Ineffable

By Ayyalfy

225K 28.9K 8.3K

Ineffable (adj.) Incapable of being expressed in words. . . Kisah cewek yang ditembak oleh pemilik hotspot be... More

Prolog
1 | Orang Ganteng
2 | Iklan KB
3 | Dasi
4 | Akrobatik
5 | Friendzone
6 | Bu Jamilah
7 | Adik Ipar
8 | Monyet Terbang
9 | Hotspot
10 | Bungkus!
11 | Putri Tidur
13 | Mr. Sastra II
14 | Laki-laki Bertopeng
15 | Ice Cream
16 | Mamang Rossi
17 | Grup Sepak Bola
18 | Don't Go
19 | Bad Genius
20 | Pergi
21 | Dendam
22 | Bunuh Diri
23 | Berantakan
24 | Cinta Segitiga
25 | Memilih
26 | Hotspot 'Lagi'
27 | Andra
28 | Makna Cinta
29 | Ich Liebe Dich
30 | Bubble Tea
31 | Centang Biru
32 | 9u-7i > 2(3u-3i)
33 | Sundel Bella
34 | Couple Al
35 | Gelang Hitam
36 | Uncle Rafka
37 | Bolos
38 | Pak Moderator
39 | Kejutan
40 | My Lil Sister
41 | It's Only Me
42 | Tom & Jerry
43 | The Moon is Beautiful, isn't it?
44 | The Sunset is Beautiful, isn't it?
45 | Meant 2 Be
EPILOG
EXTRA PART I

12 | Mr. Sastra

5.2K 633 121
By Ayyalfy

Punten, ini bayangan Pak Rafka di otak Author:)

Happy reading!!!

• • •

ALFY

Usai berpamitan dengan ayah dan ibu, aku segera melesatkan diri ke luar rumah. Di sana Pak Rafka sudah menungguku di atas motornya. Hari ini kami berangkat ke sekolah bersama. Tiba di depan laki-laki itu, dia malah menertawaiku.

Aku menatapnya bingung. "Kenapa?"

"Kalau penampilan kamu begitu, aku berasa mau antar orang meriang ke rumah sakit." Dia masih saja tertawa sambil menunjuk masker, kaca mata, serta jaket tebal yang membungkus tubuhku.

"Apanya yang salah?" tanyaku lagi. "Aku nggak mau kalau sampai ada orang di sekolah yang lihat kita boncengan. Ini cara paling aman biar nggak ada yang ngenalin aku."

Akhirnya dia berhenti tertawa dan mengangguk paham. "Iya-iya. Tapi lucu ya backstreet gini. Seru dan menantang."

"Menantang palamu belang!" Aku mengambil helm di tangannya. "Ayo, cepet. Nanti telat!"

Setelah aku naik ke boncengannya dan sempat ada drama yang memaksaku untuk berpegangan pada pinggangnya, kami pun berangkat. Sebenarnya acara berangkat bersama ini sangat tidak efisien waktu bagi Pak Rafka. Pasalnya dia harus berangkat lebih awal untuk menjemputku karena jarak yang ditempuh dari rumahnya ke sekolah justru lebih dekat ketimbang jarak untuk sampai ke rumahku. Mungkin ini yang dimaksud dengan bucin.

"Kalau kamu pegangan pundak gitu, aku berasa tukang ojek, Al," gerutunya saat kami berhenti di lampu merah.

"Lho? Emang tukang ojek, kan? Fungsi cowok dalam hubungan pacaran kan emang jadi tukang ojek ceweknya."

"Awas aja kalau nggak dibayar," ancamnya kemudian.

"Dih, perhitungan nih ceritanya?" Aku menatap laki-laki itu dari spion motornya. "Tapi nggak apa-apa juga, sih. Mau dibayar berapa?"

"Dibayar pake cinta dan kasih sayang," sahutnya sambil cengengesan.

