Ineffable

By Ayyalfy

225K 28.9K 8.3K

Ineffable (adj.) Incapable of being expressed in words. . . Kisah cewek yang ditembak oleh pemilik hotspot be... More

Prolog
1 | Orang Ganteng
2 | Iklan KB
3 | Dasi
4 | Akrobatik
5 | Friendzone
6 | Bu Jamilah
7 | Adik Ipar
9 | Hotspot
10 | Bungkus!
11 | Putri Tidur
12 | Mr. Sastra
13 | Mr. Sastra II
14 | Laki-laki Bertopeng
15 | Ice Cream
16 | Mamang Rossi
17 | Grup Sepak Bola
18 | Don't Go
19 | Bad Genius
20 | Pergi
21 | Dendam
22 | Bunuh Diri
23 | Berantakan
24 | Cinta Segitiga
25 | Memilih
26 | Hotspot 'Lagi'
27 | Andra
28 | Makna Cinta
29 | Ich Liebe Dich
30 | Bubble Tea
31 | Centang Biru
32 | 9u-7i > 2(3u-3i)
33 | Sundel Bella
34 | Couple Al
35 | Gelang Hitam
36 | Uncle Rafka
37 | Bolos
38 | Pak Moderator
39 | Kejutan
40 | My Lil Sister
41 | It's Only Me
42 | Tom & Jerry
43 | The Moon is Beautiful, isn't it?
44 | The Sunset is Beautiful, isn't it?
45 | Meant 2 Be
EPILOG
EXTRA PART I

8 | Monyet Terbang

6.5K 791 111
By Ayyalfy

Baca sambil playmulmed ya :v

Happy reading!!!

🐒🐒🐒

RAFKA

Gue meminum teh hangat buatan kakak ipar gue dengan ketenangan. Namun sepertinya ada tatapan seseorang yang sedari tadi tidak pernah terlepas dari gue. Bahkan sekarang gue mencium ada bau gosong di sini. Dan ternyata itu berasal dari laki-laki yang duduk berseberangan dengan gue di meja makan. Kami baru saja menyelesaikan makan malam, namun sepertinya ada yang tidak bisa menelan makanannya karena harus makan malam dengan orang yang penuh kenangan.

Cangkir teh gue letakkan kembali ke piringnya. Gue mengulas senyum lebar. "Kenapa, sih? Gue ganteng, ya?"

Wajah Rafli yang ada di depan gue malah bertambah keruh. "Kamu sengaja?" tanyanya dengan tatapan mengintimidasi.

"Sengaja apa, sih?" tanya gue, pura-pura tidak mengerti.

Rafli mengembuskan napas pelan. Dia memijit pelipisnya lambat-lambat. Sepertinya tindakan nekad gue kali ini berdampak besar buat dia. Ya jelaslah! Siapa yang bakal biasa-biasa saja ketika masa lalu tiba-tiba hadir di depan mata? Ditambah juga masa lalunya adalah orang yang dia tinggal nikah. Paket plus, kan?

"Apa kiranya yang ada di pikiran Ratna sekarang? Kamu nggak mikir itu, Rafka?" tanyanya kemudian.

Gue menatap dua wanita yang terlihat akrab di sana. Mereka sedang berdiri berdampingan di depan westafel tempat pencucian piring. Sesekali mereka mengobrol dan gue bisa mendengar salah satu dari mereka tertawa. Sebenarnya siapa yang sangat keberatan dengan kehadiran Alfy di sini? Mbak Ratna atau justru suaminya?

"Kak, mata lo kayaknya makin nambah deh minusnya. Jelas-jelas bini lo malah kelihatan seneng ada Alfy di sini. Gue curiga, yang nggak baik-baik aja di sini tuh Mbak Ratna atau malah lo sendiri,sih?"

Rafli sukses terdiam. Oke, I got my point. "Lo sadar nggak sih, Kak? Dengan lo yang masih belum biasa aja ke Alfy, malah itu yang bikin Mbak Ratna berprasangka. Lo udah punya hidup baru, nggak seharusnya lo masih terjebak dengan perkara masa lalu."

