MATAHARI API

By nadyasiaulia

57.6K 6.3K 2.7K

Hidup Gesna berubah. Dia yang biasanya petakilan dan tertawa membahana, mendadak galak dan jutek kalau ketemu... More

PROLOG
1. Diam-diam
2. Kepala Suku
3. Tragedi Bokser
4. Putri Salju
5. Perisai
6. Permainan
7. Ayam Bakar Madu
8. Bubur Ayam
9. Pyjamas Party
10. Manuver
11. Pelangi
12. Penasaran
13. Diapelin
14. Sebuah Misi
15. Kurcaci
16. Yang Mengawasi
17. Sisi Lain
18. Lebih Dekat
19. Dalam Gelap
20. Bukit Rahasia
21. Titik Awal
22. Sebuah Kebetulan
23. Sebelah Tangan
24. Keluarga
25. Guntur Menghilang
26. Mengaku Kalah
27. Di Belakangmu
28. Pura-pura Baik-baik
29. Ksatria Untuk Xena
30. Mrs. Aditya
31. Kantin Kelas Dua Belas
32. Percakapan Tangga
33. Ayo Bicara
34. Membesarkan Hati
35. Sial Amat
36. Janji Adalah Janji
37. Sok Ganteng Stadium Empat
38. Label Sahabat
39. Rasa Tak Terperinci
40. Timpang
41. Perubahan Berarti
42. Hanya Mimpi
43. Kepastian Yang Menyakitkan
44. Di Bawah Nol
45. Keinginan Terpendam
46. Ingatan Paling Mengerikan
47. Gosip Hangat
48. Sahabat Itu Obat
49. Missing Something
50. Forgive Me
51. Sinyo
52. Konspirasi Hujan
53. Pagi Berikutnya
54. Juru Kunci
55. Mengenal Lebih
56. Kembali Ke Basecamp
57. Lagi Rindu
58. Matahari Terbit
59. Mau Kencan
60. A Man Called Papa
61. Titanium Girl

62. Waktu Malam Itu

133 14 12
By nadyasiaulia

(Ost. Believer - Imagine Dragons)

•••

Waktu Malam Itu

•••

Adit bergegas melangkah naik ke arah paling atas tribun penonton, tempat sosok tersenyum itu berdiri tegak sambil melipat tangan di dada. Sudah beberapa kali Adit menonton pertandingan basket dan dia tidak pernah melihat Beny ada di sini. Mengapa kali ini anak itu ada di sana dan mengirimkan senyum penuh ancaman seolah menertawakan keadaan Gesna?

Sialnya, Adit mesti melawan arus dari kerumunan penonton yang hendak berjalan turun dari atas sehingga dia beberapa kali harus menyelip-nyelip. Penonton di tribun atas banyak yang turun ke bawah untuk menyaksikan penganugerahan piala secara dekat. Seperti tahu kalau Adit menuju ke arahnya, Beny malah mundur dan berjalan menuju arah lain.

Tidak bisa seperti ini, Adit akhirnya memilih menjauhi tangga, berjalan ke arah tempat duduk dan melompat naik ke arah tribun atas melalui barisan tempat duduk.

Adit ingin tahu maksud senyuman Beny. Mereka bukan teman biasa yang bisa saling lempar senyum tanpa maksud. Semenjak awal kepindahannya, ketika pukulan Adit terlepas dan membuat gigi Beny patah, cowok itu memusuhinya. Selalu mencari pasal dan menjelek-jelekkan Adit.

Bukan Adit tidak tahu. Adit tahu itu. Namun, Adit juga sadar kalau itu bagian dari kesalahannya juga. Gigi orang dewasa tidak bisa tumbuh dua kali, Adit tidak bisa mengganti gigi Beny yang patah dan rasa malu juga ejekan yang diterima Beny. Jadi, selama ini, Adit membiarkan Beny berlaku seperti itu agar merasa impas. Akan tetapi, kelakuan Beny makin lama makin kelewatan.

Saat kelas kosong, Adit pernah memergoki salah satu orang dekat Beny sedang membuka tasnya diam-diam seperti hendak mengambil atau menaruh sesuatu. Namun ketika Adit tangkap dan tanyai, orang itu malah tidak mengaku. Padahal jelas-jelas Adit menemukan bungkusan aneh berisi bubuk putih di dalam tasnya.