Aku memutar bola mata dengan malas. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah. Setelah menghabiskan hampir lima belas menit lamanya, kami akhirnya sampai. Tidak, tidak sampai tepat di gerbang sekolah. Karena aku meminta untuk diturunkan di jarak dua ratus meter sebelum sampai ke sekolah.

Pak Rafka memberhentikan motornya di pinggir jalan. Aku turun dari boncengannya setelah mengamati sekitar dan memastikan tidak ada murid sekolahku di sekitar kami.

"Kenapa nggak sampai sekolah aja, sih?" gerutu laki-laki itu.

"Bapak mau kehilangan fans karena ketahuan pacaran sama saya?" tanyaku.

"Kok logatnya berubah jadi formal lagi?" kritiknya saat menyadari bahwa aku kembali memanggilnya dengan sebutan Bapak. "Lebih baik kehilangan fans dari pada kehilangan kamu."

Aku berdecak. "Gombal mulu. Udah sana pergi!"

"Ya tapi itu helm lepas dulu kali. Salting boleh, tapi nggak sampai lupa buka helm, dong!" ledeknya yang membuat pipiku memanas.

Aku pun melepaskan helm di kepalaku dan memberikan benda bulat itu padanya. "Bye!"

"Calon istri durjana. Salim dulu, kek!" gerutunya yang masih bisa kudengar meski aku sudah meninggalkannya beberapa langkah.

Diam-diam aku menyimpan senyum. Kejadian-kejadian seperti ini jelas tidak pernah ada di bayanganku sebelumnya. Pacaran dengan seorang guru di sekolah dan backstreet seperti ini.

"Duluan ya, Cantik!" ejek laki-laki itu ketika dia dan motornya berjalan mendahuluiku. Aku hanya menjulurkan lidah yang membuat dia tertawa.

Punggung laki-laki itu semakin terlihat menjauh, membuat kehampaan segera menyergapku. Tidak bisa kupungkiri bahwa bersamanya selalu menciptakan rasa hangat tersendiri. Entah karena guyonan atau gombalan-gombalan recehnya, yang jelas itu bisa menjadi hal yang kurindukan saat sedang tidak bersamanya.

Wah, Rafka gila! Sebegininya efek yang dia berikan padaku.

Setelah berjalan dua ratus meter jauhnya, aku akhirnya tiba di sekolah. Ini cukup menguras banyak keringat, terlebih aku memakai jaket tebal yang rasa-rasanya sangat tidak pas untuk matahari yang begitu terik pagi ini. Aku pun melepas jaket serta masker, dan tanpa sengaja mataku bertubrukan dengan pemilik punggung yang belum sepuluh menit ini memujiku dengan panggilan cantik.

Lagi-lagi aku harus melihatnya dengan perempuan yang harus kuakui lebih cantik dariku itu. Aku memutuskan untuk menyampirkan jaket pada tali ranselku dan terus berjalan sambil berusaha mengabaikan pemandangan itu.

Aku berjalan dengan kepala sedikit tertunduk, menghindari melihat mereka yang tampaknya semakin seru dalam obrolan. Perlahan suara mereka semakin terdengar, aku bisa mendengar laki-laki itu tertawa dengan Bela yang menjadi penyebabnya. Tawa yang sama saat aku menjulurkan lidah padanya tadi.

Peganganku pada tali tas semakin erat. Dan tepat, saat aku mendongakkan kepala, kedua mata kami bertemu. Dia tampak terkejut melihat wajahku yang pias. Namun tidak sampai lima detik kami bertatapan, tubuhku oleng. Seseorang merangkulku tiba-tiba. Saat kepalaku menoleh ke samping, cengiran lebar setengah dungu milik seseorang langsung tertangkap mataku.

Alibaba. Dia datang di waktu yang tepat.

"Selamat pagi, Pemilik seribu kecantikan," sapanya membuatku mual.

Tapi tak urung aku tersenyum juga. "Kenapa harus seribu?"

"Karena Alfy dalam bahasa Arab artinya seribu," jawab Ali.

"Terus cantiknya?"

Ali mengendikkan bahu. "Ngarang aja. Ya kan nggak mungkin kalau gue panggil lo pemilik seribu kontrakan."

