Ineffable

By Ayyalfy

225K 28.9K 8.3K

Ineffable (adj.) Incapable of being expressed in words. . . Kisah cewek yang ditembak oleh pemilik hotspot be... More

Prolog
1 | Orang Ganteng
2 | Iklan KB
3 | Dasi
4 | Akrobatik
5 | Friendzone
6 | Bu Jamilah
7 | Adik Ipar
8 | Monyet Terbang
10 | Bungkus!
11 | Putri Tidur
12 | Mr. Sastra
13 | Mr. Sastra II
14 | Laki-laki Bertopeng
15 | Ice Cream
16 | Mamang Rossi
17 | Grup Sepak Bola
18 | Don't Go
19 | Bad Genius
20 | Pergi
21 | Dendam
22 | Bunuh Diri
23 | Berantakan
24 | Cinta Segitiga
25 | Memilih
26 | Hotspot 'Lagi'
27 | Andra
28 | Makna Cinta
29 | Ich Liebe Dich
30 | Bubble Tea
31 | Centang Biru
32 | 9u-7i > 2(3u-3i)
33 | Sundel Bella
34 | Couple Al
35 | Gelang Hitam
36 | Uncle Rafka
37 | Bolos
38 | Pak Moderator
39 | Kejutan
40 | My Lil Sister
41 | It's Only Me
42 | Tom & Jerry
43 | The Moon is Beautiful, isn't it?
44 | The Sunset is Beautiful, isn't it?
45 | Meant 2 Be
EPILOG
EXTRA PART I

9 | Hotspot

5.7K 763 152
By Ayyalfy

RAFLI

Di bawah lampu taman yang temaram dengan sinar jingganya, perempuan itu duduk sendirian di sebuah bangku kayu, menghadap pada pepohonan rindang yang tertanam di sekelilingnya. Sesekali ada bias senyum di wajahnya saat sisa-sisa cahaya senja tertangkap irisnya. Saya mendekat, membuat senyum indah itu tertuju pada saya.

"Sudah shalat?" tanya saya sambil memposisikan diri duduk di sebelahnya.

Dia mengangguk.

Dua cup berisi teh hangat yang saya bawa, salah satunya saya ulurkan untuknya. Dia menerimanya, lagi-lagi dengan senyuman yang ia pamerkan. "Jadi, sebenarnya Rafka yang nolong kamu atau kamu yang nolong Rafka?"

Tanpa menatap saya, dia tersenyum. Matanya bergerak menerawang. "Kami saling tolong, sih, lebih tepatnya."

Saya jelas bingung ketika Alfy menelepon saya tiba-tiba. Perempuan itu juga mengatakan Rafka sudah tak sadarkan diri karena kena hajar preman. Saya pun datang ke tempat kejadian setelah Alfy menelepon. Dan benar, setibanya di sana saya melihat adik saya satu-satunya itu sudah terkapar dengan banyak luka memar dan bekas pukulan. Alfy terlihat panik saat itu dan kami pun membawa Rafka ke klinik terdekat. Hingga berakhirlah kami di sini. Menikmati sisa-sisa senja di taman klinik dengan duduk berdampingan.

Tanpa sadar saya menghela napas. Membuat perempuan itu menilik saya penuh tanya.

"Maaf ya, Pak," ujarnya tiba-tiba.

Saya balik menatap Alfy dengan heran. "Untuk apa?"

"Bikin adik Bapak bonyok. Hehehe."

"Saya nggak keberatan. Sekali-kali dia harus ngerasain punya muka jelek," sahut saya membuat Alfy terkekeh pelan.

Hening. Desah angin bahkan terdengar jelas saat menabrak dahan-dahan pohon.

"Pak?"

"Alfy?"

Kami bicara bersamaan, membuat tawa kami menguar. "Kamu dulu," ucap saya.

"Nggak. Bapak dulu aja."

Dia kembali menyesap tehnya lambat-lambat. Saya tersenyum. "Saya baca cerita kamu di Wattpad."

