Cephalotus

By rahmatgenaldi

120K 11.5K 6.6K

❝ Sekalipun tentangmu adalah luka, aku tetap tak ingin lupa. ❞ --- Atilla Solana, Sang Cephalotus. Cewek ta... More

Prologue
1. Atilla
2. Derrel
3. Destiny?
4. Forgiveness
5. Let's Break The Rules (1)
6. Let's Break The Rules (2)
7. Danger?
8. A Bet
9. Broken
BACA!
11. How To Play
12. Problem
13. Atilla Vs Butterflies
14. Revenge
15. Epic Comeback?
16. Meaningless Kiss
17. Consequence
18. Fake Confession?
19. Jealousy
20. To Be Honest...
21. Coercion
22. Accepted
23. Fail Date
24. Closer
25. The Camp
( VISUAL )
26. Another Catastrophe
27. Resistance
28. Come Out From Hiding
29. Lovely Little Girl
30. Prestige
31. Fall Down
32. Pathetic Dad
33. Worst Prom Night Ever
34. Cheer Up
35. Darker Than Sin
36. Pretty Savage
37. Dignity
38. Cracked
39. Run Away
40. Not Bonnie & Clyde
41. Her Name Is Andrea
42. Neverland
43. A Passionate Night
44. Anxiety
45. Mr. Rabbit & Mrs. Hedgehog
46. Forced To Go Home
47. Destruction
48. Drive Him Away
49. Welcomed
50. Miserable Days
51. Secret Admirer
52. The End
Epilogue
EXTRA CHAPTER - 1
GIVEAWAY !!!
Extra Chapter: Unexpected Hero
PRE - ORDER !!!
SURPRISE !

10. Heal

2.4K 265 71
By rahmatgenaldi

(MOHON MENGOREKSI LEWAT KOMENTAR APABILA TERDAPAT PENULISAN KATA YANG SALAH ATAU KURANG TEPAT)

Kamu berhak atas hidupmu. Jangan biarkan masa lalu menghambat langkahmu. Berdamailah, lalu pilih untuk pulih."
- Derrellio Rellio

• • •

Hujan berangsur reda ketika Derrel memarkirkan motornya di pekarangan rumah Atilla. Kalau saja keadaan tidak tegang seperti ini, pasti mereka akan menyadari bahwa tubuh mereka menggigil.

"Lo bisa pulang sekarang," titah Atilla. Suaranya serak.

"Nggak. Gue nggak bakalan pulang sebelum gue pastiin lo baik-baik aja."

"Pulang, Derrel..." Atilla mengucapkannya dengan suara bergetar.

Alih-alih mengindahkan ucapan Atilla, Derrel justru menarik Atilla masuk ke dalam rumah, seolah dirinya adalah pemilik sebenarnya.

Mata Derrel menyelidik ke seluruh penjuru ruang tamu. "Nggak ada orang?" bisiknya pada Atilla, yang lalu dikonfirmasi dengan anggukan.

"Ke mana?"

Atilla mengusap wajahnya yang basah, entah karena air mata atau air hujan. "Nyokap gue masih kerja."

"Bokap lo?" Derrel memang tidak pernah bermaksud, namun Atilla merasa matanya panas kembali ketika mendapatkan sebuah pertanyaan yang terasa seperti serangan dari Derrel.

Atilla menunduk, tak mau membiarkan Derrel melihat air matanya meleleh. Boleh-boleh saja semua orang mengatakan Derrel cerdas, namun nyatanya Derrel tidak cukup cerdas dalam menyikapi ekspresi Atilla saat ini. Seolah semuanya belum cukup, Derrel kembali mendesak Atilla.

"Tilla, nggak mungkin gue ninggalin lo sendirian di sini, bokap lo mana? Masih lama nggak pulangnya?"

Atilla masih menunduk, ia hanya menggeleng untuk menjawab Derrel. Suaranya seperti tertahan oleh sesak, lidahnya kelu. Topeng yang selama ini ia kenakan seperti disobek oleh Derrel saat itu juga.

