Ineffable

Por Ayyalfy

225K 28.9K 8.3K

Ineffable (adj.) Incapable of being expressed in words. . . Kisah cewek yang ditembak oleh pemilik hotspot be... Más

Prolog
1 | Orang Ganteng
2 | Iklan KB
3 | Dasi
4 | Akrobatik
5 | Friendzone
6 | Bu Jamilah
7 | Adik Ipar
8 | Monyet Terbang
9 | Hotspot
11 | Putri Tidur
12 | Mr. Sastra
13 | Mr. Sastra II
14 | Laki-laki Bertopeng
15 | Ice Cream
16 | Mamang Rossi
17 | Grup Sepak Bola
18 | Don't Go
19 | Bad Genius
20 | Pergi
21 | Dendam
22 | Bunuh Diri
23 | Berantakan
24 | Cinta Segitiga
25 | Memilih
26 | Hotspot 'Lagi'
27 | Andra
28 | Makna Cinta
29 | Ich Liebe Dich
30 | Bubble Tea
31 | Centang Biru
32 | 9u-7i > 2(3u-3i)
33 | Sundel Bella
34 | Couple Al
35 | Gelang Hitam
36 | Uncle Rafka
37 | Bolos
38 | Pak Moderator
39 | Kejutan
40 | My Lil Sister
41 | It's Only Me
42 | Tom & Jerry
43 | The Moon is Beautiful, isn't it?
44 | The Sunset is Beautiful, isn't it?
45 | Meant 2 Be
EPILOG
EXTRA PART I

10 | Bungkus!

5.3K 767 156
Por Ayyalfy

ALFY

"Eh, lo lihat Instagram story-nya Kak Rafka, nggak?"

"Lihat, dong. Sumpah gue penasaran banget. Siapa sih pacar barunya itu?"

"Kalau dilihat dari story keduanya, pemandangan yang dia foto itu gedung sekolah kita, kan? Itu berarti Kak Rafka pacaran sama guru atau murid di sekolah kita."

"Menurut lo siapa cewek beruntung itu?"

"Kalau gue sih punya dua kandidat nama. Bu Cindy sama Bela."

Brak!!!

Aku meletakkan uang untuk membayar ketoprakku dengan gerakan kasar, membuat cewek-cewek tukang gossip di dekatku itu seketika membungkam. "Bu, ini bayarannya, ya."

Usai membayar, aku kembali ke meja yang sudah ditempati sahabat-sahabatku dengan membawa sepiring ketoprak. Tidak lain halnya dengan cewek-cewek tukang gossip tadi, sahabat-sahabatku itu juga sedang membuka forum ghibah. Mereka melupakan mangkuk seblak mereka masing-masing dan sibuk berceloteh soal Pak Rafka dan pacar barunya.

Sedikit muak, aku mengabaikan mereka dan berusaha untuk fokus menghabiskan ketoprak di hadapanku.

"Gaes, kalau dari analisis gue, pacar barunya Kak Rafka ini pasti murid di sekolah kita. Sekarang tinggal kita tebak, siapa cewek yang pake hape Oppo."

"Kenapa hape Oppo?" tanya Syifa tidak mengerti dengan analisis Roy.

Roy berdecak, ia memperlihatkan layar ponselnya pada Syifa dan Via. "Kalian lihat, ini jelas-jelas hape yang tersambung ke hotspot Pak Rafka itu Oppo A12."

Mereka mengamati story instagram guru laki-laki itu. Syifa dan Via mengangguk, membenarkan perkataan Roy.

"Jangan-jangan itu si Bela?" cetus Via.

Kepala Roy menggeleng mantap. "Gue pernah lihat hape Bella, tapi bukan Oppo. Iphone anjir."

"Kasian banget si Bella. Cantik, berbakat, anak sultan, hape Iphone, tapi kalah sama cewek yang hapenya Oppo."

Hampir saja aku tersedak karena ucapan Via barusan.

"Kalau ternyata cewek itu lebih jelek dari Bela, fix, Kak Rafka dipelet sama itu cewek."

"Jaman sekarang masih ada aja, ya, yang percaya gituan. Miris banget."

Aku bersyukur ketika perbincangan mereka selesai sampai di sana. Tapi ternyata dugaanku salah, mereka justru sedang menatapku dengan curiga. Aku melotot. "Lo pada ngapain natap gue kayak gitu?" tanya gue sangsi.

