Cephalotus

rahmatgenaldi tarafından

120K 11.5K 6.6K

❝ Sekalipun tentangmu adalah luka, aku tetap tak ingin lupa. ❞ --- Atilla Solana, Sang Cephalotus. Cewek ta... Daha Fazla

Prologue
1. Atilla
2. Derrel
3. Destiny?
4. Forgiveness
5. Let's Break The Rules (1)
6. Let's Break The Rules (2)
7. Danger?
8. A Bet
9. Broken
10. Heal
BACA!
11. How To Play
12. Problem
13. Atilla Vs Butterflies
14. Revenge
15. Epic Comeback?
16. Meaningless Kiss
17. Consequence
18. Fake Confession?
20. To Be Honest...
21. Coercion
22. Accepted
23. Fail Date
24. Closer
25. The Camp
( VISUAL )
26. Another Catastrophe
27. Resistance
28. Come Out From Hiding
29. Lovely Little Girl
30. Prestige
31. Fall Down
32. Pathetic Dad
33. Worst Prom Night Ever
34. Cheer Up
35. Darker Than Sin
36. Pretty Savage
37. Dignity
38. Cracked
39. Run Away
40. Not Bonnie & Clyde
41. Her Name Is Andrea
42. Neverland
43. A Passionate Night
44. Anxiety
45. Mr. Rabbit & Mrs. Hedgehog
46. Forced To Go Home
47. Destruction
48. Drive Him Away
49. Welcomed
50. Miserable Days
51. Secret Admirer
52. The End
Epilogue
EXTRA CHAPTER - 1
GIVEAWAY !!!
Extra Chapter: Unexpected Hero
PRE - ORDER !!!
SURPRISE !

19. Jealousy

1.3K 169 69
rahmatgenaldi tarafından

Mana yang lebih menyakitkan? Rindu yang tak bertuan, atau cemburu yang tertahan?
—Derrellio Rellio

• • •

Atilla gelagapan di tempatnya. Baginya, sulit untuk terlihat biasa-biasa saja dalam situasi seperti ini. Semua orang menatapnya terdiam. Ia tahu bahwa mereka semua menantikan jawaban keluar dari mulutnya.

Ia menoleh ke belakang untuk melihat ekspresi keterkejutan dari teman-teman dekatnya. Berharap dari sana ia bisa temukan bantuan untuk menjawab. Bukannya itu membuat dirinya mulai berani membalas tatapan Duta, melihat wajah datar milik Derrel membuat Atilla semakin tak berdaya.

Faktanya, tak seorangpun dapat menolak pesona seorang Duta Muhammad. Atilla pun akui itu. Namun, ia kira dirinya masih perlu lebih lama lagi untuk mempertahankan gengsinya pada Duta, ia benar-benar tak menyangka bahwa serangan itu akan lebih cepat dari dugaannya.

Atilla meneguk salivanya, kemudian membalas tatapan Duta dengan ragu. "Lo ngomong apa barusan?"

Duta terkekeh. "Gue tau lo nggak tuli. Lo nggak salah denger. Lo adalah cewek beruntung yang mau gue jadiin pacar tanpa perlu lo ngemis-ngemis kayak yang lain."

"Ta, emang harus banget gue jawab di depan umum kayak gini?" Atilla sedikit mengikis jarak antara dirinya dan Duta saat hendak mengatakan itu.

"Kenapa? Gue bawa mereka semua ke sini biar lo makin yakin kalo penolakan nggak pernah cocok buat gue."

"Kasih gue waktu," desis Atilla, membuat kemurunan yang ada di sana mulai saling membisiki.

"Waktu? Wow." Duta mengangkat tangannya tinggi-tinggi, kemudian bertepuk tangan dengan angkuhnya. "Lo cewek pertama yang bakalan gantung gue kalo itu beneran terjadi. Sayangnya, gue nggak bisa terima itu. Gue cuma mau satu kata keluar dari mulut lo sekarang. Ya, atau tidak."

Semua orang yang menyaksikan semakin gelisah. Setelah suara bisik-bisik itu semakin riuh terdengar, beberapa siswa mulai meneriaki Atilla, lalu tak perlu waktu lama untuk yang lain ikut meneriaki.

"TE...RI...MA! TE...RI...MA! TERIMA! TERIMA!"

