(OST. The Only Exception - Paramore.)
•••
A Man Called Papa
•••
Guntur duduk pada kursi depan kamar rawat sambil menghela napas dalam. Di sebelahnya, papa Joceline turut menyusul dan ikut duduk. Mereka berdua menekur, memandangi taman kecil di hadapan.
"Guntur," panggil papa Joceline. "Terima kasih, ya. Kamu selalu mau repot-repot untuk temani dan jenguk Ling-ling."
Pria itu menoleh sesaat ke arahnya dan dijawab dengan anggukan Guntur.
"Saya enggak nyangka kalau kamu mau temani Ling-ling. Semenjak kamu ada, Ling-ling bawaannya senang terus, sering senyum, lebih bersemangat," terang papa Joceline sambil berdeham. "Sebagai orang tua, saya yang paling bahagia melihat dia bahagia."
"Iya, Om. Sama-sama," balas Guntur. Dia turut senang mengetahui kehadirannya selama ini berperan penting dalam hidup Joceline. Mereka terdiam kembali untuk beberapa saat hingga lelaki di sebelahnya kembali mengguman pelan.
"Setiap orang tua, selalu pengin bisa membahagiakan anak-anaknya, memberi apa yang mereka ingin." Tanpa diminta, papa Joceline kembali menjelaskan. "Kadang, orang tua nggak kabulkan permintaan anak karena dua hal. Bisa jadi, mereka memang belum mampu mengabulkan itu karena kondisi atau karena mereka menganggap hal itu tidak baik atau kurang berimbas penting untuk pertumbuhan anak. Selebihnya, semua orang tua normal inginnya sama; mau anaknya tumbuh besar, baik dan bahagia. Begitu juga saya."
"Saya bahkan masih enggak menyangka Ling-ling bisa bertahan selama ini." Pria itu berdecap lirih. "Seandainya bisa, saya pengin bisa donorkan jantung saya ke dia, tapi kalau saya mati, Ling-ling gimana?"
"Om..." Guntur tiba-tiba merasa tidak nyaman dengan pembicaraan ini. Semua juga tahu kalau setiap manusia hanya memiliki satu jantung dan jika jantungnya diambil, tentu tidak akan bertahan hidup. "Mungkin Om bisa cari-cari info tentang donor jantung," tambahnya berusaha menenangkan.
Papa Joceline hanya tertawa lirih, tipis sekali. "Enggak ada orang yang mau donorkan jantung cuma-cuma, Tur. Harga jantung sangat mahal, sekalipun di black market. Saya bukan orang semampu itu yang bisa beli jantung dengan sekali kedip. Kalaupun ada, belum tentu cocok juga."
Guntur paham itu. Semenjak dekat dan sering bersama Joceline, dia jadi tahu banyak tentang hal-hal kecil yang selama ini luput dari pengetahuannya. Untuk transplantasi jantung, tidak mudah menemukan donor yang tepat. Kondisi jantung pendonor harus dalam keadaan baik. Faktor lain juga harus diperhatikan seperti kesamaan golongan darah, antibodi hingga ukuran jantung. Tidak ada yang tahu, kalau belakangan ini, Joceline hampir tiap minggu harus berkunjung ke rumah sakit. Cewek itu sering dirawat sehari dua hari, lantas pada hari Senin akan bersekolah lagi seperti biasa. Guntur sudah sering mengingatkan Joceline agar banyak beristirahat. Namun, ditolak.
Joceline selalu bilang jikapun hari itu adalah hari terakhirnya, dia ingin menjalani hari dengan penuh semangat dan penuh arti. Semakin cewek itu kukuh, semakin juga Guntur menjadi risau.
Panggilan masuk ke ponsel, membuat perhatian Guntur teralih. Dia mengangkat telepon itu setelah izin kepada papa Joceline.
"Halo, Om," jawab Guntur begitu mengetahui Jody yang menelepon.
"Tur, Gesna ada sama kamu?"
Pertanyaan Jody membuat alis Guntur terangkat. Terakhir dia ketemu Gesna ya saat memaksa Gesna pulang dari basecamp sambil mengatakan kepada cewek itu kalau dia melihat apa yang Gesna lakukan bersama Adit. Setelahnya, Guntur bahkan enggan menghubungi Gesna. Di matanya, Gesna berubah. Dengan segenap kejujuran, Guntur menjawab, "Enggak, Om."