Roy semakin memicing curiga. "Al, hape lo Oppo, kan?"

"Terus?"

Tanpa sempat aku antisipasi, Roy sudah merampas ponselku yang tergeletak di atas meja. Aku berusaha merebutnya dengan wajah panik. "Lo ngapain, anjir?!"

"Gue mau ngecek hape lo tipe apaan. Awas aja kalau tipe A12."

Roy melepas casing ponselku dan mengamati dengan lekat bagian belakang ponsel yang beruntungnya barcode dan tempelan keterangan ponsel di sana sudah aku lepas. Roy akhirnya mengembalikan ponselku yang langsung kuambil dengan cepat dan menyimpannya di saku seragam.

"Nggak ada keterangannya. Tapi, gue masih mencurigai lo, Al."

Aku mengembuskan napas kesal. "Lo pikir yang pake hape Oppo di sekolah ini cuma gue doang, gitu? Ini hape sejuta umat, Maesaroh!"

"Tapi lo pernah deket sama Kak Rafka, jadi lo kandidat terkuat yang harus dicurigai."

"Serah lo, ah!" Aku mengibaskan tangan. "Gue mau lanjut makan."

Suasana pun teralihkan karena mereka juga fokus menghabiskan makanan masing-masing. Sayangnya itu tidak berlangsung lama karena Syifa kembali membuka obrolan.

"Lo salah Roy. Kandidat terkuat itu bukan Alfy. Tapi Bela."

Aku mengikuti kemana arah Syifa melihat. Lagi-lagi kami melihat sosok Pak Rafka yang sedang mengobrol dengan Bela di koridor. Aku memutar bola mata dengan malas, mereka berdua itu hobi banget ya mengobrol di tempat yang semua orang bisa melihatnya?

"Praduga lainnya adalah, Bela punya dua ponsel. Yang satu Iphone, yang satu Oppo."

Perbincangan ini membuatku muak. Dengan gerakan malas, aku pun bangun dari duduk lalu pamit untuk ke kelas lebih dulu. "Gue duluan."

• • •

Jam pelajaran bahasa Inggris sudah dipastikan kosong, aku pun memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Sesampainya di sana, aku malah melihat sosok yang sedang hangat dipergosipkan satu sekolah itu tengah memimpin sebuah diskusi. Seperti sudah sepaket, di sampingnya duduk seorang tuan putri yang matanya menyiratkan kekaguman. Dan aku di sini melihat mereka dengan penuh ketakjuban.

Belum 24 jam jadian, gue udah jadi pacar yang tersakiti aja.

Malas membuang waktu untuk melihat ke-uwu-an mereka, aku pun kembali dengan tujuan utamaku mendatangi perpustakaan. Membaca buku. Aku mencari buku terkait psikologi yang akhir-akhir ini menarik minatku. Dunia psikologi sangat menarik untuk dijelajahi karena memiliki relasi yang kuat dengan kehidupan sehari-hari kita. Bagaimana cara kita untuk mengenali diri sendiri, cara menilai tindak-tanduk orang lain, atau bagaimana cara hidup bersosial yang baik dan benar.

Setelah beberapa menit mencari, aku menemukan satu buku yang cukup menarik. Dari sinopsisnya aku bisa mengetahui bahwa buku itu membahas mengenai cara untuk mengetahui kepribadian orang lain yang sesungguhnya.

Siapa tahu sehabis membacanya aku jadi bisa tahu Pak Rafka yang sebenarnya seperti apa. Apakah dia sejenis buaya atau hewan predator lainnya kan nggak ada yang tahu.

Aku memilih meja perpustakaan yang paling pojok dan mendudukkan diri di sana. Sekilas aku bisa melihat Pak Rafka masih berdiskusi dengan para muridnya dan ... masih ada Bela. Saat aku mengamati mereka, tiba-tiba Pak Rafka melihat ke arahku. Dia tampak sedikit terkejut yang hanya kubalas dengan tatapan datar.

Aku langsung fokus membaca buku.

