Amoxylove (COMPLETED)

By ayleentan

4.9M 334K 33.1K

Shera Kinanti, 25 tahun, Manajer Produksi Beta Laktam di sebuah perusahaan farmasi, punya poin-poin yang tida... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21 (Info Webseries Mungkin Suatu Hari Nanti)
Cuma Iseng
Vote Cover, Info Terbit, Info Give Away
OPEN PO AMOXYLOVE

Bab 12

109K 14.9K 1.2K
By ayleentan

"Mbak Shera, di depan ada Pak Abhi dan rombongan, katanya mau kunjungan ke dalam ruangan produksi Beta Laktam," lapor Dina yang baru saja masuk ke ruanganku.

Aku mengalihkan pandangan dari laporan produksi yang tengah kukerjakan di laptop dan menatap Dina dengan kening berkerut.

"Bukannya di Non Beta Laktam aja ya kunjungannya? Kok nggak ada yang bilang ke saya sebelumnya?" Tanyaku heran.

"Oh, Mbak Shera tadi nggak jadi telepon balik ke Pak Abhi? Tadi Pak Abhi bilang waktu telepon, kalo kunjungannya akan dilakukan ke semua ruangan. Mumpung ada media yang meliput, sekalian promosi PT. Medifarm secara keseluruhan katanya, bukan hanya promosi produk Nutri E," jelas Dina.

"Kamu kok nggak sampaikan ke saya?" Protesku.

"Saya pikir Mbak Shera udah telepon balik Pak Abhi. Lagian sebelum tutup telepon Pak Abhi juga sempat bilang udah kirim email ke Mbak Shera." Dina membela diri.

Aku mengecek email lewat laptop dan ternyata memang benar ada email dari Pak Abhi yang belum sempat kulihat. Isinya menyampaikan kalau akan mengadakan kunjungan ke beta laktam. Ada attachment Surat Persetujuan Kunjungan dari Pak Irwan juga.

Aku menghela napas, nggak bisa berbuat apa-apa lagi, hanya berharap kunjungannya nggak akan lama karena pasti akan mengganggu jalannya proses produksi, semua operator pasti akan heboh melihat Soraya Natalia.

"Di, tolong kirim satu karyawan pria ke ruang ganti pria ya untuk menyiapkan APD, saya nanti siapkan yang di ruang ganti wanita." Aku memberi instruksi.

"Baik, Mbak." Dina mengangguk lalu melangkah keluar dari ruanganku.

Aku juga ikut melangkah menuju ke ruang ganti, membuka APD-ku lalu berjalan ke depan gedung beta laktam tempat para tamu sudah menunggu.

Ada Pak Abhi di sana tengah bercakap dengan Soraya dan dua pria lainnya yang sepertinya wartawan kalau dilihat dari kamera-kamera yang mereka bawa.

"Selamat siang," sapaku membuat mereka semua menoleh.

"Oh, Siang Ra. Bisa minta waktunya sebentar kan untuk melihat proses produksi di beta laktam?" Ucap Pak Abhi dengan senyum terkembang di bibir.

Aku nggak suka senyum itu, itu senyum profesional yang selalu ditunjukannya ke semua orang. Senyum mempesona yang keren dan penuh percaya diri.

Dia sekarang sedang dalam mode Direktur Marketing yang terhormat, bukan Pak Abhi yang beberapa hari ini kukenal lebih dekat dengan senyumnya yang hangat atau tawanya yang lepas.

"Tentu saja, Pak," jawabku singkat.

"Oh ya, kenalkan ini Shera Kinanti, Manajer Produksi Beta Laktam." Pak Abhi memperkenalkan aku kepada para tamu yang lain.

Aku segera menyalami mereka satu persatu. Ternyata dari jarak dekat Soraya Natalia bahkan terlihat lebih cantik lagi.

"Hai Shera, nice to meet you, kamu bisa panggil saya Raya aja," ucap Soraya ramah saat kami bersalaman.