"Atilla...gue nanya." Derrel masih berusaha bersikap lembut, meski sebenarnya dia mulai geram karena Atilla hanya membuatnya semakin bingung.

Cewek itu masih menunduk. Karena merasa harus, Derrel meraup kedua sudut wajah Atilla dengan tangannya, lalu mendongakkannya lembut, hingga manik mata mereka saling menatap.

Baru setelah itu Derrel sadar bahwa dirinya hanya semakin menyakiti Cephalotusnya.

Atilla menangis karena ucapannya. Sedikit banyak, itu yang menjadi alasan mengapa Derrel menarik Atilla masuk ke dalam pelukannya saat itu juga.

"Tenang, Til. Gue bakal nemenin lo di sini sampai bokap lo balik," desisnya.

Rahang Atilla mengeras. Dengan kasar dia melerai pelukan Derrel. "DIA NGGAK BAKALAN PERNAH BALIK, DERREL! NGGAK BAKALAN BALIK!" ucapnya, lalu berlari menaiki tangga.

Oh bagus, Atilla benar-benar ingin membuat Derrel mati kebingungan.

• • •

Derrel bahkan belum menyentuh kenop pintu ketika Atilla teriak dari dalam kamarnya. "Lo pulang aja, gue nggak apa-apa! Lo juga nggak membantu, tau nggak!"

"Gimana gue bisa bantu lo kalo lo sendiri nggak mau ngasih tau masalah lo apa, Atilla...," Setelah mengatakannya, Derrel memberanikan diri menarik kenop pintu, lalu perlahan membukanya. Setelah itu, Derrel meringis ketika melihat keadaan Atilla yang mengenaskan. Ada pecahan botol bir di samping kasurnya, serta puntug rokok yang berserakan di mana-mana.

"Atilla... lo kenapa?" tanya Derrel hati-hati.

Atilla menyesap rokoknya dalam, lalu menyemburkan asap dari mulutnya. "Bukan urusan lo."

Derrel berdecak sebal. "Ini bakalan jadi urusan gue kalo misalkan lo kenapa-kenapa. Cerita ke gue, lo kenapa?"

Atilla diam. Mungkin karena tak ingin berlama-lama mendengar ocehan Derrel, dia akhirnya mematikan bara rokoknya, bermaksud untuk mengindahkan permintaan Derrel.

Atilla menatap Derrel intens. "Karena gue udah mau ceritain masalah pribadi gue ke lo, bukan berarti lo spesial di mata gue, ya. Lo jangan ge-er."

Derrel memutar bola matanya malas. "Iya."

Atilla menunduk. Memutar kembali kejadian itu di otaknya membuat dadanya kembali sesak. "Waktu gue umur dua belas tahun, nyokap-bokap gue cerai."

Derrel sadar bahwa dirinya tengah mengulik luka lama Atilla, setelah dia mendengar getaran di ujung kalimat itu.

Atilla tak ingin terlihat lemah, dia akan menjadi orang pertama yang menertawakan dirinya sendiri kalau saja pertahanannya runtuh di hadapan Derrel lagi.

"Dulu gue nggak kayak gini. Mungkin lo nggak bakalan percaya kalau gue bilang, gue yang dulu nggak jauh beda sama lo yang sekarang. Gini-gini gue juga pernah jadi juara kelas." Atilla tersenyum getir. Derrel masih tak bereaksi. Selain karena tidak siap dengan pengakuan Atilla, Derrel masih menantikan kelanjutan ceritanya.

"Gue punya kakak, namanya Aletta." Baiklah, Atilla nyaris kehilangan kendali atas dirinya saat ia mendapati nama Aletta keluar dari bibirnya. Matanya semakin panas, penglihatannya mengabur karena air mata.