"Udah, terima aja! Rejeki nomplok itu!"

"Woy, monster! Nggak usah sok nggak mau lo! Terima aja udah, kita juga tau lo pake pelet, kan?!"

Sekiranya kalimat-kalimat itulah yang terdengar membahana di kantin. Setelah Duta mengangkat tangannya untuk mengisyaratkan semua orang agar lebih tenang, barulah kerumunan itu kembali diam menyimak.

Daneen masih di sana. Wajahnya merah padam. Kalau saja teman-temannya tidak mencekal tangannya sekarang, sudah jelas dia akan maju untuk melabrak Atilla, dan mengamuki semua kerumunan yang ada.

"Lo jangan gegabah, Nin. Kalo lo sampe buat marah tuh monster, dia nggak bakalan mau tanda tangan di surat permohonan maaf kita. Jangan malu-maluin diri lo. Inget. Pamor kita bakalan hancur sehancur-hancurnya kalo lo sampe mengacau di sini. Lo bakalan keliatan trashy banget," bisik Tania pada Daneen, yang langsung diamini oleh teman-temanny a yang lain.

"Iya, Nin. Kita bakalan bersihin wc sampe lulus kalo lo bikin tuh monster nggak mau maafin kita. Lo udah sering banget bikin malu diri lo sendiri cuman gara-gara Duta dekatin cewek. Mau sampe kapan lo begini? Udah, lo tinggal diam aja. Urusan kita ke sini cuma mau minta tanda tangan si monster itu. Nggak usah khawatir, kalopun tuh monster beneran jadian sama Duta, paling dia cuman jadi mainan barunya Duta. Udah, percaya sama gue, nyet. Everything's gonne be alright."

Kalimat Hanna barusan akhirnya berhasil menjinakkan emosi Daneen. Perlahan, cekalan tangan mereka di lengan cewek yang tengah menahan emosi itu melonggar.

Atilla masih diam di tempatnya. Semuanya menunggu. Bahkan Duta seperti makin dalam menghunuskan tatapannya ke manik mata Atilla.

"Gue itung sampe tiga, diam lo gue artiin sebagai jawaban iya," ucap Duta, sebagai satu-satunya suara yang terdengar di sana.

"Satu..."

Atilla menelan ludah. Sebenarnya tanpa perlu didesak seperti ini, Atilla akan menerima Duta dengan senang hati. Namun, bagaimana dengan Derrel? Bagaimana nanti tanggapan teman-temannya? Dan, sekiranya bagaimana tanggapan seluruh siswa yang ada di sini? Sorakan seperti apa lagi yang akan membuat telinganya memanas?

"Dua..."

Atilla memejamkan matanya. Berusaha untuk tidak peduli atas apa yang akan terjadi setelah ia mengatakan ini. "Sorry, gue nggak bisa. Permisi...."

Lalu, Atilla pergi dari sana bersamaan dengan meledaknya sorakan para siswa yang lebih banyak mencaci maki dirinya.

• • •

Bahkan sampai soal ulangan terakhir sudah dijawabnya setengah dengan cara yang seadanya, pikiran Atilla masih menuju pada kejadian tadi pagi.

Atilla mendapati dirinya berada pada penyesalan saat Duta tak mengejarnya seperti yang ia harapkan. Ia sama sekali tidak punya ide apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya. Jatuh cinta? Entahlah. Karena seingatnya, jatuh cinta tak pernah semembingungkan ini. Namun, kenapa Duta selalu berhasil membuatnya berpikir untuk membuka hati, setelah terlalu lama Atilla merasa tak punya hati?

"Heh, kamu yang di depan! Kenapa malah melamun? Cepat kerjakan, waktunya tinggal dua puluh menit!" Lamunan Atilla buyar saat pengawas ruangan menyentaknya dengan seruan itu. Bodohnya, ia tidak sadar bahwa sedari tadi Derrel sudah menatapnya dari pintu dengan gemas. Tatapan cowok itu bisa diartikan Atilla seperti buruan, woy! kenapa malah bengong?!

Dengan terburu-buru, jari Atilla menyusuri kalimat-kalimat yang ada di soal. Ia mencari-cari bagian mana yang jawabannya masih kurang tepat.