Beny tentu ada maksud jelek kepada dia. Apalagi Adit tahu kalau Beny juga pemakai narkoba. Cepat atau lambat, anak itu pasti menargetkan pembalasan kepada Adit. Semenjak kejadian tersebut, Adit tidak pernah membawa tas lagi ke sekolah. Bekal belajarnya hanya buku yang ditinggal di laci meja sekolah.

Akan tetapi, Adit tidak bodoh untuk menanggapi perilaku Beny. Dia tetap berusaha abai dan tidak terpancing. Karena kalau sampai Bara dan Miko tahu apa yang sudah dibikin antek-antek Beny terhadapnya, tentu saja dua sahabatnya itu akan dengan senang hati mengajak perang terhadap komplotan Beny. Mereka berdua bahkan menjuluki Beny dengan istilah 'Si Anjing'**.

Begitu Adit berhasil sampai di tribun atas menyusul jejak Beny, dia langsung meraih bahu anak itu dan mendorongnya ke arah dinding.

"Kenapa lo tadi senyum-senyum sama gue?" tantang Adit sambil menelisik raut Beny. Wajah yang tirus dan pucat dengan lingkaran mata yang mulai menggelap.

"Gue senyumin lo?!" Beny berdecak sambil menepis tangan Adit. "GR amat lo jadi orang?! Gue bukan homo."

"Oh, ya? Jelas-jelas yang lagi ngelihat ke atas tadi cuma gue dan lo juga lihat gue. Apa maksud senyum lo, tadi?!" Adit masih tidak peduli atas tudingan Beny. Terserah kalau dibilang GR, tapi dia memang merasa senyuman itu diarahkan kepadanya.

"Wah, udah gila lo?! Cinta bikin lo gila, ya?" ejek Beny terkekeh miring.

Begitu Beny menyebutkan kata 'cinta', pandangan Adit langsung kembali menajam. Makin tahu kemana arah pembahasan Beny. Tentu saja Beny juga sudah mengetahui hubungan Adit dengan Gesna, entah dari sosial media ataupun melihat langsung di sekolah saat Festival Band kemarin. "Jangan macam-macam lo! Cari kegiatan lain aja, nggak usah nyenggol-nyenggol sekitar gue."

"Insecure banget, Bos. Takut bener ceweknya diambil," sambat Beny sambil menahan senyum. Tatapannya menuju ke lapangan di mana ada Gesna dan tim basket putri sedang bergilir menerima penganugerahan medali. "Hmmm... Unik sih dia. Keren juga kalau lagi di lapangan."

Giliran Adit berdengkus sambil menarik senyum sinis. Apa-apaan anak itu berani mengulas Gesna di hadapannya? "Udah berubah selera lo? Nggak cewek rambut panjang lagi? Yah, sekalipun selera lo berubah, tapi ... lo bukan selera dia, sih."

Mendengar ucapan Adit, Beny malah tergelak sampai tertunduk-tunduk. Bahunya ikut naik turun. Cukup lama juga anak itu tertawa sedangkan di sisi sebaliknya Adit hanya menatap dingin. "Nggak nyangka gue kalau ternyata lo care banget sama gue! Sampai selera cewek gue gimana aja lo bisa tahu."

Seringai di bibir Adit masih ada, dan tetap dia pertahankan sambil memusatkan kontak mata ke lawan bicaranya. "Bukannya selama ini lo selalu cari pasal sama gue supaya gue perhatiin, Attention Seeker?" tandas Adit sambil menaikkan dagu, menyindir dengan tegas.

Dua kata terakhir Adit membuat senyum dan tawa Beny surut. Anak itu sempat memindai Adit dari kepala hingga kaki, sebelum akhirnya pergi dengan raut tersinggung. Pandangan Adit masih terpusat ke kepergian Beny hingga dia bisa memastikan sosok tersebut benar-benar menuju pintu keluar.

Baru saja Adit hendak menghela napas lega, panggilan datang. Ketika menoleh, dia mendapati Guntur sedang mendekat ke arahnya.

"Bang Adit, boleh gue ngomong empat mata sama lo?"

