Andaikan Saja Kita

By alamandatera

138K 20.2K 3.4K

RANK #1 comingofage [25.08.2020] RANK #1 mentalhealth [30.08.2020] RANK #1 ambis [02.10.2020] RANK #1 olimpia... More

Prakata
Prolog
1 | Sebuah Perubahan
2 | Yang Tak Terlihat
3 | Sebuah Pemahaman
4 | Melepaskan dan Menerima
5 | Sisi Lain
6 | Pintu Hati
7 | Prinsip
8 | Kuning
9 | Hitam
10 | Putih
11 | Memulai Kembali
12 | A Sweet Date
13 | (Not So) Sweet Date
14 | Terhempas Lagi
15 | Dekonstruksi
16 | Rekonstruksi
17 | Next Move
18 | Kejutan
19 | Usaha
20 | Everything's Alright
21 | Rotten
22 | Pecah dan Terburai
23 | Bantuan Tak Terduga
24 | Tumpukan Emosi
25 | Jalan Gelap, Jalan Terang
26 | Mulai Bersama
27 | Bentuk Peduli
28 | Feels Right
29 | Kejutan (2)
30 | Jatuh
31 | Bentuk Peduli (2) ⚠️
32 | A Broken Angel
33 | Goodbye, Angel
34 | 'Cause She Belongs to Me
35 | Be a Champion
36 | The Storm is Coming
37 | To Protect ⚠️
38 | Problem(s)
39 | Dream(s)
40 | Fear(s)
41.1 | Fears Do Come True ⚠️
41.2 | Fears Do Come True ⚠️
42 | Andaikan Saja Kita ⚠️
44 | Girls, Let's Talk About Sex ❣
45 | Boys, Let's Talk About Sex ❣
46 | Membuka Mata
47 | The Strongest Angel ⚠️
48 | The Future of Us
Epilog
Extra Part | Tiga Tahun Setelah Kelulusan
Catatan Akhir
NEW STORY | A MISMATCH SO PERFECT

43 | Dari Sedekat Nadi, Jadi Sejauh Mentari

1.2K 234 27
By alamandatera

huft akhirnya bisa napas. tida ada warning, udah lewat badainya wkwk

*

"Sayang banget. Selama ini lo salah memandang gue, terlalu tinggi. I'm not a saint. Actually, I'm evil. Lo tahu? Gue tidur sama lo cuma sebagai ... let's say, an ego booster. I don't really love you. Gue cuma suka aja lihat seseorang sebegitunya memuja badan gue. Oh ya, your dream still sucks, by the way. Masa depan lo bener-bener terombang-ambing ... beda jauh sama banyak banget cowok keren di luar sana. Kayak Raymond, contohnya. Atau nggak usah jauh-jauh. Arsya aja, levelnya jauh di atas lo. Gue juga sebenernya nggak sudi ngurusin nilai-nilainya anak basket. Why would I care, anyway? Kalau bukan karena itu volunteer work yang bisa buat aplikasi ke MIT, I'd rather do something else."

Nggak bisa. Gue nggak bisa melanjutkan perjalanan.

Gue menepikan mobil yang sedari tadi gue kendarai dengan ugal-ugalan. Cari mati emang, mengingat jalanan Lembang nggak familiar untuk gue dan medannya yang naik turun. Gue mengerjapkan mata beberapa kali. Kabut yang ada di mata gue ternyata genangan air.

"Thalia ..."

Nama itu gue sebut berulang-ulang sambil menyandarkan kepala gue ke kemudi.

Sakit, Thal.

Sakit mendengar semua ketakutan terbesar gue dibeberkan dengan gamblangnya oleh seseorang yang gue cintai sepenuh hati.

Sakit melihat kenyataan bahwa Thalia memang sedang tertekan setelah kerasnya hidup menerjang dia berkali-kali dan berturut-turut, tapi kenapa harus gue yang jadi sasak hidup?

Gue kembali menekan pedal gas. Kali ini, gue punya tujuan pasti ke mana gue akan pergi.