Setelah berkali-kali memutar otak untuk mengingat materi yang sebenarnya sudah diajarkan Derrel kemarin, gadis itu mulai menggoreskan penanya di lembar jawaban.

"Waktu habis. Kumpulkan hasil ulangan kalian."

Atilla ingin mengumpati siapa saja sekarang. Setelah itu, ia pasrah dan mengumpulkan hasil ulangannya yang beberapa nomor masih ia jawab asal.

"Rasain. Ulangan malah bengong. Bego," omel Derrel saat Atilla menghampirinya dengan raut wajah kusut.

Atilla tak menjawab. Ia hanya menatap Derrel sinis, lalu berjalan secepat mungkin meninggalkan cowok itu. Atilla sengaja tak menoleh saat Derrel meneriakinya agar cowok itu tahu bahwa dirinya sedang kesal terhadapnya.

Derrel mempercepat langkahnya hingga sejajar dengan Atilla. "Idih. Gitu aja ngambek. Emang tadi mikirin apa sih sampe bengongnya dalem banget gitu? Mikirin Duta? Yaelah, kalo lo bakalan kepikiran gini, tadi kenapa ditolak pujaan hati lo itu?"

Atilla menangkap nada sinis di ujung kalimat Derrel. Itu sebabnya ia menendang tulang keringnya hingga cowok itu meringis di tempatnya.

"Sakit! Dasar psikopat lo!"

"Lagian lo ngeselin banget!" dengus Atilla.

Derrel mengelus pelan tulang keringnya, berharap dengan itu rasa nyeri yang menjalar di sana mereda meskipun sebenarnya sulit. "Gue cuman mau ngasih tau. Duta itu brengsek. Sebrengsek apapun cowok yang pernah lo kenal, Duta bakalan lebih dari itu. Gue nggak suka lo dekat sama dia bukan tanpa alasan," paparnya.

Derrel tidak yakin apakah benar dirinya sedang berbohong atas perasaannya sendiri atau tidak. Dia menyukai Atilla. Namun, akan terdengar terlalu egois jika alasan Derrel melarang Atilla dekat dengan Duta adalah karena dia cemburu. Karena itu, Derrel berbohong. Pada Atilla, terlebih pada dirinya sendiri.

"Gue sih nggak mau maksa lo buat jauhin dia. Tapi... yaudah sih kalo lo nggak mau dengerin saran gue. Semoga aja lo nggak nyesel."

Atilla menghentikan langkahnya. "Eh, tunggu deh. Kok lo ujung-ujungnya kayak nyumpahin gitu sih?! Lo temen gue apa bukan?"

"Justru karena gue temen lo, gue nggak mau lo jadi korbannya si Duta," kilah Derrel.

"Kalo emang lo temen gue, lo dukung apapun pilihan gue. Bukannya malah nyumpahin gini,"

"Gue? Nggak dukung pilihan lo? Bukannya lo sendiri yang nolak dia tadi? Kenapa sekarang malah marah-marah ke gue?"

"Lo juga! Kenapa malah ketus gini?" Atilla menatap Derrel lamat-lamat, lalu menyusuri tiap inchi sudut tubuh cowok ini dengan tatapannya. "Cemburu?"

"Terserah lo aja! Yang penting gue udah ngasih tau. Bagi gue, cewek yang mau kemakan sama gombalan si Duta itu, murahannya udah pake banget!"

"Lo ini kenapa sih?! Andai lo bukan temen gue, udah gue bikin memar tuh muka lo! Enak aja lo ngatain gue murahan!" bentak Atilla tak terima.

"Bodo amat!" Lalu, Derrel berjalan lebih cepat meninggalkan Atilla dengan tangannya mengepal kuat.

Atilla mencak-mencak ditempatnya. Mulutnya mengumpat dengan segala kata-kata kasar. Mulai dari mengabsen nama-nama binatang, sampai mengatakan kata-kata jorok yang tidak senonoh.

"Woy!"

Tiba-tiba, sebuah tepukan di bahunya membuat Atilla tersentak.

"Ih Duta! Suka banget nongol tiba-tiba. Kaget, anjir!"

"Lagian, lo mencak-mencak gitu kayak orang kesetanan. Emang kenapa sih?"

"Abis debat ilmiah sama orang gila."

Duta tergelak mendengar jawaban Atilla yang pada saat mengatakannya masih dengan raut wajah kesal.