"Ke mana anak ini? Dari tadi malam enggak pulang. Tolong bantu cari Gesna, ya, Tur." Jody kemudian menerangkan kalau Gesna pergi kemarin malam dan tidak kembali hingga hari ini. Penuturan Jody tersebut membuat Guntur terkejut, sebab Gesna tidak biasanya menginap tanpa izin kepada orang rumah minimal Gustav.
Berusaha membantu mencari Gesna, Guntur merasa perlu menjauh dari sisi papa Joceline. "Om, saya permisi dulu. Mau coba cari teman yang nggak pulang dari kemarin malam."
Papa Joceline mengangguk, mempersilakan. "Kamu kayaknya dipercaya para orang tua, ya, Tur. Sampai-sampai kalau anaknya hilang, carinya juga ke kamu," ujarnya. "Orang tua kamu pasti bangga sama kamu."
Guntur mengulas senyum sekejap sebelum menepi ke sudut lain, menekan panggilan ke nomor Ilham, Adrian ataupun Miko. Akan tetapi setelah menelepon penghuni basecamp juga Asri, tidak ada yang tahu di mana Gesna. Dia kemudian menekan panggilan ke ponsel Naraya.
Terdengar suara malas Naraya menjawabnya. "Apa, Tur?"
"Nay, Gege ada sama lo enggak? Bokapnya nyariin."
"Enggak," balas Naraya datar. "Gege aja nggak masuk sekolah, hari ini."
"Nggak masuk sekolah?" tanya Guntur memastikan. "Dia ngapain sampai bolos?"
"Enggak tahu, Tur. Dia nggak bilang mau bolos, jadi alpa, tanpa keterangan." Naraya terdengar menguap. "Coba lo cari Gege sama anak basecamp, deh."
"Udah, tapi nggak ada." Bibir Guntur kemudian berdecak. Harusnya dari awal, dia menghubungi Naraya dahulu. Sebab, cewek itu yang lebih mengetahui kabar Gesna.
Naraya berdengung sebentar, seperti turut berpikir. "Kalau gitu, lo cari ke Adit atau ... Kak Adji," ujar cewek itu terdengar canggung saat menyebutkan nama Adji.
"Ya udah, deh. Gue cari ke mereka dulu. Thanks ya, Nay." Bergegas Guntur kembali membuka kontak setelah mengakhiri telepon dengan Naraya. Dia mau tak mau harus menghubungi Adit. Kemungkinan besar, cowok itu tahu di mana Gesna. Kalau benar Adit tahu di mana Gesna, dia benar-benar tidak habis pikir apa yang ada di dalam pikiran Gesna sampai tidak pulang, tadi malam.
Di tempat lain, pada pekarangan sebuah rumah berarsitektur tua, Gesna melengos pelan sambil memandang sekeliling. Setelah malam datang, Adit mengajak ke tempat ini. Awalnya, Gesna berpikir akan candle light dinner di suatu tempat yang memesona, tetapi kenyataannya, dia malam berada di tempat asing yang tidak menyenangkan.
Kencan mereka berlabuh di pelataran halaman sebuah stasiun radio anak muda karena The Tahan Banting ada jadwal performance di sana. Adit benar-benar payah. Masa sih cowok itu nggak tahu harus bagaimana saat kencan?
Gesna memutar-mutar ponsel Adit yang berada di tangan dia. Matanya memandang ke depan, ke arah panggung di mana Adit beserta Miko dan Bara sedang tampil. Gesna suka penampilan Adit, saat cowok itu bernyanyi atau bermain gitar. Tidak ada yang jelek atau sumbang dari suara Adit. Namun, dia tidak suka kalau cewek-cewek mulai heboh dan cari perhatian Adit, seperti saat ini.
Dari tempatnya duduk, Gesna melihat banyak kamera merekam pertunjukan mereka. Tidak sedikit yang mengambil foto Adit dari segala sisi. Ya, tentu saja Gesna geram. Menikmati musik kan tidak harus merekam-rekam atau memfoto vokalisnya.
Cewek-cewek itu hanya pura-pura menikmati permainan The Tahan Banting. Aslinya pasti karena mengincar foto Adit, pikir Gesna sambil merotasikan bola mata. Ponsel di genggamannya bergetar dan menampilkan nama penelepon.
