The Ambition

By bumblevee14

591 52 1

Bianca Stefani Putus dengan Sang Kekasih. Benarkah karena Wanita Ini? Hidup Naraya Titania berubah ketika ber... More

1. Someone Like You
3. Waking Up to A Nightmare
4. Looking for A Solution
5. Rencana Gila Bayu
6. Pressure
7. Keputusan Penting
8. Ini Serius?
9. Satu Langkah Lagi
10. Apa itu Honeymoon?
11. Back To Reality
12. Belum Terbiasa

2. Pemuja Rahasia

23 7 0
By bumblevee14

*

Dan biarkan aku jadi pemujamu
Jangan pernah hiraukan perasaan hatiku
Tenanglah, tenang, pujaan hatiku, sayang
Aku takkan sampai hati bila menyentuhmu

*

"Gilaaaaa! Lega banget rasanya kerja rodi satu bulan ini berakhir."

Luna menjatuhkan badannya di kursi kerja andalannya seraya merenggangkan seluruh tubuhnya yang terasa remuk. Naya mengikuti Luna dan melakukan hal yang sama.

Satu bulan ini memang merupakan momen yang sangat hectic bagi mereka yang terlibat langsung pada peluncuran aplikasi baru dari perusahaan ini. Naya yang hanya sebagai intern saja merasakan seluruh energinya seperti terserap habis, bagaimana rekannya yang lain yang memang sudah berstatus sebagai pegawai tetap dan memiliki tanggung jawab yang lebih besar.

Meskipun lelah, Naya juga merasa sangat senang saat ini. Untuk pertama kalinya ia bisa ikut berkontribusi dalam peluncuran suatu aplikasi yang benar-benar akan digunakan oleh masyarakat luas. Segala rasa lelahnya seakan terbayarkan ketika ia tahu hasil dari pekerjaannya digunakan oleh banyak orang dan dapat membantu merrka. Ya walaupun pekerjaannya belum terlalu banyak jika dibandingkan rekan kerja lainnya.

"Eh, Nay. Nanti lo ikut kan, ya? Makan-makan sama seluruh tim plus Pak Bos." Tiba-tiba saja Luna sudah merangsek dari balik komputer yang berada di meja kerja Naya dengan wajah yang penuh penasaran.

Naya memutar bola matanya malas. "Ya menurut lo aja, Mbak. Masa iya gue menyia-nyiakan momen bareng Pak Bos kaya gini?"

Luna menaggung-angguk setuju. "Bener juga, ya. Patut dicurigai kalau lo gak ikut ke acara nanti malam."

Naya menjentikkan jarinya, tanda membenarkan ucapan Luna.

"Congrats semuanya!"

Tiba-tiba suara riuh yang diikuti oleh tepukan tangan beberapa orang memenuhi ruangan yang awalnya sunyi senyap. Aidan, Tommy, Mikkel, dan Chandra adalah tersangka dari keriuhan tersebut. Keempat lelaki itu berjalan ke arah Naya dan Luna, yang mana memang merupakan tempat dari tim mereka biasa bekerja. Selain Luna dan Naya, sebanarnya sedari tadi juga sudah ada Surya dan Firman. Hanya saja tempat kerja keduanya berada di paling ujung dekat jendela, sedangkan Luna dan Naya berada di ujung lainnya yang lebih dekat dengan pintu masuk ruangan.

"Pak Bos menyampaikan terima kasih buat kalian yang udah mau bekerja ekstra demi kelancaran peluncuran app hari ini. Beliau senang banget karena target yang diberikan bisa terpenuhi dan belum ada kendala berarti sejauh ini," ucap Aidan seraya berdiri di depan meja kerjanya, yaitu tepat di sebelah kiri Naya.

"Jangan lupa nanti malam kita ada makan-makan bareng Pak Bos ya. Jangan sampai gak ikut," lanjutnya lagi sebelum mendudukkan tubuhnya di kursi kebesarannya.

Semua orang mengacungkan jempolnya tanda mengerti. Naya yang mulai penasaran sedikit memutar kursinya agar ia bisa menghadap Aidan dengan lebih jelas.

"Memangnya mau makan-makan dimana, Mas?" tanyanya penasaran.

Aidan melirik Naya sekilas, "Mana saya tahu. Yang nentuin kan Bayu sendiri. Kamu tanya saja sana sendiri kalau penasaran."