"Bunda, apa kabar?"

Embusan angin menerpa gue yang sedang berjongkok di depan pusara Bunda.

Nggak ada jawaban.

Ha, memang, apa yang gue harapkan?

"Aku kangen." Tangan gue meremas rerumputan yang melapisi makam Bunda. Gue membayangkan bagian dari makamnya adalah perpanjangan tubuh Bunda. Gue nggak bisa lagi menggenggam tangan wanita yang paling berharga di hidup gue, jadi ini hal terdekat yang bisa gue lakukan.

"Aku ... mau bikin pengakuan."

Hening.

"Jadi orang jahat itu enak ya, kadang-kadang? Bahkan kalau pun mereka dapat hukuman, itu karena mereka emang salah. Tapi, lihat deh Bun, orang baik malah sering dapat hukuman yang nggak sepantasnya mereka terima."

Gue menengadahkan kepala ke atas, memperhatikan langit Jakarta yang nggak pernah benar-benar biru.

"Aku sekarang ngerasain ... gimana Bunda merasa nggak pernah cukup, selalu kurang, selalu nggak layak bersanding dengan orang yang Bunda cinta ... Sakit banget ya, Bun?"

Saat gue kembali menunduk, sebutir air lolos dari ujung mata gue, terjun menuruni pipi dan jatuh ke atas pusara Bunda.

Ini tangis pertama gue setelah kepergian Bunda lebih dari setahun yang lalu.

"Ada Papa, Nak."

Gue terkesiap mendengar suara rendah yang akrab di telinga itu. Buru-buru gue menghapus jejak air mata dan menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan, mencari sumber suara.

Ada Papa yang melengkah mendekati gue. Entah sejak kapan dia berdiri di belakang sana, mengamati gue dari jauh.

Papa duduk bersila di samping gue. Tangannya merangkul pundak gue, sekaligus mengisyaratkan untuk gue mengikutinya duduk.

"Papa udah dengar semuanya dari Kanesya," terang Papa. "Sebenernya, tanpa Deri menyerahkan diri, rencananya untuk menjebak keluarga Ayah kamu udah tercium sama mereka. Hanya saja, mereka juga terkejut Deri udah berbuat seperti itu ke mamanya Thalia. Bahkan sampai ada nyawa yang melayang."

Sebuah beban di benak gue terangkat mengetahui Papa sudah memahami cerita ini, nggak perlu susah payah gue menjelaskan segalanya dari awal.

"Pilihan kamu ... Papa bangga." Lelaki itu menepuk pundak gue beberapa kali. "Dibutuhkan kelapangan hati luar biasa untuk bisa mengikhlaskan dendam pribadi kayak gitu. Papa salut."

Gue menelan ludah. "Papa nggak tahu sama sekali apa yang udah membebani Bunda selama ini?"

Papa menggeleng, anehnya sambil tersenyum tipis. "Papa cuma tahu Bunda punya kenangan nggak mengenakkan di pernikahan sebelumnya, tapi nggak secara spesifik tahu apa."

"Apa Papa nggak kecewa? Misal, nyesel kenapa Bunda nggak pernah cerita?"

"Buat apa?" Papa terkekeh. "Papa tahu pasti, Bunda kamu ingin membuka lembaran hidup baru waktu menikah sama Papa. Papa akan dengarkan kalau Bunda cerita, tapi kalau enggak, ya udah. Papa cuma fokus berusaha membuat hari-hari Bunda bareng Papa jadi kenangan terbaik untuk Bunda. Sambil berdoa, semoga yang Papa lakukan cukup untuk menghapus luka di hati Bunda, apapun itu."

Gue mengernyitkan dahi. "Sekarang Papa udah tahu kenyataannya, Papa nggak marah?"

Papa menoleh. Tangannya yang tadi di pundak berganti mengacak rambut gue. "Dendam itu cuma bikin lingkaran setan. Lagipula, Papa belajar dari kamu, kan? Kamu udah memilih untuk membiarkan perbuatan mereka diganjar Tuhan, begitu pula Papa."