• • •

Mataku mengerjap saat perlahan cahaya masuk ke celah-celah korneaku. Aku merasakan pegal di beberapa bagian tubuh karena rupanya aku ketiduran saat membaca buku. Kepalaku terasa berat untuk terangkat dari buku yang kujadikan bantal selama tertidur tadi. Bayangan seseorang yang duduk tidak terlalu jauh dariku terlihat buram saat aku mencoba memperjelas penglihatan. Butuh beberapa detik hingga aku bisa melihat bayangan itu dengan sempurna.

Pak Rafka?

Laki-laki itu tengah fokus membaca buku di hadapannya. Wajahnya terlihat teduh dengan alis tebalnya yang kadang mengerut sesekali. Hingga tanpa sadar bibirku sudah mengulas senyum tipis.

Pantas dia sering menyebut diri sendiri ganteng. Karena kenyataannya memang begitu.

Pada momen yang tidak kuduga, Pak Rafka balas menatapku. Kami akhirnya saling bertatapan dan apa yang aku rasakan kemarin kembali menyergap pelan-pelan. Perasaan campuran dari rasa aneh, malu, senang dan bingung menjadi perpaduan yang sulit dimengerti.

Kesadaranku kembali ketika telingaku menangkap bunyi detak jam tangan yang kupakai. Aku segera mengangkat kepala dan melihat pukul berapa sekarang.

Sumpah, aku tertidur hampir satu jam?!

Dengan sedikit panik, aku merapikan pulpen dan sticky notes di atas meja. Saat ingin menutup buku yang tadi kubaca, gerakanku terhenti karena melihat selembar sticky notes yang tertempel di halaman buku yang terbuka. Aku membaca tulisan tangan yang tampak tak asing itu.


Tanpa harus berpikir keras, aku sudah tahu itu ulah siapa. Aku menoleh ke samping, Pak Rafka sudah kembali fokus dengan kegiatan membacanya. Aku tidak tahu harus seperti apa mendefinisikan diri laki-laki itu. Dia terlalu ajaib untuk ukuran laki-laki normal seusianya.

Aku menutup buku itu setelah menuliskan sesuatu pada sticky notes berbeda. Usai menulis, aku meninggalkan bangku yang kududuki dan berjalan menuju penjaga perpustakaan untuk meminjam buku.

Saat melewati laki-laki itu, aku meninggalkan sticky notes pada meja di hadapannya lalu pergi dengan perasaan norak yang mungkin bisa disebut sebagai rasa ... senang?

• • •

RAFKA

Jaguar gue hentikan tepat di depan sebuah rumah minimalis bernuansa asri dengan pekarangan yang banyak ditanami berbagai macam pohon dan bunga. Gue membuka helm dan merapikan tatanan rambut setelahnya. Dengan berkaca di spion Jaguar, gue memeriksa wajah gue dengan seksama.

Alis rapi, check!

Hidung mancung tanpa pengok, check!

Rahang mulus tanpa bulu, check!

Apa lagi? Oh, iya! Dua lesung pipi yang makin manis, check!

Usai mengecek kondisi ketampanan, gue pun turun dari motor lalu berjalan menuju teras rumah Alfy. Pintu utama rumahnya terlihat menutup. Dengan jantung yang dangdutan di dalam sana, gue menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

"Assalamu'alaikum."

Tak lama sahutan salam terdengar dari dalam. "Wa'alaikumussalam. Al, ada tamu! Coba lu lihat ke luar siapa tamunya. Ini lagi nanggung, suaminya yang selingkuh udah mau ketahuan sama istri pertamanya."

Gue meringis pelan. Calon mertua gue ternyata peminat sinetron istri yang tersakiti?

"Iya-iya. Elah, ganggu aja." Suara tak asing yang tidak lain milik Alfy itu tak lama terdengar, disusul dengan derap langkah kaki yang mendekat ke arah pintu.

Beberapa detik setelahnya pintu pun terbuka. Sosok Alfy yang bersetelan baju kebesaran dengan paduan celana training muncul di hadapan gue. Sama halnya dengan gue yang terkejut, Alfy juga membelalakan matanya setelah melihat gue yang sedang berdiri menahan pegal di depan pintu rumahnya.

"Lho? Pak Rafka? Ngapain?" tanyanya bingung.

Gue meringis, menggaruk tengkuk yang tiba-tiba gatal. "Main," jawab gue sambil cengengesan.

