Baby Bala Bala (Completed)

MahiyaAulia tarafından

427K 28.1K 4.3K

Aruna Jayanti benci pernikahan. Dua peristiwa buruk di masa lalu memberinya pemahaman bahwa menikah hanya aka... Daha Fazla

Prolog
Alergi Menikah
Tatapan Pertama
Sentuhan Pertama
Sebuah Foto Dari Masa Lalu
Bi Sumi Ternyata ....
Misi Yang Hampir Gagal
Trip To Karanganyar
Bertemu Bi Sumi
Mendadak Lamaran!
Nikah Nggak, Ya?
Jadi Nikah!
Kevin Kenapa?
Akuisisi!
Jadi Bikin Bayi
Obrolan Mbak Nola Dan Kevin
Alasannya Apa?
Negeri Dongeng
Menghindar
Sepupu Kevin
Hamil!

Welcome To Karanganyar

7.7K 1.1K 214
MahiyaAulia tarafından

"Pak, janji, ya. Nanti kalau ketemu Kevin, kita nggak boleh ketawa. Sumpah, ya, Pak. Pokoknya jangan ketawa."

Aku menyumpah pak Mursid sebelum mobil kami sampai di pom bensin, tempat di mana Kevin ketinggalan.

Pak Mursid mengangguk, mukanya merah padam, nahan ketawa."InsyaaAllah, Mbak."

Tapi pas mobil kami udah sampai di depan pom bensin dan melihat Kevin berdiri di deket parkiran persis kayak bule ilang ....

"Huwahahahahahaha!"

Tawa kami meledak.

Sambil megangin perut, aku nepuk-nepuk pundak pak Mursid."Ntar, Pak. Ntar. Jangan dibuka dulu pintunya. Kita ngakak aja dulu."

Pak Mursid masih ketawa sampai keluar air mata."Kasihan, Mbak. Orangnya udah melas gitu. Saya nggak tega."

Pak Mursid ini emang dasarnya orang baik. Kalau aku jadi dia, masih kubiarin si Kevin di luar sana sampai kami puas ngetawain dia. Momen langka lho ini. Jarang-jarang lihat bule kayak anak ilang gini.

Eh, tapi jangan ding. Dia nanti jadi nggak mau ngasih spermanya lagi. Rugi dong aku.

Tok! Tok! Tok! "GET OUT!"

Astaga. Kaget!

Kevin teriak sambil ngetuk kaca jendelaku kenceng banget. Untung kacanya nggak sampai jebol.

Melihat dia ngamuk kayak gitu, aku berhenti ketawa dan segera keluar dari mobil. Gawat kalau dia sampai ngambek beneran nggak mau ngawinin aku.

Kutangkupkan kedua tangan di depan dada sambil membungkuk."Mohon maaf, kami tidak sengaja meninggalkan Mister di sini."

Tadinya napas cowok itu memburu. Tapi pas lihat aku minta maaf, berangsur-angsur napasnya kembali normal."Aku hanya pergi ke toilet sebentar, tapi waktu kembali, kalian sudah tidak ada. Apa kau sengaja meninggalkanku di sini?"

Wah. Dia udah main tuduh aja. Padahal udah dijelasin kalau aku sama pak Mursid nggak sengaja ninggalin dia. Sensi juga nih bule.

Kugelengkan kepala menolak tuduhannya."Nggak gitu, Mister. Sumpah mati, aku sama Pak Mursid sama sekali nggak ada niatan ninggalin kamu di sini. Kami nggak tahu kamu pergi ke toilet. Lagipula, seharusnya kamu ijin dulu pada kami mau ke toilet, jadi kami nggak akan meninggalkanmu seperti tadi."

Dia kicep, nggak bisa balas omonganku, terus berlagak acuh masuk ke mobil. Kali ini, dia ganti duduk di jok depan, nggak duduk belakang kayak tadi. Takut ketinggalan lagi kali, ya.

Fine. Asalkan nggak disuruh duduk di atap mobil, nggak masalah. Bagiku duduk di jok depan atau belakang, sama saja.