"Tapi ... aku berbuat gini ..." Sesak. Dada gue sesak. "Bikin aku kehilangan Thalia."

Papa berdecak. "Alvin, coba Papa tanya. Kamu bisa memaafkan keluarga Ayah kamu, berapa lama usahanya? Apa kamu nggak melewati hari-hari penuh kegalauan?"

Gue menggeleng kuat-kuat. "Lama banget, Pa. Susah."

"Nah, itu. Thalia juga sama. Dia manusia. Dia butuh waktu."

"Bukan cuma karena dia belum mau maafin Alvin, Pa. She actually hurt me. She said some very hurtful things." Suara gue berubah serak. "Maksud aku kehilangan Thalia, bukan cuma dia yang ninggalin aku, tapi ..." Pikiran untuk mengakhiri semuanya sekalian saja, supaya baik gue maupun Thalia nggak lagi terluka, muncul di otak gue.

"Papa yakin, setiap tindakan ada konsekuensinya. Konsekuensi ini nggak selalu baik, meskipun niat kita baik. Saran Papa, kalian memang butuh waktu untuk cooling down. It's okay. Wajar."

Gue mendengus kesal. "Papa bilang wajar, manusiawi, gitu aja dari tadi."

"Loh, memang, kan?" Papa terkekeh. "Nak, jangan putting Thalia on a pedestal. Tahu kamu, istilah itu? Jangan mengidolakan dia sampai pada titik kamu menganggap dia nggak mungkin berbuat salah. Jangan proyeksikan pandangan ideal kamu tentang seorang wanita ke Thalia, ketika dia sendiri lagi struggling untuk membangun kepercayaan dirinya yang barusan hancur. Itu nambah beban."

Omongan Papa masuk ke telinga kiri, dan menetap di otak gue, tanpa keluar dari telinga kanan. Papa baru saja mengutarakan hal-hal yang menarik.

Selama ini ... I put Thalia on a pedestal, ya?

Gue menunjukkan senyuman lebar untuk Papa. "Makasih ya, Pa. Aku masih butuh menata hati, tapi ... aku tetep nggak akan mundur ngelakuin hal baik. Aku tetep sama keyakinanku."

"Nah, gitu dong, anak Papa!" Papa mengarahkan telapak tangan kirinya. Segera gue sambut dengan tangan kanan untuk melakukan tos. "Eh, anak Bunda juga, deng," tambah Papa sambil melirik pusara Bunda.

Hati gue menghangat. Bercengkerama seperti ini, membuat gue teringat masa-masa bahagia kami yang sangat sebentar, sebelum Bunda jatuh sakit. Namun, nggak masalah. Begini saja, sudah cukup. Gue bisa merasakan kehadiran Bunda, meskipun kami berbeda alam.

*

Perhitunganku salah.

Mama tidak menyuruhku menjauhi Alvin sama sekali.

"Makasih ya, Nak, udah mau jadi saksi. Tante hargai sekali. Ini pasti nggak mudah buat kamu."

Aku melotot memandangi interaksi Mama dengan Alvin ketika kami berjalan keluar dari kantor pengacara yang Mama sewa. Aku segera menghalihkan pandangan ketika mata Alvin nyaris bersirobok dengan milikku.

"Saya nggak pernah ada niatan melukai Tante atau anak Tante, nggak ada sama sekali. Saya ke Lembang murni karena khawatir Thalia kenapa-kenapa. Meskipun saya dan Deri sempat punya sentimen yang sama tentang Tante, tapi sepertinya kebencian Deri selalu lebih dalam. Setelah tahu kebenarannya, rasa nggak suka saya terhapus seratus persen. Malah, saya jadi respect ke Tante yang berjiwa besar untuk meminta maaf dulu, bahkan ketika bukan Tante yang salah."

Sepenggal pernyataan Alvin dari kira-kira dua jam pernyataannya kembali muncul di ingatanku. Itu, bersama pernyataannya tentang bagaimana Deri memberinya dua pilihan. Membalaskan dendam ke keluarga yang telah mengintimidasi Tante Liliana, atau membiarkan Deri menyerahkan diri ... dengan risiko masa lalu dia yang membenci aku dan Mama terungkap.