Naya cemberut. Jawaban Aidan sangat tidak memuaskan. Padahal ia sudah ingin membayangkan suasana seperti apa yang akan ia hadapi bersama dengan Pak Bos pujaan nanti malam. Ya walaupun bukan makan malam romantis yang hanya melibatkan mereka berdua. Setidaknya Naya dan Bayu akan berada di satu restauran yang sama dan makan di satu meja yang sama. Membayangkannya saja sudah membuat Naya tidak sabar.

"Lagian kamu ngapain nanya-nanya segala? Mau request buat milih tempat makannya?" Aidan kembali bertanya, kali ini dengan ikut memutar kursinya agar bisa menghadap Naya.

"Eh, itu..." Mampus! Mati aja lo Nay kalau bilang mau bayangin yang indah-indah sama Pak Bos nanti malam. "Aku pengin tahu aja lokasinya dimana, Mas. Biar bisa kira-kira balik dari sana jam berapa dan naik apa," Naya tersenyum kecil diakhir kalimat untuk meyakinkan Aidan. Bagus, Nay. Alasan yang sangat bagus.

Aidan menangguk-angguk mengerti, "Palingan yang gak terlalu jauh dari kantor, Nay. Kamu tenang aja, gak sampe di luar Jakarta, kok."

Di luar Jakarta juga saya ladenin kok, Mas. Asal sama Pak Bayu.

Tentu saja Naya tidak mengucapkan itu keras-keras. Mau ditaruh mana mukanya kalau sampai Aidan mendengarnya mengatakan hal itu?

"Naynay..."

Panggilan yang sangat khas itu membuat Naya langsung menoleh. Mikkel tiba-tiba saja sudah berada di sisi kanan meja kerjanya. Berdiri menjulang dengan senyuman kecil di bibir.

"Kenapa, kak?" Naya mengangkat salah satu alisnya, bertanya.

"Ntar lo bareng gue aja," ujar Mikkel singkat.

"Bareng kemana?"

"Ke tempat makan-makan, lah."

Naya diam sejenak. Ia baru menyadari maksud dari ajakan Mikkel.

"Lo lagi gak bawa kendaraan kan?" Mikkel bertanya lagi.

Gelengan kepala dari Naya membuat lelaki itu tersenyum lebar. "Nah, yaudah. Bareng sama gue aja kalau gitu."

Naya melihat bagaimana lelaki itu memasang wajah bahagianya. Mau bagaimana lagi? Ia tidak kuasa untuk menolak. Tidak ketika Aidan, Luna, Tommy, dan Chandra memperhatikan interaksi mereka. Bahkan Surya dan Firman yang berada di paling ujung juga sepertinya bisa mendengar ajakan Mikkel barusan. Ia tidak ingin membuat malu lelaki itu dengan menolaknya.

"Oke."

Hanya itu yang bisa Naya ucapkan. Kalau saja Mikkel mengajaknya ketika mereka hanya sedang berdua, atau hanya ada Luna di meja panjang ini, Naya akan menolak dengan tegas. Tapi yasudahlah, anggap saja ia sedang berbaik hati pada lelaki itu.

"Jangan buat anak orang berharap kalau kamu memang gak tertarik, Nay."

Naya merinding. Barusan Aidan membisikkan kata tersebut tepat di telinga kirinya. Sangat pelan. Jelas hanya Naya yang bisa mendengarnya.

Ketika menolah, Aidan hanya mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum kecil. Naya paham. Lelaki itu hanya berusaha menasehatinya. Dan Naya juga paham, kalimat Aidan itu sangat sesuai dengannya saat ini. Tetapi sungguh, ia tidak bermaksud membuat Mikkel berharap. Ia hanya tidak ingin mempermalukan lelaki itu dihadapan rekannya yang lain.

Ah, Pak Bos, kepalaku pusing!

***

Naya turun dari mobil Mikkel dengan sedikit tergesa. Ia sangat tidak nyaman berada disatu mobil dengan lelaki itu tanpa adanya orang lain. Selama perjalanan Mikkel selalu mengajaknya berbicara, tetapi Naya hanya menanggapi seadanya. Sebagian besar waktu Naya habiskan dengan memainkan ponselnya seakan benda mati tersebut adalah satu-satunya harapan agar ia tidak perlu terus menerus mengobrol dengan Mikkel.