"Ada-ada aja lo. Oh iya, gue mau nanya nih, itu jawaban lo yang tadi udah final? Nggak mau direvisi lagi, gitu?"

Atilla tersenyum kecil. "Emangnya, apa alasan kuat supaya gue mau jadi pacar lo?"

"Karena gue ganteng, maybe? Udahlah, apasih susahnya jadi cewek gue?"

Atilla kembali berjalan mendahului Duta yang jelas-jelas akan mengekorinya.

"Emang bagi lo harga diri cewek serendah itu, sampe-sampe lo angkuh banget kayak gini? Asal lo tau..." Atilla memutar-mutar jari telunjuknya di kancing seragam Duta. "Lo nggak ada apa-apanya sama gue kalo soal keangkuhan."

"Oh ya?" Duta menangkap jemari Atilla yang bermain-main di kancing kemejanya. "Kalo gitu kita bakalan jadi pasangan serasi. Would you?"

"Coba aja lebih keras lagi. Semoga beruntung." Hanya itu, lalu Atilla membalikkan badannya sambil masih menatap Duta dengan tatapan menggoda.

"Tunggu." Duta menarik tangan Atilla saat gadis itu hendak berjalan meninggalkan parkiran sekolah. "Biasanya, gue liat lo pulang bareng sama si Gantutah itu. Kok tumben hari ini nggak?"

Wajah Atilla yang semula tersenyum pongah, berubah menjadi masam karena tak menyangka bahwa Duta akan membahas seseorang yang tengah membuatnya dongkol hari ini.

"Males banget. Dia tadi marah-marah nggak jelas gitu. Lagi mens kali," ocehnya.

Lagi-lagi Duta terkekeh, membuat Atilla kesusahan menjaga ekspresinya agar terlihat biasa saja di depannya. "Lagian lo sih, pake temenan sama orang aneh segala. Kayak nggak ada manusia lain aja,"

Atilla terdiam. Entah kenapa, ia merasa sedikit terusik dengan kalimat Duta barusan. "Nggak gitu juga. Dia anaknya baik, kok. Dia banyak bantuin gue buat beradaptasi di lingkungan baru."

"Yaudah, nih. To the point aja, ya. Gue mau anterin lo pulang. Boleh dong, pasti?"

Atilla tertawa sambil menyikut Duta. "Tuh, kan belagu! Yaudah, ayok."

Lalu, Duta hendak membuat jantung Atilla berhenti berdetak dengan menggenggam tangannya sampai di depan mobil.

Saat hendak menyalakan mesin mobilnya, gerakan Duta terinterupsi oleh dentingan ponselnya yang menandakan sebuah pesan baru saja datang dari Bastian.

Bastian Anjing:
Lo boleh senang karena Atilla mau diantar pulang sama lo. Tapi, jangan sampe lupa transferin sepuluh juta buat gue sama Alex. Perjanjiannya, lo jadian sama dia hari ini. Tapi buktinya, lo dimaluin di depan anak seangkatan. Gue tunggu transferannya, ya sayang."

You:
"Lo tau persis kalo gue nggak pernah pusing soal duit. Gue transfer pas sampe rumah. Tapi soal Atilla, gue masih mau main-main sama dia. Gue bakalan dengan senang hati buktiin ke dia, kalo gue emang nggak pernah pantas buat ditolak."

Setelah menekan tombol kirim di layar, Duta menyimpan ponselnya di atas dashboard, kemudian melajukan mobilnya menuju rumah Atilla.

• • •

"Anjing nih hp. Orang lagi enak-enak tidur juga," umpat Atilla saat ponselnya berdering hingga menyeretnya keluar dari alam mimpi.

Tanpa melihat siapa pemanggilnya, Atilla langsung menekan tombol hijau lalu menempelkan ponsel ke telinga saat matanya masih terpejem.

"Halo?"

"Oi, Tilla! Suara lo serak, baru bangun?"

"Ini siapa?" tanya Atilla dengan nada malas. Pikirnya, ini salah satu perbuatan secret admirer sialan yang akhir-akhir ini menerornya.

"Ini gue, Arjun. Parah lo nggak hafal suara gue."