"Main apaan?"

Astaga, Maemunah! Ya lo pikir aja gue malam minggu gini main ke rumah pacar buat apa kalau bukan untuk mengajak jalan? "Main gapleh. Mau ikut?"

"Nggak."

Gue menghela napas. "Ya udah kalau nggak mau. Gimana kalau jalan?"

"Nggak mau juga," jawabnya julid.

Melihat wajah gue yang tertekuk, cewek itu tertawa. "Santai kenapa sih, Pak, saya bercanda. Sok duduk dulu, ntar varises lagi."

Gue pun duduk di bangku teras yang sedari tadi sudah teriak-teriak minta diduduki. "Ih, amit-amit. Kamu mau punya suami varises?"

"Asal kaya gapapa," jawabanya santai membuat gue melotot. "Bapak mau minum apa?"

"Minumbuhkan cinta di hatimu boleh?"

Gantian dia yang menekuk wajah. "Saya kasih air keran aja kalau gitu."

Gue terkekeh. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi Alfy hendak masuk ke dalam, gue menghentikannya. "Eh, mau kemana? Ambil air keran?"

Alfy kembali memutar badannya menghadap gue. "Oh, beneran mau air keran?"

Kepala gue menggeleng. "Tapi saya mau ajak kamu jalan, nggak bertamu lama. Itu pun kalau kamu mau."

Cewek itu menghela napas. "Iya saya tahu. Ini saya mau ganti baju dulu. Ya kali keluar rumah kayak gembel gini."

"Kamu masih tetap cantik, kok."

"Semua jenis cowok di masa PDKT pasti bilang kayak gitu. Saya nggak percaya." Alfy menatap gue datar tapi kemudian mempersilakan gue untuk masuk ke dalam.

"Bapak tunggu di ruang tamu aja. Soalnya waktu yang saya pakai buat dandan bisa cukup buat naik haji sekali."

"Kalau saya beneran naik haji dulu, kamu yang bayarin?"

"Harus banget saya jawab?"

Wajah Alfy sudah berubah menyeramkan dan gue pun memilih bungkam sebelum dia berevolusi menjadi ganas. Gue pun mengikuti Alfy untuk masuk ke dalam rumahnya. Ini pertama kalinya gue menginjakkan kaki ke sini, sebelum-sebelumnya gue hanya mengantar Alfy sampai ke depan rumahnya. Ini lampu hijau buat gue nggak, sih? Karena gue sudah mencium bau-bau biaya catering, biaya sewa gedung dan biaya penghulu.

Alfy langsung meninggalkan gue di ruang tamu seorang diri. Dia sempat kembali lagi membawa secangkir teh untuk gue dan jelas bukan air keran seperti yang dia bahas tadi. Setelah itu dia benar-benar menghilang dan tidak lama kemudian ibunya malah menggantikan dia untuk menemani gue mengobrol.

"Eh, kamu? Yang pernah antar Alfy pulang kan, ya?" tanya ibunya Alfy yang ternyata masih mengingat gue.

Gue mengangguk sopan. "Iya, Tante. Saya Rafka, gurunya Alfy di sekolah."

"Oh, guru. Tante malah ngiranya kamu pacar Alfy. Atau ... emang pacar?"

Sedikit malu-malu dugong gue mengangguk. "Iya, Tante."

• • •

Kami tiba di lapangan indoor tempat gue biasa bertanding futsal dengan teman-teman gue. Turun dari motor, gue langsung menggandeng Alfy dan mengajaknya masuk untuk bertemu dengan teman-teman gue yang sudah menunggu.

Sambil berjalan di sampingnya, gue sesekali melirik dia. Memastikan kalau dia memang benar-benar Alfy. Jelas, ini seperti kemustahilan dalam hidup seorang Muhammad Rafka. Kalau ceweknya bukan Alfy mungkin wajar-wajar saja, maklum ketampanan gue ini mana bisa membuat cewek menolak. Tapi ini Alfy, cewek yang kayaknya punya dendam kesumat setiap kali gue menggombali dia. Lalu dengan hal konyol lewat tragedi hotspot kemarin, gue dan dia tiba-tiba saja sudah official.

Ini gue patut curiga nggak, sih? Jangan-jangan dia lagi nge-prank gue?