Sama seperti maksud senyum Beny, kali ini pun, Adit sepertinya paham apa maksud Guntur mengajaknya berbicara. Adit lalu mengangguk dan memilih duduk di bangku penonton yang mulai kosong. "Kenapa, Tur?" tanyanya santai.

Guntur ikut duduk di samping Adit. Keduanya sama-sama menatap lapangan yang ramai karena pembagian trofi. Terlihat aba-aba Kapten Pemandu Sorak dari sekolah mereka mengajak penonton mengelukan pemenang ketika trofi diserahkan kepada Gesna. Cukup lama Guntur diam, seakan berusaha mencari perkataan yang tepat. Cowok itu bahkan berulang kali menarik dan mengembuskan napas.

"Ngomong aja, Tur. Kita juga cuma lagi berdua, kok." Mata Adit masih memperhatikan Gesna dari jauh. Bagaimana Gesna terlihat sangat bergembira dengan peraihannya. Sepertinya pacarnya itu memang sangat berambisi meraih kemenangan. Adit tidak tahu, apakah Gesna memang selalu ambis seperti itu atau tidak.

Guntur mengangguk, lalu menoleh ke arah Adit. "Lo tahu kan 'waktu itu' ada gue di sana, Bang?" ujarnya tanpa jeda. "Waktu malam itu. Di hari lo sama Gesna warnain mural di dinding kamar."

Pandangan Adit refleks naik dan menuju Guntur. Dia masih menunggu Guntur melepaskan poin penting dari ajakan bicaranya.

"... dan waktu lo bikin mural di bagian yang lain juga," desis Guntur hampir tak terdengar, lalu menunduk sambil menggaruk kepala bingung.

Tatapan Adit mulai meneliti wajah Guntur. Ternyata tiba juga saat dimana mereka berdua kembali membicarakan Gesna. Semenjak Gesna marah dan memutuskannya, lalu akhirnya Gesna kembali menganggapnya pacar, Guntur belum pernah ada lagi terlibat percakapan langsung dengan Adit.

"Terus?" tanyanya ringan, menunggu reaksi Guntur.

Waktu mendengar pertanyaan itu, Guntur langsung menegakkan kepala saking tidak percaya. Mungkin cowok itu heran, bagaimana bisa Adit bertanya dengan tanpa beban. "Ternyata benar, lo tahu gue ada di sana, tapi kenapa lo tetap lakuin itu, Bang?! Apa lo nggak malu sama gue? Atau lo memang sengaja?"

Sebelah alis Adit menaik, seakan mendapati tantangan baru. Kedua matanya membalas tatapan Guntur dengan sama tajam. "Kalau misalnya gue sengaja, apa lo punya hak untuk ikut campur? Gue nggak maksa Gesna. Lo lihat sendiri, kan? Lagi pula, yang harusnya malu itu lo. Karena udah ngintip kami berdua."

Malam itu, hari dimana dia selesai mewarnai mural bersama Gesna lalu menyetel Steve Aoki di dinding, Adit sebenarnya menyadari kedatangan Guntur. Karena dia lebih dahulu memasang headphone di telinga Gesna, sedangkan telinganya belum terpasang apa pun, Adit bisa mendengar langkah kaki menaiki tangga.

Mungkin terdengar jahat, tetapi kenyataannya Adit memperdalam ciuman karena menyadari Guntur sedang berdiri tak jauh dari pintu kamar Gesna yang terbuka. Sekalipun Guntur berusaha untuk bersembunyi, Adit tetap bisa melihat bayangan tegak memanjang dari pantulan lantai.

Guntur terdengar mendesah resah. Sepertinya perkataan Adit mengenai kebenaran. Namun, cowok itu masih tidak bisa terima. Tangannya kembali menggaruk kepala yang tidak gatal. "Ok. Memang gue tahu ini bukan hak gue. Tapi sebagai sahabat, gue cuma pengin Gege aman, gue pengin supaya lo jagain Gege dengan benar."

Kata 'dengan benar' yang ditekankan Guntur, membuat Adit meringis. Dia berdecap pelan.

"Menurut lo, gue nggak jagain Gesna, ya?" tanya Adit kemudian menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaannya sendiri. "Justru saat itu gue lagi menjaga Gesna, Tur."