Dia tersedak detik itu juga. Saya menatapnya risau, dia hanya menggeleng dan mencoba tersenyum baik-baik saja sambil menepuk-nepuk dadanya pelan. "Bapak kok tahu saya punya Wattpad?" tanyanya setelah menormalkan napas.

"Tahu, dong!"

"Ish! Kok bisa, sih?" Alfy menatap saya kesal. "Jangan dibaca lagi! Saya nggak mau tau!"

Saya terkekeh melihat tingkahnya yang tidak pernah berubah itu. Merajuk saat dibuat kesal. "Sayangnya saya sudah baca sampai ending. Kamu telat melarangnya."

Dia menutupi wajahnya. "Ish! Malu."

"Gapapa. Saya justru senang karena abadi dalam tulisan kamu."

Malu yang dia bilang tadi langsung berganti dengan tatapan tajam. "Dih, pede banget! Emangnya tokoh cowok di cerita saya itu Bapak? Sok tau!" elaknya kemudian, membuat saya tertawa.

"Lah? Memang benar, kan?" tanya saya balik. "Emangnya ada lagi guru di sekolah yang suka kamu selain saya?"

"Oh, jadi Bapak suka saya?"

"Dulu."

"Sekarang?"

"Sayang."

Dia terkejut. Saya pun melanjutkan, "Sayang sebagai adik. Boleh, kan?"

Senyum di wajahnya menjadi jawaban yang menyenangkan.

• • •

Usai kepergian Alfy, saya kembali masuk ke ruangan Rafka dirawat. Saya menawarkan untuk mengantar perempuan itu pulang namun dia menolak dengan alasan dia membawa Jagur. Saya pun mengiyakan dan membiarkannya pulang setelah berbincang-bincang cukup lama di taman.

Saya membuka pintu ruangan bercat putih di hadapan saya dan menemukan sosok Rafka yang sedang memijit pelipisnya. Kaki saya berjalan ke arahnya. "Sudah sadar?"

"Kalau belum, lo nggak bakal bisa lihat gue melototin lo sekarang. Nggak ada pertanyaan lain apa?" sahutnya kesal.

Rafka tetap menyebalkan walau sedang bonyok seperti itu. Saya menatap satu persatu luka di tubuhnya. Mulai dari wajah sampai tangannya yang sedang memegangi perut bagian bawah. Dokter bilang luka-lukanya memang tidak parah, beberapa hari ke depan mungkin akan sembuh. Tapi ini Rafka, anak manja yang tidak bisa tahan sakit.

"Oke, pertanyaan lain. Jadi, kamu pingsan saat nolongin Alfy?" tanya saya membuat dia membulatkan mata.

"Alfy mana? Dia udah nggak di sini, kan?" Rafka celingukan dengan wajah panik.

Bibir saya terangkat miring. "Kenapa? Malu?"

Rafka langsung memasang wajah kalem. "Siapa yang malu? Gue ... gue cuma nggak mau aja dia khawatir saat lihat kondisi gue sekarang."

"Alibi. Lagian bisa-bisanya kamu bikin malu Kakak. Masa abis nolongin cewek malah pingsan? Udah gitu malah ceweknya yang ngabisin preman-premannya. Memalukan kaum adam di dunia ini kamu, Raf."

"Ngomong satu kata lagi abis lo ya sama gue," ancamnya sama sekali tidak membuat saya takut.

Saya menatapnya remeh. "Besok kamu ngajar di kelas Alfy, kan? Mending kamu persiapkan diri, Raf. Atau ... mau ambil cuti?"

Wajah Rafka misuh-misuh setelahnya. Saya yakin dia sedang mencari cara untuk menghadapi hari esok.

• • •

RAFKA

"Selamat pagi, Kak."

"Pagi."

Gue membalas beberapa sapaan serupa saat melewati lorong-lorong kelas. Hari ini gue tidak bisa mengumbar senyum manis dengan leluasa karena gue memilih untuk menggunakan masker. Gue malas untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan orang tentang wajah bonyok gue. Dan ini jalan ninja gue, menutupinya dengan masker.