Ketika mereka berjalan beriringan memasuki sebuah restauran yang berada di salah satu hotel mewah di bilangan Senayan, beberapa karyawan yang sudah hadir lebih dahulu menyambut dengan meriah kehadiran mereka berdua. Sudah ada Aidan, Luna, Chandra, Tommy, beberapa orang dari tim product, dan tidak ketinggalan seseorang yang sangat ditunggu kehadirannya oleh Naya. Siapa lagi kalau bukan Amarendra Bayu Wikhaputra alias Pak Bos.

Naya memilih duduk di samping kanan Luna. Wanita berhijab itu sedari tadi sudah memasang senyum misteriusnya. Jika saja saat ini mereka hanya berdua, Naya yakin dirinya sudah dibombardir oleh pertanyaan dari Luna mengenai tragedi antar mengantar ini.

"Kirain kalian bakal telat karena mau ngedate berduaan dulu."

Tanpa ragu Naya menginjak kaki kanan Luna sambil tersenyum kecil. Membuat wanita yang lima tahun lebih tua darinya itu meringis dan balik memukul tangan kiri Naya.

"Barbar banget lo, Nay," ucapnya tidak terima.

Naya hanya mendengus kesal dan mencoba untuk mengalihkan tatapannya ke arah seseorang yang duduk di serong kanannya. Tepatnya berhadapan langsung dengan Aidan yang saat ini duduk di sebelah kanan Naya.

Lelaki itu sudah tidak mengenakan jas hitamnya yang ia gunakan tadi pagi ketika rapat. Dasinya juga sudah ditanggalkan. Yang tersisa hanya kemeja berwarna abu dengan kedua lengan yang sudah digulung sampai siku.

Naya terpana. Ini pertama kalinya ia melihat penampilan Bayu yang seperti ini. Biasanya lelaki itu selalu rapi. Rapi bukan dalam artian selalu menggunakan jas dan berdasi. Bayu cukup sering juga menggunakan kaos casual ketika di kantor. Namun biasanya ketika menggunakan pakaian yang casual pun lelaki itu tetap terlihat rapi, tidak berantakan seperti saat ini. Bahkan rambutnya pun terlihat sedikit acak-acakan.

Ah, tapi berantakan gitu justru makin tambah ganteng!

Ketika lelaki itu menoleh, detik itu juga Naya terkesiap. Pandangan mereka berdua bertemu untuk yang pertama kalinya, membuat tubuh Naya seakan membeku di tempat. Ia tidak kuasa untuk mengalihkan tatapannya. Terlebih dengan tatapan Bayu yang lekat dan sarat akan berbagai perasaan itu.

Hanya tiga detik. Ya, Naya menghitungnya. Dan durasi tatapan mereka bersibobrok hanyalah tiga detik. Karena setelah tiga detik itu, Bayu langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain. Sangat singkat, tetapi waktu yang singkat itu mampu membuat Naya tenggelam ke dalam sepasang manik hitam itu. Tatapannya sangat lekat. Sangat intens. Dan Naya merasa ia melewatkan sesuatu dari tatapan itu.

Tapi apa yang ia lewatkan?

Yang jelas ia tidak bisa melihat kebahagian di tatapan lelaki itu. Pancarannya sangat redup, kontras dengan sorot mata seseorang yang sedang berbahagia.

"Jangan terlalu blak-blakan gitu mandanginnya kali. Itu orang gak bakal kabur kemana-mana."

Bisikan pelan dari sisi kirinya membuat Naya sedikit terperenjat. Ia terlalu larut dalam tatapan lekat Bayu yang tidak bisa ia mengerti itu. Naya bukan orang yang bisa membaca raut wajah, tetapi tatapan mata itu seakan mengajak dirinya berbicara. Seakan Naya dapat merasakan apa yang lelaki itu rasakan hanya melalui tatapan matanya.

"Nay, udah! Jangan ditatapin terus. Malu, Nay. Malu." Luna kembali berbisik.

Naya memutar bola matanya malas dan menoleh ke arah Luna, "Yang malu gue, Mbak. Bukan lo."

Setelahnya, acara makan malam berjalan dengan penuh pembicaraan yang juga disertai dengan candaan. Naya menikmati makan malam ini. Ia banyak berinteraksi dengan Luna, Aidan, Tommy, Firman, dan rekan-rekannya yang lain. Biasanya ia hanya banyak mengobrol dengan Luna dan Tommy saja. Dengan Aidan pun biasanya hanya sebatas pekerjaan. Namun malam ini ia bisa mengobrol santai dengan mereka semua tanpa menyinggung pekerjaan.