"Jangan mikirin yang nggak-nggak," omelnya sambil mendorong wajah gue untuk tidak lagi menatap ke arahnya.

Gue menyengir lebar. "Kalau tentang kamu, aku malah nggak bisa untuk nggak mikir yang nggak-nggak."

"Dih, nggak salah tuh bilang aku-kamu?" ledeknya.

Gue mengeratkan genggaman kami. "Nggaklah. Kan udah pacaran." Senang rasanya ketika melihat dia tersenyum karena ucapan gue. "Awas aja kalau kamu sampai panggil aku 'Bapak' di depan teman-teman aku nanti."

"Terus manggilnya apa? Om?"

"Panggil sayang, dong-aduh!" Gue mendapat cubitan keras di perut. "Yaudah, panggil nama aja, deh. Kalau mau ditambah embel-embel 'ganteng' juga nggak pa-pa."

"Ih, nggak bisa!" Dia menekuk bibirnya. Astaga, gemesin banget. "Umur kita kan selisihnya lumayan jauh."

"Cuma lima tahun. Alay banget."

Alfy tetap menggeleng tak setuju. "Pokoknya nggak bisa kalau panggil nama aja."

"Wey, ada siapa, nih?"

Kami berdua terinterupsi dengan kemunculan seseorang. Ternyata itu adalah Dika, salah satu teman nongkrong gue. Sama halnya seperti gue, dia juga tengah menggandeng pacarnya yang kalau gue nggak salah ingat namanya adalah Tiara.

"Baru dateng juga lo?" sapa gue yang dia balas dengan anggukan.

Dika menunjuk Alfy dengan kerlingan matanya. "Udah ada gandengan baru, nih?"

"Kayak lo pernah lihat gue bawa gandengan aja ke sini," balas gue membuat dia tertawa.

"Iya juga." Dika membenarkan. "Kuy lah ke dalem. Yang lain udah nunggu."

Kami berempat pun akhirnya berjalan beriringan menuju ruang ganti tempat biasa gue dan yang lainnya berkumpul sebelum bermain futsal. Setibanya di sana, suasana sudah ramai. Rupanya teman-teman gue sudah dalam formasi lengkap. Alfy yang awalnya terlihat kikuk mulai bisa mengimbangi dan berkenalan akrab dengan teman-teman gue di sana.

"Dika, Rio, Farhan, Rehan, Aldi, Bagas, dan ... Ucup!" Alfy menyebutkan nama teman-teman gue satu persatu yang diakhiri dengan gelak tawa kami semua.

"Cuma Alfy yang ketika manggil gue Ucup nggak bikin gue kesel," seru Ucup yang bernama asli Yusuf itu mengundang gue untuk menjitak kepalanya.

Ucup mengacungkan dua jarinya membentuk peace. "Gue masih makan nasi, Raf. Santai aje."

Obrolan pun berlanjut. Kami membahas hal-hal ringan sebelum semua laki-laki di sini berganti pakaian karena permainan futsal akan segera berlangsung.

"Aku ganti baju dulu, ya," pamit gue sebelum meninggalkan Alfy bersama Tiara di sana.

Usai mengganti hoodie gue dengan jersey abu-abu, gue tidak lagi melihat Alfy di tempat gue meninggalkannya. Gue pun beranjak ke luar untuk mencarinya. Dan ternyata cewek itu sudah duduk di trimbun penonton dengan Tiara di sampingnya. Gue menghampirinya.

"Kirain ngilang," ucap gue sambil menyodorkan ponsel gue padanya. "Titip hape, ya. Sandinya tanggal jadian kita."

"Masih jaman pake tanggal jadian buat sandi hape?" Bukan Alfy yang menjawab, tapi Tiara yang menyeletuk dengan nada meledek.

"Kayak sandi hape lo bukan tanggal ultah Dika aja. Sama-sama alay dengan cara yang berbeda nggak usah ngeledek, deh!"

Tiara mendengus dan Alfy yang menyaksikan perdebatan kami hanya bisa tertawa dibuatnya. Tak lama kemudian suara peluit panjang mengalihkan fokus gue. Pertandingan akan segera dimulai. Dika dan yang lainnya sudah memasuki lapangan.

Sebelum bergabung bersama mereka, gue menyempatkan untuk tersenyum pada Alfy dan mengacak-acak pelan puncak kepalanya yang tertutup jilbab abu-abu itu.