Aku tertawa karena keabsurdan cowok itu. Kami pun akhirnya berjalan berdampingan. Aku bahkan melupakan sosok Pak Rafka yang terakhir kali kulihat tengah menatap datar ke arahku.

"Tumben lo nggak telat," ucapku yang merasa heran karena biasanya Ali selalu menjadi teman setia tiang bendera akibat hukuman yang didapatnya setiap hari.

Ali tampak ikut keheranan. "Iya, ya? Tumben banget. Gue rasa nggak lama lagi matahari terbit dari barat deh, Al. Lihat gue yang nggak telat dateng ke sekolah hampir sama mustahilnya dengan lihat sungai eufrat jadi emas."

"Sembarangan banget lo kalau ngomong, Malih!"

Ali hanya cengengesan seperti kebiasaannya. Saat sedang seru-serunya kami mengobrol, rangkulan Ali tiba-tiba terlepas, membuat kami sontak menoleh ke belakang. Dan menatap pelaku yang barusan menarik paksa tangan Ali menjauh.

Pak Rafka?

Aku menatapnya tak percaya.

"Masih di sekolah. Nggak pantas rangkul-rangkulan seperti itu," ucapnya masih dengan nada bersahabat tapi matanya terlihat berkilat marah.

Tubuhku mendadak kaku. Namun rupanya Ali merasa biasa-biasa saja atas teguran guru laki-laki itu. Ali cengengesan dan meminta maaf setelahnya.

"Maaf, Kak. Lain kali kalau di sekolah nggak lagi, deh." Ali menunduk sopan. Lalu setelah itu dia menarik lenganku untuk kembali berjalan. "Ayok, Al. Kami duluan, Kak."

Ali bego. Sumpah, Ali bego!

Dia tidak lagi merangkulku tapi malah berganti menggenggam tanganku. Dan bodohnya aku hanya pasrah-pasrah saja ditarik laki-laki itu dengan tatapan dingin Pak Rafka yang mengiring langkah kami.

• • •

Hubungan backstreet ternyata tak semudah apa yang ada di bayanganku. Baik aku maupun Pak Rafka dituntut untuk selalu berhati-hati dalam bersikap. Saat bertemu, kami hanya saling sapa seadanya. Saat mengobrol, kami berusaha untuk senormal mungkin di depan orang-orang. Terlebih saingan-saingan di depan mata bukan sedikit jumlahnya. Siapa yang tidak mengenal Pak Rafka? Semua siswi memujanya. Dan aku harus kebal telinga saat mendengarkan pujian-pujian mereka yang mengatas namakan laki-laki itu.

"Pak, nggak bosan apa?" tanyaku pada laki-laki itu. Kami sedang berada di rooftop, duduk bersebelahan seperti biasa sambil menikmati pemandangan langit sore.

"Bosan apa?" tanyanya balik.

"Jadi orang ganteng."

Dia langsung terbahak keras. "Sekarang aku tanya balik, kamu nggak bosan apa jadi orang cantik?" tanyanya setelah puas tertawa.

"Saya nggak merasa cantik."

"Merendah untuk meroket."

Aku berdecak. "Saya serius tau. Bapak nggak bosan apa jadi orang ganteng? Setiap hari dimodusin cabe-cabean. Saya aja bosan lihatnya!"

Pak Rafka mengendus-endus ke arahku. "Bau-bau terbakar api cemburu di sini."

Kesal, aku mendamprat lengannya cukup keras. Laki-laki itu meringis. "Jual mahal dikit kek jadi cowok. Cool gitu sekali-kali! Biar nggak ada yang sembarang nempelin."

"Emang kenapa kalau ada yang nempelin?" tanyanya, menyebalkan.

"Yaudah sana nempel sama cabe-cabean!" tukasku sambil bersiap untuk bangun, namun tangan laki-laki itu langsung menahanku dan membuatku kembali terduduk di sebelahnya.