"Aletta pernah janji nggak bakalan ninggalin gue sama nyokap, tapi...," Atilla mendongak, berharap air matanya tidak tumpah, "...dia justru milih ikut sama bokap pas orangtua kita cerai, gue sebenarnya nggak masalah, tapi yang gue nggak habis pikir, dia kok tega banget ninggalin gue sama nyokap tanpa alasan yang jelas!"

Pertahanan Atilla runtuh seketika. Pelupuk matanya tak dapat membendung bebannya lebih lama lagi. Tubuhnya terguncang tak karuan bersamaan dengan suaranya yang berubah parau. Parahnya, Derrel menyaksikan itu semua. Atilla benci itu. Sisi lain dari dirinya seperti menertawakan kelemahannya.

Derrel menarik tubuh Atilla masuk ke pelukannya. Mengusap pundaknya halus, berharap dengan itu Atilla bisa tenang. "Nggak apa-apa, Til. Gue ada di sini."

Atilla berusaha melanjutkan ceritanya dengan tubuhnya masih dalam dekapan Derrel. "Tadi gue ninggalin kalian bukan tanpa sebab, gue liat bokap gue, Rel. Dia jalan sama wanita lain, gue takut kalo dia punya keluarga baru, gue nggak siap untuk itu."

Derrel sekarang mengerti. Setelah mendengar semua cerita Atilla, bisa ia simpulkan bahwa apa yang selama ini gadis itu lakukan adalah upaya untuk melarikan diri dari luka dan masa lalunya. Derrel mengeratkan pelukannya, dia bahkan tak masalah ketika Atilla membasahi kaosnya dengan air mata.

"Tenang, Til. Everything gonna be ok. I'll be there for you, always."

Atilla merasa hatinya menghangat ketika Derrel membisikkannya. Dia akhirnya sadar, bahwa ia telah terperangkap dalam permainannya sendiri. Awalnya, Derrel tak pernah lebih dari sekedar objek permainannya.

Atilla hanya ingin mengerjainya, membuatnya bertekuk lutut dan melakukan segala perintahnya sebagai bentuk pembalasan dendam atas insiden memalukan di bioskop itu. Seperti biasanya, siapapun yang berani mengusiknya, bisa dipastikan bahwa hidupnya tidak akan baik-baik saja.

Namun, dia merasa terperangkap ketika hatinya justru meminta untuk Derrel menetap di sisinya. Rasa nyaman akan keberadaan Derrel perlahan mendamaikan rasa bencinya.

Atilla melerai pelukan Derrel perlahan, dengan matanya kembali beradu dengan manik mata Derrel.

Atilla berdeham. "Derrel..."

"Iya?" jawab Derrel tak kalah lembut.

"Kok badan kamu bau, sih?"

Seketika, Derrel seperti ingin menenggelamkan kepala Atilla di laut terdekat.

• • •

Sepanjang pemutaran film, pikiran Jacklin melayang kemana-mana. Film sudah hampir berakhir, tapi Derrel belum juga kembali. Saat dirinya hendak berdiri untuk keluar mengecek apa yang terjadi hingga teman mereka hilang tanpa kabar, Sammy justru mencegahnya. "Biarin aja, nggak usah dicari. Paling mereka sengaja kabur biar bisa jalan berdua," tebak Sammy beberapa waktu lalu.

Film sudah berakhir. Mereka bahkan tidak lagi berada di gedung bioskop. Rasa cemas mulai menghampiri batin lima remaja ini.

"Tuh, kan. Lo sih, Sam, pake ngelarang gue cari mereka, lo sendiri nggak tahu, kan mereka kemana?" cebik Jacklin pada Sammy.

"Iya, nih. Mereka kemana, sih? Bikin panik aja. Mana nggak ada kabar lagi," tambah Arjun.

Arkan berdecak sebal. "Gue bilang juga apa, nggak usah ajak Atilla. Anak bandel kayak gitu emang suka ngerepotin orang."