Di sela-sela pembicarannya dengan siapapun, Naya selalu menyempatkan diri untuk melirik ke arah Bayu. Lelaki itu tampak enjoy berbicara dengan yang lainnya. Namun Naya merasa ada suatu hal yang ditahan oleh lelaki itu. Ekspresinya mungkin bisa menunjukkan keceriaan, tetapi tatapan matanya tidak. Naya yakin ada suatu hal dibalik tatapan yang lekat tersebut.

Pukul sembilan lebih lima, beberapa orang pamit untuk pulang lebih cepat karena beberapa alasan. Mikkel juga salah satu diantaranya. Lelaki itu sempat meminta Naya untuk pulang dengannya agar ia bisa mengantarkan Naya pulang. Namun Naya menolak, dengan alasan ia ingin berada disini lebih lama. Naya bisa menghela nafas dengan lega ketika lelaki itu menurut. Setidaknya ia tidak harus merasakan kecanggungan bersama lelaki itu untuk yang kedua kalinya.

Ketika beberapa orang mukai pulang, ada beberapa orang lainnya yang meninggalkan meja dan duduk di bar yang ada di sisi lain restauran. Naya menatap lekat Bayu yang sedang berjalan ke arah bar dengan Aidan mengikuti di belakangnya. Beberapa lelaki lain juga terlihat berada di sana. Menikmati segelas minuman yang Naya yakini mengandung alkohol.

"Sumpah ya, Nay. Lo tuh jadi orang jaim sedikit bisa gak, sih?" Luna memulai pembicaraan ketika meja sudah mulai kosong dan menyisakan mereka berdua. Tidak benar-benar kosong sebenarnya, ada tiga orang dari bagian product yang masih berada di meja itu, namun cukup jauh dari tempat duduk Naya dan Luna. Belum lagi alunan musik yang mulai lebih berisik sehingga percakapan mereka tidak akan bisa didengar oleh siapapun.

"Lebay banget sih, Mbak. Gue cuma ngeliatin doang apa salahnya?" tanya Naya membela diri.

"Lo tuh bukan ngeliatin, tapi melototin."

"Kan, kan, berlebihan banget," Naya mencebik. "Orangnya aja gak protes tuh gue liatin mulu. Kenapa lo yang repot?"

Luna mendelik sebal. Juniornya yang satu ini memang sangat susah untuk di nasehati jika sudah menyangkut Pak Bos. "Kalau dia protes bisa-bisa besok lo jadi bahan gunjingan satu kantor, Nay."

Naya menyesap jus jeruknya dengan santai dan menyandarkan punggungnya pada kursi. "Bagus dong. Gue jadi terkenal."

"Terkenal karena kegatelan mau lo?" tanya Luna menantang.

"Siapa yang kegatelan? Perasaan gue gak ngegodain Pak bos deh. Ngajak ngobrol aja enggak. Masa cuma natap dibilang kegatelan?"

Sabar. Sebisa mungkin Luna berusaha sabar berbica dengan wanita disebelahnya ini.

"Susah emang ngomong sama bocah."

"Siapa yang bocah?"

Pertanyaan itu menghentikan obrolan diantara keduanya. Aidan terlihat berdiri di depan kursi yang berada di sebelah kanan Naya, tempat dimana lelaki itu tadi duduk.

"Naya, lah. Masa gue yang bocah, Mas," jawab Luna lantang.

Naya hanya bisa mencibir ke arah Luna.

"Bocah gak boleh pulang terlalu malam." Aidan malah menanggapi, membuat Naya semakin kesal. "Pulang sana, Nay. Udah mau jam setengah sepuluh."

Kali ini Naya menoleh ke arah Aidan, yang sedang mencari sesuatu di dalam tasnya. "Aku bahkan pernah lembur sampai jam sepuluh malam di kantor tapi gak mas suruh pulang loh."

Aidan tertawa mendengar jawaban Naya.

"Yasudah, terserah kamu mau pulang jam berapa. Tapi jangan sampai bolos kantor besok. Awas aja kalau sampai gak masuk karena pulang kemalaman."

Naya mengacungjan kedua jempol tangannya. "Siap. Besok aku datang subuh, Mas," ucapnya asal.

Lagi-lagi Aidan tertawa. "Kalau begitu saya balik duluan ya, Nay, Lun. Ingat jangan malam-malam."

