Rhythm Of Love

De dipraal

31.8K 2.3K 1.1K

"Jika memang cinta membawa sebuah ketenangan jiwa, maka pada detak jantunglah Chika memasrahkannya" Yessica T... Mais

Bab 1 Menerka-nerka
Bab 2 Cukup Tertarik
Bab 3 Menarik
Bab 4 Mengaku Iya
Bab 5 Menyita Perhatian
Bab 6 Rabu Rabu
Bab 7 Rhythm
Bab 8 Penawaran
Bab 9 Negoisasi Revolusi
Bab 10 Kali Pertama
Bab 11 Hati, Ego, dan Logika
Bab 12 Perihal Keresahan
Bab 13 Keberanian yang Bodoh
Bab 14 Penegasan
Bab 15 Pemulihan Jiwa
Cerita Baru
Trivia

Bab 16 Pemahaman Rasa dalam Dada

2.4K 151 148
De dipraal


Tahun ini –musim ini, tak bisa ku katakan tahun terburuk, tidak itu tidak boleh. Namun, mungkin akan ku katakan kalau ini, tahun terberat sepanjang aku hidup mengenalmu –semenjak pertama kali aku gugup menerima tatapmu.

Kamu bukan perempuan yang memiliki banyak permintaan pun tuntutan. Bahkan, jarang sekali kamu menuntut sesuatu dariku, hingga membuatku kadang bingung akan apa inginmu. Tapi dari situ aku belajar untuk memahamimu lebih dalam, agar aku paham apa yang kamu butuhkan tanpa kamu ucapkan.

Bahkan, kamu tak pernah protes tentang kekikukanku. Kamu, tak pernah menuntutku menjadi laki-laki romantis. Jujur aku sering merasa bersalah tidak bisa menjadi laki-laki yang mungkin pernah kamu bayangkan pada mimpimu terdahulu. Laki-laki yang datang dengan mengendarai kuda putih untuk menjemputmu menuju altar dan mengikrarkan janji suci. Atau, laki-laki yang datang dengan gitarnya, menyanyikan lagu cinta kemudian berlutut di depanmu dan depan banyak orang untuk memintamu menjadi pacar atau istri. Tidak dan maaf aku tak melakukan itu padamu, aku tidak bisa.

Aku bahkan –dulu harus bertanya pada Lala, bagaimana cara menembakmu. Di dalam mobil, dengan membuatmu kesal terlebih dahulu, aku memintamu menjadi milikku. Aku merasa tidak enak, tapi katamu itu adalah tindakan manis, terima kasih.

Bahkan, saat aku memintamu untuk menjadi pendampingku pun aku tidak bisa merancang rencana manis seperti kebanyakan orang. Otakku tidak bisa memikirkan hal-hal kompleks mengenai percintaan. Bagaimana aku bisa memikirkan hal-hal seperti itu, kalau nyatanya otakku lebih sibuk mencari cara untuk menggunakan lidah ini, agar tidak tergigit saat mengutarakan hajatku.

Caraku bahkan, menjadi bahan tertawaan keluargamu waktu itu. Tanpa mengatakan padamu terlebih dahulu, aku datang, menghadap Papa, Mama, Kak Vino, dan Abang. Ku utarakan keinginanku. Chika, jujur, saat itu rasanya aku seperti daging segar yang diletakkan di tengah harimau-harimau lapar. Papa dan kakak-kakakmu seperti ingin mengerkamku. Tapi, tekadku tidak lantas menciut, aku beranikan, dan kemudian mereka mengiyakan.

Benar-benar masih menjadi bahan lelucon sampai sekarang, bahkan kamu pun masih sering terkikik mengingat bagaimana aku mengajakmu untuk berumah tangga.

Tepat di bawah tangga rumahmu, aku menodongmu.

"Chika, mau ya jadi istri saya,"

Tanpa pegantar apapun, aku langsung mengatakan keinginanku. Aku masih ingat bagaimana terkejutnya kamu saat itu. Aku masih ingat bagaimana kamu mengerjapkan mata berulang kali, karena memang saat itu kamu baru bagun dari tidur malammu. Mukamu pun masih basah akan air yang kamu basuhkan. Dan kamupun masih menggunakan piyama coklat muda dengan kepala beruang sebagai coraknya.