Pak Rafka menatapku, genggaman tangannya mengerat. "Dari tadi kamu sebut cabe-cabean terus. Siapa sih cabe-cabeannya?"

Aku membuang tatapan darinya. "Pikir aja sendiri!"

Puncak kepalaku diusapnya pelan. Rasa kesalku sedikit teralihkan karena melihat laki-laki itu tersenyum lebar. Lesung pipinya seperti membius kesadaranku. "Kayaknya aku belum cerita kalau Bela itu sepupunya Mbak Ratna," ucapnya kemudian.

Aku langsung menatap ke arahnya, terkejut.

"Aku merasa nggak enak sama Mbak Ratna kalau aku jutekin Bela. Dia juga nitip Bela ke aku dan minta aku buat ngawasin Bela di sekolah. Kamu nggak tahu kan alasan Bela pindah sekolah ke sini karena apa?"

Kepalaku jelas mengggeleng. "Nggak tau, nggak mau tau, dan nggak pernah mau tau!"

Pak Rafka mencubit pipiku pelan. Dia menatapku menahan gemas. "Dengerin dulu, sayang. Biar kamu nggak salah paham lagi."

"Oke-oke."

"Bela pindah sekolah karena di sekolah sebelumnya dia dapat perlakuan buruk dari teman-temannya. Dia dari keluarga kalangan atas, kamu tau itu, dan teman-temannya memanfaatkan kondisinya. Emang klasik banget sih, tapi kenyataannya gitu. Bela diperalat sebagai dompet berjalan mereka, kalau nggak dituruti Bela nggak ditemani. Pernah sekali dia memberontak, Bela malah di-bully habis-habisan yang membuat Bela punya trauma berat. Satu tahun dia berhenti sekolah karena traumanya itu dan baru mencoba untuk sekolah kembali di tahun ini."

Tak pernah terlintas dalam pikiranku kalau Bela mempunyai masa lalu seperti itu. Sejauh yang aku tahu dia adalah siswi yang humble, terbukti dengan banyaknya teman di sekelilingnya. Tapi harus aku akui pergaulan murid di sekolah ini memang normal-normal saja. Tidak ada istilah senioritas, kasta, bully membully, atau hal aneh lainnya. Kukira itu hanya ada di sinetron tapi ternyata ada juga di dunia nyata.

"Jadi, Bela ngulang satu tahun?" tanyaku.

Pak Rafka mengangguk. "Dia seharusnya satu angkatan sama kamu."

Aku ber-oh ria.

"Jangan cemburu lagi, ya, cantik. Walaupun di dunia ini ada 1000 Bela, satu yang kayak kamu udah cukup buat aku."

"F*ckboy detected."

Dia berdecak kesal. "Semenjak ada istilah f*ckboy, ketulusan seorang laki-laki jadi nggak berharga sama sekali di mata cewek. Kesel tau nggak!"

Aku terkekeh melihat wajah tertekuknya. "Nggak semua ketulusan harus pakai gombalan, kan?" Tanganku bergerak merapikan dasinya yang sedikit berantakan. "Cewek tuh maunya lihat tindakan, bukan cuma omongan."

Pak Rafka menahan tanganku, kami bertatapan. "Mau aku kasih tindakan apa biar kamu percaya?"

Aku berpikir sejenak. "Loncat dari sini ke bawah, gimana?"

"Berdua ya tapi?" tawarnya.

"Ogah!" tukasku membuatnya terkekeh.

"Kita belum nikah, jangan mati dulu. Mending duduk berdua kayak gini aja. Pegangan tangan, mandangin senja, kurang apa lagi coba? Udah Ar-Rahman ayat 13 banget ini."

Aku hanya tersenyum memandangi genggaman tangan kami yang semakin mengerat. Bukankah ini semua terlalu cepat? Bisakah aku percaya kalau ini akan tetap berjalan baik-baik saja sampai akhirnya?