Dua pria lainnya juga memperkenalkan diri. Yang satu kelihatan lebih tua dari kami semua, namanya Mas Yusran, sementara yang tengah menenteng kamera dan terlihat lebih muda bernama Mas Saka.

Tubuhnya jangkung, hampir setinggi Pak Abhi tapi lebih kurus, rambutnya lurus dan agak panjang hingga mencapai kerah kemejanya.

Wajahnya cukup menarik, nggak setampan Pak Abhi tentu saja, tapi punya daya tarik tersendiri dengan gayanya yang cuek dan cool. Tipe cowok yang nggak banyak omong dan nggak terlalu memperhatikan penampilan ataupun tatanan rambut.

Tipe cowok seperti Yudha. Yang berarti tipe yang aku suka, kalo nggak kan nggak mungkin aku pacaran sama Yudha sampai delapan tahun lamanya.

Aku mempersilakan para pria masuk ke ruang ganti pria sementara Soraya ikut denganku masuk ke ruang ganti wanita. Dari lemari aku mengeluarkan satu set APD yang memang disiapkan untuk para tamu yang datang berkunjung ke ruang produksi.

"Silakan dipakai dulu ya Mbak, ini prosedur wajib sebelum memasuki area produksi." Aku mengangsurkan satu set APD yang sudah dikemas rapi dalam packing plastik bening.

Soraya mengambil bungkusan itu sambil tersenyum lalu membuka kemasan plastiknya. Senyumnya langsung menghilang melihat berbagai item yang ada di dalamnya.

"Harus banget ya pakai ini?" Tanyanya dengan nada enggan.

"Iya Mbak, ini prosedur wajib, untuk meminimalisir kontaminasi di area produksi," jelasku yang membuat ekspresi enggannya semakin jelas.

"Tapi kalo difoto enggak akan kelihatan bagus Mbak Shera, baju dan rambut bakal ketutup semua dan...Oh My God, wajah juga?" Ia menjerit ngeri saat melihat masker di antara tumpukan.

Aku menghela napas, paling malas kalau harus berdebat masalah ini. Kenapa masih saja ada orang yang nggak mengerti arti kata prosedur. Itu adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Lantas untuk apa prosedur dibuat kalo masih saja ada yang bertanya apakah harus dilakukan?

"Malah kelihatan bagus kalo difoto Mbak, karena itu berarti kita mengikuti prosedur dan aturan yang berlaku sehingga nggak akan menimbulkan protes dari masyarakat." Aku mencoba menjelaskan dengan sabar.

"Masyarakat malah akan protes kalo nggak melihat wajah saya Mbak Shera, lagipula untuk apa PT. Medifarm bayar mahal-mahal ke saya untuk mengiklankan produknya kalo wajah saya nggak kelihatan, rugi di kalian lo," decaknya.

"Tapi..."

"Panggil Abhi aja deh, kamu nggak akan mengerti masalah kayak gini, biar saya ngomong langsung ke atasan kamu," ucapnya ketus.

Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas. Malas berdebat panjang lebar, bergegas aku memakai APD milikku lalu keluar dari ruang ganti wanita dan melihat para pria sudah menanti di koridor dengan APD lengkap ditemani Dina.

"Di, bisa tolong antar Mas-Mas ini keliling dulu ya, saya perlu bicara dengan Pak Abhi sebentar," ucapku yang segera dibalas anggukan Dina.

Pak Abhi menatapku dengan alis terangkat saat Dina dan kedua wartawan itu sudah melangkah meninggalkan kami.

"Ada masalah apa? Raya mana?" Tanyanya.

"Mbak Raya nggak mau pake APD, Pak, dia minta bicara langsung sama Bapak," jelasku apa adanya. Kening Pak Abhi semakin berkerut.

"Ya kamu handle dong, Ra, ini daerah kekuasaan kamu, kamu yang tahu aturan mainnya di sini. Kalo memang aturannya harus memakai APD ya berarti harus pakai, jangan biarkan orang menekan kamu," ucapnya tegas.

"Kalo Mbak Raya marah terus kabur gimana? Bapak pasti ngamuk ke saya nanti," cibirku.