"Hah?"

Itu responmu. Hanya itu hingga beberapa menit berlalu. Aku masih dalam posisiku dan kamu masih dalam keterkejutanmu.

"Mau ya? Jadi istri saya,"

Aku ulang sekali lagi. Bahkan, aku baru sadar, itu bukan pertanyaan. Melainkan ajakan yang mengandung pemaksaan.

Kamu masih diam. Tapi matamu berulang kali melirik orang tua dan kakak-kakakmu yang terkikik geli melihat kita –ah mungkin melihat tindakanku. Hingga lirikan itu kamu sudahi ketika tanganku meraih tanganmu dan menatapmu dalam.

Aku bahkan tidak paham, kenapa tiba-tiba kamu menangis. Padahal sebelumnya kamu terlihat sangat bingung. Aku semakin kamu buat bingung saat tiba-tiba kamu melepaskan genggamanku dan berlari meringsek tubuh Papamu kemudian menangis di dada yang amat kamu cintai itu.

"Papa izinin?"

"Kalau gak, dia gak bakal berani lamar kamu di depan Papa dong, sayang,"

Harus ku akui, Chika. Tatapanmu saat memandang Papa, penuh sekali akan cinta. Tatap itu mungkin kamu berikan kepadaku juga, tapi dengan kadar yang lebih rendah. Bagitupun sebaliknya, Papa dengan lembut menatap, mengusap, dan mencium puncak kepalamu dengan penuh kasih sayang.

Beratnya melepas anak perempuan semakin aku rasakan saat Papa Shani mengantarkanmu kehadapanku dengan isak tangis yang sama sekali tak dapat ia bendung. Tangis itu semakin terlihat pilu saat ia menatap dan memegang pundakku sebelum meninggalkan kita berdua.

Kamu tahu, Chika. Ada yang pernah bilang, ketika kita telah mendapatkan apa yang kita inginkan, hal itu akan menjadi asing. Hmm maksudnya biasa saja, dari apa yang dulu diidamkan. Ketika kita memiliki cita-cita lagi, kemudian mendapatkanya, maka ketika cita-cita itu telah diraih, itu akan menjadi asing lagi. Dan begitu seterusnya.

Aku tidak mau menyalahkan, karena presepsi orang berbeda-beda. Tapi kalau kamu tanya aku setuju atau tidak dengan angapan itu, aku akan dengan tegas, menolaknya. Karena aku tidak seperti itu, semoga.

Ketika hatiku mengatakan menginginkanmu dan kemudian aku berhasil meraihnya, aku tidak akan menjadikan cita-cita ini asing dalam kehidupanku sekarang. Karena, aku tahu, menginginkanmu secara utuh, harus ku usahakan terus menerus, bahkan dengan waktu seumur hidup. Bagaimanapun, sekeras apapun usahaku, sebesar apapun rasa sayangku padamu, posisi ku akan terus mentap di nomor dua. Karena posisi Papa, tidak mungkin kamu geser dari hati pun kehidupanmu, aku paham. Aku tidak marah. Aku juga tidak merasa tidak dihargai. Aku malah bangga, kamu bisa begitu mencintai Papamu sebegitu dalam. Yang bahkan, di luar sana, perempuan seusiamu banyak yang gengsi untuk sekadar mengatakan "aku sayang ayah,"

Kecintaanmu yang begitu dalam, membuatmu begitu terpukul saat Tuhan meminta kembali Papa Shani. Kamu seperti kehilangan seluruh jiwamu, Chika. Kamu mengabaikan orang-orang di sekelilingmu. Ah– bahkan kamu mengabaikan dirimu sendiri.

"Papi, Mami kenapa? Kenapa Mami gak mau peluk Danzel?"

Keresahan terbesarku ada pada putra kita. Kamu pun tahu, Chika, dia tidak bisa jauh darimu. Dia bahkan harus melawan keresahannya setiap malam saat akan tidur. Dia biasa kamu peluk. Ketika dia tak bisa mendapatkan itu, tidurnya menjadi tak teratur. Kadang dia terlelap ketika hari sudah berganti, itupun karena dia lelah menangis.