Perjalanan kami dilanjutkan lagi. Pak Mursid kembali fokus nyetir. Aku kembali masang headset lanjut dengerin podcast fiksi. Sedangkan Kevin ... nggak tau lagi ngapain. Aku nggak denger dia bersuara. Mungkin dia masih ngambek, atau lagi keasyikan lihat-lihat jalan. Entah. Aku nggak peduli.

Mending kulanjutin podcast fiksi-ku, Cerita Misteri Alya. Seru banget. Aku sengaja dengerin cerita fiksi audio di podcast, bukan baca di platform. Soalnya, kalau baca dalam mobil yang berjalan gini, aku pasti mual.

*****

Sejak memasuki kabupaten Magetan, medan perjalanan kami jadi berkelok-kelok. Lalu, sesampainya di daerah Sarangan menuju Tawang Mangu, kabut tebal mulai turun menyelimuti pucuk-pucuk gunung dan pepohonan tinggi menjulang yang berderet-deret di sepanjang jalan.

Pemandangannya indah banget, mirip di negeri dongeng. Aku terpesona. Tatapan Kevin juga nggak lepas dari pemandangan di luar sana. Aku tahu dari posisi kepalanya yang tak berubah, selalu menghadap ke depan.

"MasyaaAllah. Ciptaan Allah sungguh indah." Pak Mursid bergumam takjub.

Aku setuju. Allah bisa menciptakan alam semesta seindah ini, apalagi cuma menciptakan anak blasteran ganteng untukku nanti. Bagi Allah itu pasti hal yang sangat mudah. Aku percaya, impian itu pasti akan Allah wujudkan sebentar lagi.

Mendekati maghrib, mobil kami sampai di perbatasan Magetan-Karanganyar.

Banyak warung berderet di pinggir jalan. Tapi kami putuskan untuk nggak berhenti, soalnya tadi udah makan siang di Madiun. Kalau sekarang kami berhenti untuk sekedar beristirahat atau menikmati pemandangan, kurasa bukan waktu yang tepat. Matahari sudah nggak tampak sejak tadi. Ditambah, hari udah semakin gelap. Kami juga belum tahu pasti di mana rumah mak Atik berada. Bakal repot kalau nyarinya gelap-gelapan gini.

"Mbak Na, apa nggak sebaiknya kita cari penginapan dulu? Kita lanjutkan lagi perjalanannya besok. Ini hampir maghrib, nyari rumah pas matahari gelap, apalagi di gunung gini kok rasanya nggak enak ya, Mbak."

Pak Mursid kayaknya bisa baca pikiranku. Omongannya sama persis dengan yang kupikirkan. Tapi sebelum kujawab pertanyaan itu, aku meminta persetujuan Kevin dulu. Sayangnya, dia nggak setuju.

"Kita sudah sampai sejauh ini, sekalian saja kita cari sekarang rumahnya."

Dasar bule. Dia nggak tahu kalau tersesat di hutan pas malam-malam itu rasanya horor. Tapi emang bule kebanyakan nggak percaya hantu. Mereka terlalu logis sampai berpikir bahwa makhluk astral tak kasat mata itu nggak nyata, cuma bualan. Belum kenalan aja dia sama mbak Keket atau mas Poci.

"Kita nurut bosnya aja deh, Pak. Lanjut ke Ngargoyoso, terus ke desa Berjo." Aku ngasih jawaban ke pak Mursid sesuai dengan keinginan Kevin.

"Ya deh, Mbak." Pak Mursid terpaksa menuruti permintaan Kevin.

Dalam perjalanan menuju Ngargoyoso, aku mencoba menelepon mak Atik untuk tanya detil alamatnya. Tapi lagi-lagi Hpnya nggak aktif. Aku ganti kirim SMS. Dengan harapan, pas ada sinyal nanti, Mak Atik bisa langsung balas SMS-ku.

Sesampainya di desa Berjo, kami nggak tahu harus menuju ke arah mana. Ternyata desa Berjo luas banget. Kucoba bertanya ke penjual pentol yang sedang berhenti di pinggir jalan.