"Saya nggak bodoh, Ra. Yang namanya kerjasama itu pasti ada kontrak, di situ sudah lengkap poin-poin yang harus disetujui Raya sebagai brand ambassador produk kita. Rugi di dia kalo kabur hanya karena masalah begini," jawabnya enteng.

Aku menatap Pak Abhi dengan wajah skeptis, namun dia hanya mengedikkan bahu, sama sekali nggak ada niatan membantu. Akhirnya aku menghela napas lalu dengan langkah malas kembali masuk ke ruang ganti wanita.

Dengan susah payah akhirnya aku berhasil meyakinkan Soraya untuk mengenakan APD. Setelah bantahan demi bantahan dilontarkan tapi nggak juga membuatku goyah, akhirnya sambil bersungut ia mulai mengenakan APD-nya.

Agak kesulitan ketika memasukkan kuku-kukunya yang panjang dan cantik ke dalam sarung tangan, juga kesulitan saat memasukkan kakinya yang terbalut high heels ke dalam shoe cover. Ia langsung mendelik sinis saat aku menawarkan sandal jepit.

Setelah hampir setengah jam akhirnya kami keluar dari ruang ganti wanita dan melihat Pak Abhi masih menunggu di koridor.

Ia tersenyum seperti biasanya, namun aku bisa melihat senyumnya sedikit dipaksakan. Syukurin deh, mantan pacar Bapak nih yang bikin banyak waktu jadi terbuang percuma.

Kami bertiga akhirnya melangkah menyusul para wartawan yang tengah berada di ruang penimbangan, aku mulai menjelaskan prosesnya pada mereka. Kami lalu melanjutkan kunjungan ke ruang pencampuran lalu ke ruang cetak tablet.

"Ini namanya hopper, serbuk yang akan dicetak dimasukkan ke sini." Aku menunjuk alat berbentuk seperti corong yang ada di bagian atas mesin cetak tablet.

"Dari hopper serbuk dialirkan ke die. Kalo dalam membuat kue, die ini seperti cetakannya, yang menentukan ukuran dan bentuk tablet. Setelah serbuk masuk ke dalam die baru nanti ditempa dengan alat namanya punch, ada punch atas dan punch bawah. Punch atas akan turun menempa serbuk menjadi tablet, tablet dimampatkan di antara punch atas dan punch bawah, barulah nanti tablet yang sudah jadi keluar lewat sini." Aku menunjukkan tempat keluarnya tablet yang berbentuk seperti perosotan.

"Kapasitas mesinnya berapa, Mbak?" Tanya Mas Yusran.

"Jadi mesin cetak tablet itu ada dua tipe, ada single punch dan multiple punch. Nah kalo yang berputar gini termasuk jenis multiple punch, kapasitas produksinya bisa sampai 10.000 tablet permenit," jelasku.

"Wah banyak juga ya," gumamnya kagum.

"Iya tapi karena demand-nya tinggi, tetap saja kami kewalahan, padahal kami punya tiga mesin cetak tablet yang multiple punch," jelasku lagi.

"Amoxicillin memang best seller-nya PT. Medifarm," tambah Pak Abhi.

"Tapi hanya produksi yang generik aja ya, Pak?" Tanya Mas Yusran lagi sementara rekannya, Mas Saka terlihat sibuk mengambil foto dengan kameranya.

"Sebenarnya dulu ada obat patennya, tapi kurang begitu jalan di pasaran, iya kan Ra?" Pak Abhi bertanya padaku. Aku hanya mengangguk.

"Jadi sekarang kita sedang registrasi untuk nama paten baru yang lebih menarik," jelas Pak Abhi lagi.

"Ooh diganti pake nama apa, Pak?" Tanya Mas Yusran.

"Off the record aja ya, karena belum resmi. Kita rencana pakai nama Amoxylove," jawab Pak Abhi.

"Cute banget namanya, kamu memang paling jago deh bikin nama yang menjual." Untuk pertama kalinya suara Soraya terdengar.