"Thal, Alvin pamit." Sikut Mama yang menyenggol lenganku membawaku kembali ke dunia nyata.

"Oh, ya, hati-hati, Vin," ujarku cepat, lagi-lagi tanpa berani memandangnya tepat di manik mata.

Alvin hanya tersenyum singkat, kemudian memasuki mobilnya. Aku dan Mama masih berada di pinggir jalan sampai mobil itu menghilang di tikungan.

"Kalian beneran putus?"

"Hah?" Pertanyaan Mama membuatku terkesiap. "Eh, um, kayaknya iya. Nggak tahu, deh."

"Sayang, Mama minta maaf udah menghubungi kamu begitu hebohnya tadi pagi. Derianto itu omongannya banyak yang ngawur, salah juga kami langsung percaya. Mama kan takut, kalau beneran Alvin itu berkomplot sama Derianto."

Aku memaksakan diri untuk tersenyum. "It's okay, Ma. Aku jadi Mama juga sama khawatirnya, apalagi aku nggak ngasih tahu pergi ke mana selama sehari dua malem. Eh, itu gocar-nya udah dateng." Aku menunjuk sebuah mobil putih yang berhenti tidak jauh dari kami.

"Atas nama Mbak Thalia?" Pengemudi mobil memastikan begitu kami mengambil duduk di kursi belakang.

"Iya, bener, Pak," jawabku.

"Gimana Mama bisa oke-oke aja? Jelas banget kamu selek gitu sama Alvin sepanjang hari tadi."

Aku menghela napas panjang. "Hubungan aku sama dia emang udah agak merenggang belakangan ini, Ma. Kejadian ini ... cuma jadi momen pemantik aku ngeluarin semuanya aja, sih."

Aku teringat kata-kata menyakitkan yang sengaja aku ucapkan keras-keras di hadapan Alvin. Hal yang paling mengerikan dari itu semua adalah ... there is always a little bit truth to everything we say when we are very emotional.

"Yaya, kamu tahu kan, Mama udah memaafkan keluarga Alvin? Maksud Mama, coba kamu ingat-ingat. Mama izinkan kamu pacaran sama dia sejak awal, kan? Padahal Mama tahu ada sejarah nggak baik antara Mama sama Bundanya. Itu karena semuanya udah di masa lalu—"

"Gimana aku bisa tahu, Ma?!" Aku memotong penjelasan Mama sedikit terlalu keras. Pengemudi mobil kami sempat melirik sebentar ke belakang, namun buru-buru fokus ke jalanan kembali detik berikutnya. "Maaf. Maksud aku, why don't you tell me dari awal, Ma? Kenapa harus disembunyikan?"

Mama meraih tanganku, menggenggamnya erat. "Ini akan kedengeran naif, tapi Mama melakukannya karena Mama kira, Alvin nggak menyimpan dendam. Mama kira, Liliana sudah memaafkan Mama, dan artinya semua sudah selesai. Mama nggak tahu kedatangan Mama saat itu mengungkit memori buruk di otaknya sampai dia tertekan berhari-hari."

Astaga. Manusia dan segala asumsinya. Manusia dan segala 'sepertinya lebih baik aku menyembunyikan ini' yang malah berujung ke kekacauan lebih parah.

"Ya udah, deh, aku maafin. Memang akunya aja yang lagi sial, semua hal buruk terungkap di waktu yang bersamaan." Aku melepaskan genggaman tangan Mama. Kurebahkan tubuhku ke sandaran kursi mobil, lalu melipat kedua tangan di dada.

Setelah aku memejamkan mata, suara Mama terdengar.