"Kamu pikir rasa bersalah bisa begitu mudah untuk dilupakan?"

Sekarang gue yang terdiam. Jadi, selama ini kakak gue selalu dibayang-bayangi dengan rasa bersalahnya ke Alfy?

"Dekat dengan siapapun, Raf, asal bukan dengan dia."

Itu menjadi kalimat terakhir kakak gue sebelum laki-laki itu menghilang dari ruang makan, meninggalkan gue yang terdiam memikirkan maksud kalimatnya barusan.

Beberapa detik setelahnya gue sadar. Anjir, dia melarang gue buat dekat dengan jodoh gue sendiri?! Keterlaluan si Lembek!

***

ALFY

"Ini bukan pertama kalinya kita bertemu, kan?"

Aku tersenyum. Mbak Ratna benar, ini memang bukan pertemuan pertama kami. Tapi sepertinya ini adalah momen obrolan pertama kami yang sebelumnya bahkan tidak pernah terpikirkan untukku.

"Sepertinya yang ketiga kali, ya?" lanjut wanita yang sekarang sedang berbadan dua itu.

Eh? "Ketiga, Mbak? Perasaan-"

"Stasiun kereta," tembak Mbak Ratna dengan cepat.

Aku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya aku dan Mbak Ratna tertawa bersamaan. Aish, momen kampret di stasiun kereta itu. Entah kenapa jika diingat sekarang itu justru menjadi hal yang paling memalukan. Masih ingat? Aku pernah menabrak dengan sengaja Pak Rafli dan Mbak Ratna di stasiun kereta dan berpura-pura tidak mengenali Pak Rafli dan pergi begitu saja.

Mau ditaruh dimana wajahku sekarang? Mbak Ratna ternyata masih mengingat momen itu hingga kini. "Anggap aja itu bukan saya ya, Mbak. Malu kalau diingat-ingat."

Mbak Ratna tersenyum. "Mas Rafli sih nggak cerita soal aksi penabrakan itu. Tapi Mbak ingat aja pas lihat kamu di acara resepsi. Dan ... lagi pula kalian punya masa lalu, bohong rasanya kalau Mbak nggak sadar tentang itu."

The kampret moment is begin. Aduh, bisa nggak sih nggak usah singgung masa lalu. "Hehe, maafin saya ya, Mbak. Maklum masih anak SMA, kelakuannya alay."

Mbak Ratna tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Tapi lucunya Pak Rafli bisa suka. Kamu hebat, lho. Padahal dia cenderung kaku kalau masalah hati. Nggak diduga-duga malah kepincut sama anak muridnya sendiri."

Pembicaraan makin nggak terkontrol. Astaga, ini Mbak Ratna kenapa frontal banget, sih?

"Pak Rafli nggak pernah suka sama saya, Mbak. Gosip di sekolah aja itu tuh."

Mbak Ratna tertawa. Dia mengusap bahuku sekilas. "Santai aja. Mbak nggak keberatan, kok."

Bukannya santai, aku malah merasa bersalah. Ini Mbak Ratna kenapa baik banget, sih? Kan malah membuat aku yang terlihat jahat di sini. "Saya sama Pak Rafli emang nggak ada apa-apa kok, Mbak. Beneran, deh!"

"Kalau sama Rafka?"

Refleks, aku langsung memelotot. "Apalagi sama yang ituuu!!!"

Mbak Ratna tertawa. Aku juga ikut merasa geli dengan responsku barusan. Entah mengapa aku selalu berusaha menghindari hal-hal yang semacam ini. Sudah kubilang kan kalau aku memiliki trauma pada guru Bahasa Indonesia? Ditambah mereka masih kakak beradik. Bagaimana kalau akhir cerita berujung pada hal yang sama?

Ish, membayangkannya saja aku malas.