Dia malah balik nanya,"Poniman yang mana, Mbak? Di desa ini ada banyak nama Poniman. Tapi yang saya kenal cuma lima. Poniman tukang bangunan. Poniman penyadap karet. Poniman tukang nasi goreng. Poniman bengkel sepeda motor. Poniman alumunium. Yang mana?"

Buset. Banyak banget nama Poniman di desa ini. Aku cuma bisa garuk-garuk kepala nanggepin pertanyaan penjual pentol ini."Saya nggak tau Poniman yang mana, Mas."

Mas-mas tukang pentol itu juga nggak ngerti harus bantu aku gimana."Ada nama dusunnya?"

Aku meringis."Nggak ada."

Mas penjual pentol menatapku prihatin."Wah. Ya sulit kalau nggak ada nama dusunnya, Mbak. Sampean bisa kesasar kemana-mana."

Aku menggaruk-garuk kepala lagi, ikutan bingung."Ya udah deh, Mas. Makasih, ya."

"Eh, mbak." Sebelum aku menutup kaca mobil, mas pentol memanggilku.


"Apa, Mas?" Aku nggak jadi menekan tombol untuk menaikkan kaca.

Sambil membuka tutup panci yang mengepulkan asap panas, dia menawarkan pentol dagangannya,"Nggak beli pentol saya? Enak lho dimakan dingin-dingin gini. Sampean bisa makan pentol sambil nyari rumah pak Poniman."

Sa-ae nih kang pentol. S3 marketingnya jempolan banget dah.

"Bentar, Mas. Aku ijin sama yang punya duit dulu."

Aku pikir Kevin nggak akan mau beliin aku pentol, ternyata mau. Bahkan dia sendiri turun dari mobil untuk melihat makanan apa yang kuminta. Terus, selain beli buat aku, dia juga beli buat pak Mursid, sama buat dirinya sendiri. Anjrit, loyal banget nih bule. Aku semakin demen.

Terus, pas bayar pentol pesanan kami, Kevin melotot waktu tahu harganya cuma 15 ribu rupiah 3 bungkus. Selama datang ke Indonesia, baru kali ini dia bayar makanan semurah ini.

Dasar anak sultan, nggak biasa lihat makanan murah. Jiwa matreku jadi meronta-ronta.

"Mas Kevin." Pak Mursid kembali menyetir mobil sambil mengunyah pentol yang dibelikan Kevin.

"Ya?" Kevin menjawab panggilan pak Mursid sambil ikutan ngunyah pentolnya. Baru kali ini aku lihat ada anak sultan makan pentol dari plastik yang digigit ujungnya. Epic banget.

Aku yang duduk di belakang pun lagi ngunyah pentol sambil dengerin pembicaraan mereka, sekaligus nunggu balasan SMS dari mak Atik. Barusan aku telepon lagi, Hpnya masih nggak aktif.

"Kalau besar namanya pentol, kalau kecil namanya apa?"

Tatapanku yang semula ke layar Hp, seketika melotot ke kepalanya pak Mursid. Nih orang pertanyaannya serius?

"Kalau besar namanya pentol, kalau kecil? Uhm ... apa ya?"

Gebleknya, Kevin serius mikirin jawaban dari pertanyaan itu.

"Mbak Na tau nggak jawabannya?"

Bodo amat. Meskipun tau jawabannya, aku ogah jawab. Porno!

Aku menggeleng, pura-pura bego."Nggak tau, Pak."

Pak Mursid berlagak kecewa."Payah nih Mas Kevin sama Mbak Runa. Masa pertanyaan segampang itu nggak bisa jawab?"

"Pentol kecil?" Kevin nebak ngaco.

Aku males dengerin percakapan unfaedah mereka. Kucoba telepon lagi Hp mak Atik, alhamdulillah nyambung.

"Mak, ini alamat dusunnya mana?"

Suara mak Atik kedengeran kemeresek nggak jelas, putus-putus."Du ... sun ... su ... kuh. Nan ... ti ... ta ... nya ... orang, ru ... mah ... Pon .. i .. man ... sad .. ap ... ka ... ret."