Aidan melambai sekilas ke arah Naya dan Luna sebelum berjalan ke arah bar. Naya memperhatikan bagaimana Aidan menepuk pundak Bayu dan mereka terlihat berbicara sekilas. Tidak lama karena setelahnya Aidan kembali berjalan keluar dari tempat ini. Sedangkan Bayu masih duduk di sana. Hanya sendiri. Naya tidak tahu kemana perginya beberapa lelaki lainnya seperti Firman dan Surya yang tadi ia lihat berada di bar. Apa mungkin mereka juga sudah pulang?

"Lo gak ada niat pulang, Nay? Mau nungguin sampai Pak Bos juga pulang?"

Pertanyaan Luna membuat Naya menoleh. Benar juga. Perjalanan dari sini menuju apartemennya bisa lebih dari setengah jam. Belum lagi ia harus menaiki angkutan umum karena tidak membawa kendaraan pribadi. Tetapi, mengapa rasanya ia tidak rela untuk meninggalkan tempat ini?

"Gue mau balik, nih? Lo mau bareng gak?" Luna kembali bertanya.

"Bareng gimana? Jelas-jelas tujuan kita berlawanan, Mbak."

"Bareng keluarnya maksudnya," Luna tertawa kecil.

Naya menggeleng, menolak ajakan Luna. "Lo duluan aja deh. Gue kayaknya mau pesan taksi online aja sekalian."

Luna mengagguk-angguk mengerti. "Okedeh. Gue duluan kalau gitu ya. Jangan pulang malam-malam ingat!" Cecar Luna sebelum wanita itu beranjak dan berjalan menuju pintu keluar.

Selepas kepergian Luna, Naya kembalu fokus memandangi punggung lelaki yang sampai saat ini masih setia duduk pada salah satu kursi bar. Naya tidak tahu apakah lelaki itu meminum banyak atau tidak. Tetapi ia yakin tidak, karena besok masih hari kerja dan Bayu pastinya tidak mau terlihat buruk ketika masih harus bekerja.

Dua kali mengikuti rapat bersama dengan Bayu, Naya bisa mengetahui jika lelaki itu memiliki kepercayaan diri yang tinggi ketika memimpin. Punggungnya selu tegak, menandakan ketegasan dan kepercayaan diri yang tinggi. Namun kali ini, Naya tidak mendapati punggung yang tegak itu. Ia justru melihat punggung yang rapuh. Lelaki itu terlihat sangat berbeda, sekalipun hanya dapat Naya lihat dari balik punggungnya.

"Permisi, Mbak. Saya ingin meminta izin untuk merapikan beberapa piring dan gelas yang sudah tidak dipakai."

Naya terperenjat ketika seorang pelayan restauran datang menghampirinya. Sepertinya ia terlalu terlarut memperhatikan Bayu.

"Iya, silahkan, Mas," jawabnya sambil tersenyum kecil.

Pukul 9.52. Kedua mata Naya membesar. Kenapa tiba-tiba sudah hampir jam sepuluh? Seingatnya Luna baru saja pamit pulang lebih dulu sekitar jam setengah sepuluh kurang. Apa waktu memang berlalu secepat itu ketika Naya hanya memandangi punggung Bayu? Bahkan tiga orang karyawan divisi product yang tadi masih berbincang di salah satu sisi meja kini sudah tidak terlihat.

Sepertinya ia benar-benar sudah tidak waras. Dan sepertinya ia harus segera pulang agar tidak semakin bertambah gila.

"Mas? Boleh minta air putih segelas?" tanya Naya pada pelayan yang sedang membersihkan meja panjang ini. Ia benar-benar kekurangan cairan. Sepertinya menatap punggung Bayu juga bisa membuat dehidrasi.

"Baik. Sebentar ya, Mbak."

Setelah pelayan itu berlalu, Naya mulai merapikan tasnya. Ia mengambil ponsel dan membuka aplikasi transportasi online. Setelah memasukkan alamat, Naya langsung menekan tombol pesan. Hanya beberapa detik dan ia sudah mendapatkan driver. Dari informasi yang ada di aplikasi, driver itu berjarak sekitar 15 menit dari posisinya berada saat ini. Cukup jauh. Tetapi Naya tidak masalah menunggu. Karena itu artinya ia bisa melihat punggung Bayu lebih lama.

"Ini air putihnya, Mbak."