"Udah, salah-salahan nggak ada gunanya. Kan, daripada lo ngoceh mulu, mending lo coba telpon Derrel," titah Sammy.

Arkan merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Lalu menghubungi kontak bertuliskan "Gantutah" yang mana nama kontak tersebut dialamatkan pada Derrel.

Selang beberapa detik, panggilan tersambung.

"Halo?"

Tunggu dulu. Arkan tahu bahwa itu bukan suara Derrel. Suara yang barusan menyapanya adalah suara perempuan.

"Derrel mana?" tanya Arkan, tentu saja ia tahu bahwa Atilla lah yang mengangkat panggilannya menggunakan ponsel Derrel.

Atilla terdengar terkikik dari sana. "Dia di kamar mandi, lagi cuci muka."

"Ngapain lo ketawa-ketawa? Dasar gila,"

"Kalo lo cuman mau cari ribut, mending gue matiin. Nggak ada waktu buat ladenin lo!" sinis Atilla di telepon.

"Lo berdua kemana sih? Bikin pusing tau nggak."

"Emang gue pernah nyuruh lo pusingin gue? Derrel lagi di rumah gue, dia nganterin gue pulang karena pas ngilang tadi, gue udah empat kali keluar masuk toilet, sakit perut,"

Untungnya, Arkan tidak tahu kalau Atilla tengah berbohong. Setelah itu, dia memutuskan panggilan secara sepihak.

Jacklin, Sammy, dan Arjun menatap Arkan dengan tatapan yang seolah berkata "Gimana?".

Arkan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. "Gue bilang juga apa, tuh cewek bisanya bikin repot doang. Dia udah pulang bareng Derrel, sakit perut. Udah ya, gue cabut."

"Yaelah, Rel, Rel. Apa susahnya sih ngabariiin?" omel Arjun.

"Yaudah, gue sama Arjun cabut, ya. Oh iya, Lin, lo mau numpang di mobil gue?" tawar Sammy pada Jacklin.

Jacklin menggaruk tengkuknya. "Em... Gue mau bareng Arkan aja. Boleh ya, Kan?" Lalu Jacklin menyerang Arkan dengan puppy eyes nya.

"Yaudah..." Arkan menggaruk bagian belakang kepalanya, "...ayo,"

Mereka berdua lalu bergegas pergi, meninggalkan Sammy dan Arjun yang entah kenapa masih bergeming di sana.

"Si Arkan kapan nyadarnya, sih?"celetuk Arjun setelah itu.

"Nyadar gimana maksud lo?"

"Yaelah, Sam. Lo pura-pura bego apa gimana sih? Yakali lo nggak tau kalo si Jacklin suka sama Arkan?"

"Parah, lo. Temen sendiri mau dighibahin. Astaghfirullah, mending cabut, ah."

Sammy melenggang pergi, lalu diikuti oleh Arjun yang keki terhadap tanggapan temannya ini.

"Ah, sosoan nggak mau ghibah lo Sam. Padahal kucing bunting peliharan Mbak Emi aja pernah jadi bahan ghibahan lo."

• • •

"Udah bersih?" tanya Atilla sambil mengulum senyum ketika Derrel baru keluar dari kamar mandi.

"Menurut lo?" jawab Derrel sinis.

"Ih, ngambek! Kan tadi lo sendiri yang bilang ke gue, lo mau lakuin apa aja, asalkan mood gue bagus lagi."

"Iya, tapi nggak pake make up-in muka gue juga, Atillaaa..."

Atilla tergelak. Hanya butuh hal seperti ini untuk membuatnya tertawa. Sayangnya, hal itu justru membuat Derrel dongkol.

"Kalo lo masih ketawa, gue pulang, ya." ancam Derrel, lalu Atilla refleks memaksa dirinya untuk diam. Terbukti, bahwa sekarang keberadaan Derrel terlalu penting baginya.