Dua minggu pertama, kamu benar-benar seperti mayat hidup, maaf jika kasar. Kamu tak mau beranjak dari pembaringanmu kalau tidak benar-benar kamu perlu untuk turun. Kamu tak mau menelan makananmu jika benar-benar tidak dipaksa, sekalipun itu bubur. Matamu selalu tergenang air mata, pandanganmu kosong, dan bibirmu terus menggumam, memanggil Papa.

Entah apa yang telah Mama Gre katakan padamu, hingga membuatmu mau beranjak dan melakukan kegiatan lagi. Tapi, kamu tetap menanggalkan jiwamu entah di mana. Kamu menjadi dingin. Kamu masih menolak untuk mengurusi Danzel. Kamu masih tak berbicara banyak padaku. Kamu hidup, tapi mati.

"Papi, kenapa Mami gak mau jawab pertanyaan Danzel? Danzel sebel!"

Menyedihkan rasanya mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut dia. Dia terbiasa mendengar celotehmu, dia biasa mendengar kamu menjawab semua pertanyaannya. Ketika dia bilang begitu, ternyata yang merasa kehilangan suaramu bukan hanya aku, tapi Danzel juga. Anak kecil itu merasa kehilanganmu, bahkan saat ia belum paham apa itu kehilangan.

"Kak– aku kangen Papa,"

Setiap malam, usai aku menidurkan Danzel, kamu beberapa kali membalikan tubuhmu menghadapku. Menyimpan wajahmu di ceruk leherku. Aku tak bisa menjawab ucapanmu itu dengan kata-kata. Aku takut salah ucap. Hingga akhirnya hanya dekapan yang bisa aku berikan. Hanya mengusap lembut punggungmu yang dapat aku lakukan. Hanya itu. Sampai kamu lelah menangis dan kemudian tertidur dalam dekap tubuh ku.

Chika, saat itu memang sangat melelahkan, sangat. Tak jarang aku pun menangis saat melihatmu terlelap dengan jejak air mata yang masih tersisa di pipimu. Hatiku lelah, teramat lelah. Rasa-rasanya ingin menyerah dan membawamu ke sanatorium seperti saran Abang. Tapi aku tak selemah itu, aku tak setega itu. Karena aku sadar, aku bisa melakukannya sendiri. Melindungi hati Danzel. Memulihkan hatimu. Dan menguatkan hatiku. Aku bisa sendiri.

Kamu tanggungjawabku. Sejak aku memintamu dari Papa, kamu menjadi tanggungjawaku. Kalian tanggungjawabku. Bagaimana mungkin aku menyerah sedangkan aku adalah pegangan kalian. Aku adalah harapan mereka untuk dapat memulihkanmu. Dan aku adalah harapan Papa Shani untuk membahagiakanmu, hingga Tuhan memintaku untuk kembali padanya.

Yessica, maaf jika beberapa bulan yang lalu itu, aku sejenak melarikan diri ke ruang imaji. Menghidupkanmu dalam fiksi. Mengkhayalkanmu kembali, ke waktu yang tak dapat aku kunjungi lagi. Sungguh, tidak ada maksud untuk menduakanmu. Aku hanya mencoba memunculkan kebahagiaan-kebahagiaan kita terduhulu. Mencoba menghangatkan dadaku dengan mengingat tawa renyahmu, celotehmu, bahkan kemarahanmu.

Chika, sayang. Terima kasih. Aku tahu, permintaanku tidak mudah kamu kabulkan. Aku pun tahu, hatimu yang tengah luka itu tak dapat sembuh dengan segera. Tapi sekali lagi terima kasih, kamu mau mencoba. Mencoba mengembalikan dirimu lagi seperti sediakala.

Aku memohonmu kembali, bukan hanya sebagai suami. Tapi juga sebagai Papi dari putra kita juga, Danzel.

"Papi, Mami udah mau peluk Danzel lagi, Pi! Mami udah sayang Danzel lagi! Danzel janji sama Papi, Danzel gak nangis lagi kalau mau bobo, udah ada Mami!"

Terima kasih, Chika. Terima kasih sudah mau menarik jiwamu lagi dan membawaku kembali.

.....

Chika menyandarkaan punggungnya lemas. Ia copot kaca mata yang bertengger di hidungnya. Ia pijat pelipis matanya berulang kali. Dadanya sesak, bahkan sebelum ia menyelesaikan paragraf pertama tulisan di buku Vito itu. Air matanya ia biarkan mengalir begitu saja, karena ia tahu, menghapusnya pun akan percuma.