Beruntungnya cucian piring sudah habis. Aku bisa sedikit menghindar dari perbincangan-perbincangan dengan Mbak Ratna yang bisa membuatku terpojok. "Mbak, saya ingin ke kamar kecil, di mana, ya?" tanyaku.

"Mari Mbak antar."

Dan sekarang aku sudah berada di dalam kamar bernuansa abu-abu yang mendominasi sebagian besar dari ornamen dan pernak-pernik di dalamnya. Benar-benar sangat menggambarkan kepribadian pemiliknya yang kalem dan misterius. Dan ya, ini kamar Pak Rafli, aku bisa menebaknya karena melihat foto pernikahan terpajang gagah di salah satu dinding kamarnya.

"Mbak tinggal, ya."

Aku mengangguk dan membiarkan Mbak Ratna meninggalkan kamar. Aku pun tanpa membuang waktu lagi langsung ke kamar mandi untuk menuntaskan panggilan alam yang memaksa dipenuhi.

Kusempatkan untuk mencuci wajah sebelum keluar dari kamar mandi. Namun, tepat sedetik pintu terbuka, aku dikejutkan dengan pemandangan topless seseorang yang membuatku kontan menjerit kencang.

Aaak-mpphh!

Tangan orang itu langsung membekap mulutku. "Jangan teriak," ucapnya sambil menatapku dan pintu kamar bergantian dengan sorot was-was.

BAPAK NGGAK PAKE BAJU GIMANA SAYA NGGAK TERIAK?!

Tapi pada akhirnya aku mengangguk juga. Perlahan ia menjauhkan tangannya dari mulutku. Aku langsung mengalihkan tatap, ke manapun asal bukan pada sesuatu yang berbentuk kotak kotak-Argh! Mataku sudah tercemar!

"Maaf, saya nggak tahu kalau ada kamu di kamar mandi."

Perasaanku lebih tenang setelah Pak Rafli menutupi tubuh bagian atasnya dengan handuk yang awalnya hanya ia sampirkan di bahu. Laki-laki itu mengambil jarak aman dariku. Dan saat ini kami sudah di radius dua meter.

Aku hanya mengangguk dan tak berani menatapnya. Tubuhku masih merespons dengan mengeluarkan keringat dingin. Setelah memastikan laki-laki itu tak bersuara lagi, aku pun meninggalkan kamar itu dengan cepat.

***

"Nyali lo gede juga, ya? Sampai berani gitu dateng ke rumah doi. Plus denger kabar doi bakalan jadi ayah. Gimana perasaan lo, Al?"

Aku memutar bola mata karena pertanyaan Roy barusan. Sepertinya keputusan yang salah untuk menceritakan hal itu kepada anggota TKF.

"Lo nggak tahu aja, Roy. Pas itu terjadi, gue yakin ada soundtrack "Kumenangis" di dalam hati si Alfy," tambah Via yang ia akhiri dengan tawa iblis.

Lalu mereka berdua malah bernyanyi bersama.

Kumenangis membayangkan~

Betapa kejamnya dirimu atas diriku~

Kau duakan cinta ini~

Kau pergi bersamanya~

Aku hanya bisa menutup telinga karena mendengar suara fals mereka. "Rossa bisa nangis darah kalau denger kalian nyanyiin lagu dia."

Roy dan Via ber-tos ria setelah kelar bernyanyi. Entah ya, mereka ini seperti sahabat rasa haters. Mereka bahagia banget kalau melihat aku terdzalimi.

"Yaudah lah, Al, itu artinya lo disuruh move on."

"Emang siapa sih yang bilang gue belum move on?" tanyaku kesal.

"Lo!" Roy dan Via kompak menunjukku.

Syifa yang tidak ikut merusuh hanya tertawa melihat wajah keruhku akibat ulah kedua jelmaan medusa itu. "Kalian berdua tuh rugi banget ya kalau sehari aja nggak bikin gue kesel?" gerutuku sambil kembali menyuapkan sesendok ketoprak ke dalam mulut.

"Rugi sih nggak, Al. Cuma seneng aja. Ya nggak, Roy?" Via meminta persetujuan pada Roy dan dibalas dengan acungan jempol si empu nama.