"Aku main dulu, ya."

• • •

ALFY

Pertandingan futsal sudah selesai saat waktu sudah menunjukkan jam sepuluh malam. Saat ini aku sedang menunggu Pak Rafka berganti pakaian. Aku memutuskan untuk menunggunya di luar, lebih tepatnya sambil memandangi lalu lalang kendaraan di jalan raya yang masih nampak ramai. Angin malam mengusikku, membuat pelukanku pada hoodie yang kupakai semakin erat.

Pikiranku tiba-tiba kembali mengingat kejadian di mana Pak Rafka mengacak-acak puncak kepalaku sesaat sebelum dia bertanding. Jelas, itu bukan pertanda baik. Yang dia acak-acak itu puncak kepala, tapi entah kenapa yang berantakan malah hati. Konyol banget.

Aku memijit pelipis. Tiba-tiba terpikir apakah keputusan yang aku ambil ini adalah sesuatu yang benar atau tidak. Masalah official-nya hubunganku dengan Pak Rafka tidak sepenuhnya karena perasaan. Maksudku, mungkin saat ini Pak Rafka sudah berhasil membuatku menyukainya tapi untuk sampai di tahap memiliki perasaan yang lebih dari itu aku belum memikirkannya.

Yang kutakutkan ini adalah bentuk pelarianku yang masih ada hubungannya dengan Pak Rafli. Aku takut jika pada akhirnya Pak Rafka terluka karena ini. Semuanya terasa gamang. Jauh di lubuk hati, melupakan Pak Rafli ternyata belum bisa kulakukan sepenuhnya. Aku takut Pak Rafka hanya menjadi pelarian atas hal tersebut. Aku takut.

Tanganku merogoh kantong hoodie dan mengeluarkan ponsel milik Pak Rafka yang masih ada padaku. Terbersit keinginan untuk membuktikan apakah sandi ponselnya benar-benar tanggal jadian kami. Ragu, aku menekan tombol power pada ponselnya, lalu menggeser layarnya ke atas dan muncul pengamanan ponsel menggunakan sandi. Aku mengetikkan satu per satu angka sesuai dengan tanggal kemarin.

310720

Aku terpekur ketika sandi itu benar. Kini aku bisa melihat wallpaper home screen ponsel Pak Rafka yang ternyata foto pemandangan di atas rooftop sore itu. Aku bahkan tidak pernah mengira bahwa hal kecil yang masih ada hubungannya denganku itu begitu penting bagi dia.

"Jangan melamun, nanti kesambet."

Pak Rafka tiba-tiba sudah di sampingku. Dia mengamati wajahku dengan seksama sampai membuatku salah tingkah karenanya.

"Kenapa, sih?" tanyaku ketus. Aku mengembalikan ponselnya dengan gerakan kasar.

"Galak banget. Obatnya udah abis, ya? Perasaan tadi kalem banget."

Aku memukul lengannya. "Udah malem. Yuk, pulang!"

Baru satu langkah aku berjalan mendahuluinya, laki-laki itu menahan lenganku. Detik setelahnya Pak Rafka tahu-tahu sudah berjongkok di depanku dan mengikatkan tali sepatuku yang ternyata terlepas dari ikatannya. Bukannya terharu atau bagaimana, aku malah risi. Masalahnya momen ini juga ikut disaksikan oleh beberapa pasang mata yang melihat kami dengan tatapan iri.

"Pak, ngapain, sih? Saya bisa sendiri, kok."

Laki-laki itu mengabaikanku dan fokus dengan kegiatannya. Aku pun tidak bisa berkutik dan membiarkannya melakukan itu. Saat aku mendongak, mataku tak sengaja menangkap sosok tak asing yang sedang melihat ke arah kami dari dalam mobilnya. Di balik kaca mobilnya yang terbuka separuh, dia menatapku dengan Pak Rafka bergantian, lalu tersenyum dan pergi bersama mobilnya yang bergerak menjauh.