Mata Adit sekilas berkilat, menandakan sebenarnya dia mulai terusik. "Gue lagi menjaga pacar gue dari orang yang ngakunya sahabat tapi ikut campur terlalu lebih. Dari hubungan persahabatan yang nggak tahu batasan kedekatan. Dari persahabatan cowok sama cewek yang gue tahu sebenarnya sama-sama ada perasaan lebih."

Adit dapat merasakan perubahan ekspresi di muka Guntur. Meskipun kulit cowok itu gelap, ada rona pucat sesaat.

"Harusnya lo senang, Tur. Karena gue bantu lo buat dapat jawaban dari perasaan terpendam lo selama ini. Harusnya lo senang karena Gesna juga pernah suka sama lo. Iya, kan?" tembak Adit tepat sasaran.

Guntur benar-benar terlihat mematung sekarang.

"Tapi, Tur... Lo juga dengar sendiri kan kalau itu sudah lewat? Gesna sekarang pacar gue, dan lo juga punya pacar. Usahainlah lo belajar buat jaga batas. Buat kebaikan perasaan orang lain juga. Gue mungkin bisa berusaha tahan sama kedekatan lo berdua. Pacar lo belum tentu."

Adit sangat yakin, Guntur masih ada di sana ketika dia dan Gesna membahas cowok itu. Sebab Adit masih tetap melihat bayangan orang di sana ketika Gesna melepas headphone dan hendak keluar. Adit yakin sekali itu Guntur, sebab kalau itu Gustav, untuk apa bersembunyi dan mendengar diam-diam? Selama ini, Adit tahu hanya Guntur dan Gustav yang bisa datang kapanpun. Itu mengapa Adit kembali merengkuh Gesna dalam pelukannya agar Gesna tidak memergoki Guntur yang ada di luar kamar.

"Pacar lo lagi sakit, kan? Lo mau buat dia jadi tambah sakit?" ungkap Adit pelan, tapi menusuk. "Gue nggak tahu ya antara lo sama pacar lo siapa yang memulai. Tapi yang namanya hubungan kan nggak cuma sepihak. Lo nggak bakal bisa jalanin hubungan baru dengan benar, kalau perasaan lo belum selesai sama urusan lama. Kasihan pacar lo dan kasihan Gesna juga."

Adit kemudian berdiri untuk menyudahi percakapan begitu melihat acara di lapangan mulai berakhir dan anggota tim basket putri berpencar masing-masing. Tangannya menepuk pelan bahu Guntur sebagai pengganti kata pamit.

"Harusnya saat ini, yang lebih lo khawatirin dan lo jaga itu pacar lo. Bukan pacar gue, Tur. Pacar gue, biar gue yang jaga," pungkas Adit tersenyum sekilas sambil menuruni tangga, berjalan menuju ke bawah.

"Bang Adit," panggil Guntur ikut berdiri dan berjalan di samping Adit. "Lo harusnya tahu kenapa gue khawatirin dia. Waktu Gege nggak pulang, bukan lo yang ditelpon Om Jody, tapi gue!"

***

Upacara kali ini merupakan upacara yang paling-paling dinanti Gesna sepanjang hidupnya. Gesna masih tidak menyukai acara berjemur di bawah matahari dengan berdiri kaku selama 30 menit itu, kok. Berbeda dengan bermain basket yang banyak bergerak, upacara adalah hal yang sangat membosankan. Adit sudah mengingatkan dia untuk tidak usah ikut upacara, tapi rasanya kurang afdol jika dia tidak upacara padahal nanti dia akan naik ke podium dan menyerahkan trofi Juara 1 Putri di kejuaraan kemarin.

Rasanya Gesna bersemangat sekali dan jadi melupakan kakinya yang masih saja nyeri. Berbeda dengan tim basket putra sekolah yang tersohor karena sering memenangkan pertandingan, tim putri sudah lama sekali tidak menyabet juara satu. Tim mereka sering kali hanya menjadi bayangan, berada di peringkat ketiga atau kedua. Benar-benar tidak membanggakan. Oleh karena itu, selama Gesna menjadi Kapten Tim Putri, dia ingin menyerahkan piala Juara 1 Putri untuk sekolah, apa pun kejuarannya. Itu adalah cita-cita terbesarnya selama ini, dan sekarang terwujud.

