekat dia. Gue yakin kalau dia itu jodohnya gue."

"Ra, gue tau lo sekeras kepala itu. Tapi seperti pendapat kita yang sudah-sudah, kita masih tetap menyarankan lo untuk nggak deketin Nevan kalo lo nggak mau lebih hancur lagi."

"Dan sama seperti pendapat gue yang sudah-sudah juga, gue masih gagal paham dengan saran kalian karena kesannya Nevan terlalu sulit untuk gue raih padahal gue yakin suatu saat dia bakal jatuh cinta sama gue. Tapi sekarang harapan gue hilang setengah setelah denger dia bilang kalo dia benci sama gue."

"Udah gue duga," celetuk Harris dan dia dihadiahi cubitan ringan yang diam-diam diberikan oleh Vica dengan tatapan memperingatkan.

Vica sedikit bernapas lega karena Tamara sepertinya tidak peka akan hal itu.

Karena akan sangat menyedihkan jika Tamara tahu kebenaran yang sebenarnya. Meski yang namanya rahasia tetap akan terbongkar suatu saat, cewek itu tidak ingin Tamara terlalu cepat mengetahuinya apalagi ketika dia mengetahuinya dari orang lain.

Sebagai sahabatnya, Vica lebih suka sifat Tamara yang sekarang; ketika dia jauh lebih ceria daripada sebelum kecelakaan itu terjadi.

Mereka semua tidak sadar kalau sedari tadi, Nevan mendengar semua percakapan mereka. Dan juga tidak ada yang tahu kecuali Nevan sendiri tentang perasaan yang sebenarnya. Oleh karenanya, pemandangan di luar jendela selalu menjadi pelampiasan setiap kali dia merasa ingin menyalahkan semua takdir yang harus dihadapinya.

Bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

352K 30.8K 39
[Nominasi Pemenang Wattys Award 2017] Sebuah perpisahan yang akan selalu kau ingat.
6.9K 1.1K 47
Juara ketiga dalam The Goosebumps Love yang diadakan oleh @WattpadRomanceID Salah satu kepercayaan menyebutkan kalau arwah manusia yang telah mening...
1.2M 60.2K 25
Disclaimer: Cerita ini adalah cerita pertamaku yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Nina harusnya tahu sejak awal. Sejak...
12M 743K 55
Sejak orang tuanya meninggal, Asya hanya tinggal berdua bersama Alga, kakak tirinya. Asya selalu di manja sejak kecil, Asya harus mendapat pelukan se...