Mencintai Vito, hidup dengan dia bertahun-tahun, tak lantas membuat Chika paham seluruhnya akan diri suaminya itu. Tapi Chika berusaha untuk paham tanpa harus menganggap dirinya adalah orang yang paling mencintai dan mengerti Vito. Begitupun Vito dalam tulisannya, menyampaikan, memiliki Chika, tak lantas membuat Vito menganggap Chika adalah miliknya seutuhnya. Bahkan, untuk membuat Chika benar-benar menjadi miliknya perlu dilakukan usaha seumur hidup, meski Vito tahu itu tidak mungkin.

Chika menunduk. Membiarkan kepalanya tenggelam di atas meja. Membiarkan lenganya menjadi peredam suara tangis yang semakin menyesakkan dada.

Bahunya bergetar. Untuk beberapa saat ia biarkan dirinya menumpahkan semua air matanya. Menumpahkan semua isi hatinya yang telah penuh sesak oleh rasa bersalah.

Mengabaikan suami dan anaknya beberapa bulan yang lalu, jelas itu sangat berdosa. Chika juga tidak paham, kenapa waktu itu, ruang hidupnya seolah menjadi hampa. Seolah menjelma menjadi lorong sunyi nan panjang yang tak berujung. Sejenak gelap, sejenak semuanya menjadi putih. Begitu terus. Sampai akhirnya, secara tiba-tiba, seluruh mukanya berdenyut, kala sebuah tamparan begitu keras mendarat di pipinya. Tamparan Gracia –Mamanya. Tamparan yang seolah menarik tubuhnya untuk keluar dari lorong itu.

"Ma..." lirihnya terdengar menyakitkan.

Dia ingat betul bagaimana Gracia menatapnya dengan pandangan menyedihkan. Muka Mamanya begitu kacau. Lingkaran matanya terlihat begitu jelas. Dan air matanya begitu deras mengalir. Dan itu karena dirinya –Chika.

Diposisi ini, jelas dialah yang paling berdosa. Itu yang Chika rasakan. Rasa kehilangan masih begitu terasa menyakitkan, tapi dirinya malah menambah beban sakit hati di keluarganya. Harusnya dia ikut menguatkan sang Mama. Harusnya dia berdiri kokoh agar Papanya tenang di alam sana. Tapi, malah sebaliknya. Dia begitu rapuh. Dia begitu kurang ajarnya membuat kepergian sang Papa menjadi sulit.

Chika terdiam. Mencoba meredakan tangisanya sendirian. Merenungi semua kejadian. Hingga kekhawatirannya waktu dulu kembali menyembul. Kekhawatiran terhadap jumlah hati yang sakit akibat dirinya. Papa, Mama, Vino, Boby, Vito, Zee, bahkan mungkin Lala. Dan kini, Danzel menjadi anggota terbaru yang hatinya ia torehkan luka.

Dia mengangkat kepalanya. Menghapus air mata sebisanya. Ia pakai lagi kaca mata yang sempat ia lepas. Lantas keluar berjalan ke kamar putranya.

Di sana dia menemukan putranya tengah tidur. Ini sudah pukul empat. Tapi dia belum bangun dari tidur siangnya. Ah di luar hujan, mungkin itu salah satu faktor Danzel masih betah untuk terlelap.

Pelan-pelan Chika naik ke atas ranjang Danzel. Merengkuh tubuh mungil itu erat. Menciumi puncak kepala jagoanya tanpa henti.

"Maafin Mami ya, sayang. Maafin Mami," dia kembali menangis. Bahkan beberapa titik air matanya menetes ke kening Danzel.

Anak ini, anak yang selalu Chika dan Vito lindungi. Anak yang memberi warna lebih, dalam kehidupan mereka. Anak yang selalu menjadi alasan mereka untuk bahagia. Anak yang masa kecilnya kemarin, sempat ia cederai.

Chika mendekap lebih erat. Bibirnya kini ia gunakan untuk menjamah setiap inci muka Danzel. Ia benar-benar merasa bersalah telah mengabaikan anak ini beberapa bulan kemarin. Meski Danzel belum paham apa itu sakit hati, tapi Chika yakin, masa kemarin itu pasti membekas di ingatannya, dan mungkin akan menjadi rasa sakit yang tak terperi di organ tak terjamahnya suatu saat nanti. Chika tak ingin anak ini membencinya, sungguh tidak ingin.

