•••
Konspirasi Hujan
•••
Gesna membuka mata saat merasa sesuatu mengguncang badan, bertepatan dengan suara bersin yang berulang kali. Dengan mata berat, dia menoleh. Orang yang bersin ada di samping kepalanya.
"Maaf, bikin keba..."
Belum selesai bicara, Adit sudah bersin lagi. Hidung cowok itu memerah dan berair, yang dilap berkali-kali dengan tisu. Memperhatikan bagaimana Adit kesusahan bernapas, dia meraba dahi cowok itu. Panas.
"Kamu flu," ujar Gesna sambil beringsut dari sofa menuju dapur. Mencari obat flu juga air hangat, menyodorkan ke Adit agar diminum dengan segera. Mata Gesna sempat melirik jam dinding, pukul dua belas malam dan di luar kembali hujan.
"Nginap di sini aja, ya?" pintanya sambil menaruh bantal yang telah diambil dari kamar tamu ke kepala Adit. Cowok itu mengangguk dan menurut saja saat Gesna menarik kedua kakinya agar berbaring di sofa panjang. Sofa berulang kali bergoyang karena bersin Adit yang cukup menggelegar.
Semua itu dipandang Gesna dengan gamang. Adit ini sudah tahu tidak enak badan mengapa tadi membiarkan Gesna bersandar di bahunya, sih? Cowok itu bahkan tadi tidur dengan posisi duduk. Sembari menyelimuti Adit, hati Gesna menjadi merasa bersalah. Adit pasti sakit karena kehujanan, karena dia paksa minta diantar makan bubur, karena dia paksa mau makan sate di Puncak dan karena dia dengan seenaknya bilang putar balik ke arah rumah.
Padahal Adit bisa menolak, bisa meninggalkan dia atau bisa membentaknya, tetapi tidak dilakukan cowok itu sama sekali. Gesna duduk di karpet, tepat berhadapan dengan muka Adit. Ditatapnya muka itu dalam diam. Mata tajam yang kalau melirik bisa membuat efek mengerikan itu sudah menutup meski hidungnya mendengkus-dengkus, berusaha mencari oksigen. Tangan Gesna tertahan di udara cukup lama sebelum akhirnya turun untuk mengusap kepala Adit. Mata itu kembali membuka.
"Pusing?" tanya Gesna dengan menaruh punggung tangan di dahi Adit yang masih panas. Ya Tuhan, dia baru saja membuat anak orang jatuh sakit. Dia abai kalau Adit tadi tidak memakai helm seperti dirinya. Kaki hujan yang tajam mungkin masuk terlalu dalam ke kepala Adit dan udara yang dingin makin memperparah semua itu.
"Dikit." Adit menarik tangan Gesna dan menggenggamnya. Cowok itu menyembunyikan kepala di lengan karena kembali bersin. "Maaf ya jadi ngerepotin."
Merepotkan? Gesna melengos dan mencibir, tetapi sudut matanya terasa lembap. Dia bahkan tidak pernah meminta maaf kepada Adit atas segala tingkah lakunya yang merepotkan. Kenapa baru sekali dikasih obat saja langsung minta maaf?
"Non, kok nangis?" tanya Adit sambil menjulurkan sebelah tangan yang tidak tergenggam ke arah Gesna.
"Enggak! Siapa yang nangis?" Gesna cepat-cepat berdiri, melepaskan genggaman dan kembali ke dapur. Dia bingung sendiri. Apa yang harus dilakukan untuk merawat Adit? Hingga detik ini, Gesna baru sadar kalau dalam keluarganya tidak pernah ada yang peduli dengan demam. Ralat. Mungkin dia yang tidak tahu bagaimana pengasuh menjaga Gandhi. Namun selama ini, jika dia flu, Gesna hanya meminum obat lalu tidur dan keesokannya membaik.
Suara bersin Adit menggelegar lagi, membuat Gesna semakin resah. Dia ingin bisa membantu Adit. Kaki Gesna berjalan bolak-balik sembari membuka ponsel, dia mencoba mencari tahu penanganan pertama pada demam. Astaga, ternyata tidak boleh menyelimuti orang demam. Dengan terburu-buru, dia memanaskan air dan mencari handuk kecil di kamar tamu. Dia menyempatkan meraup baju kotor Adit dan memasukkannya ke mesin cuci. Setelah air cukup hangat, Gesna membawa baskom berisi air tersebut ke dekat Adit, memeras air dan menaruh handuk di dahi Adit.
"Orang demam enggak boleh pakai selimut ternyata." Gesna menurunkan selimut Adit, menyisakan di pinggir mata kaki. Karena Adit harus banyak-banyak minum, Gesna membawa seteko air ke dekat mereka. "Dit, minum lagi," ujarnya sambil menyodorkan gelas bersedotan ke arah Adit. "Harus banyak-banyak minum."
Adit mengangguk, menerima minum. "Makasih, ya," sahut Adit sambil tersenyum di antara wajah lesunya dan bersin lagi tak lama kemudian. "Udah, aku nggak apa-apa. Kamu jangan sibuk-sibuk. Naik ke kamar aja, tidur."