"Yoi."

Aku memutuskan untuk tidak mempedulikan mereka lagi dan sibuk pada sepiring ketoprak di hadapanku. Tapi sepertinya mereka itu memang diciptakan untuk terus menjadi pengganggu.

"Al, Al, lo harus lihat pemandangan itu, Al!"

"Nggak."

"Al, sumpah, lo harus lihat!"

Aku mengabaikan Roy yang terus memaksaku itu. Aku berusaha untuk tidak kepo sampai akhirnya salah satu dari mereka menyebutkan nama yang akhir-akhir ini mengganggu pikiranku.

"Itu Pak Rafka bukan, sih?"

Detik selanjutnya aku pun menoleh ke belakang dan mengikuti kemana perhatian sahabat-sahabatku terarah. Dan ya, di jarak sepuluh meter dari tempat kami ada sosok Pak Rafka yang sedang mengobrol dengan seseorang. Sosok itu cukup sohor di kalangan adik kelas. Aku lupa namanya tapi yang kutahu dia itu anak pindahan dan cewek. Dan ... cantik.

Dari apa yang kulihat, mereka seperti sedang mengobrol akrab. Pak Rafka berulang kali memamerkan lesung pipinya karena terus-terusan mengumbar senyum. Seakan tidak mau kalah, si anak pindahan itu juga mempertontonkan lesung pipi kanannya yang terlihat sangat dalam.

Aish, aku yang melihatnya dari sini merasakan mual tak tertolong. Jika dilihat lebih lama, bisa-bisa aku kehilangan nafsu makan. Aku pun kembali fokus pada ketoprakku yang mulai setengah dingin.

"Wah, bakalan jadi gossip baru, nih."

"Iya. Menggantikan gossip Alfy yang ditinggal nikah Pak Rafli, ditinggal tunangannya Riki, ditikung adek kelas sendiri, terus di-php-in Pak Rafka."

Aku menghentikan aksi menyuap ketoprakku karena ucapan Roy barusan.

Sumpah, se-ngenes itu ya kisah percintaan gue?

***

"Al, gue duluan, ya?" Syifa pamit lebih dulu untuk pulang saat aku masih sibuk membereskan buku dan alat tulis ke dalam tas.

"Yo. Tiati!"

Via dan Roy sudah lebih dulu pulang. Hanya tersisa teman-temanku yang sedang piket saat aku beranjak keluar kelas. Koridor juga cukup sepi karena sebagian dari penghuni sekolah ini sudah mengangkat kaki untuk pergi. Lagipula, siapa juga yang mau berlama-lama diam di sekolah?

Aku berjalan menuju parkiran. Hari ini aku membawa Jagur dan sudah kupastikan tidak akan kehabisan bensin lagi karena kemarin sudah kuisi asupan untuknya yang menurut ramalanku akan cukup sampai tiga hari ke depan.

Di tengah perjalanan, aku melihat pemandangan itu lagi. Aish, bisakah mereka tidak mempertontonkan sinetron FTV di lingkungan sekolah begini?

"Kalau gitu saya duluan, Kak. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Hati-hati di jalan, Bela."

Oh, namanya Bela. Pasti nama panjangnya Belapotan.

Cewek feminin dengan rambut terurai sebahu itu pun menjauh dari Pak Rafka setelah melayangkan senyuman sok manisnya. Aku yang berada di beberapa meter di belakang Pak Rafka hanya mencibir sekilas.

Saya lagi deketin kamu. Halah eek kuda!

Tanpa ambil pusing lagi, aku pun kembali meneruskan langkah dan berjalan melewati laki-laki itu tanpa sedikitpun melihat ke arahnya. Aku yang mengira dia tidak akan menyadari keberadaanku ternyata salah besar.

"Alfy?"

Aku pura-pura tidak mendengarnya dan terus berjalan.

"Hei, Alfy?"