"Mama minta maaf, selama ini Mama merasa mendukung kamu dalam hal akademik dan prestasi sama dengan menjadi ibu yang baik. Maafkan Mama, membuat kamu tertekan sebegitu dalamnya sampai harus mencari tempat yang jauh dari rumah untuk membuka pengumuman MIT. Mama mencintai kamu tanpa syarat, Yaya. Maafkan Mama, kalau perlakuan Mama selama ini membuat kamu merasa kamu harus membuktikan sesuatu supaya Mama bangga. Sesungguhnya Mama selalu bangga sama kamu, apapun yang terjadi."

Mataku kembali terbuka. Aku menoleh perlahan ke arah Mama. Ternyata, Mama sedang memandangku dengan tatapan teramat lembut. Bukan tatapan tajam yang menularkan ambisi seperti biasanya.

Aku tahu pasti, meminta maaf bukan perkara yang mudah. Banyak orang tua di luar sana yang memiliki gengsi terlalu tinggi untuk mengaku salah di hadapan anak mereka.

Tidak ada alasan untukku tidak menerima permintaan maaf Mama. "Aku maafin Mama," ucapku pelan.

Sedetik, dua detik, kami masih saling menatap. Detik ketiga, Mama membawaku ke dalam pelukannya dan aku sambut dengan antusias.

"Boleh aku gap year buat tahun depan?" tanyaku, masih sambil bergelung di pelukan Mama yang sangat hangat.

"Boleh. Boleh banget. Take as much time as you want untuk kembali menata mimpi kamu, Sayang."

*

Kamar mandi di apartemenku memiliki sebuah cermin cukup besar. Biasanya, aku sering menghabiskan waktu di hadapan cermin itu untuk sekedar mengagumi tubuhku sendiri. Tubuh yang membuatku percaya diri mengenakan baju ketat, crop top, atau baju dengan belahan dada rendah.

Tubuh yang ... tidak lagi hanya aku yang pernah melihat sekaligus menyentuhnya.

Kugigit bibir kuat-kuat ketika aku menemukan bercak kemerahan di dadaku. Bukan hanya satu. Ada dua. Oh, tiga. Tiga bercak merah. Aku bahkan tidak ingat lagi kapan Alvin meninggalkan gigitan seperti ini. Mungkin aku sudah melayang ke awan saat itu, memasrahkan diriku seutuhnya di tangan lelaki itu.

Aku sengaja menyalakan shower keras-keras, supaya tangisku tidak terdengar oleh Mama.

Bercinta itu kegiatan yang sangat intim. Tubuh dua orang saling menyentuh dan bergesekan tanpa pembatas apa pun, membuatku merasa sangat rapuh dan sangat lemah. Ada perasaan kosong yang begitu menganga di hatiku menyadari aku telah melakukannya dengan seseorang yang sempat kuanggap begitu kucintai, tapi sekarang ... Entahlah, terlalu banyak hal tentang kami yang tidak aku pahami.

Aku berpindah dari hadapan cermin ke atas kloset. Duduk di sana sambil menekuk kakiku dan menundukkan wajah dalam-dalam.

Aku bukan orang paling relijius. Perintah dari Tuhan selama ini kulaksanakan dengan pilih-pilih. Aku termasuk rajin melaksanakan sholat lima waktu dan berpuasa wajib, tapi menutup bagian tubuh tertentu dan menjaga jarak dengan lawan jenis ... aku tidak menganggapnya penting. Aku belum menemukan alasan kuat yang mendasariku harus melakukannya.

Namun kali ini, di tengah rintik suara air dari shower yang menghujam lantai kamar mandi, aku menyadari sesuatu. Tuhan memberi banyak aturan, semata-mata untuk menjaga hamba-Nya. Mungkin ... aku yang selama ini terlalu sombong, menganggap berdiri di kaki sendiri dengan segala pemikiran di otakku membuatku mampu menghadapi hidup tanpa pernah tumbang.

*

Gue mencuri pandang ke arah meja kantin yang berisikan Thalia, Zahra, Chrysan, dan Naura. Tiga orang di sekitar Thalia bercakap dengan heboh, seperti biasa, sementara Thalia lebih banyak diam dan mendengarkan.