Tidak apa-apa katanya? Kalau saja cowok itu tidak sedang kesusahan bernapas, mungkin Gesna akan memukul kepalanya. Enak saja menyuruh dia tidur, apa Adit tidak tahu kalau dia khawatir?
"Nyo," panggil Gesna yang sudah kembali duduk di bawah sofa, berhadapan dengan muka Adit. Mata cowok itu terbuka lagi. Gesna mengambil handuk dan membilas dengan air di baskom, memasang kembali di dahi itu. Suhu panas yang menguar dari badan Adit terasa hingga tangan Gesna. "Jangan sakit-sakit."
Kepala Adit menggeleng pelan dan menangkap kembali tangan Gesna, mengecup punggung tangan yang tadi meraba dahinya. "Enggak, Nona. Aku juga nggak mau sakit."
"Ya udah, tidur." Sebelah tangan Gesna menyingkirkan poni Adit yang tertimpa handuk, membelai kepala yang sepanas bara agar cowok itu kembali tidur. Namun, bukannya menutup, mata itu malah menatapnya lekat. "Kenapa? Tidurlah."
Sudut bibir Adit berkedut dan melengkung. Badannya memang terasa tidak enak, tetapi semua yang Gesna bikin membuat semua rasa tidak enak itu menyingkir dengan segera. "Aku nggak tahu kamu kenapa, kamu aneh hari ini, tapi aku suka. Aku selalu pengin kamu maafin aku, tapi kalau kamunya enggak mau, aku nggak bisa paksa. Aku tahu kamu nggak suka dipaksa. Kita sama."
Adit membawa telapak tangan Gesna ke pipinya, merasakan jari-jari lembut tersentuh di sana. "Aku juga enggak bisa lupa sama kamu, Non. Mana bisa aku lupa kalau di setiap nada yang kupetik ada kamu, di setiap lagu yang kunyanyikan ada kamu, di setiap sudut ingatan ada kamu. Dan kangen sama kamu adalah luka yang sangat aku suka. Segagal move on itu aku."
Hujan di luar masihlah deras. Air hujan seperti ikut mengguyur isi hati Gesna sehingga dingin merambati punggungnya. "Bukannya kamu udah move on?" bisik Gesna. Badannya terasa lemas sampai tidak kuasa menarik tangan sendiri.
Alis hitam dan lebat milik Adit naik. Cowok itu tersenyum senang begitu menyadari Gesna menonton live IG mereka. "Bara yang bilang, bukan aku. Dia ngecengin aja karena dia tahu aku masih gagal move on dari kamu. Nonton juga, ya?"
Gesna hanya berdecap, antara malu mengakui kalau dia memang mengintip Adit atau ingin mengakui kalau dia penasaran. "Semua yang kamu buat selalu jadi pembicaraan orang dan aku punya kuping, Dit."
Adit tiba-tiba menyembunyikan kepala lagi dan kembali bersin. Muka itu kembali tampak dan senyum Adit sudah melebar. "Keren juga konspirasi hujan hari ini. Saat aku mau merelakan, eh, kamu malah kembali."
Mata Gesna memicing, tentu saja tidak sepenuhnya sipit karena masih bengkak. "Oh, gitu. Jadi, kamu mau merelakan? Pantas, sombong banget. Mau balas dendam ternyata."
Tangan Gesna ditarik Adit sehingga jarak mereka semakin dekat. Cowok itu menaruh tangan Gesna di dadanya. Gesna dapat merasakan denyut jantung Adit yang membuatnya sedikit gugup. "Aku nggak dendam dan nggak pernah mau balas dendam. Paham banget kok, kalau kamu punya alasan buat marah sama aku. Aku hanya bisa merelakan karena sadar kalau kamu batu dan aku nggak bisa bikin batu ini suka sama aku. Makanya aku kaget banget sama sikap kamu hari ini."
"Tahu, nih. Jaketnya tadi disisipin pelet pasti, ya?" Gesna meringis kecil, menyadari keabsurdan diri sendiri.
"Enggaklah. Kamu mana mempan dipelet, yang ada nanti peletnya balik ke aku terus aku yang makin gila mikirin kamu." Adit makin tidak berkedip begitu melihat senyum yang dirindukannya terpulas di sana. "Aku suka senyum itu. Makasih, ya. Maaf buat semua kesalahan aku. Kamu enggak pantas jadi taruhan, kamu terlalu berharga untuk itu."
"Udah sakit, masih aja bisa menggombal. Tidur, gih. Istirahat." Gesna mencoba menarik tangan yang sedari tadi diletakkan Adit di dada. Sekarang, debar dadanya seolah menyamakan dengan irama dengan detak itu. Keras dan bertalu-talu.
Adit mempertahankan cengkeraman bahkan memeluk lengan Gesna. "Ya, ampun. Ternyata kayak gini rasanya diperhatiin pacar?" Sebelah tangan Adit meraih kepala Gesna agar cewek itu mendengar kegaduhan jantungnya. "Dengar, deh. Dia berisik banget, 'kan?"
Mata Gesna terpejam, mendengar degup nyaring yang menenangkan. "Dit," panggilnya membuat Adit bergumam. Tangan cowok itu membelai rambutnya dengan halus. "Lain kali, kasih tahu aku. Jadi aku enggak salah sangka."