"Mami,"

Anak itu terbangun. Terusik karena isakan Chika. Matanya masih setengah membuka, tapi tanganya telah ia lingkarkan ke leher Chika. Ini caranya meminta Chika untuk mendekapnya lebih erat lagi.

"Maaf ya, ganggu tidur kamu,"

"Gak, Mami, Danzel seneng Mami bobo peluk Danzel," Chika melepaskan pelukannya. Dia mengusap lembut kepala putranya itu. Air matanya kembali luruh kala dirinya ditatap lembut oleh Danzel. Ia tak bisa berkata-kata. Hatinya serasa tertohok melihat mata itu. Mata yang pernah ia penuhi dengan air mata.

"Mami," dia bangun. Menarik kaca mata Chika. Meletakkannya di sembarang tempat. Tangan mungilnya itu, ia gunakan untuk menyeka air yang mengalir dari mata Chika.

"Mami kenapa? Kata Papi, Mami udah sembuh, Mami gak bakal nangis. Kenapa Mami nangis?" Chika benar-benar tidak bisa mengeluarkan kata-katanya. Dia ikut duduk. Tanpa berkata apa-apa. Ia memasukan Danzel dalam pelukannya lagi.

"Mami," anak itu masih saja memanggil Chika. Chika menarik nafasnya dalam. Mencoba untuk menghentikan tangisnya dan mengeluarkan suaranya.

"Nak– ," dia beranikan untuk menatap anak itu. "Maafin Mami ya?" katanya lembut. Chika yakin, Danzel tidak paham apa maksudnya. Tapi Chika pun tak ingin mengatakan alasannya. Ia takut jika anak ini kembali mengingat hal yang menyakitkan.

"Gakpapa Mami, Danzel udah gak ngantuk kok," Chika tersenyum. Dia masih menganggap kalau Chika meminta maaf karena telah mengusik tidurnya.

"Mandi yuk, sebentar lagi Papi pulang,"

"Iya Mami. Danzel mau kiss sama hug Mami dulu,"

"Sini,"

*

Krek! Cesss...

Satu kaleng soda dingin ia buka lalu ia teguk untuk membasahi tenggorokkannya. Padahal, harus diketahui, sebenarnya salah, mengharapkan air soda untuk menghilangkan dahaga. Karena, justru dialah yang bisa merenggut cairan dalam tubuh kita.

Tapi, Vito memilih minuman itu untuk ia teguk saat ini. Bahkan ini saja, hujan masih betah mengguyur Jakarta dan dia sedang di balkon kamarnya. Biasanya orang-orang akan lebih memilih meneguk secangkir teh hangat, susu, jahe, ataupun kopi. Tapi, lagi-lagi Vito memilih soda untuk ia sesap.

Vito tak butuh kehangatan dari minuman-minuman itu. Pun api unggun atau kotatsu untuk sekadar menghangatkan tubuh atau ruang tempatnya berada. Dia tidak butuh itu. Mengingat Chika yang telah kembali dari beberapa bulan lalu, sudah cukup memberikan kehangatan. Meski Vito tahu, Chika belum pulih benar. Tapi setidaknya perempuan itu telah kembali menghidupkan sendi-sendi kehidupannya.

Dia membalikkan tubuhnya saat sepasang tangan melingkar erat di perutnya. Itu Chika.

"Gak dingin?" tanyanya lembut.

"Sedikit. Danzel udah tidur?" Tanya Vito. Dia sedikit merapikan rambut Chika yang jatuh mentupi matanya.

"Udah, makannya aku bisa balik kamar. Dia kayanya semakin susah buat gak aku kelonin dulu deh, kak," Chika mengeratkan pelukannya. Menghirup aroma citrus dari ceruk leher Vito.

"Dia kangen kamu, gakpapa ya?"

"Bahkan aku gak bilang aku keberatan. Dia mau ngekorin aku ke mana pun aku gak masalah, kak. Aku mau nebus kesalahan aku," Chika mengecup pipi Vito lembut. Laki-laki tersenyum.

