NYANYIAN LUMUT : 5 Lights & L...

Por lucklutz

2.4K 526 697

Dua puluh tiga tahun sejak perang nuklir terakhir, dimensi yang dinamakan Midgard (bumi) terpecah menjadi ti... Mais

DUNIA DALAM DIMENSI
DESA SAWAR
OPERASI DIMULAI
🌾Cast Character🌾
PERTANYAAN
KISAH SAMER
TAMAN GANTUNG
BATU TULIS
5 LIGHTS & LUTIFIA'S FOOT 2
WARPAINT
BLOODSTAIN
DARAH PADA MAHKOTA
AWAL BENCANA
LYRA
LYRA 2
LYRA 3
HILANGNYA API
HILANGNYA API 2
HILANGNYA API 3
KEMBALI KE DESA SAWAR
PEMUKIMAN DI BALIK KABUT
EPILOG

5 LIGHTS & LUTIFIA'S FOOT 1

127 31 35
Por lucklutz

"Humm jadi seperti itu. Baiklah peramal Mere mari kita coba." Ketua suku mengangguk-anggukkan kepalanya.

Semua orang berkumpul melingkari altar batu tulis. Dicki merapatkan giginya hingga terdengar suara geratan. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Perasaan itu sangat membuncah memaksa ingin keluar. Sesekali terbesit dikepalanya keinginan untuk membawa kabur Lutifia, namun pikiran itu seketika ditolak dengan niat lain, yaitu kekuatan untuk menggertak negara Amsta.

Ketika peramal Mere mempersilahkan Lutifia memasuki lingkaran altar, tubuhnya menegang. Kakinya gemetar dan langkahnya pun terbilang pendek. Tepat di tengah altar Lutifia menghentikan langkah. Di bawah kakinya ada gambar jejak kaki yang secara kebetulan ukuran itu sangat pas dengan telapak kaki miliknya.

Tanpa menunggu lama, peramal Mere segera melafalkan mantra menggunakan tongkat yang tiba-tiba muncul di genggaman tangannya. Diaz sedari tadi hanya melihat ke arah peramal Mere, seperti menunggu sinyal darinya. Benar saja, setelah nenek tua itu mengeraskan suara seraknya yang khas, Diaz mulai mengambil posisi dari penonton menjadi pelaksana.

Gadis dengan satu lengan itu berdiri tepat di belakang Lutifia dan peramal Mere di depan. Mereka mulai menyanyikan mantra lain. Lutifia tidak tahu apakah itu memang keunikan mantra dari suku itu atau memang ada sebab lain, tapi mantranya sangat panjang.

Setelah beberapa saat, mereka pun berhenti melafalkan mantra. Peramal Mere dan Diaz memasang raut wajah kebingungan. Seperti sedang berkode, peramal Mere menatap kepala suku. Mereka berkumpul dan mendiskusikan sesuatu menggunakan bahasa mereka. Samer bergabung ketika merasa ada yang tidak beres.

"Apa ada yang salah?" tanya Samer pada ketiganya.

"Altar batu tulis tidak merespon sama sekali padahal mantra kami sudah sempurna. Apa karena itu ..." Diaz tidak menyelesaikan ucapannya sehingga membuat Samer semakin bingung.

"Katakan apa itu?"

"Pemberiannya tidak setara. Syaratnya kurang. Kukira kita sudah tidak membutuhkannya karena ini Tifa, nyanyian lumut. Ternyata aku salah perhitungan, maafkan aku ketua suku." Peramal Mere membungkuk di depan ketua suku.

"Angkat kepalamu Peramal Mere, di sini posisimu tetua tolong pertimbangkan itu. Tidak ada pilihan lain, kita lakukan saja seperti biasa."

Ketiga orang itu sangat kebingungan. Diaz menggigit kukunya berkali-kali. Sebenarnya ia tidak sanggup melihat ada pengorbanan lagi. Akan sangat sulit mencari tumbal, pastinya ada penolakan dari orang tua si anak, apalagi di situasi yang serba mendadak seperti ini.