Aku merasa dia mulai mengikutiku sekarang. Ah, masa bodo. Aku yakin jika aku menanggapi panggilannya itu, aku hanya akan mendengar gombalan basi khasnya lagi.

"Alfy?"

Belum menyerah juga dia.

"Sayang?"

Kakiku spontan terhenti.

"Oh, jadi maunya dipanggil 'Sayang'? Kenapa saya nggak kepikiran dari tadi, ya?"

Aku mengepalkan tangan di samping badan. Rasa hati ingin memaki namun kutahan. Ini masih di sekolah, apa yang akan orang lain pikirkan jika aku bertindak brutal pada seorang guru laki-laki? Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun aku kembali berjalan. Namun sialnya, tali tas ranselku ditarik dari belakang dan membuat tubuhku terseok mundur.

"Ish, kenapa sih?!" rengekku setelah memutar badan menghadap ke arahnya.

Pak Rafka tanpa dosa malah melebarkan senyumnya. Dia melepaskan tali tasku. "Saya salah orang ternyata."

APA?!

"Saya kira kamu Alfy, eh ternyata bidadari."

Bahkan itu adalah jawaban yang lebih menyebalkan dari apa yang aku kira. Aku menggerakkan mata dengan jengah. "Kalau disuruh pilih antara ngepel semua kelas di sekolah ini atau ngedengerin Bapak ngegombal, saya nggak akan pilih dua-duanya! SAMA-SAMA CAPEK!"

Melihat aku yang berkoar-koar kesal di depannya, Pak Rafka malah tertawa. "Kamu bisa ngelawak juga ya ternyata?"

Aku berdecak. "Cepetan! Ada perlu apa?" tukasku tak sabar.

"Nggak ada apa-apa, sih. Cuma mau lihat endorfin saya aja."

Dia mengganggapku sebagai hormon? Yang benar saja?! Semakin lama aku mendengarkan ocehannya, bukan hanya dia yang tidak waras, aku juga pasti akan ikutan nggak waras.

"Pak, ada monyet terbang!" teriakku sambil menunjuk ke arah yang berlawanan dengannya.

Pak Rafka pun menoleh ke belakang. "Mana?"

Aku ambil kesempatan itu untuk berlari meninggalkannya sambil tertawa puas-puas.

Sadar telah dibodohi, Pak Rafka kembali memutar badannya dan melihatku sudah berada di atas motor. "Dadah, Pak Rafka! Kalau mau lihat monyetnya tinggal buka kamera depan hape Bapak aja, ya!"

***

RAFKA

Sosok Alfy dan motornya mulai menjauh dari tempat gue berdiri setelah dengan mudahnya gue dibodohi pasal monyet terbang. Harusnya gue sadar kalau monyet terbang adalah hal paling konyol yang nggak akan pernah bisa gue lihat penampakannya. Tapi, Alfy berhasil membuat gue terlihat konyol karena jebakan usilnya itu. Meski begitu, gue nggak bisa berhenti tersenyum akibat tragedi tadi.

Kenapa, sih, dia makin menggemaskan saja?

Awalnya gue hanya penasaran dengang perempuan yang sukses banget membuat kakak gue jatuh hati itu. Jadi, dulu gue selalu memperhatikan tindak-tanduk kakak gue. Awal kecurigaan gue bermula saat si Lembek itu membawa Alfy ke hadapan ibu di rumah sakit. Pasalnya selama gue bernapas di satu rumah dengan dia, gue nggak pernah melihat kakak gue membawa perempuan ke hadapan keluarga. Lalu dengan tiba-tiba dia datang bersamaan dengan cewek yang ternyata malah anak muridnya. Awalnya gue sempat kaget saat tahu bahwa perempuan yang pernah dibawanya itu masih anak SMA dan itu muridnya sendiri. Gue berpikir kisah mereka mungkin hanya selewat bau kentut gue, maksudnya paling cuma bertahan sebentar, tapi ternyata kisah mereka serius bahkan sampai membuat dia hampir batal nikah dengan Mbak Ratna. Gue tahu banget bagaimana labilnya si Rafli saat dia mau menikah waktu itu. Satu sisi dia nggak bisa melawan restu ibu, di satu sisi dia juga nggak mau melepaskan Alfy. Meski pada akhirnya dia menyerah dengan perasaannya sendiri. Padahal efek Alfy buat hidup dia bagi gue lumayan berpengaruh banget. Rafli itu orangnya selalu serius, kerjaannya kalau nggak belajar ya ... belajar. Tapi, karena ada Alfy, dia sedikit berubah. Sering senyum-senyum sendiri, sering ngomong sendiri kalau lagi bercermin, terus sering bertanya ke gue soal penampilan dia setiap dia mau berangkat mengajar. Awal-awal gue menganggap itu wajar, tapi lama kelamaan gue eneg juga.