Atilla berdeham, mencoba menetralkan pita suaranya setelah terlalu lama tertawa. "Tadi Arkan nelpon, anak-anak pada nyariinn lo,"

"Mereka nyariin kita, bukan cuman gue." Derrel mengoreksi.

"Bedanya apa? Sama aja,"

Derrel mengambil tempat duduk di pinggir kasur bersama Atilla. "Beda, lah. Mereka nyariin kita, artinya mereka nggak cuman nyariin gue, tapi lo juga, lo tau nggak kenapa?"

Atilla diam. Menanti inisiatif Derrel yang akan menjawab pertanyaannya sendiri.

"Itu karena lo penting buat kita, Til. Lo nggak sendirian lagi. Udah saatnya lo berdamai sama masa lalu. Lihat sekitar lo, masih banyak orang yang peduli sama lo," papar Derrel panjang lebar.

Mulut Atilla menggelembung sebelum akhirnya meledakkan tawa. "Apaan sih lo, bego. Alay banget!"

Seperti langit yang baru saja selesai memuntahkan air hujan, wajah Atilla dibuat cerah kembali dengan cara-cara Derrel yang tak biasa. Mereka membicarakan hal-hal yang tidak penting, namun cukup membuat Atilla betah berada di samping Derrel.

Setelah apa yang dilalui bersama Atilla belakangan hari ini, Derrel sadar. Atilla bersembunyi di balik topeng di mana ia terlihat menakutkan, itu semua semata-mata agar tak seorang pun dapat menyakitinya, termasuk dunia. Setelah topeng itu telah tersingkirkan olehnya, Derrel siap menjadi tameng bagi Cephalotus nya.

Ketika suara tawa Atilla masih berderai, dan Derrel masih juga dibuat kesal olehnya, pintu kamar itu terbuka.

Suara tawa Atilla yang menggema di tiap sudut kamarnya seperti terserap oleh hening. Penyebabnya adalah Aline yang tanpa aba-aba apapun, kini sudah berdiri di ambang pintu. Ketika Atilla menggertakkan giginya kesal, Derrel justru hampir mati karena terkejut.

"Harus berapa kali gue bilang, kalau mau masuk ke kamar gue itu—"

"Harus ketok pintu dulu," potong Aline, "iya. Mama tahu. Kamu udah berkali-kali ngomong itu. Tapi, bukan salah Mama kalau kamu justru nggak dengar waktu Mama ngetuk pintu, karena kamu sibuk dua-duaan sama laki-laki di sini." tukas Aline dengan nada sarkastik. Baginya, Atilla terlalu menguji kesabarannya. Sudah saatnya ia bersikap sebagaimana sikap seorang Ibu terhadap anaknya.

Tangan Atilla mengepal kuat. Seandainya dapat dilihat, kepulan asap telah keluar dari kepalanya. Ibunya berucap seolah-olah dirinya tengah berbuat yang tidak-tidak dengan Derrel. Ibunya memang tak pernah mengenali dirinya dengan baik.

Derrel yang tidak nyaman dengan suasana mencekam ini, berdiri dari duduknya. "Ma-maaf , Tante. Saya, Derrel. Temannya Atilla. Saya di sini cuman mau nemenin Atilla, Tante. Tadi, dia—"

"Jangan ikut campur, Rel. Ini urusan gue sama nyokap. Gue nggak apa-apa, lo bisa pulang sekarang." potong Atilla cepat, sebelum Derrel membeberkan semuanya.

Aline berusaha tersenyum, lalu menerima uluran tangan Derrel, gugup. "Saya, Aline. Mamanya Atilla."

"Pulang, Rel." suruh Atilla sekali lagi.

Derrel melirik ke arah Atilla ragu. Baru setelah Atilla memelotot, Derrel memutuskan untuk menuruti perintahnya.

"Kalau begitu, saya pamit ya, Tante. Maaf, saya sudah lancang masuk rumah tanpa izin dulu ke Tante,"

"Iya, kamu hati-hati, ya. Terima kasih sudah mau menemani anak saya."