"Makasih ya,"

"Harusnya aku yang bilang gitu ke kamu. Maaf ya, maaf banget. Maaf aku udah buat kamu stress waktu itu, sampai kamu harus cari kebahagiaan lewat fiksi, maaf ya,"

"Gakpapa, yang penting kamu udah berhasil kembaliin diri kamu dan narik saya dari kebahagian fiktif itu. Jangan lagi ya?" Chika menggeleng.

"Dulu kamu kesiksa banget?" Chika menarik tubuhnya. Dia menatap Vito yang kini tengah tersenyum.

"Saya bingung. Saya bingung berada di posisi seperti itu. Saya bingung mikirin gimana saya harus balikin kamu, gimana buat Danzel bahagia. Sedangkan, di sisi lain saya juga harus tetep buat hati saya bahagia, biar saya bisa lewatin semuanya. Kebahagian saya sebagian besar ada di diri kamu,"

Chika membelai lembut kepala Vito. Chika bahagia, benar-benar bahagia, dia seakan merasa sangat beruntung telah dipertemukan dengan sosok Vito. Meski dia kaku, tapi dia begitu menyayangi Chika, dia selalu memperhatian setiap detail apa yang Chika suka, apa yang Chika tidak suka. Dia menepati janjinya pada orang tua dan kakak-kakak Chika, untuk selalu menjaga dan menyayangi Chika sepenuh hati.

Meski Chika pernah menyiksa batinnya, tapi Vito tak lantas pergi dari kehidupannya. Tak lantas meninggalkan Chika hanya karena kehilangan sosok Chika yang sesungguhnya. Laki-laki ini lebih memilih menyelam dalam imajinasi dari pada menuntut Chika untuk segera sadar diri.

Keterpurukkannya kala itu memang sudah tak manusiawi. Mengabaikan sekelilingnya, bahkan suami dan anaknya hanya karena satu hal yang hilang, itu adalah dosa besar. Dia –Chika memang kehilangan detak jantung Papanya, detak jantung yang dapat menjalarkan rasa hangat dan nyaman. Kehilangan itu, jelas itu membuat jantung Chika seolah ikut berhenti, membuat dirinya seolah ikut mati. Tapi ia lupa, masih ada detak-detak lain yang dapat membuat dirinya hidup.

Satu kebahagiaannya memang hilang, tapi dia masih punya kebahagiaan lain.

"Makasih ya, kak, kamu gak nyerah sama keadaan," Vito tersenyum. Ia menarik kembali Chika untuk masuk dalam dekapnya. Memosisikan kepala Chika lebih rendah agar dapat menempel di dadanya.

"Dengerin, kamu suka 'kan?" titah Vito. Ia menyuruh Chika untuk mendengarkan detak jantungnya.

"Selama kamu masih bisa denger ini, selama kamu masih nyaman dengerin ritme ini, selama itu juga saya masih akan terus ada buat kamu. Sayangin kamu, lindungin kamu, jaga kamu, juga keluarga kecil kita,"

"Kamu tau? Banyak perempuan cantik baik, di luar sana. Tapi yang bisa bikin saya deg-degan kaya gini Cuma kamu. Jadi, yang lagi kamu dengerin ini itu –ritme eklusif, khusus buat kamu. Dia Cuma mau berdetak kaya gini kalau di dekat kamu doang, sayang," Chika melepas pelukannya. Menatap heran Vito yang sedang teresnyum.

"Kak, kok kamu makin jago gombal?" Seketika Vito tertawa.

"Zee yang ajarin saya. Dia suka nonton Deny cagur, tau 'kan? Dia suka gombal. Kata Zee cara biar perempuan tersipu malu pakai cara itu,"

"Kamu mau-mauan aja ya, kak dikibulin kunyuk satu itu,"

"Tapi yang tadi bukan gombalan, itu –emhht" belum sempat meneruskan kalimatnya, bibir Vito telah disambar Chika dan dikulumnya begitu lembut.

"Kalau ada apa-apa, ada cita-cita yang belum bisa kamu gapai, bilang ya, kak. Kita wujud-in bareng di dunia nyata. Jangan dipendem sendiri ya, aku udah bawa kamu pulang, jangan balik lagi ke sana. Aku nyata di depan kamu, aku bukan Chika yang ada di cerita kamu, meski itu memang aku. Fiksi tetaplah fiksi meski diambil dari kisah nyata, iya 'kan? Jadi kamu mau pilih yang mana, bahagia sama tokoh Chika atau Chika yang di sini?"