Ketika peserta upacara kembali disuruh istirahat di tempat setelah usai upacara, Gesna langsung menyelip ke belakang barisan dan berjalan ke arah samping menuju podium. Dia tersenyum lebar ketika pengumuman kemenangan itu diumumkan. Langkahnya terasa ringan melangkah naik ke arah podium, dengan semringah menyerahkan benda tinggi menjulang berwarna berkilauan yang diperebutkan selama pertandingan kepada Kepala Sekolah. Bangga, senang, dan lega menjadi satu.

Senyum masih tersisa di wajah Gesna seusai peserta bubar, meski sekarang dia berjalan tertatih-tatih karena tadi terlalu semangat naik ke podium. Lututnya kembali terasa senut-senut.

"Masih sakit kakinya?" tanya Adit yang tiba-tiba sudah berada di samping Gesna sambil memperhatikan langkahnya.

"Enggak." Kepala Gesna menggeleng. Jelas dia berbohong untuk menghibur diri sendiri. Sebab sudah puluhan jam semenjak kejadian di lapangan basket, lututnya masih saja terasa ngilu. Semua salep yang dioles hanya berefek meredakan sesaat. Setelah efek hangat salep hilang, ngilu yang datang kembali terasa.

"Bohong," balas Adit sambil merangkul lengan Gesna. Mungkin Adit bisa melihat banyak keanehan yang tidak biasa, seperti tadi saat dibonceng, Gesna memilih duduk menyamping. Kan nggak pernah-pernah Gesna mau duduk semanis itu kecuali waktu habis jatuh dari motor waktu itu. Walaupun pakai rok, Gesna selalu duduk menghadap depan saat di boncengan.

Tanpa sadar, Gesna berdecak. Kalau sampai dia beritahu tentang nyeri yang tak kunjung reda itu, Adit pasti akan memaksa ke rumah sakit. Gesna cukup sadar kalau Adit itu jenis orang yang kalau ada keluhan sakit sedikit, selalu mengajak ke dokter. Dikit-dikit dokter, dikit-dikit dokter.

"Dibilang beneran juga," tekannya kukuh, berusaha santai menggerakan kaki seolah-olah tidak sakit dan sialnya semakin nyut-nyutan. Padahal waktu pulang dari lapangan, bengkak di kakinya juga sudah beberapa kali dikompres Adit. Kenapa lagi sih lututnya kali ini?

Mereka telah sampai di depan kelas Gesna. Adit melepas pegangannya dan melambai pelan. "Ya udah, kalau gitu hati-hati. Kalau dirasa sakit, kabarin aku. Kita ke rumah sakit aja."

Kan! Gesna mengangguk untuk menyelesaikan pembahasan itu. Setelah mengantar hingga pintu kelas, Adit kemudian terus berjalan menuju tangga lantai tiga ke arah kelas dua belas, sementara Gesna mulai berjalan pelan menuju bangku. Pura-pura sehat ternyata susah. Untuk berdiri dan berjalan tegak saja, denyutnya terasa hingga kepala.

"Kenapa kaki lo?" tanya Naraya begitu Gesna mendekat dan menaruh tas. Cewek itu sudah ada di bangkunya, dari tadi.

"Biasalah," jawab Gesna enteng, mencoba untuk duduk. Sudut bibirnya kembali meringis ketika harus menekukkan kaki. Bukan tidak pernah Gesna jatuh atau terguling, tetapi entah mengapa untuk kali ini, rasa sakit itu tidak kunjung reda.

Naraya sepertinya menyadari keadaan kaki Gesna meski ditutupi rok selutut. "Kebanyakan manuver atau kebanyakan gaya?" tanyanya sedikit tersenyum. Kemarin, Naraya tidak datang saat pertandingan final. Cewek itu sangat sibuk, seperti biasa.

Gesna cuma berdecap pelan, tidak terganggu oleh komentar Naraya. Dalam basket, untuk menciptakan manuver memang memerlukan gaya, kan? Mata Gesna malah memperhatikan sesuatu yang mencolok di tangan Naraya. "Gelang baru lo?"

Mata Naraya mengamati benda yang dimaksud. Lempengan tipis yang melingkari pergelangan tangan cewek itu berwarna jingga. "Ini jam tauk bukan gelang," sahut cewek itu. "Lucu ya?"