Sambil terus menggigit kukunya, Diaz mengamati orang-orang yang berkumpul di altar batu tulis. Menimbang berapa anak dan pemuda yang tersisa di desanya, hanya bisa terkumpul empat. Tumbal terakhir, ia tidak yakin akan mengambil anak itu. Bayi yang baru saja lahir seminggu yang lalu, tidak mungkin juga ia mengambilnya secara paksa. Tidak ada pilihan lain, Diaz meminta ketua suku untuk berbicara dengan orang tua dari bayi itu secara langsung.

Derai air mata pun pecah dari sepasang suami istri yang melepas gendongan bayinya kepada peramal Mere. Keempat anak dan pemuda sudah menempati tempatnya mengelilingi Lutifia, terakhir peramal Mere meletakkan bayi itu mengikuti bentuk segi lima yang belum sempurna. Lutifia tahu apa itu artinya. Dengan langkah panjang Lutifia berusaha menghentikan peramal Mere.

"Cukup sampai di situ peramal Mere, aku yang akan menggantikannya." Susi menghentikan tangan peramal Mere yang sudah satu kepalan dari lantai altar batu tulis.

Lutifia yang sudah dekat langsung mendorong tubuh Susi menjauh. "Apa kau sudah tidak waras Susi Liyer? Jangan libatkan dirimu! Aku tidak butuh kekuatan atau apalah itu!"

Susi tersenyum masam. "Lalu bagaimana dengan mereka?"

Lutifia membalikkan badannya. Betapa terkejutnya dirinya mendapati adik dan sahabatnya menempati pola segi lima dari altar batu tulis. Ia sudah kehabisan kata-kata. Entah kenapa mereka semua begitu keras kepala. Sangat tidak mungkin mereka tidak tahu arti dari tumbal.

Semua pikiran buruk menjalar memenuhi otak Lutifia. Seperti hal buruk sudah terjadi, padahal ritualnya saja belum dimulai. Semua orang terharu dan memeluk anak mereka. Diaz terlihat usai menyeka air matanya. Semua mata di sana memperlihatkan perasaan haru dan terima kasih.

Peramal Mere dan Diaz sudah menempatkan diri di posisi semula. Para warga mulai tertib dan mengikuti rangkaian ritual. Lutifia masih belum kembali ke tengah altar, ia masih ragu. Bukan, lebih tepatnya dia takut ketika ritual selesai hanya dirinya yang kembali.

"Kami percaya padamu Tifa!" teriak Daya.

"Mari kita lakukan bersama-sama!" disusul Tere.

"Ayo! Apa yang kau tunggu, kami sudah siap." Dicki menambahkan.

Susi menepuk pundak Lutifia. "Jangan kau pikul beban berat di pundakmu sendirian, biarkan kami membantu juga. Lekas pergilah ke tengah."

Lutifia menetapkan hatinya dan berjalan ke tengah altar batu tulis. Peramal Mere dan Diaz menyanyikan kembali mantranya. Lutifia memejamkan mata sambil bergumam.

Kumohon biarkan mereka selamat kumohon kumohon kumohon!!!

Setelah mantranya selesai, rune pada batu tulis mulai menyala. Dari pinggiran altar kemudian merambat ke tengah. Nyalanya biru terang seperti warna pada telaga di dalam pohon leluhur. Cahaya rune mulai merambati tubuh keenam pemuda itu. Mereka tidak merasakan apa pun, namun rune itu terukir layaknya tato diseluruh badan mereka.

Lutifia terus bergumam dengan mata tertutup. Hembusan angin mulai terasa dari bawah kaki Lutifia. Altar batu tulis menyala terang sehingga keenam pemuda itu tidak dapat terlihat dan ada semacam angin yang mengelilingi altar. Banyak debu yang beterbangan. Membuat semua orang berjalan mundur menjauhi altar batu tulis.