"Asal kamu gak pergi lagi, saya gak akan balik ke tokoh Chika," tandas Vito. Ia taruh kaleng sodanya sembarang di bawah. Lantas langsung kembali menyambar bibir Chika.

Ciuman yang ini, cukup membuat udara di sekitar mereka menghangat seketika. Itu berlangsung cukup lama, sampai-sampai mereka harus berulang kali menjedanya karena kehabisan nafas. Bahkan kini Vito telah mengangkat tubuh Chika. Membawanya masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuh istrinya di atas ranjang.

Mereka kembali menyatukan bibir mereka. Kali ini lebih panas dan liar. Hingga menimbulkan suara yang sedikit menggangu untuk orang lain tapi menggairahkan untuk mereka berdua. Bahkan, kini tangan mereka tengah menelusup ke dalam pakaian yang mereka kenakan. Baik Vito maupun Chika, juga tengah berusaha melepaskan kancing piyama satu sama lain.

"Kak –ehmt,"

"Mami!" Vito dan Chika langsung melepaskan ciumannya.

Mereka kaget akan triakan itu. Mereka berdua menjadi gugup tertangkap basah oleh putranya. Bodohnya, mereka ternyata tak tahu kalau pintu mereka terbuka, meski hanya setengah.

"Kak, maaf aku lupa tutup pintu," lirih Chika. Vito hanya tersenyum. Ia langsung bangun dan menghampiri Danzel sambil merapikan lagi piyama yang kancingnya hampir terbuka seluruhnya itu

"Kok bangun sayang?" dia mengangkat putranya dalam gendongan. Membawanya ke ranjang di mana Chika terlihat juga sudah selesai merapikan dirinya.

"Danzel mau bobo sama Mami. Danzel masih kecil tapi bobo sendiri terus. Papi udah gede tapi Papi gak bobo sendiri. Papi bobo sama Mami. Papi curang!" mereka terkekeh mendengar keluhan bocah ini.

"Ya udah sini, Mami peluk. Bobo ya, jangan bangun lagi,"

"Iya Mami," Chika segera mendekap putranya itu. Sedangkan Vito ikut mengusap usap kepala Danzel dengan penuh kasih sayang.

"Dia makin berat, sayang," kata Vito.

"Tambah tinggi juga, kak,"

"Dia kaya kamu, cerewet,"

"Dia juga kaya kamu, penyayang,"

"Hidungnya kaya kamu,"

"Matanya kaya kamu, aku suka,"

"Saya lebih suka mata kamu,"

"Emht–" baru Chika akan buka mulut, tapi tangan Danzel lebih dulu mencegah Chika untuk mengeluarkan suaranya. Dia juga membalik tubuhnya. Digunakannya tangan yang satu lagi untuk menutup mulut Vito.

"Papi sama Mami berisik. Danzel jadi gak bisa dengerin suara di sininya Mami," dia melepas tangan yang tadi membekap mulut Chika untuk menunjuk dada Chika.

"Suara apa ya, Mi? Kok deg deg gitu?"

"Itu detak jantung, sayang namanya. Danzel juga punya kok, coba pegang," anak itu menurut.

"Eh iya, Mi! Papi, Papi punya gak?" dia menoleh pada Vito.

"Punya dong! Coba sini dengerin," lagi-lagi anak itu menurut. Dia mendekap Vito. menempelkan telinganya di dada Vito.

"Iya ada. Tapi gak enak suaranya. Enakan punya Mami," Vito dan Chika terdiam dan saling tatap. Sedetik kemudian mereka terkekeh.

"Dia suka ritme jantung kamu. Dia kaya kamu,"

–Selesai– 

HAHHHHHHH.... Akhirnya :")

Dibaca ya guys!