Gesna menangguk. Jam itu terlampau tipis sehingga menyerupai gelang. Namun, Gesna tidak kaget jika Naraya memiliki benda-benda aneh yang tidak pernah dilihatnya. Naraya memiliki uang dan akses untuk bisa membeli barang-barang teramat mahal dan limited edition. Hingga sekarang saja, Gesna berpikir bahwa dia sangat beruntung bisa mengenal Naraya dan Asri yang kelas sosialnya berada di atasnya. Dua sahabatnya itu bisa saja memilih orang lain yang setara dengan mereka.

"Pasti mahal, ya?" tanya Gesna mengalihkan perhatian Naraya dari pembahasan tentang kaki.

"Nggak tahu." Naraya menggeleng sambil memasang muka tidak peduli. "Dikasih Renard, oleh-oleh."

Nama yang disebutkan Naraya membuat mata Gesna semakin membulat. Setelah belakangan ini, Adji selalu mengeluh tentang sikap Naraya kepada cowok itu, tentu Gesna akan terkejut mendapati hubungan Naraya dan Renard yang semakin dekat.

"Ow... Ow... Ow... Ada apa sebenernya di antara lo berdua? Kenapa jadi sampai kasih oleh-oleh? Buset, lo ingat nggak, Nay? Bocah itu adalah orang yang lo dongkolin setengah mati dan pernah lo panggil dengan nama 'Koreng Babon'. Ingat nggak lo? Atau amnesia?"

Senyum kecil singgah di pinggir bibir Naraya. "Koreng Babon?" gumam cewek itu masih memperhatikan jam barunya. "Ya, ingatlah gue tentang itu. Tapi namanya dikasih orang kan nggak mungkin ditolak ya, kan?"

Giliran Gesna berdengkus terkekeh. "Ingat ya, lo bilang dia ngeselin. Dan gue udah janji bakal jadi orang pertama yang mampus-mampusin lo kalau kejadian lo suka sama dia!" ancamnya sambil kemudian mengamati kelas.

Hari pertama masuk sekolah memang sering kali tidak efektif. Banyak murid dan guru yang belum masuk. Kelas juga tergolong sepi. Seperti tahu kalau guru akan terlambat atau malah tidak mengajar, banyak murid yang tidak berada di dalam kelas.

"Nay," panggil Gesna pelan membuat Naraya menoleh. "Ngemeng-ngemeng. Sebenarnya lo ada urusan apa sama Adit?"

Naraya menatap datar, tidak terganggu oleh mata Gesna yang sudah terlihat menyelidik. "Urusan gimana maksud lo?" tanya cewek itu mengedikkan bahu, seakan tidak paham.

"Gue sempat lihat di hape Adit. Ada panggilan keluar dan panggilan masuk dari lo." Tangan Gesna menopang di dagu, masih menunggu reaksi lanjutan dari Naraya. "Gue sampai nggak sadar kalau kalian saling simpan nomor hape."

Tangan Naraya mulai menggaruk kepala dan cewek itu seperti berpikir sejenak. "Yang mana sih maksud lo? Kayaknya gue udah lama banget telepon Adit," ujar Naraya terlihat mengingat-ingat sesuatu. "Oh, mungkin maksud lo yang waktu itu, ya? Gue memang pernah hubungi dia tentang musik. Pernah tanya-tanya tentang The Tahan Banting. Gue tahu nomor hapenya karena dia yang bantuin gue cari juri pengganti waktu kita mau festival, kemarin."

"Festival band kemarin?" Gesna coba berpikir, masuk akal sih. Naraya kan anak OSIS, dan wajar-wajar saja kalau cewek itu menghubungi Adit urusan musik atau apa. "Oh, gitu."

Mau tak mau Gesna menghela napas lega. Bagaimanapun bukannya dia tidak percaya dengan Naraya, tapi apa salahnya waspada? Zaman sekarang kan siapa yang tahu? Guntur yang sangat akrab dengan dia saja tiba-tiba bisa jadian sama orang yang bahkan tidak pernah diceritakan ke dia. Apalagi mendapati sahabat berteleponan dengan pacar sendiri? Yah, perihal tikung menikung kan tidak bisa ditebak.