Hanya dalam sepersekian detik, punggung Derrel sudah menghilang di balik pintu.

Hening sesaat, sebelum Aline membuka mulut. "Apakah Mama pernah bilang ke kamu, kalau kamu bebas bawa laki-laki ke rumah ini?"

"Gue harus ngomong berapa kali? Gue nggak ngapa-ngapain sama dia!"

Atilla menarik napasnya dalam, berusaha meredam emosinya agar tidak meluap secara berlebihan.

"Gue juga udah ingatin lo buat nggak urusin hidup gue, kan?" gerutu Atilla lagi.

Telinga Aline panas saat kalimat itu masuk begitu saja. Kesabarannya sudah sampai di batasnya. "Dengar. Saya adalah ibumu. Saya berhak atas kamu, dan berhak menentukan apa yang boleh, dan tidak boleh kamu lakukan! Kamu terlalu dewasa untuk tidak memahami itu, bukan?"

Atilla tertawa miris. "Setelah gue dapatkan harapan baru untuk bisa kembali hidup senang, lo mau renggut itu dari gue?"

"Terserah kamu mau ngomong apa. Tidak ada Ibu yang ingin melihat anaknya menderita, Tilla."

Atilla hanya diam. Dia muak mendengar kalimat klise itu.

Setelah dirinya sudah hampir keluar dari kamar Atilla, Aline menghentikan langkahnya.

"Satu lagi. Laki-laki itu, jangan dekat-dekat sama dia. Mama kenal dia. Mama cuma nggak mau kamu menyesal." Setelah itu, Aline sudah pergi dari sana.

Atilla tidak punya ide atas perasaannya saat ini. Dia marah, tapi secara bersamaan dibuat bingung. Untuk itu, Atilla berdiri dan menendang pintu kamarnya secara kasar, hingga tertutup rapat. Bunyi bedebam itu menggema. Atilla tidak akan peduli, sekalipun engsel pintunya akan rusak karena ulahnya.

• • •

Aline menutup pintu kamarnya, lalu dengan cepat ia mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Tangannya gemetar, keringat dingin mengucur di pelipisnya.

"Halo? Rendy? Ini gawat. Anakmu, Derrel, tadi ada di sini nemanin Atilla. Kamu harus ambil tindakan, sebelum semuanya terlambat. Aku nggak mau kalau apa yang aku takutin selama ini bakalan terjadi!"

Setelah itu, telepon terputus. Aline hanya berharap, rahasianya tidak akan terkuak ke permukaan.

• • •
Gimana? Masih betah bacanya? Seperti biasa, kalian bisa mengapresiasi cerita ini dengan cara vote, komen, dan menambahkannya ke daftar bacaan kalian.

Oh iya, beberapa hari yang lalu, aku ke restoran. Restorannya itu punya motto yang sepertinya cocok buat aku terapin di cerita ini.

"Kalau tak suka, beritahu kami. Kalau suka, beri tahu teman."

Wkwkwkk, See you next chapter!

Continue Reading

You'll Also Like

Stay or Die By Gvdgvrl

Mystery / Thriller

120K 8.2K 87
[Perhatian!] Cerita privat acak. Follow untuk bagian lengkapnya. Hal yang tidak masuk di akal sehatmu, akan terjadi disini. Percayalah. Deagra Lucia...
1M 172K 49
Hwang Hyunjin sangat membenci perempuan bernama Lee Hana. Ia membenci gadis itu lebih dari apapun. Hana sempurna di mata semua orang, namun tidak di...
695K 111K 54
VANESSA ABHIGEAL LUCY Adalah gadis cantik dengan tinggi di bawah rata-rata, meski terlahir dari keluarga berpunya tak lantas membuatnya menjadi priba...
1.6K 147 25
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan seseorang yang sangat kamu cintai, segala usaha yang kamu lakukan untuk mempertahankan ikatan su...