Naya menanggapi satu gelas air putih yang diberikan oleh seorang pelayan dan mengucapkan terima kasih. Air putih tersebut habis hanya dalam satu kali tegukan. Ia benar-benar kehausan.

Beberapa menit setelahnya, Naya beranjak bangun dari tempat duduknya. Ia sudah membulatkan tekatnya. Ia akan menghampiri Bayu terlebih dahulu untuk sekadar berbasa basi jika ia akan pulang. Juga memberi tahu bahwa seluruh karyawan sudah tidak ada yang tersisa. Semuanya sudah pulang.

Dengan penuh keyakinan, Naya berjalan mendekat ke arah lelaki itu. Ia menarik napas panjang untuk menetralkan kegugupannya ketika sudah berada di dekat Bayu. Lelaki itu terlihat sangat fokus memperhatikan gelas kecil yang berada di tangan kanannya.

Tenang, Nay. Tenang. Dia cuma bos lo, bukan Tuhan!

"Pak Bayu." Naya memanggil pelan. Sialan. Suaranya bergetar.

Lelaki itu tidak beranjak sedikit pun. Apa ia tertidur?

"Pak Bayu." Sekali lagi Naya coba memanggil. Kali ini diikuti dengan tepukan kecil di pundak lelaki itu.

"Hmmm..."

Berhasil. Lelaki itu menoleh. Namun Naya dibuat terkejut ketika melihat mata lelaki itu yang memerah. Bukan hanya mata, seluruh wajah lelaki itu memerah. Bayu mabuk.

"Pak Bayu.... mabuk?" Naya bertanya hati-hati.

Lelaki itu memicingkan matanya. "Kamu.... siapa? Kamu kenal saya?" tanyanya dengan suara serak.

Astaga! Lelaki ini benar-benar mabuk.

Naya menjadi khawatir. Apa lelaki itu datang bersama supir? Tetapi sepengetahuannya Bayu bukan tipe yang suka menggunakan jasa supir. Ia selalu melihat Bayu mengendarai kendaraan pribadinya sendiri. 

Lalu bagaimana caranya lelaki itu pulang dengan keadaan mabuk berat seperti ini?

"Pak Bayu bisa pulang sendiri?" Naya mencoba menanyakan kekhawatirannya pada lelaki yang saat ini sangat berbau alkohol. Mencium baunya saja Naya sudah merasa pusing.

Tanpa Naya duga, lelaki itu justru tertawa. Tawa yang menurut Naya bukanlah tawa bahagia. "Untuk apa pulang? Saya gak punya rumah untuk pulang. Gak akan ada yang menunggu saya pulang. Lebih baik saya disini. Bersenang-senang. Lalu kembali ke kantor. Lalu kembali ke sini. Lalu kembalik ke kantor lagi. Menyenangkan bukan?" ucap Bayu yang diikuti dengan tawa sumbang diakhir.

Naya meringis. Lelaki ini sudah meracau. Namun entah mengapa Naya merasa ucapan tersebut adalah kejujuran yang sesungguhnya. Apa Bayu sedang ada masalah?

"Apa saya perlu hubungi Mas Idan, Pak? Agar Mas Idan bisa mengantarkan Bapak pulang." Naya mencoba menawarkan solusi. Namun setelahnya ia merasa bodoh. Tidak akan ada gunanya bernegosiasi dengan orang mabuk. Lebih baik ia langsung menghubungi Aidan saja.

Ketika Naya sedang mencari kontak Aidan, ia merasakan kepalanya bertambah pusing. Apa efek dari mencium bau alkohol saja bisa membuatnya menjadi sepusing ini? Ck, lemah sekali.

Sebisa mungkin Naya menahan rasa pusingnya. Namun belum sempat ia menekan tombol hubungi pada kontak Aidan, dunianya sudah benar-benar terasa berputar. Naya berpegangan pada salah satu kursi bar, satu tangannya lagi menggapai pundak Bayu agar ia tidak terjatuh. Kedua mata Naya terpejam. Namun ia sama sekali tidak bisa mengurangi rasa pusing yang mendera kepalanya. Justru ia merasa semakin lemas.

Hingga kemudian Naya benar-benar tidak tahu lagi apa yang terjadi disekelilingnya.

*

Jakarta, 16 November 2021.

Continue Reading

You'll Also Like

231K 1K 15
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!
17M 752K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
3.4M 35.9K 31
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
1.9M 90.5K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...