Otakku berpikir keras. Perempuan itu seperti ... Mbak Wulan. Iya, perempuan itu memang Mbak Wulan. Perempuan yang waktu itu nyaris kena pukul oleh Pak Rafka di hari pertama aku dan Mbak Wulan bertemu. Lalu, apakah pertemuan kami kali ini bukan sebuah ketidaksengajaan? Melainkan Mbak Wulan yang kembali mengejar-ngejar Pak Rafka yang ia akui sebagai kakaknya?

"Hei, melamun lagi. Mikirin apa, sih?"

Aku segera menggeleng. Aku tidak mungkin menceritakan tentang Mbak Wulan pada Pak Rafka. Karena aku tahu sekali topik ini sangat tidak disukai laki-laki itu. "Yuk, pulang."

Perjalanan pulang kami diisi dengan obrolan-obrolan hangat yang membuatku sampai tidak sadar bahwa kami sudah tiba di depan rumahku. Waktu memang tidak adil, ya? Dia berlalu begitu cepat untuk hal-hal yang menyenangkan.

Aku bergegas turun dari boncengan laki-laki itu. "Makasih, Pak, untuk malam ini."

Pak Rafka ikut turun dari motornya tanpa melepas helm. "Terbalik. Harusnya aku yang bilang makasih. Maaf nggak sempat ajak kamu makan karena takut kemalaman."

"Santai. Kan ada ini." Aku mengangkat bungkusan martabak di tanganku dengan bangga. Saat di jalan tadi kami sempat mampir sebentar untuk membeli martabak. Karena selain mie ayam, makanan manis itu juga menjadi makanan favoritku.

Laki-laki itu menyentuh sekilas puncak kepalaku. "Nanti jangan lupa chat, ya, kasih tahu martabaknya enak atau nggak."

Aku mengangkat jempol sebagai jawaban. Laki-laki itu pun bergegas kembali ke motornya, namun aku menahan tangannya dengan segera.

"Kenapa? Udah kangen, ya?" tanyanya narsis.

"Ngarep!" tukasku. "Itu ... saya ... saya nggak punya kontak Bapak."

Dia menatapku dengan tatapan sumpah lo nggak punya nomor pacar lo sendiri? Tapi kami memang belum saling bertukar pesan selain lewat DM Instagram dan itu pun baru beberapa kali saja. Tak lama berselang dia tertawa geli. "Pacaran macam apa kita ini? Sampe nggak punya nomor telepon. Sini, mana hape kamu?"

Aku pun menyerahkan ponselku padanya dan membiarkan laki-laki itu menambahkan sendiri nomor telepon miliknya. Dia mengembalikan ponselku. "Kalau namanya diganti, kita nikah."

Perkataannya langsung membuatku curiga. Dan benar saja, saat aku mengeceknya, dia ternyata menamai kontaknya sendiri dengan nama 'Calon Imam'.

Aku mengernyit jijik. "Pokoknya bakal tetap saya ganti. Saya nggak takut sama ancaman Bapak!"

Laki-laki itu malah menyeringai. "Kamu nggak takut karena emang beneran pengen dinikahin aku, kan? Hayo, ngaku!"

"Your wish, Muhammad Rafka!" Aku mendorong punggung belakangnya sebagai bentuk pengusiran terhadapnya. "Pulang sana!"

"Pacar kalau lagi blushing kok lucu banget, sih." Pak Rafka hendak mencubit pipiku namun aku segera menepisnya. "Jadi pengen bungkus terus bawa pulang."

Bungkus saya, Pak! Bungkus!

• • •

3000+ KATA WOY!
GILA GA TUCH:P

UPDATE CEPET NIH, JAN DIOMELIN YA AUTHORNYA!!!

TBC
JAN LUPA VOTE DAN COMMENT

Seguir leyendo

También te gustarán

3.3M 166K 25
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
17.4K 1.6K 6
Satu tahun menjalani hubungan membuat Nayyara Ayu Prameswari yakin untuk menerima lamaran Rafisqi Alterio Mahawira, seorang Wakil Direktur di tempatn...
3.1K 639 38
💜LavenderWriters Project Season 06💜 ||Kelompok 04|| #Tema; Past Time •Ketua : Amanda •Wakil Ketua : Tiara --- Orang bilang senyumnya indah, tatapan...
6.6K 418 16
Kehidupan yang terombang-ambing bagai ombak air laut. Menerima kekecewaan yang tak pernah usai, selalu mendapat harapan palsu yang sebenarnya memuakk...