Dan itu terlampiaskan di hari ke-55 dia bertanya hal itu ke gue.

"Rafka, penampilan Kakak hari ini-"

Gue yang waktu itu sedang bersiap memakai helm langsung menatapnya kesal. "Kak, gue bersumpah kali ini kalau lo nanya hari ini ganteng atau nggak, gue akan gorok kepala lo!"

Dan ... ya, karena itu gue tahu Alfy berarti banget buat dia. Meski pada akhirnya mereka bukan pemilik akhir yang bahagia. Awalnya gue prihatin, tapi sekarang nggak. Karena kalau mereka nggak berpisah, gue mungkin nggak akan dipertemukan dengan jodoh gue. Seharusnya gue hadir lebih awal di cerita mereka. Mungkin akan lebih seru kalau gue jadi tokoh antagonisnya.

Memang banyak hal di dunia ini yang nggak bisa ditebak. Dan gue juga nggak menyangka kalau rasa penasaran gue pada Alfy malah berujung jadi rasa ngebet ingin menikahi dia. Tenang, gue sudah pernah menjadi imam shalatnya, nggak lama lagi gue akan menjadi imam rumah tangganya.

Usai memakai helm, gue menepuk kepala Jaguar-motor kesayangan gue-dan mengatakan padanya bahwa ada misi pengejaran paling penting yang harus kami lakukan hari ini.

***

Dari jarak sepuluh meter, gue mengikuti Alfy dan motornya bergerak. Jarak ini terbilang aman sehingga bisa gue pastikan kalau dia tidak menyadari aksi penguntitan yang gue lakukan saat ini. Jika gue boleh menilai, skill mengendarai motor yang dimiliki cewek itu lumayan juga. Gue cukup kewalahan mengimbangi pergerakannya. Dia tidak pernah melewatkan jalan lengang untuk tidak mengebut. Gue lengah sedikit, dia sudah mengabur dari pandangan.

Gue masih terus mengawasinya, hingga akhirnya gue melihat dia menghidupkan lampu sen ke arah kanan dan memasuki sebuah gang. Ini bukan jalan raya lagi, gue sedikit khawatir mengikutinya. Alfy memelankan motornya yang membuat gue juga memelankan kecepatan Jaguar dan tetap menjaga jarak aman. Tidak lama setelah itu gue melihat Alfy menghentikan motornya di pinggir jalan. Gue ikut berhenti dan mengamati apa yang akan perempuan itu lakukan.

Dari kejauhan gue bisa melihat cewek berseragam putih abu-abu itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Gue terkejut karena tidak lama kemudian tubuhnya sudah dikelilingi kucing-kucing jalanan. Tidak sempat terpikir oleh gue, dia memberi makan kucing-kucing itu dengan makanan kucing yang dibawanya.

Gue melongo.

Sungguh mulia jasa perempuan yang sedang hamba lihat ini, Ya Allah. Kucing dekil saja dia beri perhatian, apalagi makhluk tampan ini, kan?