"Guntur?" gumam Gesna memperhatikan nama dan nomor di layar ponsel Adit. Iya, itu benar nomor Guntur. Gesna hafal nomor itu. Hanya saja, dia tidak menyangka kalau Adit menyimpan nomor Guntur dan Guntur mengetahui nomor ponsel Adit. Panggilan itu masih berlangsung hingga Gesna memutuskan untuk mengangkat telepon.
"Halo, Bang Adit," sapa Guntur ketika Gesna menekan tombol jawab dan menjauh dari keramaian.
Gesna terdiam sesaat, masih ingat betapa belakangan ini ada kekikukan antara mereka berdua. "Adit lagi performance. Kenapa, Gun?" jawabnya berusaha untuk membalas dengan santai.
"Gege?" tanya Guntur yang dijawab kembali dengan gumaman Gesna. "Lo sama Bang Adit?"
"Iya."
Gesna dapat mendengar dengkusan keras dari balik telepon sebelum Guntur membentak dengan emosi. "Otak lo dipakai dong, Ge. Ke mana lo sampai nggak pulang, tadi malam?"
Gesna tidak menjawab. Dia hanya menggaruk pelan belakang kepala. Perlu penjelasan panjang untuk menerangkan kenapa dia tidak pulang dan situasi berisik di sekitarnya sangat tidak mendukung.
"Lo sekarang di mana? Dugem lo, ya? Mabok-mabokan?" tuduh Guntur kemudian.
"Apaan sih, lo? Ujug-ujug kok marah-marah, darah tinggi nanti." Gesna berusaha untuk meredakan amarah Guntur. Cowok itu belum tahu cerita yang sebenarnya.
"Ya, darah tinggilah gue. Om Jody tanyain lo ke gue. Lo bolos kan, hari ini? Gila lo, ya, Ge. Udah nggak pulang tadi malam, bolos pula. Ya ampun, Ge. Mau jadi apa lo ini?!"
"Mau jadi Pahlawan Bertopeng," balas Gesna seasal mungkin.
"Gege, nggak lucu. Coba lo itu mikir, Ge!"
Gesna berdecak dan mulai terganggu. "Ya udah, sih. Ribet amat lo jadi orang. Lo tinggal bilang lo nggak tahu gue di mana, selesai. Nggak usah nyuruh gue mikir-mikir, yang kayak gitu nggak bakal gue pikirin."
"Nggak," tolak Guntur dengan nada meninggi. "Gue bakal bilang lo lagi sama Bang Adit. Untuk kali ini, gue ogah nutup-nutupin kelakuan lo. Yang ada lo keenakan, berubah juga enggak."
"Dikira gue Boboiboy pakai berubah?"
"Terserah lo lah! Capek gue ngomong sama balok kayu kayak lo!" Guntur memutus telepon sepihak tanpa basa-basi lanjutan.
Gesna hanya diam melihat layar ponsel Adit meredup. Dia tahu Guntur pasti akan kelimpungan ketika ditanya tentang dia sedangkan cowok itu tidak mengetahui kabarnya, tapi tentang Jody, dia tidak tahu harus menceritakan kepada siapa. Dia malu. Malu punya orang tua sebejat itu. Bukan Gesna tidak sadar kelakuannya selama ini, tetapi bukankah orang tua harus menjadi contoh untuk anak-anaknya? Contoh apa yang akan Jody ajarkan jika membawa sembarang wanita ke rumah? Tidak bisakah papanya melakukan hal-hal seperti itu tanpa sepengetahuan dia? Dia tidak peduli jika Jody melakukan di tempat lain sejauh mungkin. Jangan di rumah mereka, di ranjang yang sering ditiduri mamanya.
Gesna menarik napas panjang dan kembali ke tempat duduk. Adit sudah selesai tetapi cowok itu masih bercengkerama dengan seorang cewek berpenampilan nyentrik. Cewek itu memakai sepatu boots hitam yang tingginya setengah betis, celana jeans hitam yang terlihat menyatu dengan sepatu, kemeja kotak-kotak kebesaran dan tas cangklong yang terlihat santai. Nyentrik-nyentrik unik, sebenarnya. Cakep sih, cuma Gesna tidak suka cara cewek itu tersenyum ke Adit. Senyum penuh umpan.