Beberapa saat kemudian, Lutifia sudah tidak merasakan hembusan angin dari bawah. Ia malah mendengar suara cuitan burung. Lalu angin lembut dari segala arah menerpa dirinya. Ia tidak berani membuka mata, segala hal buruk masih berkelut di dalam pikiran gadis itu. Dalam kegelisahannya, terasa sebuah tangan yang sangat lembut menyentuh pergelangan tangannya. Lutifia terjingkat, ia mulai membuka mata ketika orang itu memanggil nama tengahnya.

"Zera."

Suaranya sangat lembut. Mata Lutifia menilai keseluruhan penampilan perempuan yang ada tepat di hadapannya. Rambutnya hitam pekat seperti langit malam, kulitnya putih langsat dan wajahnya terlihat cantik sekaligus menyegarkan.

Perempuan itu memakai baju hijau daun dan banyak rumbai sehingga rumbai tipisnya akan melambai-lambai jika terkena angin. Sungguh seperti seorang malaikat. Itu aneh untuk dirinya yang terpesona dengan sesama perempuan, tapi Lutifia tidak bisa menyangkalnya perempuan itu benar-benar seperti malaikat.

"Uhh ... ahhh, ya?"

"Akhirnya kau sampai juga, aku sudah menunggu lama," ucap perempuan itu.

"Umm maaf, apakah aku mengenalmu?"

Tak disangka perempuan itu malah tertawa. Lutifia berpikir keras, bagian mana dari perkataannya yang lucu? Apa memang dia yang tidak punya selera humor. Lutifia semakin tidak mengerti perempuan itu. Terlepas dari tawa perempuan itu, Lutifia baru menyadari dia berada di tempat yang sangat berbeda dengan sebelumnya.

Ia mengamati setiap detail dari tempat itu. Pohonnya rimbun, banyak bangsa pixie yang beterbangan kesana kemari. Di beberapa daun dan semak terlihat makhluk kecil hijau seukuran belalang daun. Bentuk badannya sama persis dengan para pixie tapi mereka tidak menyala. Ada beberapa dari mereka yang mengintip. Sangat ingin tahu juga ketakutan, Lutifia pikir itu sangat lucu.

Ada beberapa hewan yang bercahaya seperti para pixie. Lutifia hampir melupakan hal yang sangat penting, ia tidak melihat satu pun dari sahabatnya maupun Dicki didekatnya. Keringat dingin mulai membasahi kedua telapak tangannya. Wajahnya berubah menjadi pucat. Perempuan itu telah menghentikan tawanya setelah merasakan perubahan energi pada Lutifia.

"Aku Qea, nyanyian lumut sebelum dirimu. Kita sudah beberapa kali berbincang kan?" Qea menyeret tangan Lutifia lalu duduk di batang kayu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri semula.

"Qea, di mana teman-temanku? Lalu apakah tempat ini dunia ruh? Kalau iya katakan padaku, apakah aku bisa mendapat kekuatan penuhku di tempat ini?"

"Mereka aman, karna kau yang telah mengamankan mereka. Kau benar ini dunia ruh."

"A-aku tidak melakukan apa pun. Bagaimana bisa? Hemph tak apa, asalkan mereka aman itu sudah cukup."

Qea bisa merasakan ke mana pandangan Lutifia ditujukan. "Mereka bangsa lilim, pelindung hutan. Kau juga bisa menjumpai mereka di midgard jika beruntung, mereka sangat pemalu."

"Aku baru pertama kali melihatnya. Kita kesampingkan dulu hal ini, katakan bagaimana aku bisa mendapat kekuatan penuhku?"

"Kau tidak bisa. Kamu sendiri yang memecah kekuatanmu menjadi lima dan menanamkannya di setiap jiwa temanmu. Yang tersisa darimu hanyalah sihir penyembuhan dari cabang Ygdrasil."

"Apa hal itu juga yang membuat mereka selamat dari ritual di altar batu tulis?"