Sedari tadi ia hanya mendengarkan dan tampak sangat bosan dengan berbagai penjelasan dariku tentang proses produksi. Ingin rasanya aku memutar bola mata, mereka memang satu selera ternyata.

"Unik namanya, pasti orang tertarik," komentar Mas Yusran yang membuatku semakin ingin mendengus.

"Kayak merk kondom." Sebuah gumaman terdengar.

Suara mesin tablet yang bising mungkin membuat Pak Abhi dan lainnya nggak mendengar gumaman itu. Tapi terdengar cukup jelas di telingaku karena si pemilik suara berdiri paling ujung persis di sebelahku.

Aku menoleh dan melihat wajah datar Mas Saka. Rasanya aku ingin tertawa dan menyalaminya karena akhirnya ada yang sehati denganku masalah Amoxylove ini.

Mungkin merasakan tatapanku, Mas Saka juga menoleh. Melihat binar geli di mataku dia pasti menyadari kalau aku mendengar gumamannya. Dari balik masker yang menutup sebagian wajahnya, aku bisa merasakan kalo dia tersenyum. Ia lalu bergumam pelan sambil menunduk agar suaranya hanya terdengar olehku.

"Bukan kamu kan yang pilih nama itu?" Ledeknya.

Aku menggeleng cepat sambil menunduk berusaha menyembunyikan tawa. Sebuah suara dehaman yang cukup keras terdengar membuatku sontak mengangkat kepala.

Pak Abhi tengah menatapku dengan sorot mata tajam. Sebagian wajah yang tertutup masker malah semakin menonjolkan sepasang matanya yang gelap dan sangat intens hingga membuatku bergidik.

"Ayo kita lanjutkan ke ruangan berikutnya," ucapnya datar tanpa mengalihkan pandangannya dariku.

Bergegas aku berjalan ke luar dari ruang cetak tablet diikuti yang lainnya. Kami melangkah menuju ke ruangan berikutnya.

"Ini ruang pengemasan primer," ucapku lalu mulai menjelaskan tentang cara kerja mesin strip tablet.

"Wah, salut saya, Mbak Shera tahu banyak juga tentang mesin ya," puji Mas Yusran.

"Ya, sudah pekerjaan saya sehari-hari," jawabku apa adanya.

"Nggak juga, sebelumnya saya pernah mengunjungi pabrik obat, dan manajernya biasanya hanya mengerti tentang produk obatnya saja tapi nggak terlalu mengerti tentang mesinnya, apalagi kalo manajernya wanita," ucap Mas Yusran.

"Kalo Mbak Shera semua mesin di sini mengerti, Pak. Jadi operator nggak ada yang bisa bohong sama Mbak Shera. Pernah ada operator yang bilang mesinnya rusak biar mereka bisa nyantai dan nggak kerja, Mbak Shera langsung tahu kalo itu cuma alasan." Agus, operator kemas yang bertugas ikut menambahi sambil tertawa.

"Oh ya? Wah jarang-jarang ada wanita yang mengerti tentang mesin," timpal Mas Saka sambil mengarahkan kameranya ke arahku, yang tengah berdiri di sebelah mesin kemas primer, sambil menjepret beberapa kali.

"Operator pada nggak suka dong sama Mbak Shera karena nggak bisa kalian kibulin?" Kekeh Mas Yusran.

"Wah, kalo Mbak Shera atasan favorit sih." Jawaban Agus membuatku berdecak.

"Oh ya? Kenapa begitu?" Tanya Mas Yusran lagi.

"Orangnya baik banget," kekeh Agus.

"Baik, pinter, cantik lagi. Pantes jadi atasan favorit." Sebuah suara dari balik kamera kembali terdengar membuat Mas Yusran dan Agus tertawa sambil mengiyakan.

Aku berdiri salah tingkah karena semua pasang mata yang ada di dalam ruangan kini menatapku. Kenapa malah aku yang jadi pusat perhatian? Artisnya kan Soraya Natalia, dan sekarang sepasang matanya tengah menatapku tak suka.