"Lain kali, dengarin penjelasan dulu. Jangan langsung emosi," balas Adit menghirup pelan aroma kepala Gesna.
"Iya, Nyo yang pernah dengarin penjelasan sampai patahin gigi orang," sela Gesna terkekeh dari balik dada Adit. Telinganya masih menikmati debar yang dengan cepat menjadi kesukaannya.
"Iya, Nona yang enggak pernah salah sangka sampai bisa melempar gitar tiba-tiba," balas Adit dan dia lalu mengaduh karena Gesna mulai mencubiti pinggang. "Tanya dulu 'kan bisa?"
Gesna mendengkus, masih ada sisa-sisa aroma khas Adit yang tidak hilang walaupun sudah dibawa mandi. "Kamu kenapa nggak bawa motor tadi?"
"Bawa, kok." Adit kembali mengusap kepala yang ada di pelukan. "Tadi, Gita minta tolong Bara untuk antar pulang, tapi Bara enggak bawa motor. Jadi kupinjamkan motorku."
"Jadi, yang boncengan sama Kak Gita itu Bang Bara?"
"Ya, siapa lagi memang?"
"Bukan kamu?" Gesna menengadah dan melihat Adit menggeleng. Masuk di akal, sebab Adit masih ada di sekolah hingga dia pulang dan Gesna tidak melihat motor Adit. "Ada yang gosipin kamu lagi PDKT sama Kak Gita."
Adit berdecak dengan mata melirik turun, memandang manik Gesna yang menunggu jawaban. "PDKT dari mana? Itu Bara, kan dia pakai helm jadi orang pikir itu aku. Aku aja lagi nungguin kamu bangun di sekolah." Tangannya bergeser mengusap pipi Gesna. "Jangan sembarangan rebahan kayak tadi lagi, Non. Bahaya. Betis kamu ke mana-mana jadi perhatian orang."
"Betis doang," sanggah Gesna yang langsung terhenti karena Adit menjentik dahinya.
"Buat kamu cuma betis doang, buat orang lain beda."
"Iya, iya. Besok, bawa selimut sama tenda," ejek Gesna yang langsung dibalas Adit dengan cubitan pelan di hidung. "Ya, udah, ah. Tidur, tidur, udah jam satu."
Begitu Gesna melepaskan kepalanya dari rengkuhan Adit, cowok itu beranjak duduk sambil menurunkan kompresan. Hidungnya masih merah dan masih beberapa kali diusap karena berair. "Aku enggak suka melihat mata kamu bengkak. Rasanya pengin nonjok orang yang bikin kamu nangis. Tapi aku nggak mungkin nonjok mayat, 'kan?"
"Kamu harus tonjok diri kamu sendiri. Tadi, aku nangis karena kamu." Gesna langsung menahan tangan Adit yang terangkat. "Ya, enggak beneran juga nonjoknya. Udah tahu lagi sakit, elah. Udah, ah. Enggak tidur-tidur nanti kita."
Terkekeh pelan, Adit mengangguk. "Kamu naik dulu ke kamar, baru nanti aku tidur."
Gesna berdecak tidak terima. "Kok gitu?!"
"Naik, Non." Adit berdeham sambil mengedik dagu, meminta Gesna berjalan menuju tangga.
"Kalau ada apa-apa telepon aku, ya?" Gesna membilas dan memberikan handuk itu ke Adit. "Maaf, udah bikin kamu sakit."
Adit menggeleng. "Kalau dengan sakit bisa bikin kamu jadi sayang sama aku, aku enggak apa-apa deh sakit. Ya udah, naik."
"Heh!" Gesna memukul pelan bahu Adit, lalu naik ke kamar dengan enggan. Dia dapat merasakan pandangan yang masih tertuju ke dirinya hingga berada di depan pintu. Dia menoleh, Adit masih menatap dari sofa bawah. Cowok itu melambai sambil tersenyum, seakan mengucapkan 'Selamat Tidur'.
Berjalan memasuki kamar, Gesna berdecak-decak kemudian melempar badan ke tempat tidur. Bagaimana dia bisa tidur di sini jika pikirannya terbang ke bawah sana? Dia kembali menggaruk kepala yang tidak gatal, susah untuk menutup mata. Beberapa kali, Gesna membalik badan ke kiri dan kanan. Sial, pergi ke mana ngantuknya?
Kesal dengan keadaan sendiri, Gesna meraih bantal dan guling juga selimut. Menenteng semua itu dengan mengendap-endap di tangga lalu berhenti di sebelah sofa Adit. Cowok itu sudah terlelap.
Gesna menaruh bantal dan guling di karpet lalu memeriksa kompresan. Tangannya membilas ulang handuk dan menaruh lagi di dahi Adit.
Sambil membungkus diri dengan selimut, Gesna memiringkan tubuh ke arah sofa. Bagaimana dia bisa tidur jika memandangi Adit menarik napas saja lebih menyenangkan?
🌺🌺🌺
Sampe bucinnya Adit kebalik, nyahok lo, Ge.