Guys, demi apapun, saya berterima kasih banget sama kalian yang udah mau ngikutin cerita ini dari awal. Gak nyangka, dari yang awalnya cuma mau jadi cerita pendek dan niat dipost di lapak sebelah, malah buka lapak sendiri. Gak nyangka juga ternyata kalian suka sama cerita yang minim banget konflik ini. Bahkan, mungkin terlihat aneh. Beneran gak nyangka, ada di antara kalian yang suka nagih buat update, ada yang sampe hafal saya kalau update hari apa, ada yang bahkan baca ulang, ada juga yang tiba-tiba dm nanya-nanya masalah perwattpad-an, hmm lebih tepatnya masalah kepenulisan. Hei!! saya masih awam :( kenapa ditanyain begituan weh hahaha ada-ada aja kalian :")

Sekali lagi terima kasih ya, makasih banget. Kalian tuh, hhh apa ya? Gilak ya, sayang banget deh sama kalian. Makasih banget sumpah, udah mau mengapresiasi tulisan amatir saya ini. Asli ya, saya masih heran, dari tulisan saya ini, kalian tuh suka apanya sih? Sampai betah banget ngikutin sampe akhir, padahal minim konflik :" Ayo jawab, suka apanya?

Makasih buat komen dan votenya. Mungkin cerita ini emang minim konflik dan buat kalian terkesan gak menarik ya? Haha. Mungkin juga cerita ini minim banget edukasi. Tapi semoga bisa menghibur kalian ya. Semoga yang lagi sedih bisa ketawa atau paling minim mesam-mesem baca kisah picisan Vito- Chika. Semoga yang lagi baik-baik aja bisa makin baik hari-harinya haha. Pokoknya makasih bangeeetttttt wey...!!!

Jujur, nulisin part 15 sama 16 ini tuh paling berat hahaha gaya banget saya :V Beratnya tuh kayak "Ya ampun, beneran mau udahan ya ini," "Duh, sedih banget," "Duh ga rela," huhu padahal saya yang buat, tapi saya juga galau guys. Pas part 15 haha aneh banget, tiba-tiba kangen sosok Vito di part-part sebelumnya. Secara part 15 sm 16 dah kek gak ada manis-manisnya :(

Dahlah ya, segitu aja. Saya bakal kangen kalian deh kayaknya. Kangen bacain komentar kalian. Kangen bacain gimana gesreknya kalian haha, ributnya kalian di komentar hehehe

Pokoknya terima kasih banget. Semoga abis ini saya niat eksekusi cerita lagi ya haha.

Buat kalian yang nulis, tetep semangat nulis. Jangan minder sama tulisan kalian (padahal saya juga masih sering minder). Gak ada tulisan yang jelek guys, pun gak ada tulisan yang sempurna. Kalau dari pelajaran estetika yang saya inget, gak ada karya yang original, adanya karya terbarukan, maksudnya upgrade-an dari karya sebelum-sebelumnya. Jadi kalau cerita ini ada kemiripan cerita di lain tempat, itu murni ketidak sengajaan. Karena lagi-lagi, gak ada karya yang original, setiap karya pasti terpengaruh sama karya sebelumnya. 

Buat kalian yang gak nulis, terus baca ya! Kali aja nanti tergerak buat nulis. Terus apresiasi karya-karya fiksi di luar sana. Dengan kalian apresiasi fiksi mereka, mereka pasti seneng guys dan mungkin bisa bangkitin gairah menulis mereka. 

Terima Kasih sekali lagi. Kalian Keren!

Terima Kasih juga buat tokoh-tokoh haha

Yessica Tamara (Chika)

Alvito Fadran (Vito)

Danzel Althaddeus (Danzel) Bu Kepsek, minjem ponakannya ya hehe

Nabila Fitriana (Lala)

Azizi Asadel (Zee)

Sampai bertemu di cerita-cerita saya selanjutnya ya! (Kalau niat buat hehe)

Salam Hangat

dipra ^.^



Continue lendo

Você também vai gostar

190K 22.4K 86
Follow dulu lah minimal. Terima kasihhhh Musim 1 Giovany Adelia gadis yang tengah membalaskan dendamnya. Sahabat yang bernama Eliana Zeena telah di b...
34.5K 2.1K 21
Six brothers, one little one... What will happen?
123K 4.1K 32
Jimin joins a exchange program at his school and goes to daegu, there he is gonna live with a boy named Yoongi. They grow closer and closer. Top! Yoo...
212K 4.5K 47
"You brush past me in the hallway And you don't think I can see ya, do ya? I've been watchin' you for ages And I spend my time tryin' not to feel it"...