Sadar kalau pandangan Gesna mengarah kepadanya, Adit menoleh lantas menyambangi. "Sori, lama, Non."
"Ya, lamalah. Pakai segala halal bi halal sama seluruh umat manusia, ya bakalan lama." Gesna berdecap tak peduli.
"Halal bi halal gimana?"
Adit terlihat tidak mengerti sedangkan Gesna memilih untuk tidak menjelaskan maksud ucapannya. Mood buruk yang ada lengkap sudah. Dia menyodorkan ponsel Adit. "Kok Guntur bisa tahu nomor hape kamu?"
Pertanyaan Gesna membuat mata Adit mengerjap. Cowok itu masih tidak paham. "Udah tahu dari lama, kenapa?"
"Kok bisa?" desak Gesna ingin tahu jawaban.
"Ya, kan satu basecamp."
Jawaban itu membuat Gesna terdiam. Dia sampai lupa kalau antara mereka berada di basecamp yang sama. Wajar jika Guntur dan Adit sama-sama mengetahui nomor ponsel masing-masing.
"Kenapa, sih? Kok tanya gitu?" Kini, giliran Adit yang terlihat ingin mendapatkan jawaban. Cowok itu membuka ponselnya dan segera mengetahui jawaban dari daftar panggilan masuk. "Guntur tadi telepon, ya?"
Gesna mengangguk.
"Kenapa Guntur telepon?" Tangan Adit melihat detail keterangan panggilan, termasuk berapa lama panggilan tersebut berlangsung.
"Tanya aku di mana." Gesna mulai memandangi band yang mengisi panggung setelah The Tahan Banting. Kualitas pemain-pemain band yang ada semuanya terlihat terampil. Sepertinya mereka semua memang band terpilih. Sayang, saat ini, Gesna sedang dalam kondisi tidak ingin menikmati pertunjukan musik.
"Katanya teman, tapi mau tahu kamu di mana." Adit tersenyum masam sambil mengantongi ponsel. Seseorang memanggil Adit kemudian mengangkat tangan, yang juga dibalas lambaian oleh Adit.
"Itu siapa?" Gesna benar-benar ingin tahu siapa cewek nyentrik yang menegur Adit sebelum pergi. Sedari tadi, cara bicara Adit juga lebih luwes dengan cewek itu. Tidak secuek biasanya kepada yang lain.
"Andara. Penyiar di sini, yang dulu rekomin band kami jadi band Indiebest."
Hampir saja dengkusan Gesna terdengar keras. Dia membuang pandangan ke arah lain. "Terus kalau penyiar memangnya kenapa? Cara bicaranya sok asyik."
"Ya, memang asyik cara bicaranya. Kalau nggak asyik, nggak mungkin jadi penyiar," jawab Adit kemudian menatap mata Gesna. "Ngomong apa lagi tadi sama Guntur?"
"Nggak ada, itu doang." Pembelaan Adit kepada cewek aneh bin nyentrik itu membuat Gesna malas. Dan tentu saja Gesna juga tidak mungkin menceritakan bagaimana seorang Guntur membentaknya, tadi. Permasalahan sesama sahabat, belum tentu dimengerti oleh orang lain, meskipun itu adalah pacar. Gesna yakin, Adit akan tersinggung kalau tahu Guntur menanyakan di mana otaknya Gesna. "Katanya, papa cari aku."
Adit lalu melirik jam tangan, sudah hampir tengah malam. "Pulang, yuk. Kamu mau makan lagi nggak?"
"Nggak usah, udah kenyang."
Tadi, mereka sudah makan burger sembari menunggu jadwal performance band Adit. Gesna masih memperhatikan Adit yang sudah disambangi Bara dan Miko juga kru-kru yang membantu mereka memberesi barang. Setelah semua selesai, Adit menarik tangannya menuju ke arah motor untuk pulang.
"Nyo," panggil Gesna rendah setelah berada di boncengan. Adit menoleh sedikit, menandakan cowok itu mendengar panggilan Gesna. "Aku nggak mau pulang," tambahnya.
Adit menggeleng, tampak memperhatikan jalanan yang ada di depan. "Pulang, Non. Kamu harus pulang, udah dicariin orang rumah."