• • •

Ketika pernak-pernik kemerdekaan sudah mulai menghiasi gedung sekolah, itu artinya aku sudah berada di pergantian tahun usiaku. Lima belas agustus, dua hari sebelum hari peringatan kemerdekaan Indonesia adalah hari bersejarah untukku. Hari manusia malang sepertiku lahir ke dunia, meski tidak bisa kupastikan ini benar-benar hari kelahiranku atau bukan. Sebab bisa saja hari ini adalah hari di mana bayi Alfy kecil dibuang ke panti asuhan.

Bisa saja, kan?

Maka tidak aneh bagiku jika tidak menganggap ulang tahun sebagai hari yang spesial. Malah bisa dibilang aku sangat membenci hari ini.

Tidak ada yang berbeda juga dari hari ini, sama seperti hari biasanya. Tidak ada lagi kejutan dari teman sekelas setelah kejadian ulang tahunku di tahun kemarin. Ketika Dila dengan mulut kurang akhlaknya membongkar identitasku sebagai anak panti di hadapan semua teman-temanku. Mungkin teman-temanku tidak mau mengingatkanku dengan kejadian itu. Kejadian yang membuatku terlihat menyedihkan di mata semua orang.

Semua berjalan normal seperti biasa. Mengobrol dengan TKF, bercanda sepuas mungkin di jam kosong, tanpa ada satu pun yang mengungkit tentang hari ulang tahunku. Namun rupanya ada yang diam-diam aku harapkan. Pak Rafka. Laki-laki itu bahkan tidak mengajar di kelasku hari ini. Tanpa ada kabar sama sekali yang kudapat darinya.

"Kak Rafka kok nggak masuk, ya?" tanya Via saat kami sedang mengobrol di dalam kelas.

Aku hanya mengendikkan bahu.

Sampai sekolah berakhir tak ada satu pun pesan darinya. Kegelisahanku semakin bertambah saat aku menyadari bahwa kehadiran Bela juga tidak terlihat hari ini. Mereka seperti sedang bekerja sama untuk tidak terlihat olehku. Itu konspirasi paling konyol yang membuatku kesal sendiri.

Sebelum pulang aku menyempatkan untuk mengunjungi rooftop terlebih dahulu. Berbekal dengan kunci yang kupinjam dari Pak Enjun, aku mendatangi tempat itu seorang diri. Tiba di sana aku melihat bahwa langit pun mendukung perasaanku hari ini. Gumpalan awan hitam terlihat mengusai langit dan menciptakan mendung.

Aku mengeluarkan sebuah foto kusam yang selalu kubawa setiap hari. Foto kecilku yang terlihat bahagia memamerkan gigi ompongnya. "Selamat ulang tahun, Alfy," ucapku pelan.

Foto itu aku dapat dari ibu, beliau bilang pemilik panti yang memberikan itu padanya. Foto saat usiaku berumur 3 tahun, dua tahun sebelum ibu dan ayah mengadopsiku. Aku selalu membawa foto itu, berharap ada keberanian untuk menanyakan kepada Bu Rahma-penjaga panti asuhan rindu kasih-untuk mencari tahu siapa kiranya orang tua kandungku.

Namun sampai detik ini, aku tidak pernah berani untuk menanyakannya.

Seperti tahu kalau aku sedang memikirkannya, ponselku bergetar dan terlihat nomor milik ibu yang menelponku. Aku mengangkatnya.

Tanpa ucap salam lagi suara serak ibu menyapa gendang telingaku. "Alfy, pulang sekarang."

"Ada apa, Bu?"

"Ayah kecelakaan."

Jantungku terasa berhenti berdetak. Ayah!

• • •

RAFKA

"Saran gue sih lo harus mulai kurangin konsumsi obat selagi lo masih bisa ngendaliin diri."

Gilang menyerahkan satu tabung kecil berisi obat yang sangat gue hapal bentuknya. Gue langsung menerimanya dan memasukkannya ke dalam saku celana. "Siap. Akhir-akhir ini tidur gue normal, kok."

Laki-laki berjas putih dengan stetoskop yang menggantung di lehernya itu tersenyum meledek. "Lagi falling in love kan lo? Basi banget."