Atilla terkesiap. Matanya refkleks membuka lebar. Dengan rasa kantuk yang telah menguap entah ke mana, Atilla bangkit untuk duduk bersila di atas kasurnya.

"Kenapa, Jun? Kok tumben nelpon gue?"

"Ini kita lagi di rumah Arkan. Belajar, besok kan ulangan Fisika. Ini kita mau ajakin lo belajar bareng."

"Belajar bareng? Di rumah Arkan? Ogah!"

"Woy, Kan, sini!" Kening Atilla mengernyit saat telinganya mendengar Arjun memanggil seseorang dari sana. "lo aja deh yang ajakin. bujuk sekalian, mungkin dia nggak enak karna belajarnya di rumah lo. Secara, lo berdua kan bak anjing dan kucing."

Saat di speaker ponselnya terdengar suara krasak-krusuk, bisa Atilla pastikan bahwa ponsel Arjun sudah berpindah ke tangan Arkan.

"Halo?" sapa Arkan dari sana, tentu masih dengan nada cuek.

"Apa lo? Mau berantem sama gue lewat telepon?!"

"Bacot. Buru ke sini. Ntar biar Arjun yang jemput lo. Lo siap-siap aja. Jadi cewek repotin banget,"

"Repotin apaan maksud lo hah? Emang gue ada minta dijemput sama lo? Gini nih kalo ngomong nggak pake diksi."

"Bener-bener lo ya, udah dikasih hati, mintanya jantung .Yaud—"

"Hadehh," Atilla terkikik saat mendengar Arjun sudah merebut kembali ponselnya dari Arkan. "Malah beneran berantem di telepon lo berdua. Udah, lo siap-siap, ya. Bentar lagi gue jemput. Kita semua udah pada ngumpul di sini. Bahkan Derrel sama Arkan udah banyak ngerjain latihan soal,"

Deg.

Entah kenapa, darah Atilla seperti berhenti berdesir saat nama Derrel disebut. "Oh, ada Derrel juga?" tanyanya.

"Iya, kenapa? Mau ngomong sama dia? Bentar ya, gue panggilin.

"Eh nggak usah. Nggak usah. Yaudah kalo gitu, gue siap-siap dulu."

"Oke. Bentar lagi gue otw nih, lo siap-siapnya jangan kelamaan. Babayyy!"

Lalu, Atilla memutus panggilan telepon. Dengan pikiran kalut, Atilla masuk ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya di wastafel. Jadi memang seperti ini rasanya? Bertemu dengan seseorang yang tengah berselisih dengan kita, memang akan secanggung inikah rasanya?

• • •

Dengan langkah kaki yang terburu-buru, Atilla menuruni tangga agar sesegera mungkin sampai di depan rumah.

"Sorry, ya, agak lama. Ini tadi gue nyari tindik," ucap Atilla sembari menunjuk hidungnya.

"It's ok," sahut Arjun yang langsung membukakan pintu mobil untuk Atilla, lalu memutari mobilnya menuju kursi kemudi.

"Ini udah nggak ada yang ketinggalan lagi, Til?"

"Udah nggak ada, kok. Tinggal gas aja,"

Tanpa menunggu perintah lebih lanjut, Arjun menyalakan mesin, kemudian menginjak pedal gas agar segera sampai ke rumah Arkan.

"Oh iya, Til. Mm.. sebelumnya, gue mau minta maaf kalo pertanyaan gue ini rada sensitif," ucap Arjun, berniat untuk membahas sesuatu yang dapat mencegah hening menyertai mereka sampai ke tujuan.

"Apaan tuh? Tanya aja, gapapa."

"Mm... lo kenapa nolak Duta tadi? Sekolah tadi heboh banget loh."

Atilla terlihat berpikir cukup lama sebelum menjawab, seperti tengah mencari-cari jawaban yang melenceng dari kebenarannya. "Kenapa, ya? Nggak tau, deh. Mungkin karena anaknya belagu, jadi gue nggak suka."

"Mm.. sorry. Bukan karena lo nggak enak sama kita, kan? Terutama sama Derrel?"

Atilla terbungkam. Ia terdiam untuk waktu yang cukup lama. "Sebenarnya, sih. Hehe," Dan akhirnya ia memilih untuk mengakui kebenarannya.