Astaga. Aku nggak ngerti dia ngomong apa. Nggak jelas banget."Mak, ulang lagi. Dusun mana? Poniman siapa?"

"Dusun ... Sukuh. Poniman .... Sadap karet. Hihihihihi."

Astaghfirullah!

Saking kagetnya, aku sampai ngelempar Hp. Suara apa itu tadi? Kenapa mak Atik suaranya berubah jadi lembut banget kayak bukan suara manusia? Terus, ketawanya itu apa? Kok kayak suara ketawanya ...

Hiiiiy ... Aku merinding.

Kuambil lagi Hpku yang tadi sempat kulemparkan sampai jatuh ke bawah.

"Halo, Mak! Ngomong yang bener!" Kubentak Mak Atik biar nggak bercandaan sama aku. Serius, dong. Mana udah gelap baget ini jalanannya, nggak keliatan apa-apa. Perasaanku jadi nggak enak."Dusun mana? Poniman siapa?"

"Dusun Sukuh, Mbak. Poniman sadap karet. Ini Mbak Na sama Mas Kevin sudah sampai mana, to?"

Huft. Alhmadulillah. Suara mak Atik udah berubah normal lagi. Yang tadi itu apa, dong?

"Nggak tau nih, Mak. Kayaknya kami kesasar, deh."

Aku melihat keluar jendela yang menampakkan pemandangan rumah-rumah penduduk. Di belakangnya terdapat pepohonan rimbun. Jalanan gelap, hanya diterangi lampu mobil kami dan lampu-lampu rumah penduduk yang temaram.

"Mbak Na, lebih baik istirahat dulu, nyari penginapan. Besok pagi lanjut nyari rumah mas Poniman. Kalau sekarang sudah gelap gini baha----"

Tut ---- tut ---- tut

"Halo, Mak? Halo! Mak!"

Sambungan terputus. Ah, sial!

Gimana, nih? Mau lanjut perjalanan tapi firasatku berkata agar kami berhenti dulu. Tapi, kalau nggak lanjut, kami mau nginap di mana? Aku nggak kenal daerah sini. Pastinya dua orang pria di depanku ini juga buta arah.

"Jawaban yang bener pentil, Mas!"

Astaga. Mana mereka masih bahas pertanyaan goblok pula. Ini musibah. Bener kata Mbak Nola. Pergi ke gunung tanpa alamat yang jelas itu sama aja bunuh diri. Sekarang aku baru paham apa yang dia cemaskan di kamar kosku kemarin. Tapi telat! Uh!

"Mbak, ini kita belok ke mana?" Pak Mursid bertanya sambil menepikan mobil untuk menentukan arah selanjutnya.

"Kata mak Atik tadi, kita disuruh pergi ke dusun Sukuh. Sekarang posisi kita ada di mana, Pak?" Aku lihat dari jendela, mobil kami berhenti di depan rumah penduduk.

"Kita sekarang ada di ..." Tatapanku beralih pada sopir di depanku. Dia sedang melihat Hpnya yang sejak tadi menampilkan peta jalur perjalanan kami."Dusun Selorejo, Mbak."

"Kita ke Sukuh, Pak."

"Siap."

Hampir satu jam kami berkeliling mencari rumah pak Poniman sadap karet di dusun Sukuh. Kami mengikuti petunjuk demi petunjuk yang kutanyakan pada penduduk desa setempat. Tapi ... entah bagaimana, kami sekarang malah terjebak di tengah hutan yang gelap, tanpa ada penerangan sama sekali, dan sepi!

Satu-satunya penerangan cuma dari lampu mobil kami. Mampus!

"Mbak ... sekarang kita harus ke mana lagi?" Pak Mursid mulai gemetar ketakutan.

Aku juga rasanya susah mengeluarkan suara. Mendadak tenggorokanku rasanya kering banget.

"Hey, where did you take me? We're like in no where now." Kevin memiringkan tubuh untuk protes padaku.