Gue pun berniat mengambil ponsel untuk merekam momen langka itu. Namun, fokus gue teralihkan dengan kedatangan dua orang laki-laki berpenampilan seperti preman. Mereka terlihat sedang berjalan ke arah Alfy. Pikiran gue pun langsung dipenuhi hal-hal buruk, namun sepertinya Alfy tidak menyadari itu karena terlalu fokus mengelus kepala-kepala kucing dekil di hadapannya. Gue ingin memanggil perempuan itu, namun telat, karena preman-preman itu sudah lebih dulu muncul di hadapannya.

"Cantik, baru pulang sekolah, ya?" Salah seorang preman mengajaknya bicara.

Alfy mendongak, dia sedikit terkejut menyadari kehadiran preman-preman itu. Perlahan dia bangun dari posisinya dan berdiri menghadap dua laki-laki di depannya. "Nggak. Baru pulang dari sawah, abis nanem padi," sahutnya datar.

Preman-preman itu cekikikan karena tak menyangka gadis di depan mereka menjawab dengan kalimat konyol di situasi seperti ini. "Selain cantik ternyata bisa melucu juga. Gimana kalau main sama Abang? Siapa tahu kita bisa ketawa bareng."

"Nggak. Makasih." Alfy masih mempertahankan wajah juteknya dan bersiap untuk meninggalkan preman-preman itu. Namun, seperti apa yang gue duga, preman itu pasti memiliki maksud jahat. Salah satu dari preman itu menahan tangannya dan bahkan mengelusnya dengan lancang.

"Tangannya mulus banget. Apalagi bagian yang lain, kan?"

"Lepas!" Alfy terlihat panik dan berusaha mengenyahkan cengkaraman preman itu dari tangannya.

Gue sudah nggak bisa bersembunyi lagi. Masa depan gue dalam bahaya. Sedikit tergesa, gue berlari mendekat dan langsung melepaskan tangan Alfy dari cengkraman preman itu. Gue berganti menggenggam tangannya dan menyembunyikan tubuhnya di belakang gue.

"Pak Rafka?" Alfy berbisik lirih di tempatnya. Gue bisa merasakan seluruh tubuhnya bergetar hanya dengan menggenggam tangannya. Mereka harus membayar mahal untuk ini.

Gue menatap tajam pada dua preman itu. "Jangan sentuh pacar gue."

Kedua preman itu sempat terkejut dengan kehadiran gue yang tiba-tiba. Mereka yang awalnya menunjukkan raut tegang, berubah memberikan seringaian yang gue nggak mengerti maksudnya apa. "Ada pahlawan kesiangan ternyata."

Keberanian gue sedikit terpecut ketika salah satu dari mereka mengeluarkan sebilah pisau tajam dan memain-mainkannya di depan gue. "Mungkin pisau ini akan sedikit bermain-main."

Insting gue bekerja cepat ketika salah satu dari mereka menyerang gue. Di sisa waktu yang ada, gue menghindari layangan pisau itu namun hal itu membuat pegangan gue pada Alfy terlepas. Teman dari si preman yang memegang pisau mengambil kesempatan tadi untuk merampas Alfy dan kini masa depan gue itu berada dalam kukungan lengannya.

Gue tidak bisa membiarkan itu terjadi. Gue bergerak ke arah mereka, mencoba membebaskan Alfy. Namun teriakan perempuan itu membuat fokus gue terpecah.

"Pak Rafka, awas!"

Preman yang memegang pisau tadi kembali menyerang gue dari belakang, beruntungnya Alfy memberitahukan di waktu yang tepat sehingga gue masih bisa menghindarinya. Gue menahan tangan si preman yang penuh dengan tato itu. Napas gue semakin memburu ketika pisau itu menjurus lurus ke mata gue. Dengan sekuat tenaga gue menahannya dan berhasil melemparkan pisau itu dari tangan si preman. Sebelum preman itu kembali mengambilnya, gue menyempatkan diri untuk menendang pisau itu jauh-jauh.

"Anj*ng!"