"Absolutely. Makanya tidur gue normal karena setiap malamnya gue mimpi indah."

"Asal jangan mimpi basah."

Celetukan Gilang membuat kami berdua tergelak. "Sarap. Dokter macam apa lo?"

Gilang menyeringai. "Dokter macam-macam."

Gue memiliki beberapa teman yang berprofesi sebagai dokter, dan Gilang ini adalah salah satunya. Anggap saja Gilang adalah dokter pribadi gue yang biasa gue kunjungi untuk konsultasi selama beberapa bulan sekali. Kebetulan hari ini gue memutuskan untuk konsultasi padanya dan terpaksa mengambil cuti mengajar.

Sama sekali bukan karena gue mengidap penyakit serius. Gue hanya sering insomnia dan karena gangguan itu gue terpaksa harus mengonsumsi obat tidur dengan dosis yang Gilang berikan.

"Kalau gitu gue cabut dulu, ya. Thanks, btw!"

"Yoi. Salam buat pacar baru lo yang bikin lo mimpi indah itu."

Gue pun meninggalkan ruangan Gilang dan karena ucapannya itu gue jadi teringat dengan Alfy. Rasa bersalah langsung menghampiri gue karena hampir seharian ini gue belum mengabarinya. Dari pagi gue sudah disibukkan dengan mengantar Mbak Ratna untuk memeriksakan kandungannya karena kakak gue ada rapat wali kelas dadakan di sekolahnya. Antre pemeriksaan ibu hamil juga lumayan lama, dan kakak gue baru muncul setelah adzan dzuhur. Setelah menemani Mbak Ratna gue baru lanjut konsultasi dengan Gilang.

Gue mengirimkan pesan pada Alfy namun rupanya WhatsAppnya tidak aktif, ketika gue telepon pun hanya suara operator yang menjawab.

"Pulsa anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini."

Bego. Gue nggak ada pulsa ternyata.

Gue pun mengecek Instagram Alfy, berharap bisa mengetahui aktifitasnya hari ini dari story-storynya. Namun nihil. Dan gue malah melihat Instagram story milik sahabatnya. Itu sebuah video singkat yang berisikan ... Alfy ulang tahun?

Dalam video singkat itu Alfy terlihat kesal karena habis dikerjai. Dilihat dari lokasinya, sepertinya acara kejutan itu diadakan di rumah Alfy. Teman-temannya membawakan kue dan memaksanya untuk meniup lilin.

"Pada tega lo ya bersekongkol sama ibu gue! Segala pake bilang ayah gue kecelakaan!" gerutu perempuan yang masih berseragam lengkap itu. Meskipun dia terlihat kesal, gue bisa melihat ada kilatan bahagia di dalam matanya.

Dan gue di sini sebagai pacarnya justru tidak mengingat sama sekali tentang hari bahagianya ini.

Gue segera bergegas meninggalkan rumah sakit sambil memikirkan apa kiranya hadiah yang akan gue berikan pada pacar gue itu. Karena otak gue terlalu buntu, gue mencari referensi dari internet. Saking fokusnya gue memainkan ponsel, gue sampai menabrak seseorang di lorong rumah sakit.

"Maaf, saya tidak-" Kalimat gue terputus karena melihat siapa orang yang gue tabrak. Butuh beberapa saat bagi gue untuk bisa mengingat siapa dia.

Perempuan berpakaian pasien itu terkejut melihat gue. Sudah lama gue tidak melihat kemunculannya. Dan rupanya kami dipertemukan lagi di waktu yang tidak tepat seperti ini.

"Kakak?"

Panggilan itu. Gue benci mendengar panggilan itu darinya. "Maaf, saya tidak sengaja menabrak anda. Dan ... berulang kali saya katakan, saya bukan kakak anda, permisi."

Mungkin gue terlihat sangat jahat sekarang. Tapi perempuan yang Alfy bilang bernama Wulan itu benar-benar membuat gue muak bahkan sekadar untuk melihatnya. Ternyata dia seorang pasien rumah sakit. Apakah dia pasien pengidap demensia? Dan mengaku-aku bahwa dia adalah adik gue?