Kecemasan Gesna tentang hubungan Naraya dan Adit mulai mereda. Sembari menyandarkan punggung, dia kembali memikirkan keadaan kakinya. Bagaimana jika sampai besok nyerinya tidak kunjung pulih? Masa untuk menaiki tangga saja dia mesti pelan-pelan?

Bukannya Gesna tidak paham kalau saat ini lututnya sedang bermasalah. Belakangan ini dia sering jatuh dan terbentur di lutut, tapi biasanya setelah dikompres atau diolesi salep, akan berangsur normal kembali. Tangan Gesna menepuk pelan sang lutut.

"Kul, dengkul... Lo kok jadi manja sekarang? Protes nggak pakai lihat-lihat situasi," gumamnya ke arah lutut, mengabaikan Naraya yang menggeleng-geleng heran melihat kelakuannya. "Jangan lemahlah, nggak suka gue lihatnya. Kayak bukan dengkul gue aja."

"Udah gila dia," decak Naraya pelan sambil menggulir layar ponsel. Tak lama, cewek itu bangkit berdiri menuju luar kelas, hendak menyambut kepulangan anak-anak Pasuspala yang baru tiba dari pendakian Rinjani.

Ketika pandangan Gesna mengikuti hilangnya Naraya, mata dia bertemu dengan sosok yang belakangan ini dingin.

Guntur.

Cowok itu juga sedang menoleh ke dalam kelasnya sehingga mereka menjadi saling melihat. Tidak ada cengiran atau sekadar kedipan ringan seperti Guntur biasa menyapanya. Pandangan mata Guntur bahkan kembali ke arah koridor tanpa teguran kepada Gesna sama sekali, seakan mereka tidak pernah saling mengenal. Waktu di lapangan kemarin juga seperti itu. Mereka tidak saling bertegur sapa.

Selama ini, tidak pernah-pernahnya Guntur mendiamkannya lebih dari seminggu. Tapi kali ini, Guntur seperti tidak ada niat berbaikan lebih dahulu. Gesna lalu bangkit, bergegas ke arah luar untuk mengejar Guntur. Sesaat, Gesna lupa kembali keadaan kakinya.

"Gun," panggil Gesna terburu-buru, mengejar Guntur yang berjalan ke arah tangga. Ditariknya lengan Guntur agar langkah besar itu terhenti. "Lo marah ya sama gue?" tanyanya kembali ketika Guntur sudah berhenti.

"Menurut lo?" balas Guntur malas.

Telinga Gesna mendadak gatal. Ya, siapapun yang lihat juga tahu kalau Guntur lagi marah dengan dia. Mungkin Guntur marah karena Gesna tidak pulang dan Jody sampai mencari-carinya melalui Guntur. Namun, Gesna juga susah untuk menjelaskan hal tersebut.

"Kenapa waktu itu lo nggak pulang? Nginep di mana lo sampe cabut besoknya? Ngapain aja lo malam itu bisa sama Bang Adit?" cecar Guntur yang satu pun pertanyaannya tidak bisa dijawab oleh Gesna. "Ge, lo catat ya. Kalau lo masih kayak gini terus, gue nyerah buat jadi teman lo!"

Guntur kemudian kembali berjalan menuruni tangga tanpa memedulikan Gesna.

"Gun," panggil Gesna sambil mulai cepat menuruni tangga.

Sesuatu terasa menabrak dan mendorong bahu dari belakang. Gesna kembali memanggil Guntur sebelum keseimbangannya hilang karena nyeri di lutut kembali menjadi. Badan Gesna limbung ke bawah, dia mencoba untuk menggapai sesuatu sebelum tubuhnya terperosok di anak tangga yang tajam.

***
Catatan kaki:
** Si Anjing dan komplotannya pernah dibahas mereka di Bab 4. Putri Salju **

***

Ayang-ayang aku, apa kabar? Huaaa... Hampir tiga tahun cerita ini hiatus. Masih ada yang baca nggak? 😂

Kalian sekarang udah pada ngapain? Anak gue udah hampir tiga tahun aja dong. 😆

Continue Reading

You'll Also Like

5.9M 389K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
1.4M 99.5K 44
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
2.6M 265K 62
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.5M 24.3K 10
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...