Sebelum bersiap mengajar, gue seperti biasa menyinggahi kantor guru terlebih dahulu sekadar untuk menunggu bel masuk berdentang. Saat ini gue sedang duduk dengan perasaan gelisah. Gue benar-benar belum siap untuk bertemu Alfy.

Bagaimana kalau selama gue mengajar nanti dia menunjukkan wajah meledek? Atau sengaja memaksa gue untuk membuka masker dan mempertontonkan wajah bonyok gue di depan semua murid? Walaupun dia cantik, gue tahu dia itu julid. Gue nggak bisa menebak tindak-tanduknya dan gue harus punya rencana untuk menghadapi itu.

"Eh, Pak Rafka sudah datang? Tumben, Pak, pakai masker?"

Gue terkesiap ketika Bu Cindy-guru piket-menyapa gue. "Eh, iya, Bu. Ini ... agak lagi nggak enak badan."

"Oh gitu. Lekas sembuh kalau begitu, Pak."

"Iya, Bu. Terima kasih."

Bu Cindy tersenyum sebelum berlalu pergi. Gue menghela napas lega. Di pergosipan para guru, gue dengan Bu Cindy kerap dipersandingkan. Alasannya simpel, kami masih sama-sama muda dan sama-sama cantik dan ganteng. Ya, gue akui Bu Cindy memang cantik. Bahkan para murid laki-laki pun banyak yang terang-terangan menunjukkan rasa suka mereka. Tapi, gue sama sekali nggak tertarik untuk membuat skandal dengan guru piket cantik itu.

Pikiran gue terinterupsi dengan suara bel masuk yang berbunyi. Gue pun bersiap untuk mengajar setelah mengambil beberapa buku yang gue butuhkan. Sebelum benar-benar melangkah, gue mengambil napas banyak-banyak.

Bismillah!

Setibanya di pintu kelas yang bertuliskan XII IPS 1, gue berhenti sejenak sebelum masuk ke dalam. Para murid yang sedang berkeliaran di dalam kelas langsung menduduki bangku masing-masing setelah melihat sosok gue berjalan masuk ke dalam kelas. Di saat gue sibuk mengatur detak jantung, yang membuat resah justru sedang asyik membaca buku. Alfy bahkan tidak mengalihkan pandangannya sedetik pun untuk menyadari kehadiran gue.

Usai menyuruh mereka untuk berdoa, gue langsung mengabsen mereka. "Saya absen dulu, ya. Achmad Dani Jamuga?"

"Hadir, Kak."

"Alvin Akbar."

"Hadir."

Meskipun gue sengaja tidak menyebutkan namanya, Alfy tetap tidak terusik. Cewek itu masih sibuk dengan buku yang sedang dibacanya. Menyebalkan.

Gue melanjutkan absen sampai ke urutan terakhir. "Widia Samesti?"

"Hadir, Kak."

Gue pun menutup buku absen dan bangun dari bangku guru. "Sebelumnya saya meminta maaf karena saya menggunakan masker selama pelajaran berlangsung. Jika nanti ada ucapan saya yang kurang jelas, ingatkan dan tanyakan saja."

"Emangnya kenapa pakai masker, Kak? Lagi sakit ya, Kak?" tanya Dini mewakili semua penghuni kelas.

Gue mengangguk. "Sedikit. Semoga kalian tidak terganggu, ya?"

"Nggak, Kak." Mereka menyahut kompak.

Mata gue melirik pada Alfy. Dia masih saja membaca buku. Gue geram melihatnya. Dengan santai, gue berjalan ke mejanya. "Hari ini kita akan membahas materi mengenai kalimat deduktif dan induktif." Tangan gue bergerak menutup buku yang Alfy baca, membuat perempuan itu menatap gue terkejut. "Buka buku halaman 47."

Semua murid membuka buku masing-masing. Tangan gue masih berada di atas tangan Alfy yang masih memegangi bukunya di atas meja. Dia menatap gue dengan nyalang.

"Kamu nggak buka buku?" tanya gue padanya dengan intonasi pelan.

"Gimana saya mau buka buku kalau tangan Bapak masih di situ?" tanyanya retoris sambil menunjuk telapak tangan gue dengan gerakan matanya.