Seminggu berlalu setelah hari paling dramatis di hidup gue. Status gue dan Thalia nggak jelas, tapi sebuah pesan singkat darinya yang berisi permintaan untuk menghapus foto kami berdua di akun Instagram gue membuat gue menganggap hubungan kami udah berakhir.

Jangan tanya gimana reaksi Thalvinmania. God, gue jadi paham kenapa selama ini Thalia nggak suka hubungan kami mendapat spotlight dari banyak orang. They are so fucking nosy. Kami nggak berutang apapun pada mereka untuk menjelaskan apa yang terjadi di hubungan ini, toh fanbase itu mereka buat dengan sukarela.

Tuh, kan. Gue meletakkan sendok makan gue dengan kasar. Tiga orang anak kelas sepuluh mendatangi Thalia yang sedang menyantap makan siangnya. Gue yakin, mereka adalah tiga orang paling berani yang mewakili teman-teman mereka yang lain untuk bertanya langsung ke Thalia.

Kenapa selalu Thalia? Kenapa untuk urusan seperti ini, selalu pihak cewek yang diminta menjelaskan? Thalia sudah cukup ramah kepada mereka selama ini, jadi gue paham banget kalau simpanan kesabarannya mulai habis.

"Dek, tolong dijaga ya, sopan santunnya!"

Suara teriakan Zahra membuat seisi kantin mengalihkan pandangan ke meja mereka. Gue bisa melihat ketiga anak itu langsung menciut.

"Ra, nggak usah gitu," sela Thalia dengan nada yang lebih tenang.

"Haduh, gue tuh, yang geregetan, Thal. Kenapa susah banget sih, untuk ngurus urusan lo sendiri? Lo bertiga gue yakin kpopers, kan? Lo tahu sasaeng? Nah, mirip banget tuh, lo bertiga sama sasaeng! Nanya-nanya hal pribadi, gangguin privasi. Ngefans nggak usah berlebihan sampai bikin orang yang lo fansin nggak nyaman, bisa?!"

Gue melongo melihat Zahra mengatakan itu semua tanpa tedeng aling-aling. Namun, gue kemudian tersenyum. Zahra bener. Lama-lama mereka harus diberi pelajaran. Sekarang, gue bahkan ingin menoyor kepala gue sendiri, karena dulu gue sempat merasa perhatian dari orang lain terhadap hubungan gue adalah sebuah anugerah, supaya seluruh dunia tahu gue punya pacar kayak Thalia. Little did I know, hal-hal seperti itu malah merenggangkan hubungan kami.

"M-maaf, kak," sahut ketiga gadis itu takut-takut.

Bukannya ikutan marah, Thalia bangkit dari kursinya, menghampiri salah satu gadis. Gue nggak dengar Thalia mengatakan apa, tapi gadis itu terlihat lebih lega. Kemudian, ketiganya meminta maaf lagi dan pamit meninggalkan meja kelas dua belas.

Gue menangkap Chrysan sedang menatap gue intens. Kedua alisnya terangkat, seakan dia berbicara, "Ngeliatin mulu dari jauh ya lo? Nggak punya nyali untuk ke sini?"

Gue hanya mendengus kasar. 

---

gimana, pembaca? lega nih, mereka udah pisah. gini aja terus kali ya, kayaknya lebih tentram HEHE

Continue Reading

You'll Also Like

Sashi By -

Teen Fiction

582K 51.6K 47
📌 Listed to @WattpadRomanceID Reading List Kategori Kisah Klasik di Sekolah edisi Januari 2022 ** Di tahun keduanya Sashi bersekolah, entah mengapa...
1.2M 177K 23
Seorang siswi teladan berkenalan dengan anak badung satu sekolah yang sudah rajin mengisi catatan guru BK, hanya untuk mengetahui bahwa orang yang di...
5.8M 246K 56
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
96.1K 16.6K 32
[Completed, Part Lengkap] Apa yang akan kamu lakukan kalau selama ini kamu hidup dalam kebohongan, sebuah ilusi buatan yang menjagamu dari mengetahui...