Qea mengangguk.

"Itu berita baik, lalu di mana mereka?"

"Membentuk kontrak dengan roh yang berelemen sejenis. Kau sudah terkontrak denganku sejak aku pertama kali bertemu ibumu, kontraknya diturunkan."

"Kau ... roh? Lalu apa ada roh lain di sekitar sini?"

"Ya aku roh tanaman, walau dulunya manusia. Kau bisa menjumpai roh di mana pun. Para roh mengambil bentuk sesuka hati mereka, kadang dalam bentuk tanaman, hewan, atau bentuk sepertiku. Menyesuaikan elemen yang mereka miliki."

"Bagaimana bisa manusia jadi roh?"

"Aku spesial."

"Ada yang mengganjal pikiranku tentang tumbal untuk membuka gerbang dunia ruh. Apa itu perbuatan para roh di sini?"

"TIDAK! Kami selalu hidup damai. Kami tidak pernah meminta tumbal pada para mortal. Itu perbuatan Surt pemimpin di Muspellheim. Penduduk Muspellheim akan bertambah kuat jika memakan energi negatif dari para mortal. Kami tidak bisa merusak rune sihir yang dipasang oleh Surt. Tapi kau bisa Zera."

"Omong kosong macam apa ini. Aku mematahkan sihir Surt? Kalian saja tidak bisa, lalu bagaimana caraku mematahkannya. Sudahlah aku akan kembali."

Ketika Lutifia akan mengklikkan jarinya, Qea meraih tangan Lutifia dan melepas cicin giok hijau yang tersemat di jari tengah gadis itu. Lutifia melotot pada Qea. Qea menggenggam erat cincin itu dan merapatkan Kedu tangan. Seketika cahaya merah keluar dari kepalan tangan Qea. Batu cincin yang awalnya berwarna hijau berubah menjadi merah delima. Qea mengembalikan cicin yang habis direbut paksa olehnya.

"Insting kuatmu sangat keren. Kau tau apa ini? Ini adalah batu sihir roh. Di Midgard kalian biasa menamainya permata Eurika, batu ini hanya bisa dijumpai di kota Afrika Selatan. Batu ini akan berfungsi setelah dinetralisasi. Hal itulah yang tadi kulakukan. Ini bisa mengontrol kekuatanmu jika lepas kendali."

Lutifia melepas kalung perak di lehernya dan mengaitkan cincin merah delima itu dengan kalung dan menyematkan lagi pada leher rampingnya. "Terima kasih, Qea."

"Ingat Zera kita bisa terhubung, cukup sebut namaku jika ingin memanggilku."

"Yosh."

Catatan :
Rune : tulisan mantra sihir.
Pixie : sejenis peri kecil seperti thinkerbell tapi berwana biru dan tubuhnya menyala.
Mortal : fana (disini merujuk pada manusia)
Ygdrasil : pohon dunia
Lilim : bangsa penunggu hutan, mereka punya sayap seperti pixie, berwarna hijau.

Continuar a ler

Também vai Gostar

5K 4.6K 41
Book 1 of series pemburu Singkat saja Griz. Hanya kau sendiri yang bisa menentukan jalan apa yang akan kau ambil. Mau bagaimanapun resikonya, jalanmu...
1K 282 21
Gretta Windsor, seorang perempuan yang berharap memiliki hidup normal. Namun setelah kematian Neneknya, ia dihadapkan dengan kenyataan bahwa dirinya...
3.6K 470 35
The Sorcerer Supreme Series Genre: High Fantasy, Philosophy # 1 in Sorcerer [ 2-03-2019] # 3 in Magicworld [05-02-2020] # 3 in Hihghfantasi [5-02-202...
4.6K 1K 31
Berkeliling ke berbagai dunia lewat mimpi. Bersiaplah, karena sebentar lagi, kita akan menjelajahi dunia mimpi bersama. [30 Daily Writing Challenge N...