Gue tersenyum, meski dia tidak akan melihatnya. "Lain kali jangan baca buku ketika pelajaran sudah dimulai. Mengerti ya, Alfy?"

Dia memutar bola matanya malas.

"Sebagai hukumannya, buku kamu saya sita sementara."

Alfy melotot ketika gue mengambil bukunya dan meletakkannya di atas meja guru. "Sebelum saya menjelaskan, kalian baca terlebih dahulu materinya. Saya beri waktu sepuluh menit."

Gue kembali duduk di bangku guru dengan penuh kemenangan. Dari sini gue bisa melihat Alfy sedang membuka bukunya dengan gerakan kesal sambil sesekali melirik kepada gue dengan tatapan seperti mengajak bertarung.

Kenapa ekspresi kesalnya itu begitu menggemaskan, ya?

• • •

Gue yang sedang berdiri di depan dispenser langsung menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucapkan salam sambil berjalan masuk dengan tumpukan buku di tangannya. Sontak bibir gue membentuk senyum.

Alfy memasuki ruang guru dengan langkah ragu-ragu. Dia terlihat kebingungan mencari sesuatu. Dan ketika dia melihat gue yang juga sedang memperhatikannya, dia langsung memasang wajah datar. Dia berjalan mendekat, namun naasnya badannya tidak sengaja menyenggol tumpukan buku di meja guru lain, membuat buku-buku di sana berjatuhan dari atas meja. Perempuan itu membelalak. Baru berniat ingin menolongnya, seseorang telah lebih dulu berjongkok dan memunguti buku-buku itu.

Rahang gue mengeras ketika mengetahui siapa orangnya.

"Biar aku bantu, Al."

Alfy tersenyum kikuk. Dia meletakkan terlebih dahulu buku-buku yang dibawanya, sebelum ikut memunguti buku yang berjatuhan itu. "Nggak apa-apa, Rik. Ak-gue bisa sendiri."

Murid yang gue tahu bernama Riki-alias mantannya Alfy-itu tersenyum pada perempuan di hadapannya. Dia tetap membantu Alfy sampai buku-buku di sana kembali bersarang di atas meja. Dia sengaja banget cari perhatian, ya?

"Makasih, Rik."

"Sama-sama, Al." Mereka sekarang berhadapan. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya basa-basi yang terdengar basi.

"Antar tugas."

"Oh." Akhirnya si caper itu menyadari keberadaan gue yang sedang melihatnya dengan tatapan datar. "Kalau gitu aku duluan, Al."

Alfy mengangguk dan membiarkan laki-laki itu pergi. Dia terlihat menghela napas lega setelah Riki pergi. Gue curiga kalau Alfy yang selama ini selalu terlihat menjaga jarak dan membatasi sikapnya pada gue adalah karena mantannya itu. Wajar, sih. Hubungan mereka sudah di tahap yang cukup serius sebelumnya. Untuk menggantikan posisi tersebut gue butuh usaha lebih ekstra untuk membangun kembali kepercayaan Alfy yang hancur karena kandasnya hubungan mereka itu.

Usai mengisi cangkir gue dengan teh hangat, gue berjalan ke meja gue. Di sana Alfy sudah menunggu gue dengan ekspresi sangat kesal yang tidak repot-repot untuk ia tutupi.

"Buku saya," pintanya tanpa basa-basi.

Gue tersenyum. Sebelum pelajaran di kelas usai, gue memberikan syarat pada Alfy jika dia ingin buku novelnya kembali. Gue memintanya untuk mengantar tugas semua teman kelasnya ke kantor guru di jam istirahat dan dia menuruti syarat tersebut. Tangan gue mengambil sebuah buku yang tidak lain dan tidak bukan adalah milik perempuan itu.

Gue mengansurkan buku itu padanya, namun sebelum dia benar-benar mengambilnya gue telah lebih dulu menariknya kembali. "Saya berubah pikiran. Kamu harus bantu saya koreksi jawaban teman-teman kamu dulu."

Mata indahnya itu memelotot. "Kok Bapak kayak pejabat, sih?"