Ada sepasang mata lagi yang juga kelihatan nggak suka dengan situasi ini. Sepasang mata milik Pak Abhi yang sedari tadi menatapku dingin. Memangnya salahku apa sih? Aku kan nggak minta jadi pusat perhatian hingga membuat artis kebanggan sekaligus nantan pacarnya jadi tersisih.

"Oke, mungkin cukup kunjungannya ke beta laktam, kita lanjut ke produksi non beta," ucap Pak Abhi membuatku menoleh ke arahnya.

"Tapi kita belum ke pengemasan sekunder, Pak." Aku mengingatkan.

"Nggak apa apa, dokumentasinya sudah cukup kok, kami nggak mau mengganggu proses produksi lebih lama lagi," balasnya dengan nada tak bisa dibantah.

"Kita istirahat dulu di ruangan kamu bisa nggak, Bhi? Capek banget nih jalan terus dari tadi. Satu jam aja, nanti baru kita lanjut kunjungannya." Suara manja Soraya terdengar saat rombongan kami berjalan menuju ruang ganti.

"Waktunya mepet, Raya, mas-mas wartawan ini pasti juga masih ada pekerjaan lain," tolak Pak Abhi.

"Oh, hari ini kami full meliput di sini kok, kalo memang Mbak Soraya mau istirahat dulu nggak apa apa, kami bisa menunggu sambil ngopi di kantin," ucap Mas Yusran.

"Tuh kan boleh ya, Bhi?" Rengek Soraya lagi.

Pak Abhi akhirnya hanya bisa menghela napas dan mengiyakan yang kembali membuat sengatan rasa tak nyaman hadir di hatiku.

Jadi mereka akan berduaan di ruangan Pak Abhi selama satu jam? Wow, bakalan ngapain aja tuh?

Kami sudah sampai di depan ruang ganti saat Mas Saka tiba-tiba bicara padaku.

"Mumpung masih waktunya istirahat dan tadi saya sudah ngopi, gimana kalo saya tetap di sini untuk mengambil foto kegiatan di proses pengemasan sekunder, biar fotonya lengkap, apa boleh?" Tanyanya.

Aku mengedikkan bahu, nggak masalah sih untukku kalo hanya sekedar mengambil foto agar dokumentasinya lengkap, jadi aku mengangguk.

Namun aku merasa semakin nggak nyaman dan semakin nggak mengerti saat tatapan Pak Abhi jadi semakin dingin.

Tadi kan dia sendiri yang ingin mempromosikan PT. Medifarm secara keseluruhan, sekarang wartawannya sudah baik hati mau meliput lengkap dia malah kelihatan marah. Maunya apa sih?

"Sepertinya kita nggak bisa istirahat. Saya baru ingat kalo saya sebentar lagi ada meeting penting. Jadi kita harus menyelesaikan tour hari ini secepatnya. Kita langsung aja ya." Pak Abhi berucap tegas.

Dan tanpa menunggu jawaban dia langsung masuk ke dalan ruang ganti pria meninggalkan kami semua yang hanya bisa melongo.

Yayy, serabi muncul lagi, jangan bosen yaaaa, masih belum ada yang manis, persediaan gula di rumah lagi habis wkwkwk, tetep jangan lupa vote, komen, follow aku di sini dan di ig ayleen_tan yaaa, makasiiiih

Continue Reading

You'll Also Like

25.7K 4.3K 7
"Sandra, kamu mau jadi istri saya? Setelah saya pikir-pikir sepertinya kita lumayan cocok." "Pak Jo, setelah saya pikir-pikir sepertinya bulan depan...
1.3M 27.7K 15
Alicia adalah pendiri sekaligus ketua dari forum antifans dari penyanyi populer Ethan Reazxy. Kebenciannya pada pria itu sudah sampai ketingkatan pal...
479K 59.8K 39
"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan...
5.3M 547K 39
"Kenapa dokter seringnya berjodoh dengan dokter juga?" "Karena dosisnya sesuai." - unknown, medical quotes.