Preman itu terlihat sangat kesal dan kami pun terlibat saling pukul setelahnya. Gue yang tidak begitu mendalami ilmu bela diri sedikit kewalahan menghindari pukulannya. Dia terus berusaha menyerang wajah atau perut bagian bawah gue. Aksi menghindar gue berkali-kali berhasil namun kali ini gue kecolongan saat dia menangkis kaki gue dan membuat gue terjatuh. Dia ambil kesempatan itu untuk memukuli gue. Karena tidak ada persiapan, tulang pipi gue berhasil kena pukul dan ... sial, lumayan perih.

Sebelum preman itu kembali menyarangkan pukulannya di wajah ganteng gue, kaki gue bergerak menendang perutnya dan berhasil membuat dia terjengkang ke belakang. Gue segera bangun dan berniat untuk menolong Alfy yang masih di sandera preman lainnya. Di tangan preman itu, Alfy terlihat pucat dan berkeringat dingin. Gue mengepalkan tangan karena tidak tega melihat ketakutan di wajah cantiknya itu. Gue melayangkan senyum padanya dan mengedipkan sebelah mata, bukan bermaksud untuk genit di waktu yang salah tapi gue harap hal ini bisa mengurangi ketakutannya. Namun, baru satu langkah yang gue ambil, jaket hitam yang membungkus badan gue ditarik dari belakang dan gue berakhir membentur dinding kusam di belakang gue.

Kepala gue membentur dinding cukup keras. Beberapa saat setelahnya gue merasakan dentuman-dentuman ngilu di kepala gue bersamaan dengan buramnya penglihatan gue. Di tengah rasa sakit di sekujur badan, mata gue masih berusaha mengerjap dan memastikan Alfy masih ada di sana. Lalu tiba-tiba saja rasa takut kehilangan menyergap gue. Akan sangat menyesal jika gue gagal menyelamatkan Alfy sekarang. Dengan sedikit gemetar, gue mencoba bangun dan hal ini tidak dibiarkan mulus oleh preman sialan itu. Dia menarik kerah jaket gue dan melayangkan bogem mentah tepat di wajah gue. Rasa amis terasa pekat di dalam mulut gue disusul rasa pening di kepala gue yang semakin menghebat.

Buram, gue melihat Alfy memberontak di tempatnya. Beberapa kali dia meneriakkan nama gue. Di sisa-sisa kesadaran, gue masih bisa melihat bagaimana Alfy berhasil membebaskan diri dan menyerang kedua preman itu dengan pukulan-pukulan mentahnya. Dia menginjak kaki salah satu preman di sana dan mengilirkan tangan preman itu dengan gerakan cepat. Tak cukup dengan itu, dia melakukan bantingan pada satu preman lainnya dan berhasil menumbangkan preman itu usai memberikan tendangan super ke arah selangkangan preman itu.

Sukses membuat kedua preman berbadan cukup besar itu terkapar, cewek itu menghampiri gue dengan tergesa. Dia menangkup pipi gue. Menepuk-nepuknya dengan lembut.

"Pak, Pak Rafka! Bapak masih sadar, kan?"

Bibir gue tersenyum kecil. Sebelum kegelapan benar-benar mengusai, gue tatap wajah cantik di hadapan gue ini dengan pandangan takjub. Gue salah menolong orang, ya?

***

TBC!!!

UP CEPET NIH OTHOR, KASIH HADIAH DONG EHEHE


Oh iya, lapak ini ganti judul ya gaes!
Ga usah tanya kenapa. Ga usah:p

Continue Reading

You'll Also Like

3.1K 639 38
πŸ’œLavenderWriters Project Season 06πŸ’œ ||Kelompok 04|| #Tema; Past Time β€’Ketua : Amanda β€’Wakil Ketua : Tiara --- Orang bilang senyumnya indah, tatapan...
3.3M 166K 25
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
Dua Sejoli By ika

Teen Fiction

113K 11.7K 9
Squel Of Dosen Kampus cover by : canva
5.1M 88.1K 14
Mendapati dirinya akan di jodohkan, Vira merasa konyol saat Handi-sang Ayah-tak sedikitpun mengizinkan dirinya untuk mengeluarkan sebuah argumen peno...