"Maksudnya?"

"Suka berjanji tapi habis itu mengingkari!"

Gue dibuat terkekeh dengan perkataannya itu. "Kalau nggak mau ya sudah. Buku kamu nggak akan kembali kalau gitu."

Alfy berdecak kesal. "Oke-oke. Saya mau."

"Koreksinya di sini, ya. Dan sekarang juga."

Lagi-lagi dia menunjukkan ekspresi tidak terima. "Bapak mau saya aduin ke Kak Seto, ya? Saya lapar, Pak. Tega banget!"

Gue mengendikkan bahu santai. "Saya yakin Kak Seto bakal dukung saya. Karena kewajiban murid saat di kelas adalah belajar, bukan baca novel."

Alfy memutar bola matanya. "Percuma, Al, lo debat sama dia nggak akan menang," rutuknya dengan setengah berbisik yang masih bisa gue dengar dengan jelas.

"Terus saya duduk di mana?" tanyanya kemudian karena tidak melihat ada kursi lain selain kursi gue di sana.

"Di kursi saya."

"Ih, nggak mau. Nggak sopan tau."

"Pengecualian buat kamu."

Alfy menunjukkan ekspresi mual. "Setelah dipikir-pikir, saya tertarik untuk memberikan Bapak penawaran."

"Apa?"

"Bapak mau nggak jadi matahari dalam hidup saya?" tanyanya.

Tanpa pikir panjang gue pun mengangguk. "Mau."

"Menjauhlah 149,6 juta kilometer dari sekarang."

Gue tertawa, dalam hati menyesal karena telah menyangka perempuan julid di depan gue ini akan menggombal. Gue lupa kalau mendengar Alfy menggombal dengan melihat gunung salak pindah ke Bekasi adalah sama-sama hal yang mustahil.

"Oke, saya menjauh." Gue menatapnya pura-pura serius. "Tapi nggak sampai 149,6 juta kilometer karena saya cuma mau ke kantin. Kamu mau nitip makan apa?"

• • •

ALFY

Aku sudah berada di atas Jagur, siap untuk pulang. Namun, aku kembali merasa ragu ketika teringat dengan syarat menyebalkan guru genit itu. Dia mengajakku bertemu di rooftop setelah sekolah selesai. Dan ... tentunya aku masih waras untuk mengiyakan ajakan tersebut.

Tapi, buku novelku masih disita olehnya. Buku itu bahkan belum habis kubaca, baru kubeli belum lama ini. Kalau saja punya uang banyak, aku tidak akan pusing-pusing untuk mengikhlaskan buku itu.

Memang dasar guru genit! Dia selalu punya cara untuk melakukan hal-hal menyebalkan padaku. Memangnya tidak ada objek lain apa? Siswi di sekolah ini banyak, kenapa harus aku?

Aku menghela napas, kembali memasukkan kunci Jagur ke dalam saku seragam.

• • •

Di undakan tangga terakhir menuju lantai empat gedung sekolah ini, aku menghentikan langkah karena menemukan sebuah gerbang. Aku bisa melihat gerbang itu sudah tidak terkunci. Pelan, aku membukanya dan menimbulkan deritan nyaring. Detik setelahnya mataku langsung disuguhkan dengan pemandangan rooftop yang cukup luas bersamaan dengan langit yang mulai menjingga.

Aku melihat sosok jangkung sedang berdiri membelakangiku. Kedua tangannya bersarang di saku celana, dengan lengan kemeja yang dilipat sampai siku. Aku menghampirinya sampai kami berdua berdiri bersebelahan. Tanpa perlu melihatnya secara langsung, aku tahu laki-laki itu sedang memamerkan lesung pipinya. Ia tersenyum, entah sedang memikirkan apa.

"Saya suka senja," ucapnya memutus keheningan di antara kami.

"Alhamdulillah suka senja, bukan suka saya," sahutku yang membuat laki-laki itu tertawa setelahnya.

Melalui mata masing-masing kami saling mengagumi senja di langit sore ini. Merekamnya sebanyak dan sepuas mungkin seakan tak ada lagi hari esok. Tidak ada yang tidak suka senja karena aku pun menyukainya.