"Nggak mau."
Gesna mengencangkan pelukan ke punggung Adit. Berharap waktu lebih lama dari biasa, berharap hari berganti tidak secepat ini. Bukannya membelok atau berhenti, Adit malah memacu kecepatan motor. Membuat mereka perjalanan mereka lebih cepat sampai ke tempat yang tidak ingin Gesna datangi.
"Nggak mau pulang," ujar Gesna sekali lagi ketika motor Adit sudah sampai di depan rumahnya. Dia berharap Adit berubah pikiran dan membawanya pergi, saat ini juga.
Adit mematikan mesin, dan memarkirkan kendaraan. Cowok itu bahkan membimbing Gesna untuk turun, membukakan helm dan membenarkan anak rambutnya yang sedikit berantakan. "Kamu harus pulang. Kan kata kamu, tadi dicariin papa."
Gesna hanya bisa menampilkan muka memelas sambil memegang sebelah lengan Adit. Seandainya dia bisa memberitahu semua yang terjadi, tapi aib keluarganya terlalu banyak, dan dia akan semakin malu jika Adit mengetahui tentang Jody juga.
Adit membuka kancing tas dan mengeluarkan sebuah CD. "Ini, mixing-an yang waktu itu aku janjiin. Kalau bosan dan belum bisa tidur, kabari aku aja atau dengarin ini."
CD itu diterima Gesna dengan setengah hati. Dia tidak mau CD, dia mau Adit. Bersama Adit, saat ini, akan terasa lebih dari cukup dari apa pun. Belum sempat Gesna melancarkan aksi membujuk, sebuah seruan keras menginterupsi mereka berdua.
"Gesna, masuk!" Jody tiba-tiba keluar dari pintu sambil berkacak pinggang, meneliti sosok Adit dari atas ke bawah. "Kamu, Adit?" tanyanya tidak bersahabat.
"Iya, Om." Adit mengangguk sambil menyodorkan tangan, yang tidak juga dijabat oleh pria itu sampai Adit menarik kembali tangannya.
"Mulai sekarang, saya minta kamu jauhi Gesna. Saya nggak suka," tambah Jody kemudian.
"Papa, apa sih?" potong Gesna tidak suka. Jody tidak berhak mengatur-atur dia dekat dengan siapa. Toh, selama ini, lelaki itu juga bukan ayah yang baik.
"Masuk!" Jody menoleh kembali ke Gesna. Namun, cewek itu bersikeras tetap di tempatnya sampai Adit yang meminta Gesna untuk masuk.
"Non, masuk," imbuh Adit pelan dengan tambahan kedipan dagu. Berharap Gesna mau mendengarkan permintaannya.
"Dengar nggak kamu? Masuk!" Tatapan Jody semakin nyalang. Pria itu tampak sangat murka.
Gesna mulai berjalan mengentakkan kaki ke arah teras. Dilewatinya lelaki itu dengan lirikan yang tidak kalah jengkel. "Papa nggak usah teriak-teriak, bikin malu kalau didengar orang," ujarnya sambil menendang pintu sebelum masuk dan melihat kelanjutan Jody-Adit dari balik jendela.
Sepeninggal Gesna, Adit mengangguk pelan ke arah Jody. Bagaimanapun lelaki itu adalah papa dari pacarnya dan memang dialah yang salah membawa Gesna hingga semalam ini. "Saya permisi pulang dulu, Om."
Pria yang dia tatap hanya diam dengan mata yang terlalu tampak bergelora. Berbeda dengan Meilan yang ramah, Jody tampak seperti pemarah. Mengingatkan Adit pada pandangan mata Gesna saat diganggunya, dahulu.
"Saya ingatkan sekali lagi. Jauhi anak saya!"
🌺🌺🌺
Woy, apa kabar klean?
Ya Allah, baek-baek aja kan?
Sehat-sehat semuanya?
Inget ya inget, segabut dan seboring apa pun, patuhilah protokol kesehatan.
Covid nggak pandang umur, nggak pandang rupa, nggak pandang kantong. Mau sekaya apa pun kita, kalo udah kena dan ruang penuh, kagak ada yang mau nampung.
So, kalo bisa, stay at home aja ya, cinta-cintaku.
😘😘😘