"Derrel juga tadi marah-marah nggak jelas gitu ke gue. Dan itu bukan pertama kali. Waktu gue jalan sama Duta dia marah-marah juga. Dia sampe diemin gue dua hari. Emang sih, gue salah karena bohong ke dia. Gue bilang nggak bakalan mau deket-deket sama yang namanya Duta. Tapi, emang harus banget ya dia semarah itu?"

"Dulu kita semua nggak sebenci ini ke Duta. Terutama Derrel. Tuh anak susah banget buat benci orang, sekali membenci, pasti karena masalahnya fatal banget."

"Emang ada apa sih sama Derrel dan Duta?"

Arjun memutar setirnya untuk membelokkan arah mobil. "Lo udah denger kabar tentang Daneen yang udah digituin sama Duta, kan? Sebenarnya Daneen waktu itu hampir dikeluarin di sekolah kalo seandainya orang tuanya bukan salah satu donatur terbesar di sekolah. Dia ketahuan hamil. Dan yang hamilin itu si Duta. Daneen ketahuan ke klinik kandungan buat gugurin kandungannya, dianterin sama Derrel. Dan katanya yang cepuin si Derrel, padahal mah kagak. Daneen sama Derrel dulu akrab banget walaupun Daneen cuma anak angkat. Tapi semenjak Duta ninggalin Daneen dengan alasan dia tahu kalo Derrel yang cepuin mereka, Daneen jadi benci banget sama dia. Padahal itu cuma akal-akalannya Duta biar dia bisa putus sama Daneen. Dan semenjak masalah itu juga, Derrel semakin dikekang dan ditekan untuk buat bangga nama keluarga setelah Daneen gagal ngelakuinnya."

Atilla mengerjap beberapa kali. "Ih mumet banget gue denegerinnya. Nggak ngerti. Bisa lebih ringkas lagi, nggak?"

Arjun tertawa renyah. "Maaf, wkwkwk. Gue nggak pinter ngejabarin sesuatu. Tiap presentasi di kelas aja gua nggak pernah mau jadi moderator. Gini, Derrel benci sama Duta karena gara-gara Duta, Daneen yang dulu sayang banget sama Derrel, jadi benci. Terus, orang tuanya Derrel makin ngekang Derrel buat bisa ngebanggain mereka, karena Daneen udah gagal ngelakuin itu. Paham?"

Atilla menyengir. "Iya, paham, hehe."

Obrolan mereka akhirnya mengalir ke topik-topik yang lain. Mulai dari tentang betapa bijaknya Sammy, sampai perasaan Jacklin yang tak terbalas oleh Arkan.

Beberapa saat setelah itu, mereka telah sampai di rumah Arkan. Saat Arjun membukakan pintu untuknya, Atilla menapakkan kakinya dengan ragu. Jujur saja, dia tidak pernah segelisah ini untuk bertemu Derrel.

"TILLAAA...!!!" Jacklin yang pertama kali menyadari kedatangan Atilla langsung menghambur dengan pelukan.

"Apasih, Lin. Lebay deh," Atilla melerai pelukan Jacklin, kemudian ikut duduk melantai di samping Sammy. Ada sebuah rahasia yang disembunyikan Atilla. Sejak memasuki pintu, ia bertanya-tanya. Di mana Derrel? Bukankah dia juga di sini?

• • •

Sorry sempat aku unpublish, wkwkwk. Soalnya lupa nulis author note tadi:(

Aku nggak mau nulis A/N panjang-panjang kali ini.

Aku cuma mau tau gimana pendapat dan perasaan kalian selama membaca cerita sampai sejauh ini, sesulit itu kah?🥺

Vote dan komennya jangan lupa, see youuu.

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

2.7K 146 8
⚠WARNING⚠ Ini khusus medeiaros shipper yaa, karna aku ada dikapal itu jadinya berfokus di Eros/Iaros walaupun dia aslinya ga dikasih route hiks (rela...
50.8K 4.8K 26
[TAMAT] Mova, ex-queen bee dan ratu lapangan tenis, kehilangan segala yang ia miliki dalam satu waktu: popularitas, kedudukan, hingga 2 orang yang pa...
841 4 1
Setelah berhasil melawan sakitnya kanker ginjal, Richa kembali pulang ke Indonesia dengan ginjalnya yang tersisa satu, juga harus merelakan sang (man...
5.7M 243K 56
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...