Usai mengucapkan permintaan maaf, gue pun segera berlalu. Mengabaikan mata sendu milik perempuan itu dan gerutuan suster yang mendampinginya.

Tiba di parkiran, gue malah mendapatkan pesan dari Mbak Ratna yang membuat kekesalan gue bertambah.

Kakak Ipar:
Rafka, kamu masih di rumah sakit, kan?
Bisa tolong antar Bela pulang sekalian?
Dia katanya baru selesai konsultasi dengan dokternya. Bisa ya, Raf?

Gue mengembuskan napas. Semakin bertambahlah kesalahan gue pada Alfy hari ini.

• • •

Taman komplek.

Begitulah calon ibu mertua gue bilang ketika gue menanyakan dimana keberadaan Alfy. Ini sudah menujukkan pukul delapan malam, ngapain cewek itu pergi ke taman? Dan kata ibunya dia ingin menemui seseorang. Siapa?

Gue memilih untuk menyusul Alfy ke taman itu langsung. Gue nggak mau membuang waktu lebih banyak lagi. Dengan buket bunga mawar di tangan, gue menyusuri jalan dengan berjalan kaki. Taman itu katanya tidak terlalu jauh dan ternyata memang dekat, karena kurang dari lima menit gue sudah sampai di sana.

Taman itu terlihat sepi. Wajar, hujan baru saja mengguyur bumi. Bahkan gue bisa merasakan jaket yang gue pakai sekarang masih terasa basah karena melawan hujan tadi. Badan gue menggigil sesekali saat angin malam menyergap. Gue tahu pengorbanan ini nggak seberapa dengan kesalahan gue pada Alfy hari ini.

Dan sepertinya gue memang nggak akan bisa membayar kesalahan itu padanya. Gue terlalu telat. Sangat telat.

Alfy sedang bersama seseorang dan ... mereka tengah berpelukan.

Kaki gue memberat di tempat. Mata gue tak sanggup mengedip ketika melihat pemandangan itu. Pemandangan yang membuat gue tanpa sadar menahan kepalan tangan di samping badan.

Sudah seharusnya gue sadari ini sejak awal, bahwa kisah mereka memang belum selesai.

Tubuh gue masih setia di tempat, sampai keduanya menyadari ketololan gue sekarang. Alfy menatap gue terkejut dan gue masih tidak bergeser se-inci pun bahkan saat perempuan itu sudah berada di hadapan gue. Saat mata kami bertemu, apa yang gue cari tidak ada di sana. Dia hanya merasa bersalah, tidak lebih dari itu.

"Pak Rafka?"

Gue mencoba tersenyum saat tanpa sengaja melihat apa yang ada di tangannya. Sebuah buku cetak yang gue tahu betul siapa pemberinya.

Mr. Sastra.

Gue membenci judul buku itu.

• • •
TBC!
JAN LUPA VOTE DAN KOMEN YA:)

Continue Reading

You'll Also Like

5.1M 88.1K 14
Mendapati dirinya akan di jodohkan, Vira merasa konyol saat Handi-sang Ayah-tak sedikitpun mengizinkan dirinya untuk mengeluarkan sebuah argumen peno...
130K 12.4K 42
Tidak pernah terpikir sebelumnya oleh Gema, dia mencintai Dokter yang merawat ayahnya sendiri, memacarinya sampai mengikat janji. Namun, apa jadinya...
3.1K 639 38
πŸ’œLavenderWriters Project Season 06πŸ’œ ||Kelompok 04|| #Tema; Past Time β€’Ketua : Amanda β€’Wakil Ketua : Tiara --- Orang bilang senyumnya indah, tatapan...
9K 916 43
πŸ’œ LavenderWriters Project Season 07 ||Kelompok 03|| #Tema; Mantan β€’- Ketua: Manda β€’- Wakil: Lintang Γ—Γ—Γ— Ini kisah tentang dua insan yang tak lagi be...