Aku menggeleng lemah."Sorry, but ... i have no idea where we are now."

Mendengar jawabanku, Kevin semakin kesal."Are you serious? We've came this far. Dan, tetap tidak bisa bertemu bi Sumi? Great!"

Mendengar protesnya, aku jadi ikut kesal. Dari tadi aku terus yang disalah-salahin. Aku nggak terima!"This is your fault! Kalau kita nyari penginapan dulu, nggak gini nasib kita sekarang! Kamu dikasih pendapat ngeyel, sih!"

"My fault?! How dare you saying this is my fault!?"

"Iyalah, your fault!"

"Mbak Na, Mas Kevin, diam!"

Pak Mursid menghentikan perdebatan kami. Jari telunjuknya mengarah pada sesuatu di depan sana yang sedang memancarkan cahaya."I-- itu ... apa?"

Aku memicingkan mata untuk melihat lebih jelas lagi, dan ....

Sumpah, aku merinding!

Kulihat di depan sana ada sebaris orang-orang berjalan di kiri kanan depan belakang sebuah kencana kuda berukiran emas. Mereka membawa obor melintasi depan mobil kami. Pakaian mereka kuno, seperti dari zaman kerajaan Majapahit. Bukan pakaian modern.

Spontan aku meringkuk di bawah selimut. Tapi sialnya, Kevin malah membuka pintu mobil.

"Mau ke mana?!" tanyaku serempak dengan pak Mursid.

Kevin menoleh pada kami."Mau tanya mereka arah rumah pak Poniman."

"Jangan!" Aku dan pak Mursid berteriak barengan lagi.

Telat.

Kevin sudah keluar dari mobil dan berjalan menuju gerombolan itu.

Aku dan pak Mursid hanya mampu diam membeku, menanti Kevin kembali.

Beberapa detik kemudian, bule itu tergopoh-gopoh masuk ke pintu belakang duduk di sebelahku, bahkan ikut menyelusup masuk ke selimutku. Dengan tangan gemetaran, dia menekan tombol lock di sampingnya.

"What happened?" Aku penasaran. Pak Mursid juga ikut menoleh pada Kevin.

"They .... " Tubuhnya meringkuk gemetaran di bawah selimutku."They don't have faces. Wajah mereka hilang."

Allahu Akbar!

Bulu kudukku merinding mendengar jawaban Kevin. Kepalaku nyusruk ke selimut semakin dalam.

Sedangkan pak Mursid segera mematikan mesin mobil, menekan tombol central lock, dan berkali-kali mengucap kalimat istighfar.

Tok. Tok. Tok.

Kaca jendela kami diketuk tiga kali. Bukan hanya itu, sayup-sayup terdengar suara musik gamelan mengalun syahdu.

Kevin mendekapku semakin erat dengan tubuh gemetaran. Tubuhku pun ikut gemetaran nggak karuan.

Seharusnya, aku seneng dipeluk Kevin begini, tapi nggak dalam kondisi seperti ini juga. Kondisi yang sama sekali nggak kuharapkan.

Gusti Allah nyuwun ngapuro.

Ampuni aku yang punya cita-cita buruk ini, mau punya anak tanpa menikah.

Tapi tolong, ya Allah, jangan menghukumku seperti ini.

Tok! Tok! Tok!

Ibuuuuu, tolooooong!

TBC.

*****
Tersedia versi PDF. Untuk pemesanan hubungi 082119558375.
*****

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

10.6K 654 15
[ Name ] Adalah seorang wibu akut dan tentu saja husbu nya para cogan-cogan blue lock. [ Name ] juga suka ngebaca novel² suatu ketika... Warn 18+ ma...
49K 4.9K 18
(Alert...! Some chapters on privete mode). When someone destroy your heart. An architect will do reconstruction.
1.1M 110K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
420K 21.6K 31
Pemimpin Redaksi minim ekspresi yang tampan, Mas Adam, berusaha memonopoli bawahannya demi memuaskan hasratnya terhadap hobi yang tidak normal. Sang...