"Tapi, ada yang lebih saya suka daripada sen-"

"Pak, saya lagi nggak pengen denger gombalan apapun!" sergahku cepat.

Pak Rafka terkekeh. Tidak lama kemudian dia menyodorkan buku novelku yang tidak langsung kuambil. Aku trauma dia berulah lagi. "Saya nggak tahu jelas ini buku apa tapi yang saya tahu buku ini sudah mengalahkan saya."

"Maksudnya?"

"Buku ini yang membuat kamu mengabaikan saya di kelas. Saya tahu pesona saya lagi luntur karena muka saya yang masih bonyok, tapi-"

"Masih sakit?" tanyaku, menyerobot ucapannya. Aku baru sadar kalau Pak Rafka sudah tidak lagi menutupi wajahnya dengan masker. Aku bisa melihat lebam keunguan di pipi kanannya. Tanpa sadar tanganku terangkat, hendak menyentuhnya namun tangannya menahan niatku. Aku terkejut.

Mata laki-laki itu lurus menatapku. Kami berpandangan. Ini pertama kalinya mata kami bertemu selama dan sedekat ini. Aku mulai merasakan jantungku kacau balau di dalam sana.

Tangan kananku yang ia tahan kini sudah ia genggam. Aku menahan napas. Dia menuntun genggaman tangan kami ke dadanya. Tepatnya ke tempat dimana jantungnya berada. Sama seperti yang tengah aku rasakan, jantungnya juga bergemuruh. Detaknya terlalu cepat.

"Ini yang saya rasakan setiap kali melihat kamu. Konyol, kan?" Pak Rafka masih menatapku. "Bisa kamu jelasin ini kenapa?" tanyanya kemudian.

Bibirku kelu. Tentu saja jawabannya bukan karena aritmia-gangguan pada irama jantung, melainkan sesuatu yang juga aku rasakan.

Dia menjauhkan tanganku dari dadanya, ganti menggenggamnya di samping badan. "Biarin kayak gini, ya? Lima menit aja. Abis itu kalau kamu mau tampol saya, tampol aja."

Aku hanya tersenyum, tidak menolak apalagi mengomelinya seperti biasa.

Dia menarikku ke batas rooftop, aku langsung menahannya. "Saya takut ketinggian."

Pak Rafka menatapku geli. "Masa orang tinggi takut ketinggian?" ledeknya. "Nggak pa-pa. Aman, kok. Saya nggak akan nyungsepin kamu ke bawah."

Kami berjalan mendekat ke batas rooftop yang tidak diberi penghalang apapun. Aku mulai panas dingin, tapi Pak Rafka malah mengajakku duduk di sana. Kaki kami menjulur ke bawah dan aku tidak berani sedikit pun untuk melihat ke sana.

"Di balik apa yang kita lakukan sekarang, ada sosok Pak Enjun yang sangat berjasa."

Mataku langsung menangkap pos satpam dari atas sini. Terlihat sosok Pak Enjun di sana, yang tidak lama kemudian menyadari keberadaan kami. Pak Rafka melambaikan tangannya, menyapa Pak Enjun dengan santainya.

Aku melotot.

"Tenang, Pak Enjun bisa dipercaya," ucapnya menjawab keresahanku. Aku hanya bisa tersenyum kaku saat Pak Enjun balas mengacungkan jempolnya pada kami lalu kembali sibuk dengan kegiatannya di sana.

"Dia yang kasih kunci rooftop ini. Besok ingetin saya untuk ngajak Pak Enjun ngopi bareng."

"Bapak tahu dari mana soal rooftop ini?" tanyaku penasaran. Pasalnya, aku yang sudah menjadi murid di sekolah ini selama hampir tiga tahun pun tidah tahu menahu soal tempat ini.

"Saya sering ngobrol sama Pak Enjun, dan tertarik ketika beliau bahas tempat ini. Dulu rooftop ini nggak dikunci, tapi karena sering dijadikan tempat bolos dan merokok oleh murid-murid madol, Pak Enjun dan Kepsek sepakat buat mengunci tempat ini."

