Bab 4 Mengaku Iya

1.5K 145 35
                                    

Hari kedua, Lala dan Vito memang tak mau menyianyiakan waktu, tak ingin bertele-tele mengurusi masalah survei. Karena, setelah ini pun masih banyak yang harus dipersiapkan. Seperti mengaji ulang proker yang sedikit mendapat sanggahan, mendata barang-barang apa yang harus dibutuhkan, sampai membuat beberapa properti-properti kecil untuk keperluan KKN nantinya.

Mereka –ah hanya Chika dan Vito kini sedang duduk di teras rumah kakek Vito, menunggu sarapan mereka turun dengan sempurna ke perut. Udara pagi yang segar menyeruak masuk ke dalam rongga hidung, hingga sejuknya memenuhi paru-paru di dalam sana. Meski tak terbilang desa yang jauh dari keramaian kendaraan bermotor pun pabrik, namun udara di desa ini terbilang bersih. Bahkan, sangat segar, tak kalah dengan udara di dataran tinggi sana.

Kebuh jati depan rumah kakek Vito menjadi pemandangan mereka saat ini. Lumayan rimbun, hijaunya daun membuat mata terasa dimanjakan oleh pemandangan sederhana itu. Suara nyaring dari serangga bisa terdengar jelas memekakan telinga mereka, berisik. Tapi itu lebih baik, dari pada bisingnya klakson kuda-kuda besi yang selalu membuat naiknya emosi.

"Kak, yang bunyi-bunyi itu sih serangga apa? Aku kok baru denger ya, hehe," tanya Chika membuka percakapan. Dia duduk bersama Vito di kursi panjang yang ada di teras. Sedangkan Lala dan Zee entah apa yang sedang mereka lakukan di halaman depan sana.

"Tonggeret, tapi kalau orang sini nyebutnya Garengpung. Nyaring banget ya?" Jawab Vito sambil melempar senyum ke arah Chika yang sedang memajukan kepalanya, untuk melihat pohon-pohon jati yang menjulang cukup tinggi itu.

"Banget kak, tapi seru sih, jadi gak sepi gitu," Kini giliran Chika yang menoleh dan tersenyum ke arah Vito.

Rasa hangat kembali menjalar di dada Vito bersamaan dengan mengembangnya senyum Chika. Benar-benar tak bisa lagi dielak, jika ia menyukai senyum Chika ini. Senyuman itu membuat Vito juga mengembangkan senyumnya.

"Cupu ya mereka, liat-liatan doang. Kalau aku mah dah aku gandeng gini," Zee mengangkat tangannya yang menggenggam tangan Lala erat. "Elus-elus sekalian biar mantap," lanjut Zee, matanya masih terus memperhatikan bagimana dua orang itu berinteraksi, hingga membuat gemas.

"Elas elus elas elus, Vito gak bar-bar kaya kamu," Lala menoyor pelan kepala Azizi yang kini hanya hahahehe.

"Bar-bar juga sama kamu doang, beb," Tangan Azizi mengusap lembut pipi Lala. Dia menatap wajah samping Lala lembut. Pipi itu dirasanya semakin berisi, tapi Zee suka, sangat.

"Aku lagi gak pengen dengerin gombalan kamu," Lala melepaskan genggamannya. Ia beralih melingkarkan tanganya di lengan Zee, menyandarkan kepalanya di lengan yang cukup keras itu.

"Ya kalau kamu manja gini, gak bisa gombal aku. Pengenya uyel-uyel uwuwuwu," pipi Lala memang sudah menjadi target kekerasan Zee. Tak pernah tanggung mencubit, menarik, bahkan pernah digigit saking gemasnya.

"Sayang kamu banget ih," Zee mengecup puncak kepala Lala. Anak ini memang tak pernah menggubris omogan orang yang aneh-aneh. Dia tak peduli terhadap pandangan orang yang menganggap hubungannya dengan Lala ini tak wajar. Yang terpenting bagi Azizi sekarang bagaimana dia bisa membuat hubungan ini menyenangkan, syukur-syukur sampai jenjang pernikahan. Kadang, mereka yang memandang aneh hubungan seperti Lala Zee, memang harus diberi paham, kalau manusia itu tak bisa memilih kepada siapa akan jatuh cinta. Toh hanya perbedaan umur, masalahnya di mana?

"Yuk sekarang," dengan reflek Vito meraih tangan Chika untuk digandengnya. Chika terdiam, menatap Vito yang sepertinya belum sadar.

Merasa tak ada pergerakan dari Chika, Vito menoleh, mengerutkan dahinya. Ia mengikuti arah pandang Chika. Dia tersentak melihat jarinya menelusup ke sela-sela jari Chika. Dengan sekali hentakan, ia pun melepaskan genggamannya.

Rhythm Of LoveWhere stories live. Discover now