Aku terkekeh karena mendengar Pak Rafka menyebutkan kata 'madol'. "Saya jadi pengen sering-sering ke sini."

"Sama saya?" tanyanya, percaya diri sekali.

"Nggaklah. Sama geng saya, TKF."

Pak Rafka mendecih. "Dasar anak jaman sekarang, di sekolah segala bikin geng-gengan. Biar apa coba?"

"Sirik aja sama anak muda."

"Saya juga masih muda kali!" Pak Rafka menyentil keningku pelan. "Mending bikin geng sama saya," cetusnya kemudian.

"Berdua?"

"Iya, atau kamu mau ajak Pak Enjun juga?"

Aku lantas menggeleng dan tertawa. "Geng apaan yang cuma berdua?"

"Geng yang namanya pacaran."

"Jangan ngadi-ngadi, deh, Pak." Aku terinterupsi dengan getaran ponsel di sakuku. Pelan, aku melepas genggaman tangan kami untuk memeriksa ponsel. Ternyata ibu yang mengirimiku pesan, bertanya kenapa aku belum pulang. Saat sudah membalasnya, pesan yang kukirim tidak segera terkirim. Jangan-jangan kuotaku habis?

"Kenapa?" tanya Pak Rafka.

"Balas WA Ibu saya, tapi nggak terkirim-kirim. Kayaknya saya kehabisan kuota internet." Aku menatap Pak Rafka, lalu cengengesan. "Saya ... boleh minta tethering nggak, Pak?"

Pak Rafka langsung mengambil ponselnya. "Boleh. Bentar, ya."

Aku menunggu laki-laki itu selesai mengotak-atik ponselnya. Sebenarnya di sekolahku ada wifi, tapi sayangnya hanya guru atau orang-orang berkepentingan lainnya yang bisa mengakses wifi sekolah. Aku pernah mengetahui sandinya, tapi tak lama kemudian saat kucoba kembali sandi tersebut sudah diubah. Sekolahku yang julid.

"Saya udah hidupin hotspot."

Tanpa membuang waktu lagi, aku langsung menghidupkan wifi di ponselku. "Namanya apa?"

Terdapat beberapa sambungan wifi yang menyangkut di ponselku. Ada wifi sekolah, wifi warung pojok, sampai wifi Pak Enjun yang diberi nama EnjunJamilah, dan juga ada wifi bernama aneh yang membuatku geleng-geleng kepala. Dipake kita jadian. Kurang kerjaan banget yang punya hotspot itu.

"Dipake kita jadian," sahut Pak Rafka kalem.

Aku tersedak ludahku sendiri. Kutatap Pak Rafka dengan pandangan tak percaya. Ternyata dia pemilik hotspot yang kusebut kurang kerjaan itu?

"Sesuai namanya, ya. Kalau dipake, kita jadian."

Tak lama kemudian Pak Rafka tersenyum setelah melihat ponselnya. Dia menatapku sambil menepuk pipi kananku pelan. "Makasih, ya, Pacar."

• • •

Cie, ada yang jadian:)

TBC!
JAN LUPA VOTE DAN COMMENT

Continue Reading

You'll Also Like

5.3M 186K 51
Bagi Kalila yang selalu dibanding-bandingkan dengan saudari kembarnya adalah hal yang paling menyebalkan. Di keluarganya, karir lebih penting dibandi...
130K 12.4K 42
Tidak pernah terpikir sebelumnya oleh Gema, dia mencintai Dokter yang merawat ayahnya sendiri, memacarinya sampai mengikat janji. Namun, apa jadinya...
22.6K 7.6K 50
[FOLLOW SEBELUM BACA!] 📌NOTE: CERITA ORISINAL - - "Dibutuhkan kesedihan untuk mengetahui apa itu kebahagiaan"- Kana * * Ig: @tania.niaa_ Start: Janu...
268K 27.1K 30
[Belum direvisi] Nisa mempunyai ketakutan tersendiri dalam hidupnya. Sebuah ketakutan yang mungkin akan dianggap lucu oleh orang lain, namun begitu m...